The Red Affair 「END」

By andhyrama

1M 61.5K 16.2K

[15+] Jatuh ke cinta yang lain ketika sudah ada cincin yang melingkar di jari manis, Damian dihadapkan pada p... More

PREVIEW
THE ODD NUMBER
CHARACTERS
PROLOG
TRA-01
TRA-02
TRA-03
TRA-04
TRA-05
TRA-06
TRA-07
TRA-08
TRA-09
TRA-10
TRA-11
TRA-12
TRA-13
TRA-14
TRA-15
TRA-16
TRA-17
TRA-18
TRA-19
TRA-20
TRA-21
TRA-22
TRA-23
TRA-24
TRA-25
TRA-27
TRA-28
TRA-29
TRA-30
TRA-31
TRA-32
TRA-33
TRA-34
TRA-35
TRA-36
TRA-37
TRA-38
TRA-39
TRA-40
BOOK VERSION
VOTE COVER
OPEN PO TRA!
DI SHOPEE!

TRA-26

13.6K 1K 473
By andhyrama

The Red Affair

(The Kingston City Series #1)

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

***

Bobby tampak sehat kembali, kini ia tengah bersama Alena bermain puzzle. Anak itu dengan mudahnya bisa menyusun keping-keping puzzle menjadi sebuah gambar. Alena menghitung waktu yang diperlukan Bobby untuk menyelesaikan permainan itu, dengan senang ia akan mencium pipi Bobby jika anak itu berhasil menyelesaikannya dengan cepat.

"Tante! Aku ingin sekolah," kata Bobby dengan suara berharap.

"Umurmu belum cukup, Sayang," jawab Alena.

"Cukup, banyak anak-anak seusiaku berangkat sekolah bersama ibunya. Kenapa aku tidak?" kata Bobby dengan kecewa.

"Ibumu punya alasan untuk itu. Tenang saja, kau pasti akan sekolah," ucap Alena.

"Aku ingin punya banyak teman, aku bosan di sini," ungkap Bobby dengan pandangan penuh harap.

"Kau ingin ke taman?" tanya Alena dengan senyuman lebar. "Kau harus mandi dulu!" jelas Alena yang segera berdiri.

Wajah Bobby tampak senang, ia segera membereskan mainannya dan ikut berdiri mengikuti pengasuhnya. "Aku akan mandi sendiri!" teriak Bobby segera berlari ke kamarnya.

Alena yang berada di ruang tengah melihat Firanda yang baru keluar dari kamar anaknya. Bobby mengatakan pada ibunya bahwa dia akan pergi ke taman dengan Alena dan Firanda hanya menggangguk menyetujui. Melihat wajah Firanda yang tampak pucat dan tidak bergairah membuat Alena segera mendekatinya.

"Firanda, kau tidak apa-apa?" tanya Alena. "Kau tampak sangat pucat," tambahnya.

"Jangan hiraukan aku! Apakah suamiku sudah berangkat?" tanya Firanda.

"Ya. Aku sudah membuatkannya serapan dan dia berangkat tepat waktu. Aku tidak berani membangunkanmu," jelas Alena.

"Kemarin dia tidak mabuk, bukan?" tanya Firanda.

"Tidak. Kami hanya makan malam dan mengobrol biasa," ucap Alena lesu, "kemarahannya sudah mereda," sambungnya.

"Syukurlah," kata Firanda, "aku akan mandi dan pergi ke supermarket," tambahnya yang segera beralih pergi.

Alena tampak bingung dengan sikap Firanda, hanya saja dia tidak ingin memikirkannya. Ia memilih untuk masuk ke kamar Bobby dan menyiapkan baju untuknya. Bobby hanya punya sedikit pakaian. Alena membayangkan jika dia menjadi Firanda pastilah dia akan membelikan banyak pakaian untuk anaknya. Orang tua pasti senang melihat anaknya tampil menggemaskan, terlebih Bobby memang berasal dari ayah yang tampan dan ibu yang cantik, tidak dipungkiri wajahnya adalah penggabungan dari dua orang tuanya itu. Jadi, menurut Alena sangat aneh jika Firanda tidak membelikan anaknya banyak pakaian.

