FALLEN (the Fiery Passion)#3

By DiahItsnani

53.5K 5.4K 44

Murid baru akan datang... Dia adalah kerabat dekat Sam dan berada di kelas yang sama dengan Fallen. Sam tau b... More

01
02
03
04
05
06
07
08
10
11
12
13
14
15
Epilog

09

2.8K 316 2
By DiahItsnani

Ini adalah kota Braven yang dulu. Kota ini berdekatan dengan kerajaan iblis. Dulu aku juga sempat tinggal di kota ini tapi... berada di perbatasan. Batas antara kota bangsa iblis dan penyihir. Sam menarik tanganku dan mengajakku bersembunyi di sebuah jalanan kecil.

"Kota ini masih tetap sama," ujar Sam.

"Jadi... sekarang apa?" tanyaku kebingungan. "kita tak mungkin masuk ke istana kan?"

"Kita akan bicarakan hal itu nanti. Sekarang, aku harus mencari ayahku."

"Okeee. Ayahmu seorang Raja dan dia sudah pasti berada di dalam istana."

"Saat sore begini aku sangat yakin dia tak berada disana," kata Sam. Dia diam sejenak untuk berpikir dan mengamati orang-orang yang berlalu lalang disana. "dia pernah cerita padaku kalau dulu dia sering datang ke jembatan itu saat sore hari," ungkapnya.

"Jembatan... itu?" tanyaku seraya mengangkat satu alisku.

Sam menoleh ke belakangku. "Jalanan itu cukup sepi. Kita lewat sana saja," katanya dan kembali menarik tanganku. Kami melangkah dengan cepat dan hampir seperti berlari saat melewati beberapa orang. Bukannya apa tapi pakaian kami berbeda dengan orang-orang di zaman ini jadi kalau kami ketahuan bisa-bisa kami dibawa ke istana dan takkan pernah kembali ke zaman kami lagi. Dan lagi aku juga baca dari buku kalau ada seorang penyihir yang berada di kota ini bisa jadi aku akan di usir.

Sam juga pasti tau hal itu. Karena itu sedari tadi dia selalu memasang raut wajah khawatir.

Kita akhirnya keluar dari keramaian kota dan menuju perbatasan. Disana hanya ada beberapa rumah dan keadaannya pun sangat sepi. Kami memasuki hutan yang dulu sempat juga kumasuki waktu kecil. Di zaman ini hutannya lebih rimbun kurasa, dan sedikit menyeramkan. Namun kami tak perlu berjalan terlalu jauh karena setelahnya kami melihat sebuah jembatan gantung.

"Ini jalan lain menuju kota bangsa penyihir. Jarang ada orang yang melewati jembatan itu," jelas Sam.

"Apa sampai sekarang masih ada? maksudku... di zaman kita?" tanyaku. Kulihat Sam diam sejenak seolah memikirkan sesuatu. Kemudian dia mengangkat kedua bahunya. "Entahlah Fal," desahnya, kemudian menoleh padaku sambil tersenyum. "aku sudah tak pernah melihatnya lagi. Aku hanya tau dari cerita," tambahnya.

Sam duduk di atas tanah dan aku pun mengikutinya. Hari sudah sore dan sebentar lagi malam akan tiba. Disini kita hanya perlu menunggu seseorang yang akan muncul di jembatan itu. Seseorang yang memulai awal 'larangan kedua bangsa untuk saling menyatu' itu. Di hadapan kami langit semakin lama semakin gelap. Di jembatan itu hanya ada dua penerangan saja di kedua ujungnya. Namun kami masih bisa melihat jika ada orang disana. Tempat yang kami datangi ini sepertinya sedang musim panas. Langitnya tampak cerah dengan ribuan bintang yang bagaikan permata. Bulan juga sedang bersinar dengan terangnya sehingga sedikit memberikan penerangan untuk kami disini.

"Sedang melihat bulan ya?" tanya Sam yang ternyata sedari tadi menatapku. Aku tersenyum. "Aku hampir lupa kapan terakhir kali aku melihat bulan seterang ini," ungkapku.

Aku melihat mata Sam yang kembali menatap ke jembatan itu. Sekarang mata itu memancarkan harapan, namun masih ada kekhawatiran. Sudah kuduga dia takkan menolak jika melihat kejadian kali ini. Karena buku tak selalu benar jika kita tak melihatnya kenyataannya sendiri.

