Bunga Iris dan Takdir

By hanyapisang

77.4K 11.5K 2.1K

Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yan... More

PROLOG
Apa Kabar?
Teman?
Bendera Perang?
Tuan?
Canggung?
Kabar Buruk?
Kehadiranku?
Pindah?
Spekulasi?
Kesan Pertama?
Choi Seungcheol: Takdir, Sial!
Choi Seungcheol: Double Sial!
Setuju?
Jatuh Cinta?
Nyaman?
Mengobatiku?
Tidak Berbakat?
Jengkel?
Pernyataan Cinta Soonyoung?
Cemburu?
Kemungkinan?
Alasan?
Kepastian?
Fokus?
Tanpa Kabar?
Tidur Bersama?
Sialan?
Berbicara?
Bagaimana?
Special Story I
Berbeda?
Move On?
Kencan?
Hai?
Pesan?
Orang Luar?
Milikmu?
Mengejutkan?
Power Bank?
Akhirnya?
Satu Menit?
Lee Jihoon: Dua Orang Bodoh
Choi Seungcheol: Hah!
Choi Seungcheol: Drama!
Harga Diri?
Bekas Ciuman?
Payung sebelum Hujan?
Yang Terbaik?
Special Story II: Lets Play A Game!
Special Story II: Never Have I Ever...
Deal?
Harga Diri? #2
Sudah Saatnya?
Hangat?
Pulanglah?
Keras Kepala?
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Ragu?
Berbicara? #2
Special Story IV Seungcheol's Birthday

Tawaran Perdamaian?

1.3K 226 35
By hanyapisang

Oh, I don't wanna share you with nothing else
I gotta have you to myself
Oh, I can't help it. I'm so in love
I just can't get you close enough, no

(I'm Jealous, Shania Twain)

---------------------------------------

Jisoo menerima handuk kecil yang aku ulurkan kepadanya dan ikut duduk di sampingku, di bangku panjang yang terletak di pinggir lapangan tenis.

"Bagaimana?" tanya Jisoo sambil menyeka keringat yang ada di wajah dan lehernya dengan handuk. "Apa kau tertarik untuk bergabung dengan klub tenis?"

"Mungkin saja," sahutku dengan nada tidak yakin. "Melihatmu dan yang lain tadi bermain membuatku tidak lagi percaya diri untuk masuk klub."

"Tenang saja kalau soal itu," Jisoo berhenti sebentar untuk meminum air minumnya. "Aku bersedia mengajarimu dari dasar. Toh, tidak semua anggota klub tenis adalah orang yang bisa bermain tenis ketika pertama kali bergabung ke dalam klub."

Kalau dipikir-pikir menarik juga seandainya aku bergabung dalam klub tenis. Aku jadi punya kegiatan untuk menyegarkan pikiranku kalau sedang jenuh. Sepertinya tidak akan sulit untuk aku mempelajari tenis, apalagi dengan bantuan yang Jisoo tawarkan untuk mengajariku. Dari dulu aku memang lebih berbakat dalam sesuatu yang berhubungan dengan olahraga daripada keterampilan seni rupa.

"Jeonghan?"

"Ya?"

Aku mengernyit bingung ketika tanpa mengucapkan apapun Jisoo meletakkan tangannya di atas kepalaku dan mulai mengusap-usap rambutku dengan lembut. Meskipun bingung dengan apa yang diperbuatnya, aku hanya diam saja membiarkan Jisoo melakukannya.

Beberapa saat kemudian Jisoo menarik tangannya dari rambutku. "Ternyata memang lembut sekali. Pantas saja Seungcheol suka sekali memainkan rambutmu."

Apa maksud Jisoo? Apa kebetulan dia juga seorang maniak rambut seperti Seungcheol?

Melihat ekspresi wajahku yang kebingungan, Jisoo memberiku sebuah senyum kalem andalannya. "Sebenarnya sudah lama sekali aku ingin tahu bagaimana rasanya mengusap-usap rambutmu saat aku melihat Seungcheol sering melakukannya."

"Kalau kau memang sebegitunya ingin menyentuh rambutku, kau hanya tinggal memintanya padaku dan aku akan membiarkanmu melakukannya sekali."

