SAMSARA (ON HOLD)

By Cendarkna

71.5K 6.6K 785

Tidak tahan dengan kediktatoran ibunya membuat Agnia Zarathustra memilih kabur dari rumah dan melempar diriny... More

Samenvatting
Voorwoord
Een - Molenvliet Kanaal (Kanal Molenvliet)
Twee - Filosofie Klasse (Kelas Filsafat)
Vier - Tweeling Torens (Menara Kembar)

Drie - Schaduw (Bayangan)

10.2K 1K 150
By Cendarkna

Sendok teh kumainkan di jari-jemari. Aku mengulumnya seraya membuka sebuah buku yang kupinjam dengan mengantongi rasa penasaran. Sejak pertemuanku dengan dosen songong itu, aku dibikin penasaran terhadap hal-hal berbau Franz Kafka. Sejujurnya, aku benci Filsafat. Namun bagian dari diriku yang merutuki nama belakang filsuf tersebut mendorong keinginanku masuk ke perpustakaan dan menyeret buku The Metamorphosis karangannya. Aku mengemasi barang-barangku ke dalam tas bersamaan bunyi ponsel meraung-raung di samping tangan. Melihat nama "Pak Narayana" pada display, spontan kuangkat benda itu dengan jantung berdegup kencang.

"Zara, saya bisa ditemui sekarang."

Senyum sumringah terkembang di bibir. "Oke, Pak. Saya ke kantor Bapak." Secepat kilat aku membayar teh chamomile yang kupesan dan berlarian kecil keluar kafe.

Matahari bersinar redup, mengintip malu-malu di balik awan kelabu. Meski tak begitu panas, polusi udara sedikit menyesakkan paru-paru. Kebiasaan tinggal di sekitar sawah Bali barangkali membuat aku tak begitu nyaman berhadapan dengan kota sebesar ini.

Mahasiswa-mahasiswi ramai memadati kampus. Beberapa di antara mereka melemparkan perhatian ke arahku dan menelisikku dari ujung kepala sampai ujung sepatu. Syukurkan aku terbiasa dihujani tatapan beragam dari makhluk-makhluk seperti mereka hanya karena penampilanku yang tak konvensional—bagi mereka, mungkin—dengan dress sebatas lutut hitam dan sepatu bot bertali sepanjang betis. Persetan apa kata orang. Aku berpenampilan bukan untuk dinikmati orang lain, melainkan kunikmati sendiri sebagai bentuk apresiasi terhadap seni.

Pak Narayana duduk menghadap laptopnya. Kepalanya terangkat begitu melihat kedatanganku. Wajahnya terlihat sumringah seolah bertemu denganku adalah suatu hal yang menakjubkan. Ah, demikian pula denganku, Pa. Seandainya kau tahu betapa senang hati ini pada akhirnya dapat berjumpa denganmu, meskipun batinku terus berbisik mempertanyakan sebab apa kau tinggalkan aku waktu dalam kandungan Mama.

"Duduklah," perintahnya. Aku duduk di depan mejanya. "Saya senang kamu punya keinginan kuat untuk membantu penelitian saya. Tapi, Zara..." Ia meletakkan kacamata beningnya di sebelah cangkir bergambar abstrak, "Rupanya dosen lain mengajak saya berkolaborasi. Saya menolak karena teringat kegigihan kamu."

Sudut bibirku tertarik ke bawah. "Kalau penelitian ini sangat penting, saya rasa Bapak ambil saja tawaran dosen lain untuk berkolaborasi."

"Tapi, Nak..."

"Tidak apa, Pak. Kan kapan-kapan bisa mengajak saya." Meskipun kecewa, aku bersyukur ia tak memilihku sebagai partner penelitiannya. Tebak mengapa? Karena aku benci karya sastra dan tak sudi menelitinya. Seperti tak ada kerjaan lain saja. Aku bisa mencari celah atau cara lain untuk mendekatinya secara perlahan dan akhirnya memiliki kesempatan mengobrol. Memberi tahu bahwa aku adalah putrinya yang ia campakkan.

Kadang aku merasa hidupku sedramatis sinetron murahan dengan episode ribuan.