"Sam," panggilku.

Dia menoleh. "Ya?"

"Liam bilang kau akan lulus lebih dulu dari Sleavton," kataku. "jujur saja aku agak terkejut mendengarnya tadi. Kau bahkan tak memberitahuku sama sekali."

Sam kembali memalingkan wajahnya. "Aku takkan berkomentar apapun untuk itu," katanya.

Aku juga ikut memalingkan wajah ke depan dan menghela napas. "Kuharap ada beberapa kenangan yang bisa kuingat sebelum kau benar-benar jauh," ungkapku. Kalau boleh jujur, sekarang aku benar-benar menahan air mataku agar tak keluar. Sam hanya diam. Aku tak berani menoleh. Aku hanya takut jika saat melihatnya aku akan menangis.

Kulihat dari sudut mataku Sam bergeser mendekat padaku. Dia melingkarkan salah satu lengannya ke pinggangku, dan menempelkan tubuhku padanya. Aku menyandarkan kepalaku ke bahunya. Dia mencium puncak kepalaku. 

"Untuk sekarang, aku ingin kita menjalaninya saja. Jika kita memang ditakdirkan untuk bersama, sejauh apapun kau pergi, aku tetap akan menemukanmu," ucap Sam.

Aku menyembunyikan wajahku di bahunya. "Apa itu artinya kau menyerah pada takdir?" tanyaku. Sam diam sejenak. Kurasakan dia mengeratkan jemarinya yang berada di pinggangku. "Jika... aku berpacaran dengan Fred, apa kau juga akan membiarkan hal itu?"

Sam masih tetap diam.

"Kau lebih memilih takdir menuntunmu, atau kata hatimu?" tanyaku lagi. Untuk ke sekian kalinya dia tak menjawab pertanyaanku. Aku mendongak dan melihat wajahnya. Sam balas menunduk dan melihatku, kemudian tersenyum padaku. "Saat kau baru mengetahui bahwa aku membenci penyihir es, apa yang kau pilih?" tanyanya.

Aku diam sesaat, berpikir, lalu menelan ludah. "Aku... emh... entahlah," kataku menyerah dan kembali menatap ke jembatan di depan kami. Saat itu aku hanya memilih untuk menjauhi Sam hanya agar dia tak memaksakan diri untuk menerimaku. Tapi aku sadar sejak awal dia memang sudah menerimaku apa adanya. Aku saja yang terlalu berlebihan, berpikir bahwa dia terlalu memaksakan diri. Mungkin saat itu aku memilih takdir. 

"Aku hanya ingin menjalani apa yang ada saat ini. Jika itu memang waktunya bagiku untuk memilih kata hatiku, maka aku akan melakukannya," jelasnya.

"Baiklah..," desahku.


***


Seseorang datang ke jembatan itu. Seorang pria. Aku melihat jam sakuku. Sudah pukul delapan malam. Sam bangkit berdiri dan berjalan ke depan agar bisa melihat pria itu lebih dekat. 

"Kau kenal dia?" tanyaku. Untuk beberapa saat dia terdiam, lalu dia berkata, "Itu... kakekku."

"Apa?" tanyaku tak percaya.

Tak lama setelahnya, datang lagi seorang wanita dari pintu gerbang seberang. Wanita itu berlari dan memeluk pria itu. Dari raut wajahnya sepertinya mereka sangat bahagia. Seolah-olah mereka sudah lama tak bertemu. Aku hampir bisa mendengar percakapan mereka.

"Aku sungguh takut jika kita tak bisa bertemu lagi, Charles," kata wanita itu.

Pria bernama Charles itu memegang kedua pipinya. "Aku pasti akan menemuimu bagaimanapun caranya," kata Charles.

"Bagaimana jika ayahmu tau?"

"Akan kupastikan dia tak tau hal ini. Karena itu aku berencana melarikan diri bersamamu."

"Apa?" pekikku.

"Shh... Fallen, diamlah," bisik Sam.

"Maaf. Aku hanya... terlalu terkejut," kataku.

"Kemana kita akan pergi, Charles? Kau adalah calon Raja semua bangsa disini."