Jisoo meringis. "Aku tidak mungkin melakukannya karena Seungcheol selalu menempel padamu. Kau tahu sendiri bagaimana dia memarahi Mingyu ketika Mingyu memainkan rambutmu di depannya."

Aku ikut-ikutan meringis menanggapi pernyataan Jisoo, tidak tahu lagi harus berkomentar seperti apa tentang Seungcheol dan sikap posesifnya terhadap rambutku. "Maaf, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu."

Meskipun saat ini Jisoo sedang menatapku, aku merasa pandangannya sedikit melamun.

Ada apa dengan Jisoo? Kenapa sikapnya sedikit aneh?

"Kau begitu nyaman dengan kehadiran Seungcheol," Jisoo bergumam pelan, tapi cukup keras untuk bisa aku dengar.

"Hah?" Pernyataan Jisoo membuatku kembali mengernyit bingung. Apa maksud Jisoo mengatakan hal tersebut?

Jisoo memberiku senyum tipis yang aku rasa tidak sampai ke matanya. "Maksudku kau bisa begitu membuka diri jika bersama Seungcheol dan sangat terbiasa dengan segala bentuk kontak fisik yang dilakukan olehnya. Kau juga sangat ekspresif jika di depannya."

Sebenarnya ke mana arah pembicaraan Jisoo?

"Aku tidak bilang bahwa kau tidak terlihat nyaman jika bersamaku atau yang lain," lanjut Jisoo. "Tapi melihat interaksimu dengan Seungcheol aku merasa..."

Tiba-tiba saja ponsel di dalam tas punggung yang ada di sampingku berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, aku bisa menebak siapa orangnya. Seratus persen aku yakin tebakanku tidak akan salah.

"Kau tidak mengangkatnya?" tanya Jisoo heran ketika aku hanya diam mengabaikan deringan ponselku. "Siapa tahu penting"

Sambil menghela napas malas, aku merogoh ponsel dari dalam tasku. Seperti kata Jisoo, 'siapa tahu penting'.

Dugaanku benar. Nama Choi Seungcheol tertera di layar ponselku. Mau tidak mau akhirnya aku menggeser layar ponselku ke tombol hijau, setelah satu jam terakhir ini aku mengabaikan panggilan telepon Seungcheol kurang lebih sebanyak sembilan kali.

"Halo?"

"Akhirnya kau mengangkat panggilan teleponku." terdengar suara protes jengkel dari Seungcheol.

"Ada apa? Kalau tidak ada yang penting, berhenti meneleponku terus-terusan!" seruku tidak kalah jengkelnya.

"Tentu saja aku punya alasan yang penting untuk meneleponmu."

"Apa?"

"Tadi pagi kau pergi saat aku masih tidur. Jadi aku ingin mendengar suaramu," aku bisa merasakan sebuah seringaian dalam suara Seungcheol. "Biasanya orang yang sedang kasmaran seperti aku akan selalu ingin mendengar suara orang yang dicintainya."

Rayuan tidak bermutu Seungcheol membuatku mendengus, sedangkan di seberang sana Seungcheol sedang tertawa-tawa kecil.

Apa dia merasa geli sendiri dengan ucapannya yang bagiku sungguh menggelikan itu?

Tanpa bisa dicegah, mendengar suara tawa Seungcheol membuatku ikut tersenyum. Untunglah Seungcheol tidak ada di depanku saat ini. "Kalau tidak ada hal penting yang ingin kau bicarakan, aku akan menutup teleponnya."

"Jangan!" sergah Seungcheol cepat. "Sebenarnya aku meneleponmu karena ingin bertanya padamu. Apa kau masih marah padaku karena masalah jadwal bersih-bersih kamar kemarin?"

"Begitulah," sahutku dengan mulut yang mengerucut kesal untuk menegaskan maksudku meskipun aku tahu Seungcheol tidak bisa melihat wajah ataupun ekspresiku sekarang.

"Apa dengan sebuah permintaan maaf kau akan tidak marah lagi padaku?"

"Aku tidak tahu."

"Bagaimana dengan sebuah permintaan maaf dan traktiran makan sepuasmu?"