Pak Narayana mengangguk setengah hati. Ia menghiburku dengan berkata bahwa aku bisa menghubunginya kapan saja bila butuh bantuan atau memerlukan waktu berdiskusi bersama. Ia tak tahu bahwa alasanku bersedia menerima tawarannya lantaran keinginanku dekat dengannya, bukan karena aku rajin. Seandainya bukan ia yang meminta, sudah pasti kutolak mentah-mentah. Lebih baik aku kahyang di depan Monas daripada mengikuti kegiatan diskusi membosankan, terlebih membantu penelitian seorang dosen.

Kantor dosen kutinggalkan beberapa saat kemudian. Pak Narayana memiliki jam kelas. Aku bukan seorang mahasiswa yang maniak pada dosen agar diberi nilai bagus—dan tak ingin mahasiswa di kampus ini menganggapku demikian. Maka, kulenggangkan kaki melintasi lorong panjang yang diisi keributan dalam berbagai bahasa.

Yeah, selamat datang di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya! Di mana kau bisa mendengar beragam bahasa asing diucapkan dari lidah Indonesia yang masih tergelincir di beberapa bagian pengucapan. Aku seperti berada di negara asing tiap kali memasuki bangunan ini.

*

"Ada Open Recruitment buat kru pementasan drama yang diproduksi dosen-dosen FIB loh. Kamu ikutan nggak?" suara Rana sayup-sayup terdengar dari sela-sela musik yang kudengar melalui earphone.

Aku mematikan musik sebentar dan menoleh untuk bersitatap dengan gadis kalem berwajah manis di sampingku. "Ogah."

"Kenapa?" Rana mengerutkan dahi. "Kamu cantik. Cocok buat aktris panggung."

Bola mataku terputar ke atas. Aku menutup The Metamorphosis dan bersendang dagu mengamati beberapa mahasiswa yang berseliweran di perpustakaan kampus.

"Aku nggak suka disorot publik." Memang itu alasan pertamaku. Dan aku memiliki riwayat penyakit 'demam panggung'. Hal tersebut diakibatkan oleh trauma di masa kecil sewaktu aku menampilkan sebuah drama panggung dan melakukan kesalahan. Aku terjatuh di atas panggung, ditertawai teman-temanku, lalu menangis seharian. Tolol.

"Coba aja. Tim produksinya nggak main-main loh. Pak Narayana jadi produsernya."

Praktis saja mataku memelotot nyaris melompat dari rongga. "Pak Naray produser?" Kok ia tak mengabariku atau mengajakku bermain? Jangan berharap terlalu berlebihan, Agni. Ia membatasi diri sebagai dosen. Di sini, ia bukanlah Papamu.

Aku merosot di atas meja dengan dagu terbenam pada sampul buku. "Aku takut main drama."

Rana menelengkan kepala ke satu sisi, mengamatiku dari balik mata jernihnya. "Kenapa?"

"Aku trauma. Dulu pernah main drama, terus jatuh." Kepalaku terangkat. Teringat olehku mimpi waktu itu, di mana aku menjelma menjadi seorang bintang yang memiliki bakat berakting, menyanyi, dan bermain musik di atas panggung. "Aku adalah bintang yang jatuh." Kalimat terakhir tersebut seperti memberi penekanan pada dua makna. Jatuh, semasa aku kecil. Dan jatuh, yang mengarah pada makna lain, entah apa.

Bahuku diusap oleh Rana. "Aku baru tahu kamu punya trauma. Maaf ya."

Kendati demikian, batinku mencericit di dalam, berbisik meminta aku ikut audisi untuk ikut mengambil peran. Perang batin terjadi saat aku berpikir apakah kutanyakan soal produksi pementasan tersebut pada Pak Narayana. Jika aku bertanya dan pada akhirnya mengikuti audisi—atau katakanlah aku bisa saja terpilih—aku khawatir orang-orang menganggap negatif kedekatanku dengannya. Bibirku mengerucut ke atas. Ck. Aku tak akan ikut. Mungkin begitu lebih baik.

Perpustakaan lengang sore harinya. Aku dan Rana memutuskan mengangkat kaki dari sana. Mendung menggantung di kaki langit sewaktu kami keluar dari perpustakaan. Aku menengadah mengamati gumpalan kelabu yang berarak perlahan bak parade di tengah kota. Selang beberapa detik seraya mendengarkan cerita Rana yang tidak dicerna oleh pikiranku, seseorang menyapa. Suara bariton Pak Narayana yang praktis menghentikan laju cericit Rana.

"Loh Nak Zara, suka baca, ya?"