"Kemanapun asal aku bisa bersamamu," ucap Charles dengan tulus. Namun ucapannya itu mengingatkanku akan ucapan Sam yang sama. Dia mengucapkannya padaku. Aku melirik Sam. Mata birunya masih tetap terfokus pada dua orang di jembatan itu. Kupikir sifat kakeknya itu menurun padanya.

"Jika... ini adalah awal kejadiannya, lalu kenapa ayah kakekmu sudah memberikan larangan untuk bertemu wanita itu?" tanyaku bingung.

"Kita lihat saja nanti," jawab Sam. Selama beberapa jam mereka hanya saling berbicara. Dan aku melakukan hal konyol dengan menggambar di atas tanah menggunakan batu hanya untuk mengatasi rasa bosan. Aku melihat Sam yang ada di hadapanku. Dia bahkan tak merasa bosan mendengarkan percakapan mereka. Rasanya aku ingin mempercepat waktu saja. Dan aku yakin dia takkan mau karena sepertinya dia benar-benar tertarik dengan kejadian di hari ini.

"Kau benar-benar tak merasa bosan ya memperhatikan mereka?" tanyaku.

"Bukan seperti itu. Aku mencoba mengamati wanita itu. Sepertinya dia hanya wanita biasa. Mungkin dari desa. Dari caranya bicara dan gerak-geriknya. Mungkin itu alasan kenapa ayah dari kakekku melarangnya untuk bertemu dengannya," jelas Sam.

Oh Tuhan, sepertinya Sam lebih pintar dariku.

"Ah, mereka sudah selesai," kata Sam kemudian. Aku segera bangkit berdiri dan berjalan ke depan. Mereka berdua berciuman sebelum akhirnya wanita itu kembali masuk melewati gerbang yang menjadi batas antara kota penyihir dan kota iblis.

"Kita harus mengikuti yang mana?" tanyaku.

"Bisa kita berpencar?" tanya Sam.

"Apa?"

"Aku akan mengikuti kakekku. Kau ikuti wanita itu."

"Oke, itu tak masalah," jawabku.

"Jangan sampai terlihat, Fallen."

"Aku tau," jawabku seraya berjalan untuk mulai mengikuti wanita itu.

Aku membuka pintu gerbang dan masuk ke kota penyihir. Sudah kuduga sejak awal kota bangsa iblis dan penyihir terpisah. Namun bukan berarti mereka bermusuhan. Mereka hanya ingin memiliki kota dengan satu bangsa yang sama, dan bukan tercampur dengan yang lain. Sedikit egois kurasa. 

Aku berjalan megendap-endap di belakang wanita itu. Dia menggumamkan sebuah lagu sambil menari-nari kecil dalam perjalanannya. Sepertinya dia sangat bahagia dengan pertemuannya tadi. Kemudian dia menghentikan langkahnya, begitu juga dengan gumaman lagunya. Dengan cepat aku bersembunyi di jalanan kecil yang berada di antara dua bangunan. Setelah aku mendengar langkah kakinya yang sudah semakin menjauh aku segera mengikutinya kembali.

Wanita itu masuk ke dalam sebuah rumah kecil. Benar yang dikatakan Sam. Dia hanya seorang wanita biasa dari desa. Tempat ini bahkan sudah jauh dari kota. Aku melihat dari jendela rumah itu. Tak lama seorang wanita tua keluar dari dalam dengan wajah kesal.

"Apa kau menemui Pangeran lagi, Luce?" tanya wanita tua itu.

"A-aku hanya menemuinya sebentar, bu."

"Sebentar? Kau bahkan sudah pergi lebih dari satu jam. Apa kau tak pernah mendengarkan ibu?"

"Sungguh, ini untuk yang terakhir kalinya, bu. Aku takkan melakukannya lagi," kata Luce.

"Raja sudah memperingatkanku untuk menjauhkanmu dari putranya. Kenapa kau masih tetap menemuinya? Dia hanya tak ingin calon pewaris tahtanya celaka karena kekuatanmu," jelas ibunya dengan nada kesal. "Jika kau sampai mencelakainya kita akan diusir dari kota kita sendiri."

"Aku minta maaf, bu. Aku akan berusaha untuk mengendalikan kekuatanku," jawab Luce, kemudian dia melangkah masuk ke dalam menninggalkan ibunya.

