Sang Awatara - Tinju Petir Br...

By JagatnataAdhipramana

55.4K 2.9K 262

Ribuan tahun yang lalu pasca Bharatayudha berakhir, Aswathama - putra Rsi Drona - telah membunuh Pancawala... More

Prolog
BAB I : TENGGARA
BAB II : SENJA
BAB III : KORSA
BAB IV : BALADEWA DARI MANDURA
BAB V : NAPAKAWACA - ALUGARA
BAB VI : ANTABOGA KAWASTRAWAM
BAB VIII : RESERSE
BAB IX : SERATUS PERKASA KETURUNAN WANGSA KURU
BAB X: DAKARA
BAB XI : KESATRIA JANGKARBUMI
BAB XII : PENGINTAIAN
BAB XIII : PENGAWAL
BAB XIV : CALON MERTUA
BAB XV : PERBURUAN
BAB XVI : SURABAYA YANG KEMBALI MENJADI MEDAN LAGA
BAB XVII : MANDALA
BAB XVIII : KESATRIA DARI PRINGGADANI
BAB XIX : WISANGGENI
BAB XX : REQUIEM - KIDUNG DUKA

BAB VII : SERBUAN TENGAH MALAM

2.1K 139 7
By JagatnataAdhipramana

Matahari berangsur-angsur mulai terbenam di ufuk timur, menyembunyikan diri di balik megahnya sebuah gunung. Mahardika Ali menghentikan kayuhan sepedanya yang melaju di antara pematang sawah lalu menatap ke arah matahari yang terbenam itu. Cukup lama ia berhenti sebelum melanjutkan kembali perjalanannya.

Sepeda yang dinaiki pria berambut hitam klimis itu adalah sepeda tua untuk zamannya. Sepeda berwarna biru tua dengan sistem perseneling dan roda-roda bergerigi, membuatnya bisa melaju di jalanan yang tak beraspal tanpa kesulitan sama sekali namun modelnya sudah ketinggalan zaman.

Sepeda itu melalui deretan rumah-rumah bercat putih kusam di mana si pengayuh melambaikan tangan dan tersenyum ramah kepada sekumpulan ibu-ibu yang tampak memilah-milah kecambah dengan tampi (nampan bambu).

“Baru pulang Nak Ali?”

“Iya Bu,” jawabnya sambil tersenyum lalu kembali berlalu menuju sebuah kompleks perumahan yang ada di atas sebuah bukit.

Ali sampai di sebuah rumah bercat kuning kusam dengan kusen daun jendela yang dibuat dari kayu jati. Atap rumahnya berbentuk joglo, dengan genteng merah bata yang sudah mulai menghitam. Sebuah rumah khas Jawa Tengah yang keberadaannya sudah langka namun masih dijumpai beberapa di desa ini.

Ali memarkir sepedanya di depan teras rumah lalu mengikat ban sepedanya dengan sebuah rantai dan menggemboknya. Pria muda itu lalu berdiri dan berjalan ke pintu rumah sembari merogoh sakunya untuk mengambil sebuah kunci.

“Ali!” terdengar suara seseorang memanggilnya.

Ali menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria tersenyum sembari melambai-lambaikan tangannya ke arahnya.

“Janggala!” Ali batal memasukkan anak kunci itu dan berjalan menghampiri pria yang menyapanya itu, “Kapan datang?”

“Baru saja! Sempat aku singgah ke warung kopi di sana.”

“Ayo masuk-masuk! Kau tidak bilang akan datang kemari.”

“Memang mendadak. Maaf saja,” jawab Janggala sembari menatap ke arah barat di mana petak-petak sawah dan ladang palawija masih terhampar hijau, “Desa yang indah,” ujar Janggala.

“Ya, setidaknya untuk beberapa saat,” nada bicara Ali tiba-tiba lesu.

Janggala langsung menoleh kepada Ali, “Ada apa memangnya?”

“Ah lupakan, kau kemari untuk berlibur kan? Ayo masuk,” Ali buru-buru membukakan pintu dan mempersilakan Janggala masuk.

“Kamar di sana kosong dan baru saja kubersihkan,” Ali menunjuk ke satu kamar berpintu kayu yang dicat merah, “Maaf kalau tidak sesuai seleramu ya.”