"Mungkin saja," jawabku skeptis.

"Baiklah. Bagaimana dengan sebuah permintaan maaf, traktiran makan sepuasmu, dan aku akan menggantikan jadwalmu bersih-bersih kamar selanjutnya?"

"Setuju!" kataku cepat dengan nada yang lebih bersemangat.

Aku mendengar Seungcheol menghembuskan napasnya. "Jeonghan, maafkan aku karena membuatmu menggantikan tugasku membersihkan kamar."

"Baiklah."

"Selanjutnya aku akan mentraktirmu makan hari ini. Apa kau sudah selesai dengan urusan klub tenis?"

"Sebentar," aku menjauhkan ponsel dari telingaku dan menoleh ke arah Jisoo yang tengah menatap ke tengah lapangan, tempat anggota klub lain sedang latihan. "Apa tidak apa-apa kalau aku pergi duluan?"

"Apa kau sudah memutuskan untuk masuk atau tidaknya di klub tenis?" Jisoo balik bertanya.

"Ya, karena kau berjanji akan mengajariku, aku akan masuk klub tenis," jawabku. "Tapi apa bisa aku memulainya minggu depan saja?"

"Tentu saja."

"Seungcheol?" seruku setelah kembali menempelkan ponsel ke telingaku. "Aku sudah selesai dengan urusanku. Kau ingin kita janjian di mana?"

"Menolehlah ke belakang."

Aku menoleh menuruti perintah Seungcheol.

Di sana, di bawah pohon besar yang terletak di luar pagar besi yang melingkari lapangan tenis, Seungcheol yang memakai kaus hitam berlengan panjang berdiri dengan posisi tubuh yang menyandar santai ke pohon dengan tangan kanannya yang melambai ke arahku sementara tangan kirinya memegangi ponsel yang menempel di telinganya.

Apa dia sedang berlagak seperti bintang model dengan pose yang sok keren seperti itu?

"Tunggu aku sebentar," sebelum Seungcheol sempat menjawab apapun, aku sudah mematikan ponselku dan kembali meletakkannya di dalam tas punggungku.

Ketika aku menoleh kembali ke arah Jisoo, Jisoo ternyata juga sedang menatap ke tempat Seungcheol tengah berdiri menungguku.

"Sepertinya kau sudah ada urusan lain," kata Jisoo setelah kembali membalas tatapanku. "Kau ada janji dengan Seungcheol?"

Kenapa tiba-tiba tanpa alasan aku menjadi merasa tidak enak kepada Jisoo?

"Apa kau ingin ikut bersama kami?" tanyaku berbasa-basi. "Rencananya kami akan makan di luar."

"Tidak usah, aku masih ada urusan di sini," Jisoo kembali memberikan senyumnya kepadaku. "Tidak apa-apa. Kau pergi saja."

"Aku pergi dulu," aku berdiri dari dudukku. "Terima kasih sudah mengajakku melihat-lihat latihan klub tenis. Sampai jumpa lagi di asrama."

Jisoo merespon salam perpisahanku dengan lambaian tangannya, sebelum akhirnya aku setengah berlari keluar dari lapangan tenis dan menuju ke tempat Seungcheol sedang menungguku.

Seungcheol menyambutku dengan cengiran khasnya ketika aku sudah tiba di depannya. Dia mengulurkan tangan kanannya dan menyisir rambutku dengan jari-jarinya. "Kau tidak mengikat rambutmu padahal kau akan bermain tenis?"

"Tadi aku sudah mengikat rambutku, tetapi karet yang kugunakan putus," jelasku sambil menikmati permainan jari Seungcheol di sela-sela rambutku. "Lagian hari ini aku hanya melihat-lihat dan tidak berniat untuk ikut bermain. Kau sudah lama di sini?"

Gerakan tangan Seungcheol berhenti, begitu pula dengan senyumnya yang seketika menghilang. "Cukup lama untuk melihat adegan Jisoo mengusap-usap rambutmu."

Aku memutar bola mataku, tidak mengacuhkan perkataan Seungcheol. Lebih baik aku mengganti topik pembicaraan saja. "Jadi kita akan pergi makan ke mana?"