"Oh sial, sekarang bagaimana aku bisa mengikuti Luce?" tanyaku pada diri sendiri. Aku mencoba memutari rumah itu, berusaha menemukan jalan agar aku bisa mengikuti Luce. Kemudian kudengar suara Luce berbicara. Aku mencoba mencarinya dan ternyata dia ada di dalam peternakan kuda.

"Kenapa hal seperti ini harus terjadi padaku?" tanya Luce pada dirinya sendiri. Dia mengelus kudanya, lalu memperhatikan telapak tangannya. "kenapa kekuatan ini harus ada padaku?"

Luce menjauh dari kudanya dan mengambil sebuah kapak yang ada disana. Dia lalu mencoba memotong tangannya dengan kapak tersebut. "Kalau tangan ini kupotong, kekuatanku pasti akan hilang!"

Ya Tuhan!

Apa yang harus kulakukan?

Aku tak boleh terlihat disini. Tapi jika aku tak menolongnya dia benar-benar akan memotong tangannya.

Aku menelan ludah. "Maafkan aku, Sam," gumamku dan berlari ke arah wanita itu, mengambil kapak yang ada di genggamannya dan melemparkan benda tersebut ke belakang.

"Kau sudah gila, ya?" tanyaku.

"Apa?" tanya Luce pelan.

"Apa kau benar-benar akan memotong tanganmu sendiri?"

"K-kau... kau siapa?"

Aku menariknya dan mengajaknya keluar dari peternakan. Dia menarik tangannya dariku saat kita sudah berada di luar. "Kenapa kau melakukannya?" tanya Luce dengan kesal.

"Apa? Aku berusaha menolongmu," jawabku dengan kesal juga.

"Aku tak perlu bantuan siapapun."

"Kenapa kau mau memotong tanganmu?"

Luce berbalik dan menatapku, lalu berjalan mendekat padaku. "Karena kekuatanku. Ini semua karena kekuatanku. Apapun yang kusentuh, mereka semua akan menjadi batu," jelasnya dengan penekanan pada setiap katanya.

"Apa?"

"Aneh bukan? Kekuatan yang bahkan tak dimiliki penyihir lain selain aku."

"Kekuatan apapun yang dimiliki penyihir saat dia melakukan kesalahan, dia pasti bisa mengembalikannya."

"Apa? Kekuatan apa yang kau miliki untuk mengembalikan sesuatu yang sudah mengeras dan membatu?" Luce berjalan mendekati gerobak dan menyentuh gerobak itu. Lalu perlahan gerobak itu berubah menjadi gerobak yang terbuat dari batu. Dia menggenggamnya dan menghancurkannya. 

"Batu tetaplah batu. Dia tak bisa dikembalikan oleh apapun," katanya. Kurasakan tanah di bawahku retak dan lewat retakan itu muncul sebuah batu yang berbentuk runcing yang hampir saja mengenai wajahku. Aku menelan ludah.

"Lihat, mereka bahkan muncul sesuai emosiku," ungkapnya. Luce berjalan kembali ke dalam peternakan dan melepas ikatan kudanya. Dia menggiring kudanya keluar dan dia naik ke atas punggung kuda itu.

"Hei, kau mau kemana?" tanyaku.

"Jangan campuri urusanku!" katanya dan kemudian dia memacu kudanya.

"Ya Tuhan, dia sama sepertiku," gumamku dan segera berlari mengikutinya.


***


Luce berdiri di depan tembok istana iblis. Dia turun dari kudanya dan mendongak ke atas. Dia menyentuh tembok di depannya. Perlahan tembok besar di hadapannya retak dan sebuah batu besar muncul dari tangannya dan menghancurkan tembok itu.

"Ya Tuhan. Sam, dimana kau" gumamku khawatir. Aku mengikuti Luce dan masuk ke dalam istana lewat lubang di tembok yang dibuatnya. Beberapa penjaga istana sudah menghalanginya dan bersiap menyerangnya. Para penjaga itu berubah menjadi sosok iblis dalam wujud tengkorak dan sebuah pedang sebagai senjatanya. Luce mengarahkan telapak tangannya ke depan, dan ribuan peluru batu keluar dari tangannya dan melukai semua penjaga istana itu. Dengan tenangnya Luce berjalan melewati mereka dan masuk ke dalam istana. Aku segera berlari dan menarik tangannya.