Cuaca tidak begitu terik karena banyak awan di langit, membuat siang itu waktu yang cocok untuk bermain di luar. Taman itu tidak begitu ramai, hanya beberapa orang yang ada di sana. Alena duduk di samping seorang ibu di bangku taman bermain itu. Bobby terlihat senang bermain bersama dengan anak-anak lain. Dengan terus mengawasi Bobby, Alena mulai membuka obrolan dengan wanita di sampingnya.

"Anak-anak memang seharusnya bermain dengan anak-anak sebayanya," kata Alena.

Wanita berusia sekitar empat puluhan itu menoleh pada Alena. "Ya. Orang tua seharusnya meluangkan waktu untuk membawa anaknya bermain," jawabnya setuju.

"Saya Alena, pengasuh anak Keluarga Smith," ucap Alena memperkenalkan diri.

"Keluarga Smith yang rumahnya ada di deretan jalan Silver Land itu?" tanya wanita itu memastikan, "Namaku Flora, tempat tinggalku hanya berjarak tiga rumah dari kediaman Keluarga Smith," kata Flora dengan wajah senang.

"Ternyata rumah Anda, sangat dekat," kata Alena.

"Aku masih tak percaya kau seorang pengasuh, kau lebih pantas menjadi model atau artis. Kau sangat cantik," puji Flora.

"Sayangnya aku tidak menyukai hal-hal seperti itu," jawab Alena. "Kalau ada waktu Anda bisa ajak anak Anda untuk bermain bersama Bobby ke rumah," tambah Alena dengan nada senang.

"Aku tidak begitu kenal dengan Keluarga Smith. Aku rasa ada yang aneh dengan keluarga itu," kata Flora dengan nada curiga. "Itu hanya dugaanku, Firanda dan aku memang pernah mengobrol, namun itu sangat jarang. Dia terlihat menutup diri," kata Flora.

"Anak Anda sangat lucu, siapa namanya?" ucap Alena mengalihkan pembicaraan.

"Juliet, dia memang mirip dengan Edward," kata Flora dengan senyum semringah.

Alena membalas senyuman Flora. Ia segera berdiri dan menuju ke arah Bobby. Anak lelaki itu memang sedang bermain dengan Juliet. Dengan senang Alena ikut bergabung dengan mereka bermain ayunan.

"Juliet, di mana Lomeo?" tanya Bobby.

"Aku tidak tahu, memangnya siapa Lomeo?" tanya Juliet polos.

"Kalau begitu aku akan menjadi Lomeo-mu, Juliet!" kata Bobby yang memunculkan tawa di bibir Alena.

"Bobby, kau ada-ada saja," kata Alena, "Juliet, jangan percaya omongan Bobby," tambahnya mengangkat Juliet ke ayunan.

"Memangnya Tante tahu siapa Lomeo?" tanya Juliet.

"Tante Lena minggil, aku saja yang mendolong Juliet!" kata Bobby mengusir Alena.

Dengan senyum senang Alena mengawasi Bobby bermain. Anak itu juga terlihat bahagia. Alena berpikir bahwa Bobby memang harus sering-sering diajak bermain ke luar. Anak-anak seusianya butuh teman sebaya. Melihat wajah Bobby yang mulai mengantuk, ia memutuskan membawa Bobby pulang.

Sesampainya di rumah, Alena memberikan minum pada Bobby, sepotong kue dan puding. Anak itu kemudian digiringnya untuk menuju ke kamar untuk tidur siang. Firanda belum pulang dan Alena tampak bosan, ia memilih menonton televisi dan memainkan ponselnya di atas sofa sampai berjam-jam lamanya.

