Verum (KookV Fanfiction)

By Cakueee

21.5K 1.3K 240

"Oh," Taehyung meringis. "Jelas sekali ini pembunuhan terencana." [KookV. Jeon Jungkook x Kim Taehyung. BTS... More

Bagian Pertama
Bagian Ketiga

Bagian Kedua

4.3K 363 47
By Cakueee

Jeon Jungkook terpekur.

Angka romawi dua belas dan dua belas yang dipilih oleh jarum sang penjaga waktu membuatnya tetap terjaga. Bunyinya seperti tik tok tik tok tik tok tik—sampai bel berdentang dua belas kali pula; tepat tengah malam dan segelas suspensi vanila yang sebelumnya Min Yoongi siapkan sama sekali tidak mempan terhadapnya. Ia lelah, fisiknya lelah, pikirannya lelah, namun hatinya berkata implikasi.

Semenjak sepasang kelopak yang tertutup di depannya itu terus bergerak gelisah dan keringat dingin bercucuran di ujung pelipisnya, Jungkook masih belum bisa merasa tenang.

"Mimpi membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang,"

Derit pintu kayu terbuka dan Yoongi melangkah masuk. Jungkook tidak menoleh, tidak juga membalas. Matanya bergerak kaku, memandang lekuk wajah Kim Taehyung yang terbaring di atas ranjang berpenyangga empat dan ia sendiri duduk di kursi yang sengaja Jungkook simpan tepat di samping ranjang. Dua belas menit, dua belas detik, pada pukul dua belas tengah malam, Jungkook tetap bergeming di tempatnya.

"Suhu tubuhnya mencapai tiga puluh sembilan derajat," gumam Jungkook pelan, tahu Yoongi pasti mendengarnya. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh kening Taehyung. "Ini suhu yang tidak normal."

Dokter yang sempat menangani Taehyung berkata; pemuda AB itu kelelahan akibat stres dan tubuh yang terlalu banyak diforsir untuk bekerja tanpa ada istirahat. Imsomnia yang semakin parah, dan pola makan yang tidak teratur. Salah-salah lambungnya bisa rusak dan mengakibatkan penyakit maag kronis jika perilaku buruknya terulang lagi.

"Kau seperti tidak mengenal Taehyung saja, Jungkook," sahut Yoongi kemudian, meraih tangan kiri Taehyung sembari mengecek pergelangannya. Denyut nadi normal, pikirnya lega. Proses penyembuhan sedang berlangsung. "Dia bisa sangat keras kepala jika kasus yang dihadapinya begitu menarik."

"Keras kepala," ulang Jungkook, "apa Hyung tidak pernah merasa ingin mencekiknya?"

"Oh! Tentu saja, selalu. Bahkan kalau bisa mengurungnya satu bulan penuh,"

Jungkook terkekeh. Perasaannya sedikit membaik sekarang. "Dia menyebalkan, eh?"

"Itu bagian menariknya."

"Dan aku terperangkap dalam segi yang menariknya," ia mendengus kecil, "lucu sekali."

Yoongi ikut terkekeh, lalu membenahi letak selimut beludru Taehyung hingga sebatas leher. Dua jam yang lalu Jungkook sudah mengompresnya, begitu telaten dan hati-hati. Hal yang wajar bagi Yoongi dan mengejutkan bagi orang-orang yang tidak mengenal baik siapa itu Jeon Jungkook. Di mata kepolisian Scotland Yard, di mata rekan-rekannya, atau bahkan untuk Jungsoo sekalipun, Jeon Jungkook memang terkenal dengan pribadinya yang dingin dan tegas. Namun di matanya, atau Hoseok, atau pula Kim Taehyung, tak akan ada yang menyangka sosoknya bisa sangat berbanding terbalik.

"Bukankah seperti itu?"

Jungkook mengangkat alis, bertanya.

"Taehyung," katanya, "meskipun kebanyakan orang memanggilnya detektif gila, tapi dia sangat mudah dicintai."

"Hah?"

"Well, jika kau tidak percaya, mungkin dari dulu Park Jungsoo itu sudah memenjarakan Taehyung karena selalu ikut campur di setiap kasus-kasusnya," ada senyum yang memoles wajahnya, misterius dan lembut di saat bersamaan. Jungkook bertanya-tanya kapan pertama kalinya ia melihat Yoongi tersenyum seperti itu? Sejauh ingatan fotografinya berkelana, benaknya bisa berkata bahwa ini adalah kali pertama Yoongi mengulas senyum yang membuat sudut hatinya tidak nyaman.

"Dicintai, ya?"

"Kau pernah berpikir bahwa Taehyung bisa dibenci tanpa alasan, bukan?"

Jeda sejenak, lalu, "... entahlah."

Jungkook memutar masa lalu, teringat akan pertemuan awalnya dengan Kim Taehyung. Ketika ia melihat seorang laki-laki, duduk menyendiri dalam bayang-bayang kerusuhan polisi; seolah diabaikan dan lenyap; namun semuanya mendadak berkilau dengan caranya sendiri ketika pemuda berambut cokelat itu mulai berceloteh. Mengungkap kebenaran di balik dusta yang terselip, fakta-fakta yang akurat, dan mencari jalan keluar dengan begitu mudah. Namun, dari semua hasil jerih payahnya, tak sedikit Jungkook mendapati kalimat bahkan tatapan benci yang ditujukan untuk Kim Taehyung. Miris, memang. Polisi-polisi laknat itu seakan tidak ingin mengakui bahwa mereka baru saja kalah; dikalahkan oleh seorang detektif gila macam Kim Taehyung.

"Taehyung mungkin terlihat tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Tapi, percayalah Jungkook, terlepas dari statusnya dan eksitensinya di mata orang awam," entah mengapa Yoongi suka sekali memberi jeda ketika kalimatnya mulai mencapai klimaks. Laki-laki itu sampai harus menyimpan jari telunjuk di depan bibir dan mengedipkan mata dengan usil, "... dia tetaplah seorang bocah lugu meskipun umurnya sudah mencapai kepala dua. Dan ini rahasia, jangan beri tahu Taehyung kalau aku memberitahumu."

Sedikitnya, Jungkook merasa lega. Yoongi ibarat seorang kakak di balik sikap sinis dan angkuhnya, namun terlepas dari itu, ia kakak yang baik dan pengertian.

"Hyung,"

"Hm,"

"Bagaimana caranya kau bisa mengenal Taehyung?"

Pergelangan tangan yang sebelumnya ia genggam terlepas dengan perlahan, Yoongi terpekur sejenak, dan Jungkook bisa melihat sendu yang melintas dalam sepasan manik gelapnya. Tidak kentara, namun terlihat adanya.

"Ceritanya panjang," ujar Yoongi pendek. Menoleh dan membalas tatapan Jungkook. "Lain kali, kalau aku mengingat semuanya dengan jelas, akan aku ceritakan."

Jungkook mengangkat alis.

"Yang jelas, itu pertemuan yang unik, menurutku," tawa renyah mengikuti. "Sampai akhirnya aku sadar ada hal lebih penting yang harus kulakukan jika sudah menyangkut soal bocah Kim ini." Ia lantas berdiri, membawa gelas susu yang tidak disentuh Jungkook dan sudah mendingin. Tak lagi memberi penjelasan lebih sampai Yoongi sengaja menunduk, mengusap kening Taehyung sepelan mungkin, dan kembali berdiri tegak dengan seulas senyum tipis sebagai bentuk undur diri.

"Hyung,"

Yang dipanggil menoleh, melirik Jungkook lewat sudut matanya ketika laki-laki itu sudah berdiri di ambang pintu. Berkas neon oranye merembes masuk pada sela pintu yang terbuka dengan sedikit remang ketika gelap semakin mendominasi.

"Apa maksudmu dengan melakukan hal yang penting?"

Jungkook suka dengan keheningan, tapi tidak dengan sunyi seperti ini. Dan Min Yoongi seolah mencoba menebak isi dasar hatinya hanya dengan kilatan mata yang Jungkook sendiri tidak mengerti makna di baliknya. Ia bukan seorang pembaca mikro ekspresi seperti Jimin, sama sekali bukan.

"Melindunginya, tentu saja."

Derit pintu mengalun lambat sampai berkas cahaya menghilang dan Jungkook tak lagi bertanya.

~oooOOOooo~

.

.

.

Verum

.

oh yah, saya buat kesalahan di-chapter pertama. White Carnation itu bukan Krisan Putih. Saya salah baca 8"D/dibuang. Karena arti yang aslinya adalah Anyelir Putih. Jadi saya ganti yang awalnyaKrisan jadinya Anyelir.

Maafkan atas ketidaknyamanan ini ya :"D *bow*

.

.

Bagian Kedua

(Every murderer is probably somebody's good friend; Agatha Christie)

.

.

.

~oooOOOooo

"Apa yang kau temukan, Jim?"

Perkamen dibiarkan berserakan di atas meja, baunya sudah lama; apek dan berdebu; bagai berkisah pada masa-masa silam. Nyaris terlupakan dan dimakan oleh rayap pemakan waktu, teringat akan sejarah yang sudah lama ditutup ketika akhirnya Park Jimin mampir dan menelusuri lorong-lorong tua perpustakaan pusat kota London. Bodleian Library. Walaupun angka jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi, pemuda itu menolak menerima lelah dan semakin larut menimbun diri di antara tumpukan buku juga perkamen tua. Lengkap dengan nyala lilin saat gelap dan dingin mulai menusuk.