“Ah tak apa,” Janggala tersenyum, “terima kasih sudah mau menerimaku.”

“Jangan bilang begitu ah, kita kan teman,” ujar Ali sembari berjalan menuju ke dapur dan membuat kopi.

“Masih mengajar anak-anak SD, Li?”

“Masih dong.”

“Kau sudah jadi PNS?”

“Sudah. Ngomong-ngomong gimana kehidupanmu di kota?”

“Kota masih ramai seperti biasanya, penuh hiruk-pikuk, dan orang-orang berhati kotor.”

“Dan kau masih meraba-raba hati orang-orang itu?”

“Heh,” Janggala mendecakkan lidah, “masih.”

Ali muncul dari dalam dapur dengan membawa dua cangkir kopi, “Ayo diminum. Kopi tubruk khas daerah ini nih.”

“Di mana-mana kopi tubruk juga ada, Li. Bukan daerah ini saja.”

“Rasanya beda. Coba saja,” Ali ngotot.

Janggala menyeruput kopi itu sedikit sebelum akhirnya menoleh kembali ke arah Ali, “Yah, setidaknya lebih enak daripada kopi bikinan warung tadi.”

Dua orang itu pun langsung tertawa berderai.

*****

Ketika Janggala bangun keesokan harinya dan bermaksud untuk cuci muka ia melihat Ali tengah berdiri di hadapan sebuah palinggih[1] dengan mengatupkan kedua tangannya di atas kepala dengan penuh khidmat dan konsentrasi. Janggala menyaksikan kawannya itu untuk beberapa saat sebelum kawannya itu menyelesaikan doanya.

“Hei, sudah bangun Bung?” sapa Ali.

“Sudah tuh.”

“Oya aku hari ini ...,” Ali belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika seseorang masuk ke halaman rumahnya dan menyapa mereka berdua, “Assalamu’alaikum Nak Ali.”

“Wallaikum’salam Pak,” balas Ali sembari menoleh ke arah seorang pria tua berbaju gamis coklat yang baru saja memasuki pekarangan rumahnya.

“Nak Ali sedang sibuk?”

“Em sebenarnya tidak, ada apa Pak?”

“Bisa Bapak minta tolong Nak Ali sebentar?”

“Bisa, urusan apa ya Pak?”

“Lebih jelasnya kita ke balai desa saja ya Nak Ali.”

“Baik Pak, sebentar ya,” Ali segera memakai sandalnya dan ikut dengan pria tua itu. Janggala mengikuti dari belakang.

Tiga orang pria itu sampai di balai desa di mana tampak beberapa lima orang telah berkumpul di sana. Dua orang dari antara mereka adalah pria muda yang pakaiannya yang lebih bagus daripada yang lain. Sesuatu yang di mata Janggala terlihat sebagai kemeja batik yang dibuat dari bahan kain satin yang halus – menandakan bahwa si pemakai adalah orang dengan status sosial tinggi. Seorang pria lain juga tampak mengenakan pakaian batik, namun bahannya tidak semewah dua orang itu. Sebuah lencana KORPRI tersemat di dadanya, menandakan bahwa orang itu adalah sang kepala desa. Dua orang lainnya tampak mengenakan seragam coklat khas PNS.

“Oh Nak Ali, selamat datang,” sang kepala desa bangkit berdiri dan menyalami Ali dengan gugup. Janggala memilih untuk berdiri di luar balai desa.

Terjadi sebuah percakapan yang kaku bahkan terkesan tegang di antara orang-orang itu. Janggala tidak mendengar seluruh percakapannya namun ia bisa melihat bahwa Ali sempat emosi bahkan menuding-nuding dua orang itu dengan penuh emosi. Dua orang itu tampak tenang-tenang saja. Terlalu tenang malah bagi Janggala. Sebuah kecurigaan segera timbul dalam benaknya. Siapakah orang-orang ini? Dan apa mau mereka di desa di mana waktu seolah tak pernah berjalan ini?

 

Perbincangan tampak telah usai, dengan santun dua orang itu undur diri dan pergi dari balai desa. Sementara Ali tampak berbincang serius dengan para ‘tetua’. Butuh waktu sekitar 10 menit sebelum akhirnya Ali keluar dengan ekspresi tersenyum yang dipaksakan.