Aku menyengir kuda. Tidak juga. Aku hanya menemani Rana menimbun dirinya di balik tumpukan buku sekaligus menyelesaikan The Metamorphosis yang herannya benar-benar kubaca nyaris sampai habis.

"Cuma iseng, Pak."

"Tidak ada belajar karena iseng." Ia tersenyum manis madu. "Oh ya, saya lupa mengabarkan kalau dosen-dosen FIB mengadakan pertunjukan teater dan membutuhkan kru. Kamu mau bergabung? Kami membuka peluang mahasiswa untuk mengikuti audisi keaktoran dan tim panggung lain."

Panjang umur. Aku menoleh ke arah Rana yang mengangkat kedua alisnya. Sedangkan Pak Narayana menampilkan wajah penuh harap, seakan benar-benar ingin aku bergabung ke dalam pertunjukan tersebut.

"Sebenarnya, saya nggak bisa akting, Pak," kataku kalem seraya mengaitkan rambut ke belakang telinga sedikit rikuh.

"Kan belum dicoba. Pernah main drama?"

"Saat masih kecil." Dan di dalam mimpi. Jangan-jangan mimpiku ini memang pertanda atau pesan bahwa aku akan segera dekat dengan Papa melalui seni pertunjukan. Itulah sebabnya mimpi tersebut tiada berhenti dan terus mengekor seakan-akan mengejar sesuatu yang sepatutnya kudapatkan.

"Tidak apa, loh. Nanti coba isi formulirnya ya, pilih mau bergabung di bagian mana. Keaktoran atau tim panggung." Ia merogoh ke dalam tas kerja, mengeluarkan secarik kertas dan mengangsurkan padaku. Kuterima kertas tersebut tanpa berkedip. "Terus kirim ke saya saja. Kalau kamu tertarik ikut keaktoran, kamu datang dan ikuti audisinya. Waktu dan tempat sudah tertera di sini." Telunjuknya dijatuhkan pada barisan kalimat pada bagian bawah kertas.

"Kalau nggak keterima jadi aktor bagaimana, Pak?" Kuangkat kepala.

"Bisa bergabung ke tim panggung. Mungkin di bagian kostum, artistik, dan lainnya."

Bibirku terkembang membentuk senyum. "Saya tertarik ke bagian artistik. Siapa tahu, saya bisa bantu membuat gambaran panggungnya."

"Boleh. Tapi coba keaktoran dulu ya. Saya lihat, wajah kamu ini cocok buat pemain utama. Tahu sendiri kan kalau karakter utama dipilih bukan hanya karena pintar akting atau memiliki rupa bagus. Tapi karena feel." Ia mengeluarkan sebuah bundelan kertas dan menyerahkan padaku. "Saya punya salinan naskah dramanya. Buat kamu saja."

Kuperhatikan naskah drama tersebut dengan saksama. Sebuah pertunjukan drama yang mengangkat kisah Ramayana. Aku menggigit bibir bawah membayangkan diriku menjadi seorang Sinta. Lalu terbahak dalam hati. Mana mungkin ia cocok denganku.

"Terima kasih."

Pak Narayana menyelipkan senyum sebagai balasan ucapan terima kasihku. Ia berpamitan padaku dan pada Rana, memasuki perpustakaan. Punggungnya lenyap di balik tikungan. Sekali lagi, kuperhatikan naskah drama di tanganku.

*****

Henry Cromwell yang masih tampan di usia matang datang lagi ke kediamanku. Aku membenahi gaun pendekku sebelum menyambut kedatangannya. Ia mengisap cerutu, meneliti setiap sudut rumah ini, dan berdecak penuh penilaian. Dalam bahasa Inggris, ia berbisik di samping seorang pria Eropa yang tak lebih tua darinya. Bisikannya sampai di tempatku ketika kudekati ia seraya memasang tampang ramah.

"Selamat datang. Saya tidak menyangka seorang pengusaha kaya macam kau bersedia bertandang ke kediaman saya yang tak seberapa besar ini, Tuan."

Henry Cromwell terkekeh-kekeh mendengar ucapanku. Ia mengamatiku dengan saksama bagaikan bertemu seorang dara yang hendak dijadikannya hareem. "Benar apa yang dikata Overstraten. Cantik sekali kau ini."

Si bajingan itu rupanya. Aku mencium bau konspirasi. Ada sesuatu yang diinginkan Overstraten pada pengusaha Inggris ini. Jika tidak, mana mungkin ia bersedia mempromosikan aku pada lelaki lain yang—menurut Raminten—memiliki kekayaan berlipat ganda darinya.

