Bus Biru

By gaachan

292K 25.9K 4.4K

Ada sebuah bus biru yang bertugas mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Bus itu sudah tua, tipe bus milik... More

Sekilas Info
Dua: Sekolah Baru
Tiga: Kehidupan Baru
Empat: Rahasia
Lima: Ochi VS Rean
Enam: Welcome, Brother!
Tujuh: Rean Kenapa?
Delapan: Canggung yang Membunuh
Sembilan: Tragedi Berdarah
Sepuluh: Confusing Momment
Sebelas: Adikku yang Malang
Dua belas: Mulai Terasa
Tiga belas: Dan Dia
Pengumuman
1. MengaTAI
2. SarkaSHIT
3. Love
4. Movement
5. FUCKta
6. Ambigay
7. Happiness
Notifnya gak masuk

Satu: Tawuran

21.2K 1.5K 277
By gaachan

            Mataku terbelalak kaget. Teman-temanku tergeletak, tak bergerak. Muka mereka lebam, berdarah-darah di tubuhnya. Aku tahu mereka masih bernapas, namun tetap saja... melukai teman-temanku sama saja dengan melukai harga diriku. Aku terdiam, lantas hanya bisa bungkam. Gerombolan lain di sana terbahak kencang, menampilkan rasa bangga dan juga meremehkan. Aku berdecih jijik, lalu melangkah seorang diri. Aku sedang cari mati. Mereka masih terbahak, meremehkanku yang melangkah sendiri. Di antara cowok-cowok yang tekapar dengan tubuh berdarah ini akulah yang masih bisa tegak berdiri. Aku datang terlambat, jadi tentu saja hanya aku yang masih bisa bertahan.

"Bajingan!" Aku berteriak ganas, membentak mereka dengan wajah marah. Ketua gembong preman ikan asin itu tertawa kencang, tergelak dengan wajah menggelikan.

"Udah, kalah deh kalah! Tuh kan temen lu udah pada kalah!"

Aku menoleh, menatap teman-temanku yang separuh tersadar. Mereka menggeleng, mengisyaratkan padaku untuk nggak berbuat ceroboh. Namun tetap saja aku kesal dibuatnya. Sahabatku, Aldi menarik sepatuku. Dia mengernyit kesakitan, menggeleng dengan wajah memohon.

"Jangan..." bisiknya pelan. Aku sudah terlalu kalap. Aku datang terlambat karena tadi masih sibuk dengan remidi. Aldi menarik sepatuku kencang. Aku tahu kalau dia sudah kehabisan tenaga untuk berdebat, namun tenaganya muncul begitu saja ketika aku ingin melangkah.

Aku bukan pemeran utama dalam film tawuran, sama sekali bukan. Aku jelas nggak mampu berdiri melawan mereka semua. Akan tetapi aku hanya salah satu personil tawuran yang datang terlambat dan terpaksa melihat teman-temanku kalah.

"Sini!! Maju kalian!!" Aku menjerit gusar. Aldi masih mencoba menarik sepatuku, mendengus dengan wajah kesakitan. Aku sudah bertekad untuk jadi personil tawuran berani mati. Aldi memeluk betisku spontan. Aku mencoba melepaskan diri dari cengkeramannya, namun dia masih bersikeras untuk mempertahankanku.

"Sini, sini! Berantem sini!" Aku melangkah, mencoba menarik Aldi yang masih setia memeluk betisku. Gerombolan lawan terbahak kencang, menertawakan kegiatan kami.

"Kamu bukan Takiya Genji, Tio!" Aldi mendengus nggak terima. Aku lupa, aku memang bukan pemeran utama di film tawuran. Dibanding Aldi saja aku masih kalah dan nggak ada apa-apanya. Aku hanya bisa bermulut besar, mengumpat sesukanya, lalu menyerang dengan brutal. Jelas saja aku dan cowok bernama Takiya Genji di film itu jauh kalau dibayangkan.

"Lalu? Aku harus apa?" Aku menunduk, menatap Aldi yang juga mendongak dengan raut pias. "Apa aku kabur aja?"

Aku sadar, aku pengecut dan bukan tipe cowok jantan. Aku hanya tergabung dalam komunitas mencurigakan yang hobinya tawuran.

"Emangnya kita lagi berantem gara-gara apa, sih?" Aku melongo, mencoba memastikan. Ah, tepatnya mencari jawaban.