“Ada apa?” tanya Janggala pada Ali ketika kawannya itu menghampirinya.

“Ah tidak, bukan apa-apa. Hanya masalah kecil yang perlu diluruskan.”

“Apa itu soal hutan yang ada di sana?” Janggala menunjuk ke arah sebuah perbukitan yang tampak masih hijau ditutupi pepohonan.

Ali mendesah, “Kau ternyata tidak bisa dibohongi Bung.”

“Terlalu cepat 100 tahun bagimu untuk membohongiku. Aku telah berhadapan dengan banyak manusia, telah banyak meraba hati yang kotor. Sangkamu aku tidak akan curiga dengan kehadiran orang-orang perlente macam dua orang tadi? Dua orang seperlente tadi pasti utusan sebuah korporasi besar. Dan mau apa sebuah korporasi besar di desa terpencil dan nyaris tidak pernah tersentuh modernisasi macam ini kalau bukan karena sumber daya alam?” ujar Janggala panjang-lebar.

Kembali Ali mendesah lalu memberi isyarat pada Janggala untuk mengikutinya, “Mereka berniat membabat habis hutan itu untuk sebuah usaha tambang.”

“Ada tambang apa di sana?”

“Nikel.”

“Nah, lalu apa sebabnya kau tadi marah-marah.”

“Mereka pernah memalsukan surat jual-beli tanah dan sekarang mereka datang dengan membawa ancaman.”

“Ancaman?”

“Ancaman terhadap keselamatan orang-orang yang hadir di sana tadi.”

Janggala diam sejenak sebelum akhirnya berujar, “Malam ini kita jangan tidur.”

“Kenapa?”

“Percayalah padaku.”

*****

Malam itu bulan tengah bersinar separuh. Sekumpulan anak muda dan kaum bapak tampak berjaga-jaga dengan membawa kentongan mengelilingi desa. Di sudut lain di desa yang sama. Di antara kegelapan pepohonan dan bambu tampak beberapa orang berpakaian serba hitam bergerak cepat namun senyap menuju desa.

Sekumpulan orang itu memanjat tembok pembatas dan mendarat di sebuah halaman rumah. Kembali mereka bergerak senyap menuju teras dan bagian belakang rumah. Masing-masing dari mereka lalu mengeluarkan pistol berperedam dari dalam saku mereka. Seorang dari mereka tampak mengeluarkan sebatang kawat dan langsung mengutak-atik lubang kunci rumah dengan kawat itu. Sementara yang berjaga di bagian belakang tampak menodongkan pistol mereka ke pintu belakang yang sewaktu-waktu bisa terbuka.

“Sedang apa Tuan-Tuan?” sapa Ali dari belakang ketiga orang yang menodongkan pistol ke arah pintu belakang rumahnya.

Tiga orang itu tersentak sesaat lalu dengan tergesa-gesa menodongkan senjata itu kepada Ali. Tapi Ali tampak tenang, tetap bergeming pada tempatnya. Sebuah tampar (tali tambang) tampak tergenggam di tangan kanannya.”Giri-Kedasar,” terdengar suara Ali mendesis.

Tampar itu segera ia ayunkan dan menyabet satu orang yang langsung menjerit-jerit dan berguling-guling di tanah seperti orang yang seluruh tubuhnya dibakar. Dua temannya yang lain segera menarik sebuah tongkat kejut beraliran listrik dari pinggang kiri mereka lalu berjalan memutar, mengepung Ali. Ali sendiri tampak tenang, tampar di tangannya ia lecutkan kembali ke tanah dan tampar itu segera menghilang.

Dua pengepung itu saling berpandangan, merasa lawannya sudah tidak bersenjata, mereka segera menerjang Ali. Namun di luar dugaan mereka lawan mereka membungkuk menghindar dengan gesit lalu tanpa diduga-duga mencengkeram leher kedua penyerangnya kuat-kuat. Dua pria itu segera menjerit-jerit kesakitan lalu menggelepar-gelepar di tanah.

Sementara dari arah depan, Ali mendengar suara pekikan tertahan dari lima orang yang tadi menunggu di depan rumahnya. Beberapa saat kemudian Janggala muncul dengan kedua tangan tertutup kobaran api membara.

