Peter and Anne

By Nau2014

15K 1.4K 882

Jatuh cinta di saat ini? Sudah biasa. Bagaimana jika kau jatuh cinta pada seseorang, saat kau terjebak di mas... More

Foreword
Prologue: a Letter From Anne
01 | Peter and Anne Tyler
02 | Anne and Time Machine
04 | Anne and What Was Happening
05 | Peter and The Americans

03 | Peter and "Anne, We Shrunk Ourselves"

775 102 86
By Nau2014

***

dedicated to Nasa, because her comments about this story (and her jokes about anything) makes me laugh every single time.

***


Saat aku sadar apa yang telah terjadi, aku tahu aku sudah mengacaukan semuanya.

Seperti yang kalian ketahui, sebelumnya aku berusaha membujuk Anne untuk menemaniku mencoba mesin waktu, yang sepertinya ia anggap seperti benda rongsokan. Aku bisa mengetahuinya dari tatapan sinisnya ke arah mesin itu, dan jujur saja, aku merasa sedikit terhina karenanya. Padahal, rencana awalku bukan seperti itu. Awalnya aku hanya ingin Anne sendiri yang mencoba mesin itu. Sementara aku tetap berdiam di ruang basement-ku yang nyaman dan aman, menunggunya untuk kembali. Rencana awal itu cukup bodoh, bukan? Aku bisa dianggap sangat tak bertanggung jawab untuk itu. Bahkan aku tak memikirkan kemungkinan 1% Anne akan kembali dengan selamat dan tubuh yang utuh.

Namun seperti biasa, rencana awalku meleset. Aku terpaksa merayunya agar mencoba mesin waktu itu, menggenggam tangannya (dan astaga, aku justru menjadi gelisah saat memegangnya, maksudku apa yang sudah terjadi?!) dan justru membawa Anne serta diriku sendiri ke suatu masa dengan mesin waktu itu. Udara panas yang memuakkan, suara dengungan yang tiada henti, putaran yang membuatku mual, dan semuanya gelap. Sepertinya itulah yang bisa kugambarkan setelah aku menekan tombol mesin waktu. Parahnya, aku tak tahu ke masa mana yang dituju mesin waktu itu.

Dalam sekejap mata, aku terbangun di kasur sebuah kamar yang sangat berantakan. Di pandanganku yang masih terasa buram, aku bisa melihat poster-poster Luke Skywalker dan "I Want To Believe" ala X-Files yang menutupi permukaan dinding kamar yang dicat putih. Perkakas dan sebuah komputer IMac terlihat di sudut meja yang jauh dariku. Seketika, sinar matahari yang menyilaukan menembus kaca jendela. Aku berusaha menghalau sinar itu dengan lenganku yang... kecil?

Sejak kapan lenganku menjadi kecil?

Sontak, aku terbangun dan menatap sekeliling. Pantas saja semuanya terasa familiar dengan poster-poster yang sangat geeky dan IMac (yang sudah dimusnahkan saat ini) yang ada di meja. Aku berada di kamarku saat itu. Ralat, kamar masa kecilku di Edinburgh, Scotlandia. Sesuatu yang buruk sepertinya sudah terjadi.

Aku langsung bangkit dari kasur dan segera berkaca melihat penampilanku. Dan Ya Tuhan, sepertinya dugaanku tepat sekali. Rambut coklat gelap berantakan, tubuh jangkung dengan kemeja putih kebesaran dan dasi merah yang menggantung, juga sepatu converse putih. Semua perubahan yang terjadi membuatku kembali terlihat seperti saat remaja. Aku melongo melihat diri sendiri sambil meraba wajahku yang terasa aneh, sehingga aku bisa menyimpulkan sesuatu:

Aku kembali ke masa lalu. Celaka.

