Bunga Iris dan Takdir

Oleh hanyapisang

77.4K 11.5K 2.1K

Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yan... Lebih Banyak

PROLOG
Apa Kabar?
Teman?
Bendera Perang?
Tuan?
Canggung?
Kabar Buruk?
Kehadiranku?
Pindah?
Spekulasi?
Choi Seungcheol: Takdir, Sial!
Choi Seungcheol: Double Sial!
Setuju?
Jatuh Cinta?
Nyaman?
Mengobatiku?
Tidak Berbakat?
Jengkel?
Tawaran Perdamaian?
Pernyataan Cinta Soonyoung?
Cemburu?
Kemungkinan?
Alasan?
Kepastian?
Fokus?
Tanpa Kabar?
Tidur Bersama?
Sialan?
Berbicara?
Bagaimana?
Special Story I
Berbeda?
Move On?
Kencan?
Hai?
Pesan?
Orang Luar?
Milikmu?
Mengejutkan?
Power Bank?
Akhirnya?
Satu Menit?
Lee Jihoon: Dua Orang Bodoh
Choi Seungcheol: Hah!
Choi Seungcheol: Drama!
Harga Diri?
Bekas Ciuman?
Payung sebelum Hujan?
Yang Terbaik?
Special Story II: Lets Play A Game!
Special Story II: Never Have I Ever...
Deal?
Harga Diri? #2
Sudah Saatnya?
Hangat?
Pulanglah?
Keras Kepala?
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Ragu?
Berbicara? #2
Special Story IV Seungcheol's Birthday

Kesan Pertama?

1.4K 237 10
Oleh hanyapisang

Well, you asked for it
For your perusing,
At times confusing,
Slightly amusing
Introducing me!

(Introducing Me, Nick Jonas)

----------------------------------------

Pukul 18:30.

Apa aku ketiduran?

Bagaimana mungkin aku bisa ketiduran dalam waktu selama ini? Bukankah harusnya sekarang sudah masuk jam makan malam?

Tadi setelah mengakhiri pembicaraanku dengan Choi Seungcheol di telepon, aku segera menyusun rencana, menyiapkan kalimat jawaban jika saja Choi Seungcheol bertanya mengenai alasan kepindahanku. Dan sialnya sebelum aku menemukan jawaban yang tepat, aku sudah terlebih dulu jatuh tertidur.

Sejujurnya prediksiku Choi Seungcheol akan menandatangani surat permohonan pindahku tanpa menanyakan apapun padaku, namun tetap saja aku harus berjaga-jaga. Choi Seungcheol pasti akan merasa senang jika tahu aku ingin pindah dari kamar ini. Karena dengan itu dia bisa menepati janjinya ke Jang Doyoon.

Aku menghela napas cukup panjang, kemudian bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci mukaku di wastafel. Lebih baik aku turun ke kafetaria untuk makan malam. Perutku benar-benar keroncongan setelah tadi aku melewatkan sarapan dan hanya memakan dua sandwich dan satu apel untuk makan siang.

Setelah menghilangkan sisa-sisa mengantuk dari wajahku dengan air, aku kembali menuju tempat tidurku untuk mengambil ponsel yang tadi kulupakan begitu saja dan mengantonginya di saku celana, sebelum akhirnya keluar dari kamar.

"Yoon Jeonghan?"

Seseorang memanggilku ketika aku sedang menuruni anak tangga.

Si pemilik senyum ceria.

Aku menyunggingkan senyum sebagai balasan padanya ketika dia menjejeri langkahku. Sial, aku lupa siapa namanya.

"Mau ke mana?" tanyanya berbasa-basi.

"Kafetaria," jawabku. "Makan malam. Kau sendiri?"

"Sama, aku juga mau ke sana. Mau bareng? Kita bisa mencari tempat duduk bersama."

Aku mengangguk mengiyakan dengan sedikit ragu. Bagaimana nanti aku akan mengobrol dengannya kalau aku tidak mengingat siapa namanya?

Di kafetaria suasana sudah lumayan ramai. Para penghuni sudah banyak yang datang untuk makan malam.

Setelah mengantre dan mengambil makanan, aku dan 'si pemilik senyum ceria' mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang masih kosong.

Aku mengernyit, melihat lambaian tangan yang sepertinya ditujukan untukku.

Boo Seungkwan.

Dian da memang sedang melambaikan tangannya padaku, memintaku untuk datang ke mejanya.