"Terserah padamu."

"Setidaknya beri aku rekomendasi tempat makan yang enak di sekitar sini."

Seungcheol tidak langsung merespon perkataanku karena tiba-tiba ponselnya berdering. Dia menjauhkan tangannya dari rambutku dan membaca pesan yang masuk untuknya dalam diam.

"Jeonghan, sepertinya kita tidak jadi makan hari ini."

"Kenapa?" tanyaku dengan nada sedikit kesal membayangkan kesempatan makan makanan enak sepuasnya tiba-tiba sirna.

Tanpa berkata apa-apa, Seungcheol menunjukkan ponselnya padaku, memintaku untuk membaca pesan yang baru saja dibacanya.

Dari Soonyoung.

Dia bilang Jihoon sedang ada dalam masalah. Soonyoung menunjukkan suatu tempat dan meminta aku atau Seungcheol untuk datang segera ke sana.

"Kau tahu di mana tempatnya?" tanyaku sedikit panik.

"Ya," jawab Seungcheol. "Kau tidak masalah jika kita berlari?"

"Tidak masalah."

"Tenang saja, aku tahu jalan yang bisa membuat kita meuju ke sana dengan cepat. Ikuti aku!"

Setelah mengucapkan itu, Seungcheol berlari mendahuluiku sementara aku mengekor di belakangnya.

"Kau tetap punya hutang padaku untuk metraktirku makan," kataku di sela-sela berlari.

Aku bisa mendengar Seungcheol menggumamkan kata 'iya' dan disusul dengan kalimat 'aku akan mentraktirmu makan sepuasmu kalau urusan merepotkan ini sudah selesai'.

Sekitar sepuluh menit lebih kami berlari, akhirnya aku mengikuti Seungcheol berhenti di belakang sebuah bangunan tua yang ternyata masih termasuk dalam wilayah kampus Iris Art University. Sebuah gedung tua yang sudah tidak terpakai.

Aku merutuki diri sendiri karena napasku yang sedikit terengah-engah sehabis berlari sementara napas Seungcheol masih teratur. Selama di sini aku memang benar-benar kurang berolahraga. Berlari sebentar dan aku sudah tersengal-sengal seperti ini.

Di mana Soonyoung?

Seungcheol meletakkan tangan di atas pundakku untuk meminta perhatianku dan menunjuk gerombolan orang di ujung lorong dengan Jihoon yang dikepung di antara mereka.

Tidak salah lagi, laki-laki yang mengepung Jihoon adalah laki-laki yang sama yang mencari gara-gara beberapa hari yang lalu.

Seketika emosiku memuncak. Aku melangkahkan kaki mendekati gerombolan itu dan mengabaikan helaan napas Seungcheol ketika kulihat mereka sedang memperlakukan Jihoon dengan tidak menyenangkan. Aku bisa melihat bekas merah di pipi kanan Jihoon

Apa yang mereka lakukan pada Jihoon?

Mereka benar-benar membuatku kesal. Kesabaranku benar-benar sudah habis.

Aku menarik kerah belakang baju salah satu dari laki-laki yang membelakangiku. Dan ketika dia menoleh padaku, tanpa aba-aba aku langsung melayangkan tinju dengan tangan kiriku dengan sekuat tenaga di rahangnya dan membuatnya terduduk terjatuh.

Kejadian tiba-tiba itu membuat laki-laki yang lainnya tercengang sebentar karena kaget. Setelah mereka berhasil menguasai kekagetan masing-masing, mereka mulai waspada dan berbaris menghadapku. Beberapa memandangku dengan tatapan sengit dan beberapa ada yang memandangku dengan tatapan mengejek.

Sial. Ternyata jumlah mereka lebih banyak dari yang kemarin. Aku hitung sekarang mereka ada tujuh orang. Aku mengenali empat di antaranya namun tidak tiga yang lainnya, yang salah satunya adalah laki-laki yang masih duduk merintih kesakitan memegangi rahangnya akibat tinjuan dariku.