“Yang di depan sudah beres,” ujar Janggala sambil senyum-senyum, “Bagianmu bagaimana?”

Ali tidak langsung menjawab, ia melirik arlojinya sejenak, “Paling dua menit lagi dewa maut sudah menjemput mereka.”

Tiga orang yang dilumpuhkan Ali tiba-tiba menggelepar-gelepar lebih hebat, mulut mereka mengeluarkan busa dan pekikan tertahan sebelum akhirnya jatuh tak bernyawa.

Janggala bersiul, “Untung rumah-rumah sekitarmu kosong ya, jadi kita bisa singkirkan mayat-mayat ini secepatnya.”

“Janggala,” Ali membungkuk sembari memastikan denyut nadi seorang korbannya, “Dari mana kau tahu mereka akan datang?”

“Modus operandi Li. Di kota-kota besar banyak ditemui kejadian macam ini. Seorang yang diminta menjual tanahnya oleh sebuah korporasi yang hendak membangun proyek besar namun menolak pasti nasibnya akan berakhir misterius. Sebagian dinyatakan hilang, sebagian dinyatakan bunuh diri, sebagian dinyatakan tewas dibunuh dan sebagian lagi harus menghadapi kenyataan bahwa anak-anak mereka hilang tanpa jejak,” ujar Janggala sembari memegang satu per satu mayat pembunuh itu hingga hancur menjadi abu.

“Mereka melakukannya? Setega itu? Apakah orang-orang kota sudah menjadi binatang semua?”

“Mereka telah menjadi sesuatu yang lebih buruk daripada binatang Li. Mereka telah menjadi iblis. Dan sebuah kota metropolitan tak lebih dari tempat iblis-iblis bersemayam. Dan sekarang,” Janggala diam sejenak sembari menyulut sebatang rokok, “mari usir mereka dari desa ini sekarang dan selamanya.”

“Mengusir mereka? Tunggu ... maksudmu mengusir mereka dengan cara apa?”

“Kau mencintai tanah ini ya?” Janggala balik bertanya.

“Ya,” jawab Ali gugup.

“Dan kau akan melakukan apapun untuk menjaganya?”

“Ya.”

“Maka biarkan aku bantu dirimu.”

“Bagaimana caramu membantuku Janggala?”

“Sabotase.”

“Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau dengan cara kotor.”

“Lalu kau akan pakai apa? Cara legal? Kau pikir ada pengacara yang mau urus perkara orang desa macam ini? Atau kau mau jadi pengacara bagi mereka? Apa kau bisa? Bukankah kau cuma guru? Punyakah kau lisensi pengacara?”

“Tidak,” Ali menghela nafas lesu, menundukkan kepalanya dan menahan kedua sikunya pada lututnya lalu mengacak-acak rambutnya dengan kedua tangannya, “Terkutuklah diriku.”

Janggala melayang setinggi dua meter dari permukaan tanah lalu menoleh ke arah Ali, “Jangan menyesali yang sudah terjadi kawan, kau takkan bisa memadamkankan kobaran api dengan seember air. Tapi jika berdiam saja maka sudah pasti kau akan mati. Jadi jalan satu-satunya untuk tidak mati konyol adalah membuat kobaran api yang lebih besar.”

Ali mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menatap tajam ke arah kawannya itu, “Baiklah!” ia menjejakkan kakinya kuat-kuat di atas tanah lalu terbang melesat ke langit malam yang hitam.

Janggala membuang puntung rokoknya dan bergegas menyusul Ali yang sudah terbang mendahuluinya.

*****

Di angkasa Janggala melihat Ali berhenti dan melayang-layang di atas satu rumah. Sebuah rumah yang terletak di atas bukit dan terpisah dari deretan rumah-rumah penduduk lainnya. Janggala melayang menghampirinya dan bertanya, “Rumah siapa itu.”

“Rumah mantan kepala desa.”

“Hum, jadi kepala desamu itu baru ya? Kenapa dengan kepala desa yang lama?”

“Kepala desa dipilih melalui pemilihan Bung, bukan jabatan turun-temurun seperti dulu lagi,” ujar Ali sebal.

“Oh ya? Aku tidak tahu,” sahut Janggala cuek.

“Kau memang cuek pada segala hal yang bukan urusanmu.”