"Soal cewek. Cewek dia selingkuh sama murid sekolah kita."

Aku menggaruk tengkukku. Itu kan masalah pribadi. Kenapa kami harus ikut campur? Memangnya dapat apa kalau ikut campur urusan percintaan seseorang? Aku juga masih jomblo, kenapa harus ikut campur urusan cinta orang lain?

"Lalu urusan kita apaan?"

"Soal harga diri, lah! Temen kita dikeroyok sama mereka."

"Oh..." Aku manggut-manggut sekarang, menoleh ke arah gerombolan itu dengan wajah cengo. Aku benar-benar nggak tahu harus bereaksi seperti apa. Lalu, mulut yang biasanya digunakan mengumpat dan juga berbohong ini kembali bersuara. Dengan nada pedas seperti biasanya.

"Kalian udah dibodohi dengan urusan cinta," ucapku dingin. Tawa yang sempat menyembur dari bibir cowok tinggi besar di depanku itu tiba-tiba lenyap. Aldi berdiri dengan susah payah, bersandar padaku dengan tubuh limbung.

"Kita udah kalah, jangan bikin gara-gara!" Aldi berbisik pelan. Aku nyengir, lalu berdehem. Aku tahu kalau kami sudah kalah, tapi tetap saja menundukkan kepala sama sekali bukan gayaku. Aku nggak suka kalau harus direndahkan semudah itu.

"Harusnya kalian tanya aja sama ceweknya, kenapa dia mau? Jangan-jangan emang dia yang kegatelan." Mulutku jadi lebih menakutkan sekarang. Aldi melotot, menginjak kakiku kencang. Kadang aku memang harus diingatkan kalau punya mulut yang suka sekali bicara seenaknya tanpa melihat situasi. Mulutku bergerak secara naluri, bukan situasi.

Wajah geng lawanku itu mengernyit, matanya berkedut menahan marah. Aku melirik Aldi yang balas melotot padaku. Dari tatapannya, jelas sekali kalau dia menyalahkan semua yang kukatakan. Otak mereka hanya otak udang. Tahu bagaimana otak udang? Di atas kepala udang hanya ada kotoran. Tai. Jadi cara mikirnya pun nggak jauh-jauh dari kotor.

"Maju sini, lu!"

Aku mikir.

"Kalian beraninya keroyokan, ah!"

Aku benar-benar korban film!

"Ya udah, sini lu satu lawan satu sama gua!" Salah satu dari mereka, yang badannya kekar dan juga seram maju di depanku. Aku menelan ludah, lantas melirik Aldi yang juga sama bengongnya.

"Kamu, sih!" ucapnya kencang, menyikut perutku. Aku memang pengecut. Iya, aku tahu itu! Lantas karena sudah nggak tahu mau apa, sebuah pemikiran sialan melanda otakku. Aku jelas mikir soal ini. Aku belum nikah. Itu poin satu, catat. Aku masih banyak dosa. Itu yang kedua. Kalau berurusan dengan akhirat, meski aku anak durhaka nan tengil begini pastinya takut juga, lah!

"Jadi, aku harus gimana?" Aku balas bertanya pada Aldi. Aldi melotot, menyalahkan. Karena tahu kalau cowok babak belur di sebelahku ini nggak mungkin memberikan saran, jadi aku yang harus memutuskan. "Hitungan tiga siap-siap, ya!"

"Apaan?"

"Nurut aja!"

Aku berdehem, lalu melangkah seorang diri. Aldi melongo, menunjuk-nunjuk dengan wajah emosi. Kadang aku bertindak dulu baru mikir belakangan.

"Sini, sini! Lawan aku kalau berani!" Aku beranjak maju. Cowok badan kekar itu mengepalkan tinjunya. Aku menelan ludah, dalam beberapa detik aku bergerak maju terburu. Aldi memanggilku kencang. Tiga langkah di depan cowok kekar itu aku berhenti mendadak, berbalik spontan dan menarik lengan Aldi.

KABUR!

Sementara mereka mulai menjerit dan mengejar kami.