"Tidak banyak, Hyung," gumam Jimin frustasi. Di depannya, Hoseok menedesah pelan. "Dari semua dokumen yang kubaca, tidak ada satu pun berkas yang menceritakan silsilah keluarga pembantaian sepuluh tahun yang lalu."

Hoseok mengangguk. "Lalu, soal bunga anyelir putih itu?"

"Negatif." Jimin memijit pelipis pelan sembari menduduki kursi di belakangnya. "Dari dua kasus pembunuhan yang terjadi sekarang, aku masih tidak mengerti kenapa si pelaku harus menggunakan bunga anyelir sebagai tanda. Kenapa tidak sekalian saja bunga yang memiliki arti lebih mengerikan, sih?"

"Aiish, jaga bicaramu," protes Hoseok, mengibaskan sebelah tangan asal. "Terlepas dari masalah bunga, aku lebih menyarankan agar kita lebih terfokus pada pembantaian sepuluh tahun yang lalu. Apa kau tidak mendapatkan petunjuk satu pun?"

"Kalau Hyung bertanya petunjuk, tentu saja ada."

Kening mengernyit samar. "Tadi kau bilang tidak ada,"

"Itu silsilah keluarga, bukan petunjuknya," kilah Jimin jengah. "Aku rasa, Hyung pernah mendengar ceritanya. Tentang keluarga Duke yang dibantai dan hanya menyisakan satu anggota keluarga dalam keadaan hidup."

"Ah, aku pernah mendengar cerita itu dari Taehyung." Jari diketuk dengan gerakan pelan, menyentuh permukaan kasarnya meja yang mulai lapuk. "Jika motif si pelaku berdasarkan kejadian sepuluh tahun silam yang kau maksud itu, apa ini tidak terdengar sangat mudah?"

"Maksudmu?"

"Balas dendam, tentu saja. Apa lagi selain itu?"

Pegangan jemari Jimin di sekitar buku yang digenggamnya mengerat tanpa sadar. Bukannya Jimin tidak tahu atau pura-pura untuk tidak tahu. Jauh sebelum ia ditugaskan dan mendapat tempat di kepolisian Inggris, ia pernah menangani kasus dengan latar belakang balas dendam saat ia berada di Korea. Terus terang saja, itu mengerikan. Kau seolah-olah dibutakan oleh gelap yang melingkupi yang membuat si pelaku tampak lebih jahat layaknya seorang psikopat ulung.

"Polisi tinggal mencari anggota keluarga yang selamat dan menjadikannya sebagai tersangka pertama. Terdengar mudah, memang. Tapi, di sini letak masalahnya. Tidak ada satu pun berkas yang menjelaskan silsilah keluarga Duke itu sendiri. Bahkan untuk perpustakaan lengkap seperti Bodleian sekalipun. Untuk itu, yang menjadi pertanyaannya sekarang, siapa anggota terakhir yang selamat dari tragedi sepuluh tahun silam itu?"

Hoseok benar. Kasus ini terlalu mudah jika polisi mengabaikan bagaimana cara si pelaku beraksi dan bunga anyelir putih yang ditinggalkan dengan sengaja. Terlalu mudah ketika sejarah mulai terungkap mengenai kisah pembantaian keluarga untuk satu dekade lalu yang disebut dalam surat berisi kode untuk korban selanjutnya.

Terlalu mudah jika dokumen mengenai silsilah keluarga berhasil ditemukan.

Terlalu mudah sampai Jimin mengalami kebuntuan dibuatnya.

"Argh! Rasanya kepalaku ingin pecah, astaga. kadang aku tidak mengerti, apa saja yang ada di dalam kepala Taehyung sampai-sampai kasus tersulit pun bisa dipecahkan olehnya? Dasar aneh."

Ah, lagi-lagi Kim Taehyung. Diam-diam, Jimin tersenyum dalam hati. Membicarakan pemuda itu di saat seperti ini memang tidak ada salahnya. Hanya orang bodoh saja yang menganggap Taehyung gila karena analisisnya yang sangat akurat. Meskipun faktanya Jimin berpikir mungkin pikiran sahabat kecilnya itu sedikit tidak waras.

"Sepertinya Taehyung mendapat sorotan banyak di sini. Apa saja yang dia lakukan selama ini, Hyung?"

"Uhm... bagaimana menjelaskannya, ya? Mungkin karena Komisaris Park sangat membencinya, Taehyung jadi semakin berulah dan dia terkenal dengan sendirinya?" ia tertawa konyol, "... entahlah, Jim. Taehyung selalu mendapat sorotan lebih di mana pun dia berada. Lucu sekali, eh?"

Jimin tersenyum simpul. "Daripada disebut lucu, aku lebih merasa lega." Ia cukup mengerti saat Hoseok memandangnya lekat; bertanya lewat kilatan mata. "Di Korea dulu, ia tidak seperti itu. Taehyung lebih suka menyendiri dibandingkan dengan anak lainnya. Tapi, melihat kelakukannya semakin aneh saat aku melihatnya lagi, kurasa London mengubah segalanya."

"Ya, Tuhan," Hoseok mengelus dada dengan gerakan dramatis. "Sudah berapa lama kalian berteman?"

"Hyung, hentikan sikapmu itu. Membuatku merinding saja." Dan ia benar-benar bergidik ngeri. "Sekadar informasi, aku berteman dengan Taehyung saat kami masih berumur tujuh tahun. Lalu, karena perang yang terjadi antara Korea Utara dan Selatan tidak selesai-selsai, kami sempat tidak berhubungan lagi selama delapan tahun karena keluarga Taehyung memutuskan untuk pindah dan memintanya meneruskan sekolah di Inggris. Akan tetapi, ketika aku memulai pendidikan sekolah menengah atas, Taehyung kembali. Hanya bertahan sampai satu tahun. Dan setelah itu kembali lagi ke Inggris sampai saat ini."

"Dan kau menyusulnya kemari?"

"Semacam itu." Jimin nyengir lebar. "Dan terkejut ketika Jeon Jungkook sudah menerobos ke dalam teritori hidupnya."

"Err... aku mencium bau cinta segitiga di sini."

Mereka tergelak bersama.

Omong-omong, Jimin tidak menyalahkan Hoseok soal cinta segitiga itu. Tepat setelah Jungkook bersikeras membawa Taehyung pulang dan Jimin tidak mendapatkan izin dari Jungsoo untuk ikut merawat Taehyung dalam keadaan pingsan, ia sempat kecewa. Bercampur marah dan cemas. Marah karena Jungkook meremehkannya, cemas saat ia tidak diberi kesempatan hanya untuk sekadar mengetahui bagaimana keadaannya.

Tetapi, meski hatinya enggan melakukan, Jimin memberikan nilai plus untuk Jeon Jungkook. Jika bukan karena sifat teliti dan gesit yang mengalir dalam darahnya, Jimin tidak akan tahu Taehyung sedang berada dalam kondisi buruk seandainya Jungkook tidak menyadarinya lebih cepat.

"Baiklah, cukup sampai di sini. Pagi mulai datang, kau tidak ingin beristirahat sejenak, Jimin-ah?"

Gelengan pelan cukup untuk menjelaskan. "Aku akan mencari beberapa dokumen lagi, Hyung. Demi Tuhan, semua ini benar-benar membuatku penasaran."

Hoseok memaklumi. "Kalau begitu, aku akan ke kantor lebih dulu. Jangan lupa memberi kabar pada Komisaris Park. Dan ingat, malam nanti di gedung opera, jangan sampai energimu habis hanya karena dokumen yang tidak ada."

"Tanpa kau beritahu pun aku sudah tahu, Inspektur."

~oooOOOooo~

"DASAR BEDEBAH! JUNGKOOK! BUKA PINTUNYA SEKARANG JUGA!"

Jungkook mengabaikan tatapan simpati yang diberikan Yoongi untuknya, lupa dengan telinga ketika suara dobrakan pintu terdengar semakin keras, dan pura-pura bersikap dingin manakala teriakan Kim Taehyung tidak berniat berhenti sejak beberapa menit yang lalu. Ia menghela napas pendek sembari membenarkan seragam kepolisiannya, lalu meraih mantel saat Jungkook sudah mendapati Yoongi bergeming di depan pintu kamar tidur Taehyung.

"Jangan dibuka, Hyung," peringat Jungkook. Afirmasi nada suaranya tidak sinis, namun matanya mengatakan demikian. "Kalau Hyung merasa terganggu, Hyung bisa menghabiskan waktu di lantai bawah."

"JUNGKOOK! AKU BENAR-BENAR AKAN MENCINCANGMU!"

"Aku mengerti maksudmu, Jungkook." Yoongi menoleh enggan, "tapi, percayalah, Taehyung tidak akan berhenti sampai keinginannya terpenuhi."

"JEON JUNGKOOK!"

Gebrakan kembali terdengar. Terus-menerus. Dan Jungkook tidak bisa tidak merasa cemas jika sewaktu-waktu pita suara Taehyung mendadak hilang dalam sekejap. Namun, selebihnya ia tahu, ada hal lain yang bisa membuat sudut hatinya bertambah cemas jika sudah menyangkut pemuda Kim itu.