Tiga orang tampak keluar dari dalam rumah itu. Janggala memberi isyarat pada Ali untuk turun perlahan-lahan guna mencuri dengar percakapan orang-orang itu. Ali menurut dan bersama Janggala akhirnya turun dan menyembunyikan diri di balik semak bambu yang tumbuh tak jauh dari rumah itu.

“Kok mereka lama sekali ya?” ujar seorang pria tambun yang rambutnya telah separuh botak.

“Barangkali mereka sedang beraksi. Tunggulah beberapa saat lagi, aku yakin mereka tidak akan gagal,” sahut seorang pria berambut hitam klimis

“Dan besok seorang pemuda sok tahu bernama Mahardika Ali sudah tidak akan ada lagi di dunia ini! Ha!” sambung seorang pria lain yang juga berambut hitam klimis namun agak sedikit lebih tambun dari rekannya.

Dari balik rerimbunan bambu, tangan Ali menimbulkan suara gemeretak karena geram. Janggala yang melihat kawannya seperti itu langsung bertanya, “Apa anak-istrinya tinggal bersamanya?”

“Istri keparat itu sudah menceraikannya sejak lama.”

“Ada wanita atau anak-anak di dalam rumah itu?”

“Tidak,” Ali menggeleng.

“Oke kalau begitu,” Janggala segera berdiri dan melempar sebuah kobaran api ke arah rumah Sang Mantan Kepala Desa. Dalam tiga detik kobaran api itu langsung membesar dan melalap rumah tersebut. Tiga orang yang berdiri di depan rumah itu terperanjat ketika menyaksikan sebuah kobaran api telah melalap rumah tersebut.

“Api-api! Tolong!” mereka bertiga menjerit-jerit panik. Namun sejenak kemudian satu orang tiba-tiba lebur menjadi abu sementara satu lagi tampak rubuh ke tanah dengan memegangi lehernya. Menyisakan sang pria tambun itu sendirian.

“Apa?” si pria tambun itu terkejut ketika menyaksikan kedua tamunya tiba-tiba sudah tak bernyawa lagi.

“Pak Sujiono,” seseorang menepuk bahunya dari belakang, mata pria tambun itu langsung melotot ketakutan seolah-olah melihat hantu gentayangan, “Apa maksud Bapak dengan semua ini? Kenapa Bapak mau jual desa ini? Apa Bapak tidak berpikir jika hutan di sana gundul maka kelak sungai di sana itu akan banjir? Membanjiri sawah-sawah para penduduk yang pernah memilih anda sebagai pemimpin, membuat mata air-mata air mengering dan anak-anak kita mati kelaparan dan kehausan? Di mana nurani Bapak?”

Si pria tambun terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Aku punya hutang Nak Ali, dan dalam waktu dekat aku harus melunasinya. Kalau tidak ... aku akan jatuh miskin Nak Ali. Mengais-ngais sampah dan mengemis-ngemis di jalanan untuk bertahan hidup! Aku tidak mau menjadi manusia hina macam itu!”

“Kalau begitu matilah!” tiba-tiba Janggala sudah mencengkeram kepala pria tambun itu dan tubuh pria tambun itu segera diselimuti api. Si pria tambun itu menggelepar-gelepar dan menjerit-jerit sebelum akhirnya jatuh ke tanah.

“Ayo pergi, Bung. Sebelum orang-orang desa memergoki kita,” ajak Ali.

“Setuju.”

Dua orang itu segera melesat kembali ke angkasa dan menghilang di balik kegelapan malam. Sementara orang-orang mulai berdatangan ke lokasi kebakaran dan dengan sekuat tenaga berusaha memadamkan api yang membakar rumah tersebut.


[1]Meja batu berukir yang dipakai umat Hindu sebagai tempat untuk menaruh persembahan saat sembahyang

Continue Reading

You'll Also Like

286K 4.4K 76
Cerita Tiongkok Kuno, tahun 1000an. Bercerita tentang 4 Perguruan Terbesar : Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau serta gejol...
13.8K 1.9K 28
Dimas, seorang Insinyur Pertambangan yang baru bekerja di sebuah Anjungan Lepas Pantai. Harus menghadapi kasus seorang pekerja yang tiba-tiba melompa...
3.4M 338K 93
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
1.9M 145K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...