"Apa kau tidak masalah jika kita bergabung dengan Boo Seungkwan dan yang lainnya?" tanyaku kepada 'si pemilik senyum ceria'. Bagaimanapun dia yang telah duluan mengajakku untuk duduk satu meja dengannya, jadi kalau dia tidak setuju untuk bergabung bersama Boo Seungkawan dan yang lainnya, terpaksa kami akan mencari meja lain.

"Tidak masalah," jawabnya. "Aku mengenal mereka dengan lumayan baik."

Aku dan 'si pemilik senyum ceria' berjalan menghampiri meja yang sudah ditempati oleh Boo Seungkwan, Hong Jisoo, dan Hansol Vernon, kemudian duduk di kursi yang masih kosong di meja mereka.

"Hai Soonyoung," sapa Seungkwan bersemangat seperti biasa. "Hari ini kau ikut bergabung bersama kami?"

Benar, Kwon Soonyoung. Itulah nama 'si pemilik senyum ceria' yang saat ini sedang duduk di depanku ini. Mulai sekarang aku tidak boleh melupakan namanya lagi.

"Ya," jawabnya, dengan senyum lebar di wajah yang membuat matanya menjadi dua buah garis. "Kalian tidak keberatan kan jika aku ikut bergabung?"

"Tentu saja tidak," kali ini Hong Jisoo yang duduk di sebelahku yang menjawab dengan menggoda. "Lagian kau sudah duduk terlebih dulu di situ sebelum bertanya tentang apakah kami keberatan atau tidak."

"Strategiku," Kwon Soonyoung menanggapi juga dengan nada bercanda. "Supaya kalian tidak akan menolakku untuk bergabung bersama di sini."

Perhatianku tiba-tiba teralihkan pada Hansol Vernon yang tengah asyik menyantap makan malamnya dengan tenang, seperti biasanya. Jika sedang makan, Vernon memang tidak banyak berbicara dan hanya akan fokus pada makanan di depannya. Sudah hampir satu minggu aku tidak bertemu dengannya.

Tanpa sengaja pandangan kami bertemu ketika dia mengangkat wajahnya. Vernon lalu memberikan senyumnya untuk menyapaku. "Hallo Jeonghan."

"Hai Vernon, lama tidak bertemu denganmu," balasku. "Bagaimana kabar anjingmu?"

"Nama anjingnya Domino," Seungkwan ikut menimpali, lagi-lagi seperti biasanya, memberikan informasi tambahan yang tidak aku tanyakan. "Anjing ras Golden Retriever"

Aku menganggukkan kepalaku sebagai respon. Golden Retriever adalah salah satu jenis anjing ras yang populer dari Inggris.

"Domino?" ulang Kwon Soonyoung terdengar tertarik. "Kenapa kau memberi nama Domino untuk anjingmu?"

"Karena aku suka membaca komik Marvel," jawab Vernon. "Nama Domino kuambil dari salah satu karakter X-Men yang memiliki kekuatan mutan berupa keberuntungan."

"Dan sepertinya kemarin Domino sedang kehilangan keberuntungannya," sahut Hong Jisoo sebelum meminum jus jeruknya. "Makanya dia bisa sampai jatuh sakit."

Vernon mengangguk. "Sepertinya memang begitu."

"Bagaiamana kabar Domino?" aku mengulang kembali pertanyaanku yang belum sempat dijawab olehnya. "Sakit apa dia?"

"Kata dokter Infectious tracheobronchitis."

"Kennel cough?" tanyaku memastikan.

Vernon kembali mengangguk. "Untungnya kondisinya sudah lebib membaik."

"Apa dia masih batuk-batuk sampai sekarang?" tanyaku lagi prihatin.

"Sudah tidak terlalu."

"Syukurlah kalau begitu."

Seungkwan memberiku pandangan penasarannya. "Jeonghan, apa kau tahu banyak soal penyakit anjing?"

"Tidak banyak," jawabku. "Kebetulan saja aku juga punya seekor anjing di rumah."

"Benarkah?" Vernon benar-benar terlihat tertarik. "Jenis apa?"

"Akita."

"Apa itu jenis ras yang sama dengan anjing Hachiko yang patungnya ada di depan stasiun Shibuya Jepang?" kali ini Hong Jisoo yang bertanya.

Aku mengangguk membenarkan.

"Apa warna bulunya juga putih seperti anjing Hachiko?" Hong Jisoo kembali bertanya.

"Tidak. Bulu bagian dalamlnya memang putih, tapi bulu bagian luar cokelat keemasan."