"Ini sulit," Jungkook mendesah frustasi, dan semua itu dipertegas ketika ia memijit pelipisnya dengan pelan. "Hyung, bisa tinggalkan kami sebentar? Aku akan berbicara dengan Taehyung."

Yoongi mengangguk paham. Beranjak dari tempatnya semula dan berderap di sepanjang anak tangga sampai sosoknya menghilang di balik tikungan lantai bawah. Menyadari ia sendirian, Jungkook segera mengusap wajah dengan sebelah tangan, menyisir helai rambut jatuhnya dari depan ke belakang sebelum akhirnya berjalan mendekat dan berhenti di depan pintu kamar Taehyung.

Masih sama.

Suara perintah keras itu, juga kalimat maki dan protes yang terlontar, sekali lagi berhasil menarik rasa khawatirnya meski Jungkook enggan mengakuinya secara lisan.

"Jungkook!" Tiga kali gebrakan, hening karena napas ditarik, lalu bisikan lirih di detik selanjutnya; serak bahkan hampir tidak terdengar. "Kumohon, buka pintunya."

"Taehyung, coba dengar aku."

Hening.

Jungkook menghela napas—agak lega. "Aku tahu kau ingin datang ke teater opera malam ini—"

"Kalau kau sudah tahu kenapa—"

"—tapi," sela Jungkook lebih cepat, nadanya mulai meninggi. "Karena aku tahu kau akan memaksa untuk datang bahkan dengan kondisi burukmu itu, aku terpaksa melakukan ini. Yoongi-hyung sudah kuperingati agar tidak membuka kunci pintunya dan jangan sekali-kali kau kabur lewat jendela kamarmu."

"Brengsek!" duk! Tendangan dilakukan mengenai daun pintu. "Brengsek kau Jeon Jungkook! Kau tidak bisa melakukan ini padaku! Aku akan tetap datang malam ini!"

Jungkook mendengus gusar. Melirik sejenak jam dinding di atas perapian ruangan, pukul setengah dua belas siang, itu berarti masih ada tujuh jam lebih untuk mengurusi beberapa keperluan di kantor polisi dan berdiskusi dengan Hoseok juga Jungsoo.

"Tidak bisa." Tegas, jelas, juga keputusan akhir. Jungkook sadar emosinya sudah berada di ujung tanduk ketika ia sadar akhirnya Taehyung berhenti berontak. "Kali ini aku benar-benar tidak mengizinkanmu, Taehyung. Sama sekali tidak."

Ia tidak suka menghitung suara detik jam, tidak juga dengan keheningan yang menyelinap masuk setelahnya, dan Jungkook bertanya-tanya apakah kali ini Kim Taehyung mau menurut juga mendengarkan nasihatnya barang sehari saja. Meskipun Taehyung bersikukuh bahwa kesehatannya mulai membaik ketika bangun pukul sepuluh tadi dan memaksa untuk datang ke gedung opera nanti malam, Jungkook tetap menolak permintaan detektif muda itu. Sekali pun risiko yang harus diambilnya nanti adalah Kim Taehyung membencinya seumur hidup.

Jangan tanya kenapa Taehyung bisa saja melakukan itu, bahkan untuk kekasihnya sendiri. Tidak hanya Jungkook yang memprediksi; Hoseok, Jungsoo, kepolisian Scotland Yard, bahkan untuk Park Jimin sekali pun tahu bahwa kasus dan teka-teki adalah napasnya Kim Taehyung. Bagian dari dirinya sendiri. Jiwanya. Bahkan hidup dan matinya.

Lalu, ketika Jeon Jungkook berusaha untuk menarik semua yang ada dan menghilangkannya dalam sekejap mata, ia sadar Kim Taehyung seolah tidak memiliki apa-apa lagi.

"Aku serius, Jungkook,"

Suaranya lirih, namun Jungkook bisa mendengarnya dengan jelas meski pantulan suara mereka dibatasi oleh ketebalan daun pintu. Ia sengaja mempertajam pendengaran, menyisakan jarak setipis mungkin dengan pintu dan mendengar setiap tutur kata yang Taehyung ucapkan, lantas sengaja menempelkan satu telapak tangannya di daun pintu. Jungkook berusaha mendengar getar yang terjadi karena bisikan Taehyung untuknya.

"Malam ini saja," lanjut Taehyung lebih pelan, suaranya mulai serak. "Kasus ini benar-benar penting untukku. Kumohon ... Jungkook."

Jungkook mematung.

Ia mengenal Kim Taehyung dengan baik; sangat mengenalnya.

Dan ia tidak pernah mendengar Taehyung memohon seperti ini.

"Sebentar saja, ya? Sampai aku tahu siapa pelakunya."

"Maaf."

Hening kembali. Jungkook bisa merasakan kekecewaan menguar di sekelilingnya. Berat, berat sekali.

Duk.

Tendangan kecil dari dalam.

"Kau benar-benar brengsek, Jeon."

Jungkook memejamkan mata, yang sedetik kemudian kembali dibukanya begitu ia berjalan menjauh dari pintu sambil menarik kancing mantelnya agar tubuh terjaga dari dingin, lalu berderap dengan langkah lebar menuruni anak tangga dan mengabaikan keberadaan Yoongi di bawah sana.

Angka belum mengarah pada jam dua belas tepat tapi suhu begitu terasa dingin; menusuk di balik mantel yang medekap.

~oooOOOooo~

Dokumen itu sudah lama dimakan usia, berdebu di setiap empat ujung sisinya, dan menguning pada lembaran-lembaran kertas tertentu. Beberapa aksara mulai tidak bisa terbaca, terhapus karena waktu, namun Park Jimin tak ingin menyerah semenjak tujuh ribu dua ratus detik yang lalu ia menolak merasa bosan dengan mendekam di balik meja kerjanya hanya untuk selembar kertas usang yang sulit dibaca.

Bisa dibilang, Jimin sedikit mendapatkan titik terang. Memang bukan petunjuk yang banyak, tapi setidaknya ia terbantu.

Arsip mengenai silsilah keluarga Duke pada sepuluh tahun silam yang dicarinya tetap tidak bisa ditemukan. Jimin sempat kecewa pagi itu, terlebih Hoseok sudah mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu lelah karena mereka tugas lain pada malam nanti. Putus asa mungkin nyaris dirasakannya, namun tidak bertahan lama ketika satu arsip berhasil menarik perhatiannya. Tersembunyi di antara tumpukan arsip yang mulai terlupakan. Bahkan hampir dilewatinya jika Jimin tidak meneliti dengan baik.

Bukan berbicara mengenai tragedi yang dimaksud, bukan juga bercerita tentang pembalasan dendam. Arsip yang ditemukannya memuat penuh dokumen-dokumen penting mengenai seorang keluarga Marquess yang baru-baru ini akan melakukan penobatan sebagai seorang Duke.

Namun, acara penobatan itu tidak pernah berhasil.

Kepala keluarga Kim sudah dinyatakan tewas. Dan tak ada yang bisa menggantikan posisinya karena putra sulung semata wayangnya ikut dalam pernyataan yang sama. Bahkan jauh sebelum kepala keluarga itu sendiri.

Jimin tidak tahu apakah perbuatannya itu disebut ilegal atau bukan. Tapi, persetan dengan semua itu. Salah sendiri mengapa dokumen keluarga Kim tidak disimpan di tempat yang lebih aman. Sekarang, setelah ia menemukannya secara tidak sengaja, Jimin mana mau melepaskan dan membeberkannya begitu saja.

"Riwayat hidup, kesehatan, gelar sebelum menjadi Marquess. Cih, ayolah, apakah tidak ada hal yang lebih menarik perhatian?" Jimin menggerutu, seorang diri. Untung saja ruang kerjanya kedap suara, mungkin. "Ah, tunggu,"

Ia menemukan data pada linimasa delapan tahun yang lalu, pada deretan abjad membentuk kata yang lagi-lagi tak bisa dibacanya. Jimin mengerutkan kening; samar. Ada yang janggal di sini, sesuatu yang tersimpan tidak tepat pada tempat seharusnya.

"... Kim Joonmyeon," ia bergumam pelan, mata memicing demi membaca sederet daftar nama yang memudar, "... Kim Jongin, Kim Jae Rin, Kim Hyoin," kertas lusuh semakin didekatkan menuju mata, ujung jemari menelusuri sejauh mungkin hingga mencapai batas akhir. "Cih, apa ini? Nama awalnya bukan Kim, tapi kenapa ini terlihat seperti huruf—"

Tok tok.

"Park Jimin?"

Tsk. Sialan. Dokumen dilempar pelan ke atas meja, menghambur dengan cepat dan membentur map putih usang yang menutupinya. Ketukan kembali terdengar, kali ini lebih terburu-buru meski tanpa panggilan nama. Jimin segera menarik kertas-kertas itu dan menggabungkannya secara acak yang sesaat kemudian berseru dengan lantang.

"Masuklah. Pintunya tidak dikunci."

Lain kali, ingatkan Park Jimin untuk selalu mengunci pintunya jika sedang dalam keadaan genting. Pemuda Park itu awalnya tidak menggubris derit pintu yang terbuka, tampak fokus menyimpan arsip—ilegal, mungkin—yang ditemukannya di perpustakaan. Tidak lama setelah itu, ia akhirnya mendongak. Yang detik kemudian tertegun dalam lima sekon berikutnya hingga terkejut yang merayap dalam dirinya lenyap dengan cepat.

