Bunga Iris dan Takdir

By hanyapisang

77.3K 11.5K 2.1K

Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yan... More

PROLOG
Apa Kabar?
Teman?
Tuan?
Canggung?
Kabar Buruk?
Kehadiranku?
Pindah?
Spekulasi?
Kesan Pertama?
Choi Seungcheol: Takdir, Sial!
Choi Seungcheol: Double Sial!
Setuju?
Jatuh Cinta?
Nyaman?
Mengobatiku?
Tidak Berbakat?
Jengkel?
Tawaran Perdamaian?
Pernyataan Cinta Soonyoung?
Cemburu?
Kemungkinan?
Alasan?
Kepastian?
Fokus?
Tanpa Kabar?
Tidur Bersama?
Sialan?
Berbicara?
Bagaimana?
Special Story I
Berbeda?
Move On?
Kencan?
Hai?
Pesan?
Orang Luar?
Milikmu?
Mengejutkan?
Power Bank?
Akhirnya?
Satu Menit?
Lee Jihoon: Dua Orang Bodoh
Choi Seungcheol: Hah!
Choi Seungcheol: Drama!
Harga Diri?
Bekas Ciuman?
Payung sebelum Hujan?
Yang Terbaik?
Special Story II: Lets Play A Game!
Special Story II: Never Have I Ever...
Deal?
Harga Diri? #2
Sudah Saatnya?
Hangat?
Pulanglah?
Keras Kepala?
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Ragu?
Berbicara? #2
Special Story IV Seungcheol's Birthday

Bendera Perang?

1.4K 234 18
By hanyapisang

How did we end up this way?
See me nervously pulling at my clothes and trying to look busy
And you're doing your best to avoid me

(The Story of Us, Taylor Swift)

----------------------------------------

Aku merenung. Mereka ulang kembali bagaimana pertemuanku dengan Choi Seungcheol tadi pagi di depan ruang kelas musik instrumental.

Bukankah dia yang salah karena menabrakku? Tapi kenapa malah dia yang menatapku dengan pandangan sengitnya dan tanpa berkata-kata melengos meninggalkanku? Paling tidak seharusnya dia mengucapkan kata maaf terlebih dulu!

Aku menghela napas.

Sejak pertama kali melihatku, Choi Seungcheol memang terlihat tidak menyukaiku. Meskipun kami berada di kamar yang sama, tidak sekalipun ada niatan Choi Seungcheol untuk mengajakku berbicara. Dia tidak mengacuhkanku seakan aku tidak ada di sana.

Pernah sekali aku mengajaknya berbicara, berusaha berbasa-basi bertanya padanya tentang topik-topik yang remeh seperti asalnya dari mana. Tetapi yang dia lakukan hanya melihatku dengan tatapan sengitnya kemudian pergi meninggalkan kamar begitu saja. Dan sejak saat itu aku tidak pernah lagi mencoba untuk mengajaknya bicara.

Dia juga terkesan menjauhiku jika kami berada di dalam satu ruang yang sama. Entahlah, aku benar-benar tidak tahu apa salahku padanya sehingga sikapnya begitu dingin terhadapku.

"Kau mendengarkanku, Jeonghan?" Suara Boo Seungkwan yang berisik membuyarkan lamunanku.

"Iya," jawabku seadanya. Sejujurnya aku tidak menyimak apa yang Seungkwan katakan. Tidak sopan memang, mengingat saat ini aku sedang menumpang menonton televisi di kamarnya.

Ketika di asrama aku memang lebih sering menghabiskan waktuku di kamar Boo Seungkwan ataupun kamar Hong Jisoo untuk menghindari berada satu ruangan hanya berdua dengan Choi Seungcheol. Biasanya aku baru akan kembali ke kamarku ketika mendekati jam tidurku, dan akan langsung membungkus diriku dengan selimut. Hal itu lebih baik daripada aku harus menghabiskan waktuku bersama Choi Seungcheol yang bersikap seolah-olah aku tidak ada.

Setiap kali aku dan Choi Seungcheol berada di dalam ruangan yang sama, suasana di antara kami rasanya sangat sangat tidak nyaman.

"Berarti besok kau akan ikut pergi bersamaku?"

Aku mengernyit tidak mengerti menanggapi pertanyaan Seungkwan. "Ikut denganmmu kemana?"