"Akhirnya kau datang juga," kata laki-laki yang aku kenali sebagai laki-laki yang memakai topi tempo hari. "Sekarang kami siap melawanmu dengan jumlah kami yang lebih banyak. Dan setelah kami sudah selesai denganmu, kau akan menangis dengan tubuh babak belur."

"Apa dia yang menghajar kalian?" tanya laki-laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya dengan nada bingung. "Sangat tidak mudah dipercaya melihat orang secantik dia bisa menghajar kalian seperti itu."

"Kau jangan melihat dari tampangnya," gumam salah satu di antara mereka yang pernah aku hajar. "Wajahnya memang cantik, tapi pukulannya sangat keras."

Aku melirik sebentar ke arah Jihoon untuk memastikan kondisinya. Dia balas menatapku dengan tatapan meminta maaf. Pelipisnya masih berdarah dan pipinya juga mulai membiru.

Sebenarnya di mana Soonyoung? Kalau dia tahu Jihoon sedang dalam kesulitan, itu berarti dia sedang ada di sekitar sini.

Perhatianku seketika kembali terfokus dengan apa yang terjadi tepat di depanku ketika dengan cepat Seungcheol menahan pergelangan salah seorang laki-laki yang berusaha menyerangku di saat aku sedang tidak dalam keadaan waspada. Dengan keras Seungcheol meninju wajah laki-laki tersebut, membuatnya terhuyung kebelakang dan merintih kesakitan dengan tangan memegangi hidungnya yang berdarah.

Mau tidak mau aku harus mengakui bahwa kekuatan dan kecepatan Seungcheol benar-benar memukau. Aku harus mengingat untuk jangan sampai membuat masalah dengannya sampai harus berujung pada perkelahian.

"Terima kasih," bisikku pada Seungcheol yang berdiri di sampingku. "Sepertinya aku telah melibatkanmu dalam hal ini"

"Tidak masalah. Tentu saja aku tidak mau melihatmu terluka sedikitpun seperti sebelumnya," Seungcheol melipat lengan kaosnya dengan santai. "Ayo kita cepat selesaikan pekerjaan yang merepotkan ini."

***

"Siapa yang baru saja kau telepon?" Seungcheol bertanya ketika aku kembali memasuki ruangan.

"Paman Han," jawabku kemudian mengambil duduk di samping Seungcheol. "Aku meminta tolong Paman Han untuk mengurus gerombolan laki-laki brengsek tadi supaya tidak berulah lagi lain kali."

Terima kasih pada Seungcheol karena berkat dirinya urusan membereskan mereka bisa cepat selesai dengan mudah. Aku bahkan tidak terluka sedikitpun.

Setelah kami berdua berhasil menghajar mereka bertujuh, Soonyoung baru keluar dari tempat persembunyiannya, yang sampai sekarang aku tidak tahu di mana, dan mengusulkan untuk kami pergi dari tempat itu untuk mencari tempat yang lebih nyaman. Dan akhirnya sekarang kami berakhir di kamar Jihoon dan Soonyoung.

Sementara aku dan Seungcheol duduk di atas tempat tidur Soonyoung, Jihoon tengah duduk di atas tempat tidurnya dan sedikit meringis kesakitan saat Soonyoung sedang mengobati luka-lukanya.

"Pelan-pelam sedikit!" seru Jihoon sedikit membentak Soonyoung.

"Iya," Jawab Soonyoung sambil terus menutulkan obat merah di pelipis Jihoon.

"Aduh!" Jihoon meringis. "KWON SOONYOUNG! AKU BILANG PELAN-PELAN!"

"Ini juga sudah pelan-pelan," balas Soonyoung masih dengan suara kalemnya. "Jihoon, tenanglah sedikit. Jangan teriak-teriak."

"BAGAIMANA AKU BISA TENANG?! SAKIT TAHU!"

"Iya, aku tahu," Soonyoung menghela napasnya setelah memakaikan plester di atas luka di pelipis Jihoon. "Luka di pelipis sudah selesai. Sekarang aku akan mengompres lebam di pipimu."

Soonyoung mencelupkan sebuah handuk kecil ke dalam sebuah baskom berisi es batu, memerasnya sedikit dan kemudian dengan pelan menempelkannya ke pipi Jihoon yang lebam.