"Sedang apa kau di sini ..." nadanya berubah sinis, tak jauh berbeda dengan sorot mata dan gurat wajah yang terpancar. "... Jeon Jungkook?"

Balasan yang diberikan untuknya sama, tidak jauh berbeda—malah; sinis dan tak ada kesan ramah sama sekali. Jeon Jungkook tampak siap dengan setelan tuksedo hitam dan kerah bertunik perak, menggenakan aksen berenda di sekitar dadanya, dan sarung tangan seputih susu yang membungkus kesepuluh jemarinya dengan apik. Ia berdiri sekitar dua meter dari meja kerja Jimin, menatap sang pemilik ruangan dengan raut wajah sulit ditebak.

"Ada perubahan rencana." Tanpa basa-basi atau kalimat sapa berbentuk pertanyaan, tipikal sekali. "Dan perintah ini langsung diberikan oleh Komisaris Park."

Jimin mengangkat alis. "Katakan."

"Kau ditugaskan bersama Hoseok-hyung," jelas Jungkook, berhenti hanya untuk mendengus dan memutar bola mata malas. "Juga denganku."

Oh, yah, Jimin mengerti mengapa nada suara pemuda Jeon di depannya itu tiba-tiba berubah ketus. Tak perlu penjelasan, atau deklarasi panjang hanya untuk mengatakan bahwa Jeon Jungkook—sangat—tidak suka dengan perubahan rencana yang dilakukan Jungsoo.

"Oke." Jimin mengangguk singkat. "Apa yang harus kulakukan?"

"Bersiap-siap, tentu saja. Kau dan aku berada di tim yang sama. Dan itu berarti keberangkatan jam semula otomatis ikut berubah."

"Intinya, Jeon Jungkook."

"Hoseok-hyung memintaku untuk memberitahumu agar kau cepat ke ruangannya sekarang juga dan berganti pakaian dengan yang lebih formal."

Bola mata Jimin melebar.

"Karena kita akan berangkat ..." jam tangan dilirik sengaja, "... lima menit lagi."

"Bloody hell!" Jimin memaki sarkastik dan lekas berlari ke arah pintu. "Lain kali," katanya sebelum menghilang, "cepat beritahu saja inti perintahnya dan tidak perlu berbasa-basi seperti itu, Jeon Jungook!"

Jungkook tidak membalas.

Kepergian pemuda Park itu jauh lebih cepat daripada dugaannya.

~oooOOOooo~

William Shakespeare pernah berkata; jangan berlebihan dalam mencurigai karena kecurigaan mampu menghantui setiap pikiran yang ada dan membuatnya kusut.

Maka, ketika Jeon Jungkook dihadapkan pada keadaan ramai di antara padat khalayak umum dan dituntut untuk selalu waspada terhadap keadaan sekitar, ia berusaha untuk mendengarkan nasihat sastrawan besar Inggris itu. Namun, sekuat apa pun Jungkook mencoba dan serileks apa pun ia bersikap, pikirannya enggan diajak berkompromi.

Dan berterima kasihlah kepada seseorang di dalam sana yang terpaksa dikekang olehnya.

"Bagaimana dengan keadaan Taehyung, dear?"

Jungkook tersentak, lantas mengalihkan fokus pandangan dari deretan bangku penonton di balik tirai beludru merah dan tempatnya berpijak; belakang panggung teater. Ia mendapati seorang wanita, berpakaian gaun mewah berwarna violet dengan aksen kerajaan yang kental, lengkap dengan segala pernak-pernik bersepuh emas di sekitar leher dan rambut gelungnya. Dalam hati, Jungkook bertanya, apa yang membuat kecantikan wanita itu tampak begitu natural meski umurnya bisa diperkirakan berada di penghujung empat puluh?

Akan tetapi, terlepas dari semua itu, Jungkook semakin meningkatkan kewaspadaan ketika nama yang tak asing lagi baginya itu terucap dari bibir berpoles lipstik merah marunnya.

"Maaf jika ini terdengar lancang, Milady." Alih-alih menjawab pertanyaan wanita itu, Jungkook memberinya pertanyaan lain. "Tapi, dari mana anda bisa mengetahui Kim Taehyung?"

Kim Jae Rin. Istri pertama dan terakhirnya sang Marquess—Kim Joonmyeon—itu terlihat begitu rapuh dengan sepasang mata jernih yang memancarkan kesedihan juga luka begitu dalam tanpa perlu menyembunyikannya di depan para penonton nanti. Walaupun begitu, Jae Rin tampak dengan mudah memamerkan seulas senyum tipis kepadanya langsung.

"Aku harus berterima kasih, bukan?"

Jungkook mengernyit, tidak mengerti.

"Jika bukan karena bantuannya, polisi tidak akan bisa menemukan mayat suamiku." Intonasi dalam nada suaranya begitu ramah dan lembut, namun Jungkook merasa kalau semua itu terdengar sangat ironis. "Kim Taehyung, detektif muda itulah yang pertama kali menemukan suamiku."

Ada yang bilang, menjadi seorang aktris di atas panggung adalah pekerjaan besar. Kau harus bisa memanipulasi semua mata dan pikiran penonton. Mereka yang dituntut untuk menjadi orang lain selain dirinya sendiri adalah pesandiwara yang handal. Berlakon layaknya hidup dalam dunia nyata, bersenandika di setiap awal dan akhir cerita, hingga berakhir dengan suara riuh tepukan yang menggema di seluruh gedung.

Untuk itu, ketika Lady Kim menolak permintaan polisi untuk membatalkan pertunjukan dan memaksa agar tetap tampil di hadapan para penikmat drama opera Hamlet, mahakarya dari William Shakespeare, Jungkook tak ragu-ragu memberikan rasa simpati.

Orang boleh saja menyebut Kim Jae Rin adalah pemain yang hebat. Ratu Gertrude untuk Hamlet-nya. Lady Capulet bagi kisah tragis Romeo dan Juliet. Dan Nyonya Machbet dalam tragedi kerajaan Skotlandia yang tak pernah dilupakannya.

Tetapi Jungkook menyebutnya sepuluh kali lebih hebat lagi ketika wanita cantik bertitel Lady itu masih bisa memperjuangkan senyum artifisial dan binar matanya yang ramah.

Seolah-olah melupakan fakta bahwa suami dan putra sulungnya telah meregang nyawa dengan cara yang tidak wajar.

"Saya turut menyesal mendengarnya, Milady." Jungkook membungkuk sopan, senyum simpati tak hilang dari wajahnya. "Saya harap pertunjukkan anda hari ini berjalan dengan lancar. Semua orang memang menyukai permainan akting anda."

Jae Rin tertawa renyah, renyah sekali. Mata keriputnya sempat menyipit ketika bibir melengkung manis dan kelima jari terangkat menutupi dagu. "Kau memang bisa menyenangkan hati wanita tua, ya, anak muda,"

Senyum itu belum pudar. "Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Maaf jika kurang berkenan di hati anda."

"Tidak, tidak sama sekali," Jae Rin menggeleng, lekas menyentuh bahu Jungkook lembut. "Kau melakukan tugasmu dengan baik," ia mengedipkan mata usil. "Omong-omong, anak muda, bisa aku meminta pertolongan kecil padamu?"

Jungkook mengangguk. "Tentu, Milady."

Sekilas memang, namun Jungkook bisa melihat harapan yang melintas dalam manik cokelat wanita itu. Harapan kecil. Sekecil Jungkook membersit perasaan janggalnya dan mengabaikannya dalam sekejap.

"Jaga dia dengan baik," ucapan awal wanita itu itu berhasil menarik sisi penasaran Jungkook. "Dia detektif yang hebat. Kau bisa percaya padanya sepenuh mungkin."

Tepat pada saat itu, gendang telinga berkontraksi spontan ketika seseorang berteriak lantang dari arwah berlawanan. Jungkook bisa menduga sang sutradara baru saja meneriakkan komando agar para pemain berkumpul dan melakukan breafing. Otomatis Jae Rin melepaskan sentuhannya, menutup percakapan janggalnya itu dengan satu senyum terakhir. Lembut, layaknya figur seorang ibu, namun misterius di saat bersamaan.

"Tunggu," refleks, dan Jungkook bersyukur karena wanita cantik di umur bukan mudanya lagi itu menoleh kembali. "Kalau boleh saya tahu—dan maaf jika saya terlihat lancang—kenapa anda mempercayakan Kim Taehyung pada saya?"

Kenapa kau begitu mengenalnya, Ma'am?

"Hm... kenapa, ya?"

Teriakkan kembali dikeluarkan. Kali ini dengan serentetan kalimat kesal dan perintah mutlak.

"Saya tidak memaksa anda untuk menjawabnya," Jungkook membungkuk. "Maaf jika—"

"Karena dia memang seperti itu, bukan?"

Tidak bisa dipungkiri, wanita itu seolah memiliki seribu satu kejutan di balik senyum lugasnya.

"Aku memang tidak mengenalnya secara khsusus. Tapi, semua orang mungkin bisa tahu, sekali saja kau menatap matanya dan mengenal cara bagaimana dia berpikir atau bahkan gerak-gerik tubuhnya,"

Derap langkah kaki menggema, perintah berulang kali, dan panggung ricuh tiada henti.

Nama Kim Jae Rin berdengung setelahnya.