"Sekiranya Tuan bersedia masuk ke dalam dan menikmati secangkir teh? Di pekarangan belakang suasananya lebih nyaman. Mari, Tuan."

"Thank you so much, Dear."

Kami bergegas menghampiri pekarangan belakang. Raminten yang mencuri lirikan pada pria-pria Eropa tersebut memberi tabik padaku, berjalan setengah bungkuk sebagai penghormatan, melenggang menghampiri dapur untuk menyiapkan suguhan pada tamu.

Pekarangan belakang rumah ini ditumbuhi berbagai tanaman. Henry menghirup dalam-dalam aroma udara segar dan menoleh pada lelaki muda di sampingnya. Ia memperkenalkannya padaku. Kiranya ia adalah putra atau sanak saudara?

"El, ini kaki tanganku. Namanya William."

Kaki tangannya seorang lelaki Eropa, bukan pribumi. Kusangka William ini putranya, sebab ia sama tampannya seperti Henry. William mengangguk padaku. Kupersilakan kedua pria itu duduk memutari meja bundar kecil di samping kebun bunga melati yang aromanya semerbak dibawa angin sampai di penciuman kami.

Raminten datang dengan baki yang diisi tiga cangkir dan sebuah teko. Ia menuangkan teh ke masing-masing gelas, lantas memberi tabik sebelum berlalu pergi. Kupersilakan dua pria di depanku meraih cangkir mereka. Aku mendahului diikuti oleh Henry.

"Apa kiranya maksud kedatangan Tuan kemari, kalau saya boleh tahu?"

"I'm curious about you."

"Mengapa demikian?"

"Aku mendengar banyak hal tentang kau. Bintang kenamaan yang bersinar di Hindia-Belanda. Sebetulnya, aku ingin mengundang kau untuk memainkan musik di pestaku nanti, Eleanor. Bersedia? Akan kubayar kau besar." Senyum tipisnya terkembang.

Sebelah alisku terangkat. Aku mengusap dagu, pura-pura berpikir, meski tawarannya cukup menjanjikan. Kumainkan gelang di tangan seraya mencuri lirik menuju ke arahnya.

"Boleh saja, Tuan."

Ia tersenyum. "Sungguh, tak mampu kujelaskan betapa senang hatiku mendengarnya."

"Sudah tahu berapa tarif yang harus kau bayar dalam semalam? Maksudku, tarifku menghibur tamu-tamumu dengan sentuhan jari-jemariku pada barisan tuts piano." Aku menjalankan jemariku di atas meja.

Ia meletakkan cangkir usai menyesapnya sekali. Bola matanya melirik sekilas menuju William yang mengangguk. Pada akhirnya, ia mengulurkan tangan ke arahku meminta sambutan. Dan kubalas sambutan tersebut dengan jabat tangan sepakat.

*

Ranting pohon malam itu berderakan jatuh

Ia didera angin sama yang menyapu rambutmu dari helai ke helai

Bagai benang yang dipintal di antara kegelisahan seorang

perempuan

Duka

Bahagia

Nestapa

Tawa

Apa kiranya yang dibutuhkan seorang perempuan pemintal

yang hanya mendamba segayung mata air

darimu, Kasih?

Ia melompati batu demi batu

Memangkas keheningan

Menyibak tirai malam

Namun tiada seorang pun mendengar nyanyian pilu

kala bayangan indahnya terseret nun jauh

Aku terpana sementara waktu membaca bait-bait puisi yang diterbangkan angin sampai di pangkuanku malam itu. Di depan kanal Molenvliet seperti malam-malam lalu usai menemani seorang sutradara yang hendak menggunakan aku sebagai aktrisnya lagi.

Puisi yang ditorehkan sebuah tinta dengan tulisan indah, terjalin disertai ruh yang melekat, mendamaikan. Senyum tak kuasa terbendung, tumpah ruah di wajah, menciptakan tarikan besar pada bibirku ibarat bulan sabit. Aku tak pernah merasa sebahagia ini membaca sebuah puisi asing yang tak kutahu dari mana asalnya. Seolah puisi tersebut dibuat khusus untukku seorang.

"Ah, di sini rupanya." Suara seseorang spontan mengejutkan aku yang menyelami keindahan tulisan di tanganku.