Ada bel berbunyi membuat Alena segera bangkit. Ia mengecek jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ternyata sudah cukup lama Firanda pergi.

"Firanda, aku khawatir lama sekali kau berbelanja," kata Alena sembari membuka pintu.

Ia tampak terkejut karena yang berada di samping Firanda adalah Jimmy. Pria gagah itu membawakan kantong-kantong belanjaan Firanda. Alena dengan segera ingin merebut kantong plastik di tangan tunangannya itu.

"Biarkan aku saja," kata Jimmy pada Alena. "Firanda, bawa ke mana ini?" lanjutnya.

"Ke dapur," kata Firanda yang segera melangkah pergi.

Alena yang masih tampak bingung menutup pintu dan kemudian mengikuti mereka berdua menuju ke arah Dapur.

"Bobby masih tidur?" tanya Firanda.

"Dari aku mengirim pesan padamu sampai sekarang dia belum bangun," jawab Alena yang pandangannya berpindah-pindah ke Firanda dan Jimmy.

"Aku harus membangunkannya," kata Firanda.

"Tunggu! Kenapa kau bisa bersama dia?" tanya Alena.

"Jimmy mengirim pesan padaku dia ingin mampir, tentu saja aku memanfaatkannya untuk menjemputku di supermarket," kata Firanda yang segera pergi membiarkan kantong-kantong belanjaannya ada di atas meja dapur.

"Lebih baik kau ke ruang tamu, aku akan buatkan teh," kata Alena dengan ketus.

Jimmy hanya menyeringai kecil, ia mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Alena. "Alena, kau masih ingin di sini?" tanya Jimmy.

"Enyahkan tanganmu dari wajahku," kata Alena lirih.

"Baiklah, tehku jangan terlalu banyak gula," ucap Jimmy yang segera pergi.

Firanda meninggalkan Bobby yang kini tengah menonton televisi dan memakan makanan ringan yang tadi dibelinya di supermarket. Ia menuju ke ruang tamu untuk bergabung dengan Alena dan Jimmy. Rupanya mereka tengah membicarakan warisan, jimmy membutuhkan tanda tangan Alena untuk menerima warisannya.

"Aku rasa aku akan menyumbangkan seluruhnya untuk lembaga sosial," kata Alena sembari mengukirkan tanda tangannya.

"Kau bisa menggunakan itu untuk usaha, Alena," kata Firanda yang kemudian duduk di samping pengasuh anaknya itu.

"Dia tidak perlu membuka usaha, Firanda," ujar Jimmy, "aku akan membelikan apa pun yang dia inginkan setelah kami menikah," tambahnya dengan nada senang.

"Bagaimana keadaan Ethan dan Melissa?" tanya Alena untuk mengalihkan pembicaraan.

"Ethan sudah kembali sekolah, dia tidak begitu terpengaruh dengan kasus yang menimpa orang tuanya. Sedangkan Melissa, dia terus-terusan mengurung diri. Dia seperti orang gila, dia menginginkan bukti bahwa kau yang membunuh kakakku. Tentu saja, dia tidak punya bukti," jelas Jimmy.

"Remaja memang seperti itu, kau harus meyakinkannya, Jimmy!" kata Firanda.

"Mama, ada Tante Gila!" teriak Bobby dari ruang tengah.

"Nanti, Mama ke sana!" teriak Firanda menyahuti teriakan anaknya.

"Ada apa?" tanya Jimmy bingung.

"Dia sedang menonton televisi," kata Firanda, "anak itu memang senang sekali menunjukkan sesuatu yang ia lihat," tambahnya.

"Aku seharusnya membelikan mainan pada anakmu," kata Jimmy dengan nada sedih.

"Tidak usah, dia sudah punya banyak mainan," sahut Firanda.

"Dia sudah membuat tunanganku tidak sedih lagi, seharusnya aku berterima kasih padanya," kata Jimmy memandang ke arah Alena.