"Kim Taehyung memanglah berharga."

Lady Kim, begitu Jungkook dengar di ujung sana. Keras, absolut, tapi tidak menghilangkan kesan sopan santunnya. Emosi sang sutradara sudah mencapai puncak, sepertinya. Walaupun nada enggan dalam menegur masih terselip jelas bahwa pria itu menjaga tata krama di depan istri dari seorang Marquess.

"Aku datang Mr. William!" seru Jae Rin sopan, sama sekali tidak menangkap nada marah yang terus menggema. "Omong-omong, jauh sebelum kau sadar, aku pernah bertemu dengan Kim Taehyung saat pesta dansa Ratu Victoria digelar secara terbuka. Kami sempat mengobrol waktu itu, tapi tidak terlalu banyak."

Jungkook tak sempat memberi komentar. Musik orkestra mulai dimainkan; Vivaldi four season, winter mengalun merdu; dan wanita bergelar Lady itu belum saja beranjak dari tempatnya karena sengaja berjinjit untuk berbisik tepat di telinga kiri Jungkook.

"Satu hal lagi, anak muda. Taehyung terlihat agak tidak sehat saat aku bertemu dengannya tadi. Pastikan dia makan dengan banyak dan teratur, ya."

~oooOOOooo~

"Tidak merasa melupakan sesuatu?"

Kim Jae Rin mendongak, lantas mengulas senyum tipis ketika mendapati seseorang berdiri di ambang pintu ruang riasnya. Lima menit lagi ia harus segera ke belakang panggung, menunggu giliran perannya tiba. Biasanya, ia tidak suka jika seseorang mengganggu privasinya sebelum ia pentas. Namun saat ia melihat seseorang tak asing baginya di ambang pintu, Jae Rin mengesampingkan perasaan tidak sukanya.

"Aneh melihatmu lagi bahkan sampai harus menemuiku secara pribadi."

"Apa tidak boleh?"

Jae Rin menggeleng. "Aku kira kau membenciku."

Suara kekehan terdengar renyah. "Aku tidak lama," ia berhenti ketika Jae Rin berdiri dan berjalan mendekat. "Hanya ingin memberikan benda keberuntungan sebelum anda bermain di atas panggung. Terus terang saja, setiap drama yang anda mainkan selalu berhasil di mataku."

Itu bukan pujian, Jae Rin sadar akan hal itu. Mulutnya boleh saja berucap manis, tetapi matanya dengan jelas berkata dalam makna sebaliknya. Munafik.

"Dan satu hal lagi,"

Bentuknya kecil. Bersepuh emas dan berukiran kuno. Dengan bagian dalam memancarkan merah yang mewah sekaligus cantik.

Sebuah alat kecantikan kebanggan sang Lady yang diberikan oleh Ratu Victoria.

"Maaf atas kematian dua orang terpenting bagi anda, Ma'am."

Jae Rin mematung. Nadanya tulus, ia memaki dalam hati. Nyaris ingin menangis. Nadanya terdengar sangat tulus. Dia sungguh-sungguh.

"Tidak banyak yang bisa kuberikan di meja rias anda tadi."

Seolah ingin cepat mengakhiri dan tidak terlalu larut dalam percakapan yang tidak penting.

"Kalau begitu, mari, saya undur diri dulu."

Ketika ia menoleh pada tempat yang dimaksud, sedikitnya Jae Rin tersenyum. Tipis sekali.

Karena buket bunga anyelir putih itu terlihat sangat menawan.

Anggun dengan caranya sendiri.

~oooOOOooo~

"Untuk menjadi atau tidak menjadi; itulah pertanyaannya. Pamanku lelaki yang licik. Bahkan jika pembalasan dendam bisa kulakukan, aku tidak akan melarikan diri dalam keadaan hidup. Karena sejujurnya ..." (1)

Sekon selanjutnya, dan lampu sorot berbias elok; memancar pada satu titik ketika gelap melingkupi seluruhnya, menutup warna artistik untuk setiap latar yang berjalan. Tak terkecuali juga, di atas derit kayu bertumpuk hingga membentuk panggung yang kukuh, Hamlet berdiri teguh. Mendongak angkuh dengan binar mata berkilat sendu. Berlakon layaknya berharap penuh pada hening yang pilu.

"... aku tidak ingin mati."

Sedangkan di antara dua kursi mewah, di balik tirai beludru merah tepat pada kursi penonton lantai dua pada samping kanan, dengan kesan elegan juga berkelas bagaikan langkah bangsawan, Kim Taehyung berpijak anggun. Mata berbinar fokus juga serius sedangkan kedua lengan bersilang defensif.

"Berhentilah menjadi seorang pengecut, Hamlet!" monolog kembali diutarakan. Penonton tak tanggung-tanggung terkesima. "Musnahkan orang bodoh itu dan jangan biarkan jiwamu terhambat."

Taehyung menahan napas.

Hamlet dan William Shakespeare tak pernah lelah membuatnya takjub.

"Sumpahku adalah darahku."

Menyusup cepat di setiap aliran darahnya, berdenyut dengan caranya sendiri, dan naik hingga menyentuh jantung; pusat kehidupannya selama ini.

"Saat ini ... tak ada jalan lagi untuk kembali."

Ini bukanlah kali pertama Taehyung menyaksikan drama Hamlet di sebuah gedung opera. Bukan juga kali pertama ia lagi-lagi tertarik dengan segala pesona yang dipancarkan alur cerita dan alunan musik berperan tinggi. Dan Taehyung selalu berhasil terbawa hanyut sampai lupa akan dirinya. Ia seolah-olah menghayati adegan demi adegan yang berlangsung. Merekamnya tanpa cela sedikit pun dalam kotak memori terdalamnya.

"Sekarang, biarkan aku pergi. Sebelum terik matahari dalam darahku terbit."

Lampu sorot mati dalam hitungan detik.

Tirai sandiwara semerah darah dengan benang emas pilinan rapi sebagai pemanis diturunkan, sebelum babak berikutnya kembali dimainkan nanti; peran akhir yang ditunggu-tunggu oleh penonton.

Untuk sekon yang tak lagi terhitung, detektif muda itu berhasil menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Benar-benar pertunjukan yang—"

"Cukup untuk waktu mainmu, Kim."

Taehyung nyaris menjerit.

Namun semua itu ia tahan sekuat mungkin ketika tarikan mendadak di bagian lengan atasnya terjadi tanpa aba-aba. Gesit, cepat, dan memiliki refleks yang Kim Taehyung maki tanpa henti karena kondisi tubuhnya yang belum bisa dikatakan stabil. Ia mengutuk. Bukan hanya kepada si pelaku yang menarik lengannya dengan kasar, tetapi untuk pening yang dengan laknatnya menjalar liar di setiap sel-sel temporalnya.

"Aku benar-benar marah sekarang,"

Kalimat protes tak dibiarkan keluar, Taehyung meringis ngilu begitu punggung membentur dinginnya dinding dan dua lengan dalam kungkungan posesif. Akan tetapi, manik hitam yang memakunya lekat itu mampu membuatnya tak berkutik. Ia bisa saja mengeluarkan serentetan klausa kasar, namun sisi lain logikanya menolak melakukan; kontradiktif. Taehyung seharusnya sadar bahwa Jeon Jungkook bersifat seperti zat adiktif yang memikat.

"Kau mengabaikan perintahku," nada suaranya dalam, dalam, dalam sekali. Sedalam iris hitam di kedua bola matanya itu berhasil menenggelamkan Taehyung hingga dasar. "Aku tidak tahu alasan apa yang kau berikan kepada Yoongi-hyung sampai kau bisa keluar,"

Taehyung menggeleng protes. "Tidak, Jungkook. Dengarkan aku—"

"Diam."

Gelap. Taehyung tak mengiba pada lampu sorot yang kembali dinyalakan, tidak juga kepada sepasang manik hitam yang berpendar tajam ketika mata mereka saling bertemu; begitu gelap layaknya kanvas malam tanpa bintang. Ia tak mengiba dan memaksa mulutnya terbuka saat itu juga, bermaksud mengeluarkan segala jenis alasan dan rentetan kalimat bela.

Sejak awal Kim Taehyung tahu, bahwa Jeon Jungkook tidak akan pernah mau memberikannya kesempatan.

Karena marah dan Jeon Jungkook bukanlah perpaduan yang bagus.

"Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi, Kim," alih-alih berkata dengan bentakan keras, Jungkook memilih berbisik tepat di telinga Taehyung. Nada suaranya berat, tidak sengaja dilakukan, tapi memang begitu adanya.

Taehyung menahan napas, enggan mengeluarkan pekikan sekecil mungkin ketika telapak tangan Jungkook mulai merayap di sekitar pinggang dan tengkuk belakangnya. Kala dingin mulai meresap pada titik sensitifnya yang meremang spontan dan Taehyung tak perlu berpikir lebih untuk mengirimkan sinyal kecil berbahaya pada otaknya.

Kala Jeon Jungkook benar-benar digelapkan dengan amarah dan nafsu yang meningkat drastis.