Mendongak ke atas, aku mengernyit dipertemukan lagi dengan Panji Kertabumi yang berdiri tanpa meninggalkan sebatang rokoknya di sela-sela gigi. Telunjuknya teracung pada secarik kertas yang kugenggam.

"Apa?" sergahku.

"Itu. Punyaku."

Mulutku ternganga. Puisi yang diterbangkan angin dan sampai di pangkuanku ini miliknya? Tak dapat kupercaya! Aku mencebik kecewa. Kusorong kertas tersebut secara kasar padanya. Diterimanya kertas itu, lalu tanpa seijinku mengambil posisi di sampingku. Duduk menekuk lutut mengamati sungai yang mengalir di bawah kami. Kami tak saling bicara, membiarkan kebisuan merajam satu sama lain. Namun akhirnya, aku membuang napas, menoleh ke samping.

"Kau benar penulisnya?"

"Kau ragukan aku, El?" Ia menggeleng-geleng meninggikan nada. "Seandainya aku bukanlah penulis yang baik, mana mungkin aku dipercayai sebagai kepala redaksi sebuah kantor surat kabar. Ckckck."

Aku melengos. Kupeluk lututku yang mulai dingin. Dagu kubenamkan di pucuk sana. Pandangan tetap terarah pada air yang mengalir.

"Apa lagi yang membuat kau ingin terjun ke sungai?" sambungnya.

"Siapa yang ingin terjun?" seruku. "Aku hanya ingin menekurinya. Malam-malam seperti biasa, aku duduk atau berdiri di kanal ini sekadar menikmati udara segar. Di dalam Harmonie penuh dan sesak. Aku tak suka." Kujatuhkan perhatian lurus ke depan. Ia menawariku sebatang rokok, namun aku menolak. Tidak untuk saat ini. Aku sedang tak bersuasana hati baik untuk merokok.

Panji menyulutkan api pada rokoknya. Ia mengisap dan menghembuskan asap ke udara, berkelebatan di sekitarku.

"Meski menampik, kau tampak merana," tuturnya. "Kenapa?" Aku tak menjawab, sebab kubenarkan ucapannya. Aku memikirkan nasib bocah perempuan yang kini berada dalam genggaman Overstraten tanpa kutahu kabarnya. Apa yang dilakukan bajingan itu? Menjualnya? Akan kubunuh ia dan memotong tubuhnya untuk kulempar ke sungai ini bila benar. Aku memilih memerhatikan nasib orang lain daripada diriku sendiri. Ah, Magdalena, tak seharusnya kau dibawa pergi. Kau tanggung jawabku kini. Apa yang perlu kukatakan pada Mama?

Kepalaku tengadah mengamati bintang-gemintang, mengajak Mama bercengkerama melalui tatapan mata.

"Kau masih punya orangtua, kan?" bisikku.

Panji melempar puntung rokok ke dalam sungai, merelakannya tenggelam dan dibawa arus. Ditatapnya aku kemudian. "Kenapa kau tanyakan orangtuaku? Seharusnya kau jawab pertanyaanku, Sayang."

"Jangan panggil sayang. Memuakkan." Aku menoleh ke arahnya. "Kupikir kau berbeda seperti lelaki Indo-Eropa, Indische, Totok, dan sebangsatnya di luar sana."

Sudut bibirnya turun. Ia menggulung kertas puisinya. "Berapa persen pikiranmu itu?"

"Entahlah. Yang pasti besar."

"Mengapa?"

"Jarang kutemui peranakan memikirkan nasib pribumi. Apa sebabnya demikian kalau kau tak berbeda dari kebanyakan Indo-Eropa di luar sana?"

Ia terkekeh-kekeh. Diangsurkannya gulungan kertas puisi tersebut padaku. "Terimalah."

Mataku terpicing skeptis. Kuterima kertas tersebut tanpa kata. Kami tak lagi saling bicara selain menyelami pikiran masing-masing selama beberapa waktu. Hatiku tak kunjung tenang. Terlalu banyak beban pikiran yang meracau dan aku tak tahu harus mengakhirinya bagaimana. Aku ingin terlepas dari belenggu macam ini.

"Soal orangtua yang kau tanyakan," Panji membuka suara. "Memang punya. Tapi tak ada guna." Ia memain-mainkan rokok di tangan yang dipungut dari sakunya. Ditatapnya aku cukup lama. "Ibuku mati beberapa tahun lalu karena sakit tak terurus."