"Jisoo, ternyata kau tahu cukup banyak soal ras anjing," komentar Seungkwan memuji.

"Tidak juga," Hong Jisoo mengangkat pundaknya sambil lalu. "Aku pernah mengunjungi tempat itu dan membaca artikel mengenainya dulu."

Semua penghuni asrama tahu bahwa Hong Jisoo sangat kaya raya, jadi tidak ada satupun dari kami yang heran ketika tahu dia pernah pergi ke Jepang.

"Siapa nama anjingmu Jeonghan?" Kwon Soonyoung ikut melibatkan diri dalam topik tentang anjingku dengan tertarik.

"Odessius."

"Dan kenapa kau memberikan nama itu untuk anjingmu?" Kwon Soonyoung menanyakan lagi pertanyaan yang sama seperti yang tadi ditanyakannya ke Vernon.

"Oddyseus adalah tokoh utama dalam perang Troya. Aku menyukai kecerdikannya untuk bisa lolos dalam setiap kesulitan yang menghadangnya," jelasku.

"Apa orang-orang yang memiliki hewan peliharaan akan memikirkan nama hewan peliharaan mereka seperti orang tua menamai bayinya?" tanya Seungkwan sambil mengunyah nasi karinya. "Selalu ada harapan di setiap nama yang diberikan orang tua untuk anaknya. Contohnya kalian berdua, yang satu berharap anjingnya menjadi anjing beruntung dan yang satu berharap anjingnya menjadi anjing yang cerdik."

"Menurutku tidak juga," sahut Hong Jisoo. "Beberapa kenalanku yang punya hewan peliharaan memberi nama-nama yang lucu atau terdengar imut ke hewan peliharaan mereka, seperti nama makanan misalnya. Aku punya teman yang menamai kucingnya Mandu, dan menurutmu apa itu berarti dia berharap kalau kucingnya akan seenak pangsit?"

"Temanku malah memberi nama 'Abeoji' (ayah) ke tikus peliharaannya," tambah Kwon Soonyoung.

Sontak suara tawa memenuhi meja kami.

"Dan bagaimana kabarmu Jeonghan?" tanya Vernon setelah suara tawa kami mereda. "Aku dengar kalau kau habis sakit?"

"Hanya demam biasa," tukasku. "Sekarang sudah sembuh setelah minum obat dan istirahat."

"Kau sakit?" seru Kwon Soonyoung kaget. "Apa karena itu beberapa hari yang lalu kau tidak masuk kelas koreografi? Oh, omong-omong kita satu kelas di kelas koreografi."

"Kau tidak masuk kelas koreografi?" kali ini giliran Boo Seungkwan, yang entah kenapa, ikut-ikutan berseru kaget. "Bukannya paginya kau ikut kelas melukis? Kenapa siangnya kau bolos kelas koreografi?"

Oh!

Demi Tuhan, bagaimana Boo Seungkwan bisa tahu semua jadwal kelasku lebih baik dibandingkan diriku sendiri? Sampai saat ini aku bahkan masih harus mengecek catatanku untuk tahu jadwal-jadwal kelas yang aku ikuti.

Dan juga, jawaban apa yang harus aku berikan padanya? Jelas-jelas aku bolos kelas koreografiku bukan karena sakit. Aku bolos karena aku menghabiskan waktuku bersama Lee Jihoon membicarakan tentang Choi Seungcheol.

Apa aku berbohong saja pada mereka kalau aku memang saat itu sudah merasa tidak enak badan?

"Aku..."

Tiba-tiba kurasakan ponsel yang ada di dalam saku celanaku bergetar sebagai tanda adanya panggilan telepon yang masuk.

Penyelamatku!

Fiuh!

Benar-benar panggilan telepon yang datang di saat yang sangat tepat. Siapapun orangnya yang meneleponku,  dia telah menyelamatkanku dari keharusan untuk berbohong.

Aku mengeluarkan ponsel dari sakuku dan berkata dengan raut meminta maaf, "Uh maaf, aku harus permisi sebentar untuk mengangkat telepon..."

Berjalan ke arah lobi asrama, aku melirik sekilas layar ponselku. Tulisan nama "Choi Seungcheol" dengan sangat jelas bisa terbaca di sana.

***

"Jadi Yoon Jeonghan, apa yang ingin kau bicarakan?"