"Jungkook—" ia mencoba bermonolog, mengucap sanggahan. Namun suaranya tercekat begitu sang subjek yang dipanggil menempelkan belah bibirnya di perpotongan leher Taehyung. Tak bernoda, tetapi menarik banyak dosa. Hanya menempel, sungguh. Jika Taehyung ingin mengeluh. Yang detik berikutnya berubah menjadi kecupan ringan, dari ringan berubah dalam tempo cepat, selanjutnya kuluman pelan—pelan sekali—sebelum berubah sepenuhnya menjadi gigitan keras. Gigi yang bergemeletuk itu, rahang tegas mengeras itu, dan libido juga ludah saat mengecap itu.

"Hmph!"

Taehyung mencoba berteriak, namun jemari ramping dan kokoh milik Jeon Jungkook mengahalangi; sengaja membekap bibirnya tanpa ampun. Ia meronta, sekuat tenaga mendorong dada Jungkook untuk menjauh, bahkan tak ragu melayangkan tendangan sekuat mungkin.

Bodoh memang, ia seorang detektif yang jenius, tapi tetap tidak bisa mengalahkan fakta bahwa kekuatan sang polisi pastilah lebih besar. Taehyung tahu ia tidak sengaja untuk berspekulasi, tetapi hatinya berteriak optimis; ia bisa bebas. Hanya untuk saat ini saja, ia harus bebas.

"Ssshh, kau bisa mengganggu penonton lain jika berteriak terlalu keras, Taehyung."

Bola mata melebar sempurna. Di bawah sana, pada sisi lain panggung yang mulai bermain, Taehyung mendengar musik dialunkan. Pelan, hingga gendangnya menangkap senandika para pemain lagi-lagi beraksi demi perhatian penonton.

"Hentikan ..." Taehyung tak suka merintih, apalagi memohon. "Jungkook, aku serius—ukh ..."

Kecupan bertubi-tubi kembali dilayangkan. Taehyung sebisa mungkin tidak berteriak, meski hati dan pikirannya memaksa. Ia mengutuk Jeon Jungkook hingga ke dasar neraka dan segala cumbuan candunya. Mengutuk habis ketika Taehyung merasakan bibir Jungkook tidak hanya diam di salah satu titik, tapi juga mencari titik lainnya; titik sensitif. Seolah perpotongan leher, turun ke tulang belikat, kancing yang terbuka paksa, dada telanjang tanpa pertahanan, lantas berhenti di antara pusar dan selangkangannya diklaim dengan monopoli paksa. Jungkook bukanlah titisan Raja Louis XVII, bukan juga bawahan Hitler, namun kuasanya terhadap Kim Taehyung seakan tanpa batasan.

Jungkook sengaja absen pada ciuman bibir dan Taehyung cukup tahu pemuda itu mendadak sadistik jika sudah menyangkut hubungan intim. Jangan sebut ia seorang masokis, walau pada akhirnya pasangan sadis dan maso sulit dipisahkan. Orang boleh saja berkata Jeon Jungkook terlalu menjaga image di depan rekan dan atasan kepolisian, tapi tidak ada yang tahu jika pemuda itu memiliki berbagai macam kejutan di baliknya.

"Kau tidak mendengar perintahku," basah, basah, kecupan panjang di sepanjang pundak yang terbuka, "keras kepala," beralih lebih ke bawah, "terlalu egois dan selalu berpikir bisa melakukan semuanya," lenguhan terdengar, Jungkook mengabaikan. "Kau pikir, aku akan melepaskanmu begitu saja?"

Pergelangan tangan Taehyung terlalu kecil, sampai Jungkook tak pernah bosan untuk melingkarkan kelima jarinya di sana; erat, bahkan nyaris meremukkannya jika ia sadar Kim Taehyung bukanlah sebuah porselen rapuh. Detektif muda itu boleh saja mengangkat dagu dengan angkuh di hadapan semua orang, yang tak tanggung pula mengibarkan kata benci, bahkan untuk Komisaris Park sekali pun. Tapi ketika di hadapan seorang Jeon Jungkook, kebebasannya sudah lama mati.

Dan Jungkook menyukainya. Selalu.

Melihat bagaimana Taehyung bertekuk lutut dengan pasrah.

"Brengsek kau ... Jeon ..." napasnya habis, Taehyung rasa kepalanya mulai pening. Entah bagaimana dengan air mukanya saat ini. Merah sudah pasti, dan ia selalu membencinya setengah mati. Taehyung tidak suka terlihat merona di depan kekasihnya sendiri. Terlebih jika ditambah dengan saliva di sudut bibir hingga mengalir liar menyentuh dagu.

"Aku tidak mendengar apa pun,"

Taehyung memekik, kecil sekali. Pekikannya menghilang ketika gesekan senar biola bermain, dipadu satu dengan denting piano tempo adagio, lantas tabuhan drum klasik saat jeritan Hamlet menggema di seluruh sudut gedung teater; memilukan dengan caranya sendiri sampai Taehyung ingin berteriak sekencang mungkin.

"Hentikan ..."

Detik kemudian, semua mendadak hening. Jungkook sengaja mengambil kesempatan tipis itu untuk mencuri satu kecupan panjang pada belahan bibir Taehyung yang menggoda.

"Bukan seperti itu caranya memohon."

Hening yang janggal. Musik yang tidak beraturan. Lampu sorot yang aneh.

"... Jungkook ..."

Taehyung berharap.

"Kumohon."

sampai waktu rela mengabulkannya.

Karena tak lama setelah itu, jeritan panjang terdengar lalu keadaan penonton mendadak ricuh. Kacau juga ribut. Tepat ketika lampu panggung mati dan tirai sengaja tidak diturunkan. Tepat begitu atensi seluruhnya beralih pada derit kayu mewah sebagai pijakan panggung yang megah, dan tubuh seorang wanita tergeletak bisu di sana. Tak ada yang tahu sel sarafnya mengejang hebat hingga akhirnya kaku. Sampai detik di mana semua orang bisa melihatnya dengan jelas tanpa mata tertutup.

Wanita itu terbaring; tidak bergeming, tidak juga membisu. Sekarat. Di antara remang lampu pion yang kecil dan berbias elok.

Sandiwaranya baru saja kandas.

Dan gaun violetnya terurai dengan sangat cantik.

~oooOOOooo~

"Itu Lady Kim! Seseorang! Bantu sang Lady sekarang juga!"

Hoseok panik. Tiga menit sebelum kekacauan mendadak terjadi di sekitarnya, matanya tampak awas sembari mengawasi bagian barat depan panggung tanpa merendahkan tingkat kecurigaannya sedikit pun. Ia memang tidak terlalu menaruh perhatian terhadap drama klasik, namun penampilang sang Hamlet dan Ophelia yang tersaji di depannya kala itu begitu memikat. Cerita yang manis, namun tragis.

Tragis.

Ketika ia disadarkan dengan kericuhan yang terjadi secepat kerjapan mata.

"Panggil pihak rumah sakit sekarang juga!"

Inspektur muda itu mencoba menerobos di antara khalayak ribut. Yang Hoseok yakini, sama-sama merasa panik begitu mendapati tubuh wanita berbalut gaun violet berenda itu mengejang tanpa sebab di atas panggung. Terjadi selama lima detik, jika Hoseok menghitung. Seratus delapan puluh detik saat pergantian babak mulai dilakukan, dikurangi enam puluh detik dalam dua sesi yang berbeda; tiga puluh untuk merapikan diri, sedangkan tiga puluh lainnya perintah sutradara untuk segera bersiap. Sisa enam puluh detik berikutnya, orkestra kembali bermain sampai Hoseok bisa melihat ketukan langkah sepatu berhak mengetuk pelan di sepanjang panggung.

Lantas, pada lima belas detik kali empat kemudian, sang Lady terjatuh dalam keadaan tubuh mengejang hebat. Mata melotot dengan pupil melebar. Sampai pihak panggung refleks mematikan lampu utama panggung dan musik otomatis ikut berhenti.

Salahnya, tak ada satu pun petugas yang berpikir jernih untuk menurunkan tirai panggung. Kesalahan fatal, karena penonton—nyaris semua, jika barisan belakang tidak masuk daftar—menyaksikan setiap detiknya dengan jelas. Dan sekian banyak di antara mereka tidak bisa dikatakan bodoh bahwa itu bukanlah skenario buatan.

"Beri ruangan lebih luas lagi!"

Mendadak, Hoseok teringat.

Selembar pesan kematian lusuh sejak tujuh puluh dua jam yang lalu. Terselip manis dalam lipatan berkas-berkas tepat ketika jenazah Kim Joonmnyeon ditemukan.

Sederet kalimat membentuk kata 'opera'.

"Polisi segera amankan semua orang!"

[Dia berkata; "Aku di sini ...]

"Pertolongan pertama dilakukan! Periksa detak jantung dan denyut nadinya."

Kerumunan berhasil diterobos. Keseimbangan nyaris terjungkal seandainya Hoseok tidak memliki pertahanan yang terlatih. Setelah itu, petugas berhasil pula digiring menggeser. Ia berjalan tanpa hambatan sampai gambar hidup di depannya terbentuk kembali dalam pesan sinyal bernama spekulasi sesaat.

"... tidak mungkin."

Hoseok berhenti kala sepi mendominasi.

"Lady Kim ..."

[... di antara kalian yang berusaha menemukan."]

"... tidak bernapas."

Tuan Detektif, dunia ini hanyalah panggung sandiwara.

~oooOOOooo~

Kim Seokjin namanya.