Jihoon kembali merintih kesakitan. "KWON SOONYOUNG! APA KAU SENGAJA MENEKANNYA DENGAN KERAS SUPAYA AKU KESAKITAN?!"

"Tentu saja aku tidak melakukannya."

"Ternyata mereka akrab juga," bisikku kepada Seungcheol. Aku mengabaikan bentakan demi bentakan Jihoon pada Soonyoung serta balasan kalem menenangkan dari Soonyoung yang meminta Jihoon untuk tidak berteriak ataupun menggerak-gerakkan wajahnya dulu. "Padahal baru kemarin aku mendengar dari Soonyoung kalau dia sangat tidak dekat dengan Jihoon."

"Apapun bisa berubah dengan cepat," Seungcheol balas berbisik kepadaku dan menyandarkan kepalanya di pundak kiriku. "Ternyata Lee Jihoon memang segalak rumor yang beredar tentangnya selama ini."

Aku terkekeh."Tapi dia adalah orang yang baik kalau kau sudah mengenalnya."

"Apa kau akan mengajak Jihoon berbicara sekarang?"

"Aku akan menunggu Soonyoung mengobati luka-lukanya terlebih dulu," aku menarik lengan kiriku ke belakang dan menyusupkan jari-jariku ke rambut belakang Seungcheol dan mengusap-usapkan tanganku di sana. "Apa kau terluka?"

Seungcheol menghembuskan napasnya, senang atas perlakuanku. "Tidak sama sekali. Kau sendiri?"

"Aku juga tidak."

"Bukankah tadi kerja tim kita sangat kompak tadi? Kita bisa menyelesaikan mereka dengan seefisien dan seefektif mungkin."

"Ya," sahutku menyetujui. "Untunglah tadi ada kau yang membantuku di sana."

Bentakan-bentakan Jihoon sudah tidak lagi terdengar dan ruangan tiba-tiba hening. Aku juga hanya diam memperhatikan Soonyoung yang mengoleskan salep ke pipi Jihoon sementara tanganku masih mengusap dan pelan-pelan meremas-remas rambut belakang Seungcheol yang kepalanya masih disandarkan di pundakku.

"Sudah selesai," Soonyoung mengumumkan dan kemudian mulai membereskan perlengkapan obatnya. "Bengkak di pipimu akan berdenyut-denyut nyeri. Tapi beberapa hari bengkaknya akan mengempis dengan cepat asal kau rutin mengolesinya dengan salep."

"Terima kasih," sahut Jihoon pelan.

Soonyoung memberikan senyum lebar cerianya kepada Jihoon. "Sama-sama."

Aku menarik tanganku dari rambut Seungcheol dan meletakkannya di atas pangkuanku. "Jihoon, aku ingin berbicara denganmu."

Perhatian Jihoon dan Soonyoung teralih padaku.

Jihoon menghembuskan napasnya. "Aku tahu kalau kau ingin bericara denganku. Sejak kemari Kwon Soonyoung selalu membuntutiku ke mana pun aku pergi untuk memintaku berbicara denganmu."

Aku memandang Soonyoung dengan tatapan terima kasih yang dibalas dengan cengiran lebar olehnya.

Omong-omomg sampai kapan Seungcheol akan menyandarkan kepalanya dengan santai di pundakku seperti ini? Apakah dia tidak tahu bahwa aku sedang ingin berbicara serius pada Jihoon?

Apakah dia tidak menyadari bahwa suasana di antara kami sudah semakin serius?

Dasar Seungcheol bodoh!

***

Semoga kalian suka dan terima kasih sudah bersedia membaca cerita ini :)

Terima kasih untuk kalian yang mau mengapresiasi tulisanku dengan memberi vote dan comment. Vote dan comment kalian benar-benar membuatku semangat untuk melanjutkan cerita ini.

Noerana^^

Continue Reading

You'll Also Like

46.8K 4K 84
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...
62.7K 6.5K 20
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
34.2K 7.6K 38
Selama ini Taehyun tidak pernah menyadari jika cowok populer di kelasnya itu berhasil membuat dirinya menjadi seperti orang bodoh karena jatuh cinta...
228K 34.3K 62
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...