Aku berlari cepat keluar dari kamar, sampai aku menubruk seorang lelaki bertubuh tinggi di depanku dan terjungkal ke lantai. Dengan pandangan yang bergoyang, aku bangkit dan memicingkan mata, berusaha mengenali lelaki berambut coklat dengan kemeja biru beserta jumper-nya. Ia berdiri di depan pintu rumah dengan dua koper bersama seorang wanita bergaun flanel merah dan rambut coklat kepirangan pendek. Aku beringsut saat melihat mereka. Aku merasa setetes keringat dingin menetes mengaliri dahiku, karena aku sadar mereka bukan orangtuaku. Justru mereka adalah-

"Tess? Tom?! Apa ini memang kalian?"

Ya, Tess dan Tom versi dewasa dengan riasan 90-an. Aku bersumpah itu mereka jika kalian tak percaya denganku dan berpikir bahwa aku memang gila. Andai kenyataan adalah seorang manusia, mungkin dia akan menghampiriku dan menamparku dengan sandal ribuan kali. Lalu ia akan meyakinkanku dengan berkata, "Dasar peneliti bodoh. Tentu saja itu keponakanmu yang tumbuh dewasa sekarang!".

Tapi tidak juga, waktu itu aku masih kurang yakin bahwa itu memang mereka.

"A-apa yang kau maksud? Tentu saja ini kami, bibi dan pamanmu, Peter!" kata Tess- maksudku Bibi Tess, sambil mengerutkan dahinya. Dia terlihat sangat cerdas seperti biasanya, ditambah dengan kacamata berbingkai tebal yang ia kenakan. "Sepertinya kau kurang sehat hari ini."

Ya, aku memang sedang tidak sehat. Lebih tepatnya, aku seperti sedang delusi. Dengan cepat, kutolehkan kepalaku ke sekeliling, berusaha mencari foto yang bisa membantu. Namun tak ada satu pun foto di dekatku. "Dimana Kate dan Cassie?" tanyaku sambil mencoba menanyakan tentang kedua saudariku, berharap agar itu dapat membantu menjelaskan semuanya.

"Kate? Cassie? Apa yang kau bicarakan, nak? Kita hanya hidup bertiga, kau anak tunggal, dan ayah ibumu sudah meninggal!" seru Paman Tom dengan suara agak cempreng dan gaya yang blak-blakan. Mendengar hal itu, aku hampir kehilangan keseimbangan dan berusaha meraih pintu yang ada di dekatku. Trims, Paman Tom, kau memang tidak ada bedanya dengan dirimu saat masih kecil.

"Ngomong-ngomong, Peter, kau bisa, kan, menjaga rumah ini sebulan sendirian? Aku dan pamanmu harus mengurus pabrik kertas di Cardiff. Jadi, kau bisa mengajak temanmu untuk menginap di sini. Lagipula, liburan musim panasmu kan, masih panjang." Bibi Tess mencerocos dengan cepat saat ia melangkah keluar bersama Paman Tom. Mereka memasukkan koper ke dalam taksi yang parkir di depan rumah. Aku belum paham apa yang terjadi dan otakku akan meledak sekarang.

"Uh... ya. Tentu saja aku bisa melakukannya."

"Bagus! Kau memang anak yang cerdas!" Paman Tom mengacak rambut lebatku, membuatku tak sadar sudah memutar bola mata. "Jangan sia-siakan liburanmu ini, ya! Mungkin kau harus berjalan-jalan atau... pergi kencan dengan sahabatmu sendiri!"

Aku tersedak mendengar Paman Tom berkata soal "pergi kencan dengan sahabatmu sendiri", sementara Bibi Tess tertawa keras dan menampar lengannya. "Jangan ngawur, Thomas!" serunya. Tak lama kemudian, mereka melangkah masuk ke dalam taksi dan tersenyum gembira. "Nikmati liburanmu, Peter! Sampai jumpa sebulan lagi!"

Begitulah, taksi tersebut menderu meninggalkanku seorang diri di depat rumah dengan penuh tanda tanya di otak. Belum sempat berbalik masuk ke dalam rumah, tiba-tiba seorang gadis berambut coklat kemerahan panjang memegang kedua pundakku dari belakang. Aku berteriak histeris karena kaget dan langsung memegang pundaknya. Hingga tatapan kami saling bertemu dan sama-sama tertegun.

"...Peter?"