"Ibuku juga mati beberapa tahun lalu. Bukan karena sakit, melainkan dibunuh." Ada sentakan dalam dada tiap kali teringat hal tersebut. Rasanya, harus ada yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Tanganku teremas mengingat-ingatnya. "Dia jatuh cinta dengan seorang pribumi. Kau tahu, seorang gundik dilarang jatuh cinta, selain Tuan yang membeli dan memperbudaknya. Kau tahu betul hukuman apa yang diterima seorang gundik yang berani-beraninya jatuh cinta pada seseorang selain Tuannya. Disalib di bawah terik matahari karena dianggap berdosa." Aku tertawa tak bersuara. "Mereka membicarakan dosa?" Aku menoleh. "Dosa, katanya." Dan tertawa. Terbahak. Sampai berurai air mata. Detik lain, kuhentikan tawaku yang berderai-derai seraya menyeka air mata di pelupuk mata.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuangnya pendek. Ia tak peduli apa penyebab air mata itu keluar, entah lantaran tertawa, atau yang lain. Yang menjadi tanggapannya hanya senyum dan gelengan kepala. Telunjuknya terulur ke arahku. Kutatap ia penuh tanda tanya.

"Dekatkan telunjukmu padaku. Ayoh, lakukan."

"Untuk apa kulakukan itu?"

"Lakukanlah. Aku menjamin yang terbaik untuk ini. Lekas!"

Mendesah pendek, aku mengikuti instruksi tololnya. Telunjuk kami saling bertubrukan, diserta manik mata yang sama-sama memenjara.

"Kau bisa memejamkan matamu," lanjutnya.

Meski bodoh, aku pun memejamkan mata. Ada suara bisikan angin yang membelai permukaan kulit wajahku, membikin aku menggigil sebentar. Suara-suara lain seperti musik menggelegak dari dalam gedung ikutan merangsek masuk ke telinga. Disusul oleh suara Panji yang berbisik,

"Ada ketenangan yang menyublim dan terasa hangat. Begitulah cara Tuhan memelukmu, Eleanor. Dan sentuhan ini adalah pintu dari batas kerinduanmu pada orang-orang yang kau cinta."

Sihir apa yang dimainkan olehnya, aku tergugu. Suara-suara berisik di sekitarku lenyap perlahan-lahan tergantikan oleh suara air mengalir dan bisikan Mama.

"Buatlah kemenanganmu sendiri, El," begitulah Mama berbisik, di bawah alam sadarku.

Begitu membuka mata, aku memalingkan wajah, langsung disambut dengan tatapan hangat bagaikan api berpijar.

*****

"Dalam hubungan ini pula, maka Sartre sering dipandang juga sebagai seorang psikolog yang tajam dalam menguraikan dan melukiskan penghayatan-penghayatan manusia. Sebagian dari bab-bab yang menutup karya utamanya Being and Nothingness berhubungan dengan suatu bentuk psikoanalisa. Bagian itulah yang kemudian diterjemahkan dengan judul Existential Psychoanalysis."

Kelas sudah penuh oleh peserta perkuliahan. Pintu yang kudorong secara dramatis menjeblak terbuka, menyita perhatian mahasiswa-mahasiswi yang semula fokus mendengarkan kuliah.

Badanku membungkuk dengan tangan menyentuh dada mengatur pernapasan yang memburu. Aku berlari dan naik anak tangga demi mengejar ketertinggalan kelas sialan ini. Wajahku terangkat bertatap muka dengan Kafka yang mengamatiku bagaikan dipertemukan dengan setan. Aku mengalihkan perhatian ke seantero kelas. Wajah-wajah mereka asing...

Oh shit. Aku salah masuk kelas. Kutepuk dahi berkali-kali mengutuk kebodohan.

"Maaf, saya salah kelas," kataku, langsung berbalik berniat pergi mencari kelas yang kutuju.

"Agnia..."

Langkah kaki terhenti begitu kudengar ia memanggil namaku. Aku menoleh. Apalagi yang ia mau?

"Kamu menjatuhkan buku Franz Kafka." Ia menunjuk buku yang teronggok jatuh di ambang pintu.

Bibirku terkatup rapat membentuk garis lurus. Buru-buru, kupungut buku tersebut dan mendekapnya. Ia masih menelanjangiku dengan tatapan mengintimidasi.

"Selamat membaca karyanya," ia melanjutkan dengan nada mencemooh.