***

Kalau ditanya apa yang membuatku senang, mungkin tawuran adalah jawabannya. Aku nggak tahu kenapa begitu menikmati acara kekanakan berbahaya yang nggak mencerminkan anak berbudi luhur itu. Nggak masalah, sih! Aku juga nggak tahu kenapa aku suka begitu. Broken home? Ah, nggak! Kedua orang tuaku masih sangat menyayangiku. Mereka berasal dari keluarga harmonis dan juga berkecukupan. Kesepian? Nggak, kok! Aku punya banyak teman. Lalu... pergaulan? Ini separuh benar. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan mengutamakan persahabatan dibading apapun juga. Melukai temanku sama saja dengan melukai harga diriku.

Nah! Mindset. Itu yang membuatku jadi hobi tawuran. Meski orang mencela, kok ya bisa tawuran dijadikan hobi... Nggak apa, lah! Hobi adalah kegemaran. Orang nyolong duit negara juga karena hobi. Kan mereka bukan didesak faktor ekonomi. Duitnya udah banyak, tapi masih suka ambil yang bukan miliknya. Namanya hobi. Hobi korupsi.

Tsaaaaahhh.... aku jadi sok kri...TIKUS!

"Lagi-lagi kamu tawuran! Mau jadi apa kamu??!" Ayahku marah. Ibuku di belakangnya melotot nggak kalah bengisnya. Aku anak satu-satunya, tapi susah diatur. Nggak ada kata dimanja dalam kamus kedua orang tuaku. Kalau aku dimanja, mungkin sampai besar nanti aku akan jadi lemah dan menye-menye. Nggak, nggak!

"Ayah tahu darimana?" tanyaku. Ayah melotot, menampakkan emosi yang meluap-luap. Aku sudah sering bermalam di kantor polisi. Ayah selalu saja datang menjemputku, lalu mengomel di sana. Aku sudah hafal hal yang seperti itu, jadi aku nggak akan pernah protes. Aku sudah biasa.

Ayahku berteriak kencang setiap harinya. Menghujatku, tertunduk dengan penuh penyesalan. Mungkin menyesal karena bibit sperma yang sampai di kantong rahim ibuku bukan kualitas pilihan.

Setelah lama mengomel dan memukulku, ayahku selalu saja minta maaf. Minta maaf karena nggak berhasil jadi orang tua yang baik. Aku tahu, aku sadar. Aku pasti akan didorong masuk ke neraka kalau sudah mati nanti.

Hari-hariku diwarnai dengan omelan dan juga teriakan ayahku. Lalu hari itu datang. Hari dimana ayah membuangku. Bukan membuangku ke panti asuhan, bukan. Siapa yang mau menampung cowok sekeren ini selain di tempat pelacuran? Hahaha... nggak, nggak. Aku tahu kalau mereka masih sayang dan peduli padaku.

Hanya saja, lebih baik aku dilemparkan ke tempat pelacuran. Minimal jadi gigolo penghibur tante-tante harus belaian, lah! Tapi nyatanya, aku nggak dibuang ke sana. Aku dibuang ke tempat yang jauh lebih menyeramkan. Tempat yang jadi tujuan terakhirku, tempat yang membuatku harus meradang panas dingin dan juga ketakutan setengah mati. Nggak ada orang jahat di sana, nggak ada. Tapi ada satu orang yang justru lebih menakutkan daripada preman dan geng tengiri manapun.

Rumah nenekku.

"Nggak ada tempat lain apa, yah?" Aku mengerut, berteriak protes. Ini pertama kalinya aku protes. Biasanya aku menerima saja apapun yang ayah berikan padaku dalam kasta "hukuman". Ayahku menggeleng, ibuku juga ikut menggeleng.

"Lalu sekolah?" Oh, untuk pertama kalinya aku peduli dengan yang namanya sekolah. Aku lebih ikhlas kalau dikurung dalam ruang kelas bersama guru lipstik menor galak menyeramkan dibanding harus dibuang ke tempat itu.

"Pindah sekalian." Ibuku yang menjawab kali ini. "Sejak kapan kamu peduli sama sekolah? Kemarin-kemarin kamu bolos demi tawuran nggak jelas ala suporter sepak bola itu!"

Aku tertegun. Padahal aku nggak terlalu fanatik soal bola, tapi aku nekad ikutan saja. Aldi yang awalnya nggak tahu apa-apa juga ikut kuseret.

"Mamanya Aldi sampe ngadu ke ibu soal ini!" Ibuku masih mengeluh. Aku tahu, Aldi itu tipe anak manis luar tapi iblis di dalam. Bagus sekali, ya Aldi! Kamu membuatku jadi pemeran antagonis sekarang!