Pria tiga puluh tahun dengan profesi sebagai ahli forensik itu tampak tenang ketika mengecek raga tanpa nyawa yang sengaja ditidurkan tiga puluh menit setelah para petugas membawa tubuhnya ke belakang panggung. Gurat wajahnya datar, bibirnya terkatup rapat, namun siapa pun bisa melihat keseriusan dalam sepasang bola mata hitamnya; menganalisis, berspekulasi, menarik implikasi, atau mungkin mencari sebuah premis pasti.

Pertama kali Taehyung mengenal Seokjin adalah ketika mereka dipertemukan secara tidak sengaja dalam sebuah kasus mutilasi yang pernah menggeparkan warga London. Saat itu, hanya dengan sekali menatap saja, Taehyung tahu ia bisa menaruh kepercayaan besar terhadap pria itu. Seorang ahli forensik dengan sifatnya yang tenang dan jiwa seorang kakak yang sangat kuat.

"Racun strychnine."

Otot tangannya menegang, hanya sesaaat, sampai akhirnya Seokjin menghentikan analisisnya dan menoleh cepat menuju sumber suara. Tidak hanya ia yang melakukannya, semua pasang mata sebagai saksi bisu di ruangan senyap itu menatap Kim Taehyung tanpa berkedip. Tak terkecuali Jungsoo dan Hoseok.

"Dari mana kesimpulanmu, Tae?" tanya Seokjin, mengerutkan kening heran. "Aku baru saja menemukan fakta kecil itu tidak kurang dari setengah jam yang lalu dan kau sudah menyebutkannya tanpa harus mengecek keadaan mayat? Tidak salah, bukan, kalau aku mencurigaimu?"

Taehyung mendengus kecil. Ia berlutut di depan tubuh kaku Lady Kim dengan kedua kaki ditekuk dan tangan di atas lutut. Gayanya seperti bocah kecil, baik ekspresi maupun gaya bicaranya, namun setiap tutur katanya melebihi orang jenius mana pun. Pemuda AB itu menatap Seokjin tepat di mata, sebelum akhirnya mengehela napas pendek.

"Pesan kematian yang dikirimkan Lord Kim kemarin malam, mengarah ke sini." Ia mengarhkan jari telunjuknya ke seluruh bagian tubuh Kim Jae Rin. Dari atas kepala hingga ujung kaki, lekukan siku dan pergelangan tangan, sebelum kembali pada goresan wajah cantiknya yang tertidur.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Taehyung," interupsi Jimin di belakangnya. "Bagian mananya yang menunjukkan pesan kematian Lord Kim kemarin bisa mengarah ke sini?"

"Pelaku menulis beberapa angka acak di akhir pesan. Kalau tidak salah, di sana tertulis; satu, nol, sembilan, dua, nol, satu, nol, delapan, dua, lima, lalu—" Taehyung mengerutkan kening.

"—tiga, delapan, sembilan, delapan, dan terakhir lima." Jungkook menimpali.

"Apa aku mendengar seseorang berbicara? Oh, lupakan saja. Tapi benar, angka-angka itu terdiri dari lima belas angka." Taehyung tidak bermaksud bercanda, rasa kesalnya saja yang membuatnya emosi. "Mungkin terdengar seperti angka-angka bodoh, tapi di sanalah kunci utamanya. Terlebih lagi, si pelaku menulis sedikit petunjuk di bawah angka-angka itu."

Tak ada seorang pun yang berani menyela atau membantah.

"Setiap awalan, satu dan akan selalu menjadi kunci utama. Hasil dua angka pertama lalu tiga dan sebelum akhir yang menentukan. Lisankan angka dan hasilkan sebuah frasa."

Taehyung menyeringai kecil.

"Perhatikan baik-baik pada kalimat; lisankan angka dan hasilkan sebuah frasa. Ini terdengar janggal. Karena retorisnya, kata lisankan biasa digunakan untuk deret abjad, sedangkan kata hasilkansendiri diperuntukkan bagi angka. Akan tetapi, pelaku membaliknya dengan sengaja. Apa itu tidak terlihat sangat jelas?"

Jimin mengernyit. "Maksudmu, angka-angka itu berhubungan dengan huruf abjad?"

"Tepat sekali. Dengan kata lain, kelima belas angka itu akan membentuk sebuah kata jika diuraikan berdasarkan urutan huruf abjad. Misal seperti huruf A adalah angka satu, B adalah dua, dan C adalah tiga. Begitu seterusnya sampai Z sama dengan dua puluh enam. Seperti kalimat pertama yang ditulisnya; setiap awalan, satu dan akan menjadi selalu kunci utama. Huruf adalah angka. Dan angka adalah huruf."

"Tapi Taehyung, jika mengurutkan angka-angka itu sesuai dengan huruf abjad, kata yang terbentuk sama sekali tidak mengarah pada kata 'strychnine'. Apalagi, kata yang aku urutkan tidak dimulai dengan huruf S, tetapi huruf J."

Logika dalam pikiran Park Jimin bermain, orang awam akan mengurutkan semua itu sesuai dengan peraturan yang ada. Maka, kata yang terbentuk dari kelima belas angka tersebut adalah 'JITJHBECHIHE'. Tidak ada tanda-tanda nama racun yang digunakan oleh sang pelaku.

"Abaikan nol di sini karena huruf A bukan berasal dari angka nol, melainkan angka satu. Itulah mengapa kau memulainya dengan huruf J, karena J adalah abjad kesepuluh. Satu dan nol itu bisa berarti sepuluh. Angka nol dalam petunjuk di sini tidak akan berarti apa-apa jika menganggapnya secara tunggal." Taehyung melirik Jungkook sejenak, lantas mengabaikan dan kembali melanjutkan.

"Namun, hal yang paling penting dari pesan itu terdapat dalam kalimat; hasil dua angka pertama lalu tiga dan sebelum akhir yang menentukan."

Di hadapannya, Seokjin tidak bereaksi, namun mata dan pikirannya seolah bekerja sejalan.

"Hasil dua angka pertama, yaitu sepuluh dan sembilan. Jika dijumlahkan sama dengan sembilan belas. Huruf S adalah urutan kesembilan belas. Berikutnya, dua dan nol. Karena nol tidak bisa berdiri sendiri, berarti angka dua puluh. Sembilan belas dan dua puluh, baru saja membentuk S dan T." Tidak jauh darinya, Taehyung bisa mendengar suara gesekan bolpoin dan kertas beradu. "Berlanjut pada kalimat, lalu tiga dan sebelum akhir yang menentukan. Pertama, urutan angka ketiga kembali dijumlahkan. Yaitu sepuluh dan delapan, menghasilkan jumlah delapan belas, dengan kata lain huruf R berhasil ditemukan. Berlanjut ke angka dua dan lima ..."

Ini yang paling menjengkelkan, pikir Taehyung.

"... dua dan lima sama sekali tidak membantu," katanya. "Setelah mendapatkan penggalan kata S T R, rasanya aneh jika ditambahkan huruf B dan E. Untuk itu aku menganggapnya sebagai huruf keduapuluh lima. Sehingga jatuh pada huruf Y. Lalu, tiga angka berikutnya; tiga, delapan, sembilan. Ditambah dengan empat huruf sebelumnya sudah membentuk S, T, R, Y, C, H, I."

Taehyung sengaja memberi jeda.

"Tunggu." Sesuai dugaannya, Park Jungsoo akan bersuara. "Itu berarti, huruf terakhir adalah M, bukan? Seperti petunjuknya, '...sebelum akhir yang menentukan.' Hasil dari penjumlahan angka delapan dan lima adalah tiga belas. Dan mengarah pada huruf M. Bukankah kata yang terbentuk seharusnya 'Strychnine' dan bukannya Strychim?"

Seorang pembunuh tak hanya dituntut untuk berpikir cerdas dan licik. Tetapi juga memiliki daya imajinasi yang kreatif. Tidak dalam harus bersifat konyol dan mengundang tawa, yang terpenting benar-benar bisa mempermainkan kelogisan cara berpikir pihak berwenang sekaligus detektif.

Maka dari itu, ketika Kim Taehyung terpaksa memecahkan kode yang diingatnya hanya seorang diri dalam ruangan kamar yang dikunci paksa, termasuk perintah otoriternya Jeon Jungkook, ia sadar bahwa sang pelaku mempermainkan pembunuhan berantai ini dengan sangat mudah.

"Tidak salah, pelaku memang sengaja menggunakan kata Strychim sebagai pengecoh," balas Taehyung kalem, dagunya terangkat angkuh ketika Jungsoo berkalimat kontra. "Tapi, jika memang belum merasa puas, anda bisa mengecek setiap kamus yang ada, Sir. Tak ada satu pun kata strychim yang memiliki arti tertentu dan hanya strychnine-lah satu-satunya kata dengan artikulasi atau pengucapan yang sama."

"Kemungkinan dalam persentase sembilan puluh sembilan koma sembilan persen," sela Seokjin, nadanya mangatakan persetujuan. "Tes darah pada korban akan dilakukan secepat mungkin. Dan aku bisa memastikan terdapat kandungan zat strychnine di dalamnya."

"Kenapa kau yakin sekali, Seokjin?"