"Anne?"

Sepertinya gadis itu adalah Anne Tyler versi 15 tahun. Rambut berkilaunya tertiup oleh angin, sementara iris mata hijaunya melotot ke arahku. Ia mengenakan kemeja flanel merah dan jaket kulit hitam yang kedodoran, pakaian yang persis dipakainya sebelum terlempar ke masa lalu. Tapi jujur saja, dia terlihat lucu dan mengagumkan... sampai ia melotot ke arahku.

"Peter! Ini semua salahmu! Kita terjebak di tahun 1999!"

"Oh?"

"Maksudku, itu sama saja kita mundur 20 tahun!"

"Lalu?"

"Dan sekarang kita terjebak disini tanpa mesin waktu, dan tubuh kita mengecil!"

"Tunggu- apa?!"

Seketika, Anne menggenggam kerah bajuku dan mendorongku dengan keras ke pintu rumah. Aku mengerang kesakitan, namun Anne tak peduli apakah aku merasa sakit atau takut. Ia menatapku seolah ia ingin membunuhku saat itu juga dan menghilangkan mayatku agar tak ditemukan orang. Ia mengemeretukkan giginya.

"Bawa aku kembali, Langster. Bawa aku kembali ke masa depan" katanya dengan lambat dan mengerikan.

"Tapi Anne, kita menyusutkan diri sendiri! Dan kita ada di masa lalu!" seruku, berusaha tersenyum meski aku masih tak paham apa yang terjadi. "Bukankah ini... cukup seru dan menarik?"

"Dasar bodoh! Aku tak peduli jika kita di masa lalu. Tapi yang pasti kita tak tahu jalan untuk kembali ke masa depan, dan ini semua salahmu!"

Suara Anne meninggi di setiap katanya. Nafasnya berderu kencang, seolah siap untuk membentakku lebih keras. Aku menelan ludah. Sialan. Ini semua memang salahku. Kenapa dia yang harus kubawa ke masa lalu? Kami bahkan tak tahu cara untuk kembali. Sepertinya otakku sudah meledak dan akan meleleh, sehingga aku harus mencari jalan keluar dari kemarahannya itu.

"Oke! Anne, aku paham yang kau maksud. Terserahlah, mungkin ini memang salahku, dan aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Dan otakku sepertinya sudah meleleh sekarang," kataku pelan sambil menepuk kedua pundaknya. Aku mengambil nafas sebentar. "Jadi, bisakah kita tenang sebentar dan membeli es krim, lalu kita akan bicarakan semuanya?"

Seketika suasana hening. Anne menatapku dengan sangsi. Ia mengendorkan genggamannya di kerahku. Air mukanya terlihat sudah lelah dengan semua keanehan itu. Ia mengangguk sangat lambat, berusaha untuk menahan senyuman yang mulai tersungging di bibir. Sepertinya ia ingin menertawakan bagaimana terlihat ketakutannya aku.

"O-oke. Sepertinya bagus. Lagipula, aku merasa aku mulai gila sekarang."

"Ya, aku tahu apa yang kau maksud. Bisakah kita beli es krim sekarang?"

***


Hello, y'all. Did you miss me? *grins*

Akhirnya aku bisa update pertama kalinya untuk tahun 2017! (bahkan sekarang sudah Februari astaga). Anyway, terima kasih banyak sudah mampir di cerita ini, dan jangan lupa untuk meninggalkan komentar kalian juga HEHEH. Semoga kalian suka dengan update kali ini! (Idk but I really love Peter's POV lol). Plus trims buat Nasa a.k.a gemeinsch buat bannernya yang imut HEHEHEH (banner untuk chapter berikutnya juga dibuat sama nasa, thank u! <3).

QOTD: What is your favourite old movies/series?

(for me it's definitely X-Files and Star Wars lmao (notice those reference *winks*), but I also love Back To The Future and Friends eheheh)

Multimedia: Peter Langster in 1999 (Skandar Keynes), Banner by gemeinsch

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 36.7K 29
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
2.2M 33.1K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.3M 203K 32
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
7.1M 349K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...