"Tio kos, deh! Kosss....!" Aku memohon. Nggak masalah aku dipindahkan ke sekolah di manapun, asalkan aku nggak tinggal di tempat itu.

"Ngapain kamu kos? Kan enak tinggal di rumah nenek kamu. Ada yang bikinin sarapan, ada yang ngawasin...."

"Juga, ada yang mukulin..." bisikku kesal.

Ayah dan ibuku tergelak puas. Aku tahu, ini bukan usia pas kalau ingin dipukuli. Ayah sering menamparku kalau sedang emosi, tapi tetap saja itu beda. Kalian pernah lihat cowok SMA yang masih dipukuli betisnya dengan rotan? Oh, iya.. itu nenekku!

Sudah gitu, kalimat yang muncul dari bibir nenekku juga sakral sekali.

"Bilang maaf! Kapok, nggak? Kapok?" Lalu rotan itu memukul betisku bergantian. Sumpah, aku lebih memilih ditonjok ratusan geng brutal SMA sebelah daripada harus diperlakukan seperti itu. Harga diri! Harga diri! Nenekku itu masih terlalu konvensional alias kuno dalam memperlakukan seorang cowok.

"Yaaaahhhh...." Kali ini aku memohon. Ayah dan ibuku menggeleng kencang.

"Ayah yang akan mengurusi surat kepindahan kamu! Sana kamu packing!"

"Ibu bantu packing." Ibuku bergerak lebih dulu.

"Kalian segitu bencinya sama anak semata wayang kalian ini sampai aku dibuang ke sana??" Lagi-lagi protes melandaku. Ayah dan ibuku hanya mengedikkan bahunya.

"Udah lama kami berpikir soal ini. Jadi sekarang udah saatnya!" Ayahku memberikan ultimatum menegangkan sekaligus menakutkan. Ayahku sudah mengetukkan palunya, seperti seorang hakim yang memberikan keputusan bersalah dan vonis di pengadilan.

Aku menjerit nista hari itu. Sumpah, bisa nggak ada destinasi yang lebih baik daripada ini?

***

"Hah?! Kamu dibuang ke rumah nenekmu?" Aldi berteriak kencang, menembus gendang telingaku. Aku mengangguk mengiyakan. Aldi terbahak kencang setelah itu. Dia menahan perutnya karena tawa. Aldi tahu sejarah kenapa aku sangat membenci tempat itu.

"Nggak ada sinyal, nggak ada tempat nongkrong, dan juga ada nenek-nenek yang cerewetnya setengah mampus."

"Gitu-gitu dia nenekmu. Seseorang yang juga ikut menyumbang gen ke tubuhmu."

"Makanya aku jadi cantik, kan? Cantik, kan?" Aku bertanya ironis.

"Mungkin sifat gaharmu itu turunan dari beliau."

"Aku nggak butuh info soal ini."

"Lalu sekolah gimana?"

"Pindah juga!" Aku mengedikkan bahu. Kentang goreng di depanku terabaikan karena pikiranku masih melantur kemana-mana.

"Wah, LCD berganti jadi papan tulis hitam dan kapur! Abad kuno kerajaan!"

"Nggak usah dijabarin!"

"Lagian, kamu kan ogah dengerin pelajaran juga! Nggak ada pengaruhnya, kan?"

"Oke, asal nenek-nenek itu nggak ikut berpartisipasi dalam hidup baruku."

"Ih, durhaka!"

"Makasih!"

Obrolan kami berlangsung random. Aldi adalah sahabatku. Kami tumbuh bersama sejak kecil. Kami mirip. Sama-sama tukang ngomel, doyang tawuran, dan juga hobi rusuh. Hanya saja Aldi jauh terlihat lebih "anak baik-baik". Semua orang pasti mengira cowok ini adalah anak rajin sekolah dan juga patuh pada ibunya. Tapi kenyataannya, nol. Dia juga sama sialannya denganku.

"Selamat tinggal, ya bro. Jangan lupa telepon!"

"Nggak ada sinyal!" dengusku setelah itu. Aldi bungkam, melirikku sekilas dan mengacak rambutku. Dia terkikik geli setelah itu. Kami berpandangan, dengan sudut bibir berkedut dramatis.