Tanpa salam perpisahan atau ucapan terima kasih, kulanjutkan langkah meninggalkan kelas tempat ia mengajar dengan wajah seperti dibakar di dalam tungku api. Setengah tergesa, aku mencari kelasku sesuai dengan peta yang telah kuundung di ponsel. Kelas yang kucari terletak tidak jauh dari tempat Kafka mengajar. Sebelum membuka pintu, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan panjang. Tanganku menyentuh kenop pintu. Sebelum pintu tersebut berhasil kubuka, seseorang dari dalam membukanya untukku, diikuti serobotan mahasiswa-mahasiswi yang memberondong keluar, menepis pundakku.

Bu Sarah yang mengajar kelas ini bertolak pinggang melihatku. Ia mengangkat tangan memberi gestur bahwa aku terlambat sangat lama memasuki kelasnya.

"Agnia Zarathustra, kan?" terkanya. Aku mengangguk. "Kamu sudah telat satu jam. Kelas sudah selesai karena saya tidak dapat mengajar sampai selesai. Lain kali, jangan terlambat. Paham?"

"Maaf, Bu. Tadi saya ketiduran di kos."

Ia menggeleng-geleng. Wanita paruh baya itu membenakan letak syal tipis yang dililitkan di leher—tanganku gatal ingin menjeratkan syal tersebut sampai ia tercekik. Mengenyahkan pikiran keji, aku tersenyum dan memberinya jalan untuk pergi. Ia melangkah bak foto model. Begitu melewati kelas yang diajar Kafka bersamaan munculnya lelaki brengsek itu, ia menyapa manis madu, melenggak-lenggok lagi.

Aku memerosotkan badan kelelahan di atas lantai dengan punggung bersandar pada dinding. Kafka si songong melangkah menghampiriku.

"Kampus ini tidak menolerir keterlambatan mahasiswa. Apalagi kamu ini mahasiswa program Magister. Untung saja kamu tidak terlambat di kelas saya, Agnia."

Aku memelototkan mata jengkel. "Diem lo, Anj—" Kutelan umpatan terakhir. Alarm dalam diriku berulang kali berusaha mengingatkan bahwa saat ini aku berhadapan dengan seorang dosen.

"Tapi," ia membuka suara, "kekurangajaranmu itu saya pastikan akan mendapatkan balasan. Selamat bertemu di kelas Minggu depan." Ia berbalik pergi, kembali memasuki kelasnya meninggalkan aku yang duduk menggelesot di atas lantai.

Kepalan tanganku terbentuk dan kuhantamkan pada dinding. Aku beringsut berdiri, berjalan serampangan. Melewati kelasnya, kami sempat bertukar pandangan dari balik pintu kaca. Jari tengahku teracung. Dan kulanjutkan langkah gusar sebelum ia memanggilku untuk sekian kali dan meletuskan perang.

*

Luar biasa. Aku bisa tahan membaca The Metamorphosis sampai sejauh ini dengan kejelian dan fokus yang kokoh. Dahiku mengernyit di beberapa bagian. Terkadang aku menggeleng. Kadang pula mendesah pendek. Semua itu bagian dari reaksiku membaca buku ini. Aku berhenti sementara waktu, mengambil jenda dengan menyeruput greentea latte yang sudah dingin.

Perutku bergolak diinginkan jalinan mimpi brengsek yang mencomot wajah dosen songong itu sebagai bintang utama selain Eleanor Diephuis. Apa dosa yang kuperbuat sampai dibayang-bayangi oleh lelaki macam ia? Ah, mungkin ini yang namanya karma dan pembalasan keji lantaran meninggalkan Bali tanpa seijin Mama. Meninggalkan Mama, bahasa kasarnya.

Teringat olehku naskah drama yang diberikan oleh Pak Narayana. Aku merogoh tas mencari naskah tersebut untuk kubaca. Memerankan tokoh Dewi Sinta merupakan guyonan paling tolol sepanjang eksistensiku di muka bumi. Barangkali aku bisa mengikuti audisi untuk peran lain. Hanoman, misalnya? Aku tertawa pendek, membalik halaman demi halaman naskah drama gubahan seseorang dengan nama "Aabye" yang disadur dari novel Ramayana versi Rajagopalachari.