Saat ini aku sedang duduk berhadapan dengan Choi Seungcheol. Tadi dia menelepon untuk memberi tahuku bahwa dia sudah berada di asrama, tepatnya di ruang ketua asrama di lantai dua. Dan jika aku ingin berbicara dengannya aku bisa datang menemuinya di sana.

Aku meletakkan kertas di atas meja kerjanya yang saat ini memisahkan kami. "Aku hanya ingin kau menandatangani ini."

Choi Seungcheol mengambil kertas tersebut dan mulai membacanya untuk beberapa saat.

"Kau ingin pindah kamar?" tanyanya sambil mengernyitkan keningnya.

"Ya, karena itu sesuai dengan prosedur aku meminta tanda tanganmu."

"Kenapa?"

Kenapa?

Apa maksudnya dengan 'kenapa' itu?

"Aku butuh alasan," sahut Choi Seungcheol menatap lurus ke arahku. "Kenapa kau ingin pindah dari kamar yang kau tempati sekarang?"

Di luar prediksiku, ternyata Choi Seungcheol menanyakan alasan kepindahanku. Karena belum menemukan jawaban yang tepat, aku hanya bisa menutup mulutku, terdiam sambil membalas tatapannya.

"Apa kau tidak menyukai teman sekamarmu?"

Bagaimana bisa Choi Seungcheol dengan tidak tahu malunya menanyakan hal itu? Siapa yang dia tuduh tidak menyukai teman sekamarnya itu? Apakah dia lupa tentang perlakuannya padaku?

"Yoon Jeonghan, tolong jawab aku!" pinta Choi Seungcheol ketika aku tidak juga merespon pertanyaannya. "Apa kau tidak menyukai sekamar denganku?"

Demi Tuhan, Choi Seungcheol sangat pintar memutarbalikkan fakta. Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu padanya? Kenapa malah sekarang dia menunjukkan raut sedih seperti itu. Apa saat ini dia hanya sedang berpura-pura, menyembunyikan rasa senangnya dengan ekspresi sedihnya itu?

"Kau ingin pindah karena tidak menyukaiku sebagai teman sekamarmu?" Choi Seungcheol terus mendesakku.

"Tidak," jawabku, berusaha membuat suaraku terdengar semantap mungkin. "Aku tidak tidak menyukaimu."

Entah kenapa Choi Seungcheol langsung terlihat lebih rileks. Bahkan aku bisa melihat senyum samar-samar di bibirnya. "Kalau begitu kenapa kau ingin pindah kamar? Jika tidak ada alasan kuat kenapa kau ingin pindah dari kamarmu yang sekarang, aku tidak bisa menandatangani surat kepindahan kamarmu."

"Tapi Mr. Shin sudah menyetujuinya," protesku.

"Tapi dengan catatan jika aku memberimu izin untuk melakulannya," sergah Choi Seungcheol cepat. "Jadi kau bisa menyampaikan dulu apa alasanmu ingin pindah, lalu aku bisa memutuskan apakah akan menandatangani kertas ini atau tidak."

Sepertinya memang tidak ada pilihan lain buatku selain bicara blak-blakkan dengannya.

"Aku pindah karena kau tidak menyukaiku," kataku pelan, hampir seperti gumaman.

"Apa?"

Apa Choi Seungcheol benar-benar merasa bingung seperti yang terlihat di wajahnya saat ini? Atau dia hanya berpura-pura? Apa mungkin Choi Seungcheol mengambil kelas akting untuk semester ini dan sekarang tengah mempraktikkan ilmu yang didapatnya padaku?

Melihat ekspresi kaget bercampur bingung di wajah Choi Seungcheol saat ini, membuatku juga ikut bingung. Apa sebenarnya yang dia mau?

"Aku tahu kau tidak menyukai kehadiranku," kataku lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras. "Bahkan kau tidak berusaha menyembunyikan sikap tidak sukamu itu padaku sejak awal. Jadi daripada tinggal satu kamar membuat kita secara tidak langsung saling menyakiti satu sama lain, bukankah lebih baik kalau aku pindah?"

Choi Seungcheol terdiam sejenak, membuat ruangan menjadi hening.

"Yoon Jeonghan," Choi Seungcheol memecah keheningan di antara kami. "Apa kau pernah mendengarku mengatakan bahwa aku tidak menyukai kehadiranmu?"

Aku ingin sekali menjawab dengan mantap bahwa aku pernah mendengarnya, beberapa waktu lalu di kamar kami setelah kejadian aku yang membantunya membayar makanannya. Tetapi sejujurnya aku juga tidak yakin apakah dia benar-benar mengatakan hal itu. Apalagi Choi Seungcheol memang tidak pernah mengucapkannya secara gamblang padaku.