"Hentikan semua ini, Luce!"

"Lepaskan aku atau aku akan membunuhmu juga!" ancamnya.

"Kau harus segera pergi dari istana ini sebelum Raja melihatmu!"

"Takkan ada yang bisa membunuh seorang penyihir dengan kekuatan langka. Bahkan, Raja sekalipun!"

Luce menarik tangannya secara paksa dan kembali berjalan menuju ke dalam istana. Dia membunuh semua orang yang menghalanginya dengan peluru batunya. Peluru itu masuk ke dalam tubuh dan membuat korbannya berubah menjadi batu. Kekuatan yang mematikan. Aku mencoba masuk ke dalam istana dan mencari Sam. Demi Tuhan istana ini besar sekali, bagaimana aku bisa menemukan Sam?

Luce berhasil masuk ke dalam istana. Dia membunuh semua orang. Namun saat salah seorang menghalanginya, dia menghentikan langkahnya.

"Wah, wah, apa ini, Luce? Kau membunuh semua penjaga kami?" tanya pria itu.

Luce mengarahkan tangannya ke hadapan pria itu. "Pertemukan aku dengan Charles, atau akan kubunuh kau!" ancamnya.

"Kau berani mengancamku?" tanya pria itu. Dengan kecepatan luar biasa dia tiba-tiba sudah berada di hadapan Luce, menyambar tangannya dan menggenggamnya dengan erat. "Kau pikir aku tak bisa membunuhmu?" tanya pria itu lagi.

Luce memekik pelan saat genggaman pria itu semakin kuat. Saat pria itu melepaskan tangannya, pergelangan tangan Luce menjadi hitam. "Kau takkan bisa membunuhku!"

"Ya, tapi aku bisa menghancurkanmu. Apa kau lupa, batu bisa hancur karena perubahan suhu," balas pria itu.

"Kakak, hentikan itu!" teriak Charles tiba-tiba. Charles berlari ke arah mereka dan berdiri di depan Luce. "Jangan lukai dia," katanya.

"Apa kau sudah gila, adikku? Dia sudah membunuh semua orang yang ada disini. Dia itu penyihir terkutuk!"

"Dia hanya terlahir dengan kekuatan langka, bukan terkutuk," timpal Charles.

"Sepertinya otakmu sudah dicuci oleh wanita ini. Akan kubunuh kau!" teriak kakak Charles yang berusaha membunuh Luce. Charles menahan tangan kakaknya, namun tangan Luce melayang dan menyentuh tangan pria itu. Mereka memperhatikan telapak tangan kakaknya Charles yang perlahan berubah menjadi batu.

"Luce, apa yang sudah kau lakukan?" tanya Charles tak percaya. Dengan cepatnya tubuh pria itu sudah berubah menjadi batu. Dengan mata terbelalak Charles memperhatikan kakaknya yang sudah menjadi batu. Dia melepas genggamannya dengan gemetaran. "Ya Tuhan, kakak..," gumam Charles.

"Dia itu pengganggu, Charles. Dia menghalangi hubungan kita!" seru Luce.

"Pergi," ucap Charles.

"Pergi kau dari sini, Luce! Kau telah membunuh kakakku!" teriaknya.

"Kau bilang kau membencinya karena dia penghalang hubungan kita!"

"Aku tak pernah mau melihat melihat wajah orang yang sudah membunuh kakakku!"

"Charles kau..," gumam Luce dengan mata terbelalak. Kulihat dia mengepalkan tangannya. Lalu sebuah batu runcing muncul dari punggung tangannya. Luce melayangkan tangannya dan berusaha menyerang Charles. Aku berusaha berlari dan menghentikannya, namun dengan cepat Sam muncul dan menghentikannya.

"Kau... apa kau juga seorang iblis sama sepertinya?" geram Luce.

"Ya," jawab Sam dengan percaya diri.

"Kalau begitu matilah kalian semua para iblis!" teriak Luce dan mengeluarkan ribuan peluru batu.

"Tidaaak!" seruku yang langsung berlari ke arah mereka dan membuat sebuah dinding es untuk menghalangi peluru-peluru itu.

"Apa ini...?" tanya pelan Luce. Kemudian matanya menatapku dan tersenyum. "Ohh... kau juga seorang penyihir rupanya," katanya.

"Hentikan sekarang juga, Luce!"