"Aku sudah menandatangani surat-surat itu, sepertinya kau sudah boleh pergi, Jimmy," ketus Alena.

"Baiklah, aku juga akan kembali ke kantor. Ada sesuatu yang ingin kuurus," kata Jimmy yang kemudian berdiri.

"Terima kasih, Jimmy! Kau sudah mau membawakan barang-barang belanjaanku," kata Firanda yang kemudian mengantar Jimmy ke pintu.

"Senang bisa mampir, Firanda," ucap Jimmy tersenyum.

"Dia hanya butuh waktu, kau harus sabar," kata Firanda menasehati Jimmy.

Firanda kemudian mengunci pintu setelah Jimmy pergi. Ia segera membalik dan melangkah menuju ke arah ruang tengah, namun suara keras mengagetkannya. Firanda berlari ke arah suara berasal. Dilihatnya di dapur isi kantong-kantong belanjaannya berantakan di lantai.

"Kau harus segera mati di tanganku," ucap seseorang di ujung dapur.

Firanda melihat Melissa dengan penampilan berantakan, membawa sebuah pisau di tangannya. Ia tengah menatap Alena yang berdiri ketakutan di ujung dapur yang lain. Firanda segera ingat teriakan Bobby. Tante Gila yang diteriakan anaknya bukan ada di televisi, tetapi memang ada di sini. Ia pun segera lari ke ruang tengah.

"Bobby! Kau harus sembunyi!" kata Firanda yang membopong anaknya menuju kamarnya.

Walaupun Bobby memberontak, Firanda tetap menguncinya di dalam kamar. Sedangkan ia segera menuju kembali ke dapur sembari menaruh kunci kamar anaknya di sakunya.

"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Alena.

"Seharusnya aku yang bertanya, kenapa rumah ini begitu mudah dimasuki," kata Melissa dengan ketus.

"Melissa, tolong hentikan, taruh pisau itu dan kau boleh kembali ke rumahmu," kata Firanda dengan pelan.

"Jangan bertindak bodoh, Melissa! Polisi akan menangkapmu," kata Alena.

"Aku belum menelepon polisi, jadi sebelum itu aku lakukan, kau bisa mengurungkan niatmu untuk membunuhnya," kata Firanda baik-baik.

Melissa mengangkat ujung meja di dapur itu dan membantingnya ke samping. Alena dan Firanda tampak terkejut. Gadis itu kemudian tertawa begitu keras.

"Aku sama sekali tidak takut dengan polisi," kata Melissa yang melangkah menuju ke arah Alena.

"Telepon polisi, Firanda, "bisik Alena menoleh pada Firanda.

Firanda mengangguk dan segera berlari menuju telepon rumah, namun ia baru ingat bahwa telepon rumahnya mati. Ia segera berlari menuju kamarnya, ia mencabut ponselnya yang sedang diisi daya. Ia menelepon polisi dan memberitahukan apa yang terjadi.

"Melissa!" teriak Alena.

Firanda mendengar suara teriakan Alena dan suara hentakan kaki. Melissa tengah mengejar Alena. Suara barang-barang dijatuhkan terdengar. Firanda bersembunyi di balik pintu dan mengawasi apa yang tengah terjadi. Alena melempar-lemparkan apapun yang bisa ia gapai. Boneka poselen itu berhasil melempar sebuah kotak ke wajah Melissa sehingga gadis itu terjatuh dan pisau yang ia genggam terlepas.

"Melissa, kau tidak apa-apa," kata Alena yang ketakutan melihat Melissa terbaring di lantai dengan kepala sedikit berdarah.

Firanda mengawasi di mana posisi pisau yang terlepas itu. Ia membuat panggilan pada Damian, namun matanya terbelalak saat Alena mendekati Melissa yang terbaring dan seketika pengasuh anaknya itu dicekik oleh si gadis gila. Alena mencoba berontak, namun Melissa tampak sangat kuat. Mulutnya mengeluarkan kata-kata kasar pada korban yang sedang ia cekik.