Saat pintu kafe yang kuerami malam ini dibuka oleh seseorang, aku merasakan sentakan di dada. Ada sesuatu yang merasuk dalam diriku, bagaikan ditarik oleh medan magnet asing, yang membuat kepalaku spontan menoleh ke kanan dan kiri, namun merasa tak mendapatkan apapun kecuali riuh rendah pengunjung kafe. Telapak tangan terusap pada tengkuk. Ada perasaan aneh menjalar, seperti kedekatan yang tak wajar, namun aku tidak tahu kedekatan macam apa ini. Kusentuh jantungku yang bertalu-talu.

Kugeleng kepala mengenyahkan perasaan asing ini dan menghabiskan greentea latteku sebelum membayar di kasir. Melintasi beberapa meja, aku menekan bel hingga muncul seorang bartender yang menghitung pesananku dan memberi bill. Buku Franz Kafka beserta naskah drama berada di tangan kiri, sedangkan tangan kananku sibuk mengetuk-ngetuk meja kasir menunggu mesin mencetak bill.

"The Methamorphosis karya Franz Kafka. Hm. Jarang aku menemukan seorang gadis yang tertarik membaca karya-karya macam itu," aku mendengar seseorang menegur dari belakang.

Begitu berbalik, mataku melotot, hampir-hampir terlepas dari rongganya. Aku memerhatikan seorang pria yang saat ini berdiri di depanku, memasang wajah ramah, seakan apa yang dilakukannya itu dapat menghapus dosa-dosa yang diperbuatnya padaku.

"Nggak usah ngeledek, deh. Emang kenapa kalau gue baca karya ini? Gue baca ini bukan karena lo, ya. Jangan kegeeran."

Ia mengernyit, namun tak melenyapkan senyumnya yang kini berubah menjadi senyum keheranan. "Kamu udah kenal aku?"

"Nggak usah sok-sokan lupa deh, Mas. Lo udah lupa atau emang nggak sudi nganggep gue mahasiswa lo?"

Seakan ucapanku tergolong sebagai humor terlucu di dunia, ia tertawa. Dahiku makin mengerut keheranan. Tawa gelinya terhenti detik lain. Biarpun telah kucaci maki, ia tetap mempertahankan senyum ramahnya.

"Sepertinya kamu salah paham. Aku bukan Kafka, kalau memang dia yang kamu maksud."

Sebelah alisku terangkat skeptis. "So?"

"Bas. Bashevis Ajidarma. Saudara kembar Kafka."

What the fuck. Aku hanya dapat melongo.

*****

Hayo, siapa nih sebenernya si "Panji" di masa sekarang? Kafka atau Bas? :v

BTW yang tanya apakah ada hubungan Raka dengan Rakafka karena namanya hampir sama lol, jawabannya tidak. Saya selalu mengambil nama karakter dengan alasan-asalan tertentu. Si Kafka ini diambil dari nama belakang novelis eksistensialis, nanti juga berpengaruh sama karakternya Kafka di sini. Juga si Bashevis itu nama tengah penulis Israel yang dipengaruhi oleh Kafka.

"Kok jarang ada bahasa Belandanya, kak?"

Nanti ya.

Eh, jadi, saya punya dosen filsafat yang juga masih muda, tapi ga senyebelin Kafka sih bhahahak. Cuma memang orangnya cerdas. Waktu itu pernah ngenalin saya ke dosennya dari UGM: "Pak, ini mahasiswa saya. Dia seorang penulis." Dan si dosen cuma masang tampang masa bodo. Bye dunia.

Referensi:

Baay, Reggie. 2009. Nyai dan Pergundikan di Hindia-Belanda. Depok: Komunitas Bambu.

Hassan, Fuad. 1976. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Continue Reading

You'll Also Like

37.7K 3.5K 38
Seorang pembunuh bayaran berkepribadian dingin dan tajam adalah sosok Elzea Olivia, dia sedang menjalankan misi pentingnya di kota metropolis. Namun...
4.3M 582K 69
18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Kaytlin dan Lisette Stewart de Vere menyer...
134K 9.1K 23
Setelah siuman pasca tenggelam, Katarina dikejutkan oleh fakta bahwa ia telah bersuami dan memiliki seorang anak laki-laki berusia empat tahun. Yang...
BITTER TRUTH [END] By Angel

Historical Fiction

9.2M 1.1M 91
"Buktikan bahwa bukan kau yang meracuninya dengan pedang ini" ucap Duke Hevadal dengan wajah yang sedingin dinginnya pada putri kandungnya sendiri El...