"Apa kau memihak mereka? Hah! Dengarkan aku, bergabunglah denganku dan kita akan sama-sama menghancurkan bangsa iblis."

"Hanya dalam mimpimu," balasku.

"Kau menolak tawaran baikku? Oh, baiklah. Kau membuatku melakukan pilihan lain."

"Apa?"

"Akan kukutuk tanah ini dan seluruh bangsa iblis. Sampai kapanpun... sampai dunia ini berakhir kalian takkan pernah bisa menyatu dengan bangsa penyihir!" geramnya yang membuat tanah di bawah kami retak dan memunculkan ribuan batu yang membentuk runcing layaknya jarum. Aku merasa marah dan segera mencari celah untuk mendekati Luce. Begitu aku menemukannya dengan cepat aku mendekatinya dan menampar Luce dengan keras. 

"Tarik ucapanmu itu!" seruku. "Kau... apa kau sadar jika ada yang sepertimu di luar sana, mencintai seorang iblis namun mereka terhalang karena kutukanmu itu!" 

Luce menatapku dengan ekspresi marah, namun kemudian ekspresinya berubah menjadi biasa. Matanya melebar dan senyum tergambar di wajahnya. "Ahh... sudah kuduga kau juga mencintai seorang iblis," ucapnya. Luce lalu mencengkeram rahangku dan memaksaku untuk menatap matanya. "Dengarkan aku baik-baik penyihir es, iblis sama sekali tak baik untuk seorang penyihir seperti kita! Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri dan berpikir merekalah yang paling kuat dari bangsa lain!"

Satu tangan Luce yang lain membuat sebuah batu runcing yang kemudian diarahkan ke leherku. Dengan cepatnya Sam menarikku ke belakangnya dan dia berubah menjadi iblis. Sam mengangkat sabitnya tinggi-tinggi dan berusaha memenggal kepala Luce, namun kemudian serangannya terhalang oleh dinding bebatuan yang menghalangi Luce.

"Sam hentikan! Kalau kau membunuhnya kita akan mengubah masa depan!" seruku. Sam menghentikan serangannya. Detik kemudian dia kembali berubah menjadi sosok manusia. Kulihat Sam mengepalkan tangannya, tapi kemudian dia berbalik dan berjalan ke arahku. Dia mengangkatku, menyadari bahwa kakiku terluka.

"Anda yang harus menyelesaikan semua ini, karena kami tak boleh mencampuri urusan kalian," kata Sam pada Charles.

"Tapi... kalian siapa?" tanyanya.

"Kau akan bertemu dengan kami lagi suatu hari nanti," katanya. Sam tersenyum dan berbalik. Berjalan menjauh dari istana ini. Melewati para mayat yang membatu dan teriakan penuh ketakutan orang-orang di luar. Namun kami berhasil keluar dari sana dan pergi menuju hutan terdekat. Sam mendudukkanku di atas tanah, sementara dia duduk di sampingku. Kudengar dia menghela napas panjang seraya menyandarkan kepalanya ke pohon di belakang kami.

"Ternyata ini awal mulanya," ucapnya pelan.

Di sana, di dalam istana kota ini, peristiwa tak terduga sedang terjadi. Semua terjadi karena keegoisan, kemarahan, dan hasrat yang besar untuk memiliki seseorang. Wanita itu membuat satu kesalahan yang membuat kedua bangsa terpecah, yang akhirnya menjadi sebuah aturan yang tak boleh dilanggar. Namun kami tak bisa melakukan apapun...










Continue Reading

You'll Also Like

13K 1.7K 26
{COMPLETED} Tewasnya anggota keluarga kerajaan menjadi topik perbincangan hangat di seluruh negeri. Hal itu membuat Oh Sehun, Selaku Perwira Polisi...
4.3K 59 16
Cerita ini bertujuan untuk menjadi motivasi bagi siapa pun
38.9K 4.8K 66
Total kata yang di gunakan : 46.658 kata. Shin Vrechter merupakan bangsa Atlantis terakhir yang masih hidup di muka bumi. dengan menutupi identitas...
132K 10.9K 24
"Alvyna Zoe Weininger terlahir buta. Kehilangan ibunya tepat satu hari setelah ia lahir. Tidak pernah melihat warna langit seumur hidupnya, tidak pun...