***

Ponsel Damian bergetar, ada panggilan masuk untuknya. Damian yang tengah berada di dalam mobil mengangkat ponselnya, namun hanya ada suara-suara acak. Ia tahu panggilan itu dari Firanda, namun karena tidak ada jawaban yang masuk ia menutup panggilan itu. Ia memilih menuliskan pesan pada istrinya bahwa dia akan pulang terlambat.

Sekarang Damian tengah duduk di dalam Mobilnya yang berhenti, ia memerhatikan sebuah rumah. Dengan mengatur napas, ia keluar dari mobilnya dan menuju rumah itu. Ia mencari-cari bel, namun karena ia tak menemukannya ia memilih mengetuk pintu.

Seorang wanita membukakan pintu, wanita berumur kita-kita tiga puluhan akhir itu terkejut melihat Damian.

"Rosa, apakah Lusi ada di dalam?" tanya Damian.

"Kau mencari Lusi?" tanya Rosa terlihat bingung.

"Ya," jawab Damian, "kalau begitu apakah Elsa ada bersamamu?" tambahnya bertanya.

"Lusi pergi, dia membawa Elsa. Aku tidak tahu kakakku ke mana, dia tidak memberitahu apa pun, padaku," kata Rosa.

"Kapan dia pergi?" tanya Damian.

"Selasa malam lalu, hampir tengah malam. Saat itu dia masuk dan membawa Elsa tanpa menjelaskan apa pun padaku. Dia hanya mengatakan bahwa dia akan kembali," jelas Rosa.

"Kautahu dia pergi dengan siapa?" tanya Damian lagi.

Rosa menunjuk ke arah mobil yang terparkir di jalan depan rumahnya. "Mobil itu, maksudku mobil seperti itu yang membawanya pergi," kata Rosa.

Damian segera sadar. Ia kemudian berpamitan dengan Rosa dan segera pergi. Di mana Firanda membawa Lusi? Itulah pertanyaan yang sedang berada di otak Damian. Ketakutan muncul di wajah tampannya. Ia seharusnya tahu bahwa istrinya bisa melakukan sesuatu yang diluar perkiraannya. Kecurigaan Damian pada istrinya demikian besar. Alasan bertemu Fiona untuk membeli karcis tidak bisa diterima, Damian beranggapan ada sesuatu yang Firanda lakukan selain memberi karcis pada malam itu.

Bunyi sirine polisi terdengar begitu keras. Damian panik bukan main saat melihat rumahnya dipenuhi banyak orang dan juga polisi. Ia segera keluar dari mobilnya dan berlari ke arah Alena yang duduk termenung dengan wajah ketakutan di depan rumah.

"Apa yang terjadi?" tanya Damian.

"Istrimu menyelamatkanku, dia telah membunuh Melissa untuk menyelamatkanku, " kata Alena lirih. "Pisau itu tepat menusuk lehernya," sambungnya yang membuat Damian sangat terkejut.

***

Question Time

1. Apa pendapat kalian tentang part ini?

2. Mana bagian favorit kalian di part ini?

Continue Reading

You'll Also Like

59.8K 7.6K 118
Novel ini bukan milik sendiri, diambil dari berbagai sumber. Ditranselate dari Bhs. Inggris dengan GT otomatis. Edit sesekali. Jangan Lupa di Vote y...
767K 33.9K 21
Yang berminat baca cerita ini bisa membaca versi lengkap di Aplikasi Stary Writing ya. Cari saja akunku irma_nur_kumala Azalea, bunga yang melambangk...
14M 1.2M 120
#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Ma...
1.9M 79.4K 37
Pernah di peringkat : #1 in action category (11 Agustus 2016 ~ 17 November 2016) Diftan Pablo seorang Mafia yg sangat tampan dan sangat kaya diusian...