Tapi bukankah itu juga tidak penting jika melihat sikapnya saja sudah menunjukkan ketidaksukaannya padaku?

"Meskipun kau tidak mengatakan apapun, sikapmu selama ini padaku sudah menunjukkan bagaimana kau membenci kehadiranku," ujarku, memberinya seulas senyum yang tidak sampai ke mataku.

Choi Seungcheol menatapku lekat-lekat dengan cukup lama, sebelum kemudian menghela napasnya. "Jeonghan..."

Kenapa Choi Seungcheol tiba-tiba hanya memanggilku dengan 'Jeonghan' saja?

"Aku tidak merawat orang yang kubenci ketika dia sakit, apalagi sampai harus tidak tidur karenanya."

"Itu karena kau merasa bersalah melanggar janji temu kita dan membuatku kehujanan," sergahku menolak penjelasannya.

Apa kau pikir aku sebegitu polosnya sehingga dengan mudah percaya bahwa orang bisa berubah dalam sekejap?

"Perlu kau tahu bahwa aku tidak akan pernah mau berpasangan di kelas seni melukis dengan orang yang kubenci," kata Choi Seungcheol sambil memutar bola matanya. Dan sebelum aku kembali dapat memprotes kata-katanya dia melanjutkan, "Aku bisa saja meminta orang lain bertukar pasangan denganku, toh Mrs. Jung belum mendata nama-nama pasangan di kelas sebelum tugas laporan itu dikumpulkan"

Aku hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

Melihatku yang tidak berkomentar apapun, Choi Seungcheol menambahkan, "Aku juga tidak akan mau pergi ke taman di tengah hujan seperti itu untukmu jika aku membenci kehadiranmu."

"Itu karena kau yang membuatku kehujanan seperti itu," sahutku. "Aku kehujanan karena menunggumu, jadi wajar saja kalau kau datang—"

"Kalau aku membencimu, aku akan membiarkanmu kehujanan dan jatuh sakit," potong Choi Seungcheol dengan ekspresi yang begitu serius, membuatku sedikit tertegun. "Jeonghan, aku adalah orang yang jika membenci seseorang akan menunjukkan ketidakpedulianku padanya, meski dia tersiksa di depanku sekalipun."

Sebenarnya apa yang ingin dikatakan olehnya?

"Mungkin pada awalnya aku memang memutuskan untuk membencimu sebelum bertemu denganmu," aku Choi Seungcheol sambil meringis, seakan-akan sedang menertawai dirinya sendiri. "Tapi ternyata setelah bertemu denganmu, ada satu alasan yang begitu kuat yang membuatku tidak bisa membenci kehadiranmu."

"Alasan yang kuat?" tanyaku bingung.

Apa hanya perasaanku saja atau Choi Seungcheol memang dengan tiba-tiba menghindari tatapanku?

"Pada awalnya aku berusaha untuk membencimu karena jika aku tidak melakukannya rasanya aku telah mengkhianati temanku. Tapi sejak awal aku memang tidak membencimu, jadi juga susah sekali buatku untuk bersikap buruk padamu, apalagi aku bukan orang yang bisa melakukan sesuatu berlawanan dari apa yang aku rasakan."

"Dan sekarang kau tidak akan lagi bersikap buruk padaku?" tanyaku memastikan.

Choi Seungcheol menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Aku sudah memikirkannya dan memang sangat tidak adil bagimu menerima sikap burukku selama ini."

Lagi-lagi aku harus mengakui apa yang dikatakan Jihoon memang ada benarnya. Laki-laki imut bermuka masam itu benar-benar penilai yang baik.

"Jadi Jeonghan, apa kau masih ingin pindah dari kamarmu yang sekarang?" tanya Choi Seungcheol lagi, pandangan seriusnya berubah melembut.

Aku tidak yakin harus menjawab bagaimana, atau lebih tepatnya aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Jika Choi Seungcheol tidak lagi membenci kehadiranku, atau bahkan dari awal tidak membenciku, kenapa aku harus pindah dari kamarku yang sekarang?

"Mungkin kau tidak menyadarinya," ujar Choi Seungcheol ketika melihatku masih sedikit ragu. "Saat aku menemuimu di taman kemarin dan mengucapkan maaf berkali-kali padamu, kata maaf itu tidak hanya karena aku telah membuatmu menunggu di tengah hujan dan kedinginan seperti itu. Tetapi kata maaf itu juga untuk rasa penyesalanku atas sikapku yang begitu buruk padamu selama ini."