"Mau bikin rusuh untuk yang terakhir kalinya?"

"Yuk!"

Hari itu kantor polisi pasti akan menyambut kami dan gerombolan anak nakal lainnya lagi.

***

Aku mendengus.

Setelah melihat reality show di depan mataku, aku menguap panjang. Ibuku dan nenekku berpelukan. Ayahku juga ikut memeluk nenekku.

"Titip Tio, ya bu..." Ibuku menangis sedih. Sedih karena perpisahan, atau mungkin tangis karena geli? Geli dan juga lucu karena pada akhirnya anak nakal kesayangannya ini jatuh pada tangan yang tepat?

"Iya, iya.. kamu nggak usah cemas. Nanti ibu rawat dia."

"Yah, aku boleh balik, nggak?"

"Balik? Nggak mau warisan, nih?"

Jujur, aku terlalu matre dan juga terlalu picik. Aku anak menjijikkan. Aku lebih mementingkan warisan dari ayahku dibanding memikirkan keselamatanku sendiri. Tiap kali ayah membahas warisan, aku selalu dihujat. Diancam. Ayah mengatakan kalau warisannya bisa dia lemparkan ke panti asuhan saja. Aku tahu kalau ayahku nggak pernah main-main dengan ancamannya. Aku tahu itu!

Selamat tinggal tawuran, fasilitas, tempat nongkrong, juga sahabatku yang agak sarap. Aldi, selamat tinggal!

Aku pasrah.

Aku akan belajar jadi masokis mulai sekarang.

Ayah dan ibuku melambai pulang. Mobil mereka menjauh, menyisakan aku dan seorang perempuan tua yang masih terlihat sangat perkasa. Aku menoleh takut-takut. Aku sadar kalau nenekku nggak akan berbuat gahar saat ini. Ini pertemuan pertama kami, kan?

Tapi, aku salah!

Benar-benar salah.

"Itu telinga kenapa pakai tindik-tindik!!!" Nenekku berteriak kencang, mengambil rotan kesayangan dan keramatnya lalu bersiap melayangkan benda pusaka itu ke betisku.

Aku lupa, benar-benar lupa! Kenapa aku lupa melepas anting-antingku! Kenapa ayah dan ibu nggak mengingatkan? Ah, aku tahu! Mereka pasti sengaja! Mereka pasti sengaja mengabaikannya agar aku segera disiksa!

Orang tua macam apa mereka?

"Kamu itu, lho! Cowok kok ya pakai anting-anting. Mau jadi cewek? Mau nenek pakein rok sekalian?" Lalu bibir itu mulai mengomel. Panjang. Lama. Sesekali rotan itu melayang di bokongku. Aku bersiap kabur, namun sayangnya nenekku lebih gesit. Beliau menarik lenganku dan melayangkan rotan itu di bokongku lagi. Tangan nenekku yang satunya segera menarik anting-antingku. Antingku berbentuk bulat dan juga menempel erat di telingaku. Ketika anting itu ditarik paksa, tentu saja....

Berdarah....

Hari pertamaku jadi masokis.

Mungkin besok-besok aku ditemukan teronggok mengenaskan. Meski aku tahu, nenekku jauh lebih menyayangiku dibanding kedua orang tuaku sekalipun. Karena aku cucu satu-satunya.

TBC

Masih dipenuhi dengan cerita absurd. Aku nggak tahu apa bisa update cepat nih.. 

Continue Reading

You'll Also Like

303K 38.7K 129
Seandainya seishuu Series -3- Adalah perandaian singkat dan sederhana para tokoh di dunia Seishuu. Seandainya mereka menemukan ditempatkan, dan mengh...
21.8K 3.6K 7
Dua-duanya anak ekskul animal lovers. Dua-duanya juga pecinta hewan divisi dog lovers. Ada suatu cerita, tentang Dean yang pernah dikeroyok oleh empa...
467K 48.9K 29
Ichimatsu Tokiya adalah murid kelas 3 SMA Koutemae yang terkenal bodoh, suka membuat onar, bertengkar, sering dihukum, dan pelanggar peraturan sekola...
113K 13.6K 11
When Love Series #1 - When Love Walked In © sllymcknn Varo tahu bahwa Anggra tidak pernah memaksakan suatu kehendak apapun padanya. Tapi cowok itu se...