Seokjin menunjuk kepala sang korban, tepat di bagian tempurung otak. "Zat racun ini menyerang langsung pada bagian sistem saraf pusat sehingga menyebabkan refleks reaksi yang berlebihan. Akan tetapi, Hoseok sebelumnya bilang padaku bahwa korban mulai bereaksi dalam keadaan kejang tiga menit sebelum memasuki panggung. Dengan kata lain, dosis racun yang digunakan pelaku bisa dikatakan cukup. Tidak kurang, tidak juga lebih. Sehingga reaksi dalam tubuh korban berjalan dengan timing waktu yang sesuai setelah berdiri di atas panggung."

"Itu berarti, masih ada waktu bagi pelaku untuk kabur sebelum dicurigai."

"Apa maksudmu, Taehyung?"

Jari telunjuk dan jari tengah terangkat. "Dua kemungkinan," sahutnya, "satu, pelaku sudah lama menunggu sampai korban naik ke atas panggung. Bisa saja sebelum itu seseorang memberinya minuman atau makanan yang sudah dicampur dengan racun. Dua, pelaku mengetahui kebiasaan korban sebelum naik ke panggung dan memakai kesempatan itu dengan sangat baik."

"Ah, aku ingat," kali ini, semua mata memandang Jimin. "Claire, asistennya Lady Kim berkata padaku kalau Lady Kim selalu membetulkan lipstik bibirnya beberapa menit sebelum perannya bermain di atas panggung. Aku pikir ini sudah jelas." Napas ditarik sepanjang mungkin. "Pelaku mengetahui kebiasaan Lady Kim dan mencampur bubuk strychnine di sekitar ujung lipstiknya. Yang tanpa disadari Lady Kim, ia bisa saja mengecap bibirnya dengan lidah karena gugup dan racun itu berhasil menyebar."

Seokjin mengangguk paham. "Cara itu lebih logis lagi. Efek strychnine bereaksi sepuluh sampai dua puluh menit untuk membunuh korban. Tapi jika pelaku memang melakukan cara dengan lipstik tadi, kemungkinan racun bisa menyebar sekitar dua puluh lima menit dan bereaksi karena stimulasi simultan dari ganglia sensoris di tulang belakang. Alasan mengapa Lady Kim mengalami kejang-kejang tepat setelah dia berdiri di tengah panggung dan penonton melihatnya dengan jelas."

Beberapa sekon berjalan setelah penjelasan berjalan lancar dan begitu detail, ruangan belakang panggung berubah menjadi lebih hening, lebih sepi, bahkan lebih mencekam.

Tak ada protes yang dikeluarkan Jungsoo. Tak pula debat yang terjadi antara Jungkook dan Jimin. Hoseok seperti kehilangan harapan, wajahnya pucat pasi. Entah karena sel otaknya belum mampu mempercayai fakta demi fakta yang berjalan, entah karena pembunuhan di depannya tidak hanya bisa sekadar disebut sadis.

Seokjin menghela napas panjang. Kasus ini terlalu berat baginya. Bertahun-tahun menghadapi masalah yang berbeda dengan kekejaman yang berbeda pula, tak pernah sekali pun ia merasa depresi sampai akhirnya menemukan kasus pembunuhan berantai terhadap keluarga Marquess.

Dengan cara yang lebih keji. Lebih tak bermanusiawi. Lebih tidak berperasaan.

Pelaku mana sehingga dirinya bisa memelihara hati yang sejahat itu?

"Tersisa satu lagi."

Hening itu pecah oleh Kim Taehyung. Tidak terdengar riang atau angkuh seperti kode berhasil dipecahkan dan seperti biasanya, tidak juga mengandung bangga yang terlalu egois. Sebaliknya, nada suara detektif muda itu terdengar pelan. Sangat pelan dan dalam. Cukup untuk menjelaskan bahwa bukan hanya Seokjin dan kepolisian lain dan pihak yang ditinggalkan saja merasa begitu marah dan tidak berdaya.

"Target yang diinginkan si pelaku," Taehyung menggertakkan gigi kesal. "Tinggal tersisa satu lagi."

Kim Hyoin.

Nama itu tak jauh berbeda layaknya bisikan kecil sebagai tanda kemenangan sang Tuan Pembunuh Berantai.

~oooOOOooo~

"Kau yakin akan pergi?"

Sweater tebal sudah dipakai, ditumpuk dengan jaket wol hangat, dan dipadukan kembali dengan mantel hitam yang tebal. Tidak lupa syal rajutan tangan yang melilit di sekitar lehernya dengan begitu apik. Kim Taehyung awalnya tidak ingin protes, namun ketika Seokjin tampak sibuk memakaikan pakaian-pakaian laknat itu di tubuhnya dan terus-menerus bertanya yang tidak penting, ia jadi jengah juga. Malam di depan gedung opera memang dingin, Taehyung mengutuknya habis-habisan.

"Hyung mengenalku dengan baik," keluh Taehyung, sedikit mengiba. Lalu bergumam kecil, "Kenapa aku harus dikelilingi dengan orang-orang yang selalu mempermasalahkan hal kecil, sih?"

"Aku mendengarnya, Tae."

"Sengaja."

Sentuhan terakhir pada kancing teratas, Seokjin lekas memberi jitakan kecil di puncak kepala Taehyung. "Aku dengar dari Jungkook kau sedang demam."

"Dasar pengadu."

"Kim Taehyung."

"Sudah sembuh, Hyung." Seokjin menatapnya tajam. "Serius. Hyung bisa mengecek suhu badanku jika tidak percaya."

"Aku memang tidak percaya," pria itu merogoh saku jas dokternya. Mengeluarkan sepasang sarung tangan wol berwarna teal. "Untuk itu aku menanyakan hal yang sama sejak tadi, Tae. Kau yakin tidak akan apa-apa setelah sampai di sana? Berpikir dan memecahkan kode yang tadi saja sudah menarik energimu dengan banyak."

Taehyung mendengus. "Tahu dari mana,"

"Wajahmu pucat."

"Hyung!"

"Baiklah, baiklah, dasar keras kepala." Ia meraih tangan kanan Taehyung, bermaksud memakaikan salah satu sarung tangannya ketika matanya mendapati hal yang mengganggu. "Luka apa ini, Tae?"

Tepat saat itu, Jungkook sudah berada dalam jarak teritori mereka. Baru saja selesai berbincang dengan atasan kepolisian dan memutuskan untuk mencari kekasihnya. Otomatis juga mendengar pertanyaan Seokjin dan mengikuti arah pandangan pria itu.

"Aku belum melihat luka ini sebelumnya," sahut Jungkook, menarik pergelangan tangan Taehyung dari Seokjin. "Kenapa tidak bilang?"

Bola mata cokelat berotasi malas. Sebenarnya Kim Taehyung sedang dalam mode irit bicara bersama Jeon Jungkook. Andai bukan karena Seokjin dan kasus tanpa ujung yang berada di hadapannya sekarang ini, Taehyung dengan senang hati akan mendiamkan Jungkook untuk satu minggu penuh.

"Terlalu keras menggedor pintu yang dikunci."

Jungkook mengernyit bingung. Tidak percaya.

"Lupakan," tangan berhasil ditarik kembali. Sarung tangan yang belum terpakai direbutnya dari Seokjin, lalu memakainya terburu-buru. "Tidak ada waktu lagi untuk mundur, aku harus segera mengecek keadaan rumah Lord Kim sekarang ju—"

"TAEHYUNG!"

Mereka bertiga serentak menoleh.

Tidak jauh dari pijakannya, Park Jimin berlari panik.

"Kim Hyoin dalam bahaya!"

Taehyung membelalak.

~oooOOOooo~

.

For My Dear, Detective

Saatnya mengakhiri permainan

Kau tahu siapa aku, bukan?

.

Tertanda,

White Carnation

.

p.s : bukan sedarah namun mereka mempercayai sekaligus mengkhianati

.

.

.

tbc

(1) To be or not to be; that is the question. Penggalan ini diambil dari cerita Hamlet karya William Shakespeare. Hanya saja, yang ditulis di sini versi Indonesianya.

Strychnine : sejenis pohon dan dikenal dengan kacang racun atau Tombol Quaker. Benihnya mirip buah jeruk, tapi dibuat racun dalam bentuk serbuk. Strychnine biasa digunakan sebagai racun tikus atau predator kecil. Ditemukan oleh seorang Kimiawan Perancis, Joseph Bienaimé Caventou dan Pierre-Joseph Pelletier pada tahun 1818 (sumber dari mbah gugel).

.

.

.

A/N : saya gagal buat jadi twoshot, haha 8" D makasih sudah mengkuti verum sampai sini yaa~ 

Continue Reading

You'll Also Like

3.4K 345 9
Bagaimana kau tahu kalau dia adalah mate yang ditakdirkan untukmu? Apakah kau mencarinya? Atau dia datang padamu? Katanya, saat kau bertemu dengannya...
121K 3.1K 59
"Makanya cari pacar!"Teriak Lexa "Gosah ngurusin hidup gue deh,lo sendiri aja masih jomblo"Balas Alex "Ya gimana ga masih jomblo.Orangnya aja ga pek...
92.2K 11.2K 14
dimana taehyung berpikir kalau afeksi dan perhatian jeongguk punya arti lain. +kookv. +non-baku. +college!au. +older!jeongguk, bcs i'm a sucker for t...
9.9K 897 8
Lalisa seorang gadis tampan seketika hidup nya di hancurkan oleh teman kecil nya yang berambisi ingin memiliki lisa sepenuhnya. akankah lisa bisa be...