Ugh...

Ketika Choi Seungcheol mengungkit soal permintaan maaf berkali-kalinya itu, mau tidak mau aku jadi mengingat bagaimana Choi Seungcheol memelukku dengan begitu erat pada saat itu. Juga bagaimana aku menangis di dalam pelukannya. Baru kali ini merasakan perasaan canggung bercampur rasa malu yang luar biasa.

Secara refleks aku menyentuh kedua pipiku, dan kurasakan kalau pipiku sedikit menghangat di telapak tanganku.

Benar-banar bodoh!

Sungguh memalukan!

Choi Seungcheol tersenyum melihat tingkahku. "Apa kau memaafkanku, Jeonghan?"

Apa aku memaafkaannya? Dari awal aku memang tidak marah pada Choi Seungcheol, mungkin memang kesal, tetapi tidak marah, apalagi setelah mengetahui motif di balik sikap buruknya terhadapku. Hanya saja yang menjadi pertanyaanku adalah mengapa tekadku untuk pindah yang awalnya begitu kuat bisa begitu gampangnya goyah hanya dengan permintaan maaf darinya?

"Um," jawabku sambil menganggukkan kepalaku. "Aku memaafkanmu."

"Jadi kau tidak lagi ingin pindah?"

Awalnya alasanku ingin pindah adalah karena Choi Seungcheol yang tidak suka dengan kehadiranku dan sikap buruknya padaku. Tapi karena masalah di antara kami ini sudah diselesaikan, jadi memang tidak ada lagi alasan untukku pindah. Selain itu mungkin sekamar dengannya bisa memperbaiki hubungan kami yang canggung...

Akhirnya aku menggelengkan kepalaku sebagai jawaban untuknya.

"Kalau begitu kita tidak butuh ini," Choi Seungcheol tersenyum lebar lalu merobek kertas surat permohonan pindah kamarku menjadi dua bagian. "Dan untuk memperbaiki kesan pertama kita pada satu sama lain, ayo kita mulai lagi semuanya dari awal."

Mulai lagi dari awal? Apa maksudnya?

Choi Seungcheol tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangan kanannya padaku. "Halo! Namaku Choi Seungcheol, ketua asrama di sini."

Oh, jadi maksudnya kami akan mengulang perkenalan dari awal?

Aku pun ikut berdiri dari dudukku, menyambut uluran tangan Choi Seungcheol dan menjabatnya dengab kuat. "Halo! Aku..."

"Aku tahu siapa kau," potongnya dengan senyum jenaka menghiasi bibirnya. "Kau adalah Yoon Jeonghan, siswa baru dari Yuseong Art University Busan bukan?"

Aku mengangguk, tidak bisa menahan tawa lolos dari bibirku karena godaannya.

Jadi Choi Seungcheol juga tahu kalau aku selalu mengalami perkenalan sepihak seperti ini?

"Omong-omong kita akan menjadi teman sekamar. Jadi supaya lebih akrab, boleh aku memanggilmu hanya dengan Jeonghan saja?"

"Tentu saja."

"Bagus. Kau juga bisa memanggilku hanya dengan Seungcheol saja mulai hari ini. Kau tahu aku sangat menunggu kehadiranmu..." Choi Seungcheol berhenti sejenak sebelum kemudian sambil menghela napas dia melanjutkan, "Dan tentu saja aku sangat menyukaimu."

Hah?

Aku mengerjap bingung.

Apa yang baru saja Choi Seungcheol katakan dengan posisi tangan kami yang masih berjabatan seperi ini?

Aku sangat menyukaimu? Apa itu tidak terdengar seperti sebuah pengakuan "suka" seseorang kepada orang yang disayanginya? Atau mungkin aku salah menangkap maksudnya?

Lalu kudengar suara kekehan kecil keluar dari mulut Chou Seungcheol.

Aku memutar bola mataku ketika melihatnya yang menyengir lebar seperti mengejek reaksiku.

Dia sedang menggodaku!

Choi Seungcheol memang sedang bercanda. Jadi aku juga tidak perlu serius menanggapinya.

***

Terima kasih sudah bersedia membaca cerita ini :)

Noerana^^

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

48K 4.1K 84
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...
432K 4.5K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
149K 15.2K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
71.8K 7.3K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...