"Tentu saja membeli alat make up sepulangnya kita dari kelas seni tata rias," Seungkwan mengerucutkan mulutnya kesal. "Dan tadi kau bilang bahwa kau mendengarkanku!"

"Maaf, aku tidak mendengar bagian tentang membeli peralatan make up itu," kataku sambil mengumpat dalam hati.

Aku benar-benar bingung kenapa juga aku harus menyetujui permintaan Seungkwan untuk menemaninya mengikuti kelas seni tata rias. Dan sekarang dia mengajakku untuk membeli peralatan make up! Kakek akan tertawa terpingakal-pingkal menertawaiku jika mengetahui hal ini. Aku, Yoon Jeonghan, pemegang sabuk hitam karate, membeli alat make up?

Kalau bisa aku ingin membolos saja untuk kelas seni tata rias besok. Dan akan lebih baik lagi jika aku bisa mengundurkan diri dari kelas itu untuk selamanya.

"Sepertinya aku tidak membutuhkan peralatan make up itu," kataku tidak yakin.

Seungkwan mengernyitkan keningnya memandangku. "Tentu saja kau butuh. Kau butuh untuk belajar mempraktikan ilmu yang akan kau dapatkan nantinya."

"Tapi bahkan kita belum tahu kelasnya akan seperti apa? Apa menurutmu hal itu tidak terlalu terburu-buru?"

Demi Tuhan.

Aku. Membeli. Alat. Make up.

"Tentu saja tidak."

Sekarang aku ingat kenapa aku bisa sampai setuju untuk ikut kelas seni tata rias ini bersama Sengkwan. Itu semua karena jika aku tidak menyetujuinya, Seungkwan akan terus berisik mengganggu hidupku dengan sikapnya yang benar-benar ngotot.

"Omong-omong dimana Vernon?" tanyaku berusaha mengganti topik pembicaraan. Aku tidak ingin menyetujui sesuatu yang belum pasti sanggup kulakukan.

Seungkwan menghela napas lelah, seakan-akan dia membutuhkan kesabaran penuh untuk berbicara denganku. "Kau tidak perlu mengalihkan pembicaraan. Kau belum menjawab pertanyaanku, Jeonghan!"

"Aku tidak mengalihkan pembicaraan," kilahku. "Aku hanya bertanya keberadaan Vernon. Tidak biasa-biasanya anak itu tidak ada di asrama pada jam makan malam seperti ini."

"Vernon pulang ke rumah. Anjingnya sedang sakit."

Aku mengangguk-anggukan kepala mengerti sebelum kemudian berdiri dari atas kasur Vernon yang aku duduki. "Oke, sekarang ayo kita turun ke kafetaria? Sudah saatnya jam makan malam."

Sepertinya Seungkwan akan membuka mulutnya untuk menyanggahku, tetapi beberapa detik kemudian dia urungkan kembali. Bagaimanpun yang bisa membungkam keberisikan Boo Sengkwan adalah makanan.

***

Karena jam makan malam, kafetaria menjadi sangat ramai. Aku dan Seungkwan mengedarkan pandanganku mencari kursi yang masih kosong, sekaligus mencari keberadaan Hong Jisoo, Lee Seokmin, atau Lee Chan.

Seungkwan menyenggol lenganku. Di tangannya terdapat nampan yang berisi bermacam-macam makanan dengan porsi sedikit lebih banyak dari biasanya porsi untuk satu orang.

"Kenapa?" tanyaku menoleh padanya.

Seungkwan menunjuk suatu arah dengan dagunya. "Mereka duduk di sana. Ayo kita ke sana!"

"Kenapa kalian baru turun?" tanya Seokmin segera setelah aku dan Seungkwan sampai di meja mereka.

Aku tertegun.

Ternyata di meja ini ada Choi Seungcheol, dan dua orang laki-laki yang belum aku kenal, ikut bergabung bersama mereka. Untuk seperkian detik lamanya tanpa sengaja mataku bertemu dengan mata Choi Seungcheol yang tengah duduk di samping Hong Jisoo, sebelum akhirnya Choi Seungcheol membuang mukanya.

Ada apa sih dengannya?

Tidak mungkin aku salah mengartikan sikap bermusuhan yang ditujukannya padaku. Dan tidak mungkin juga aku ikut bergabung bersama mereka jika sambutannya saja seperti terhadapku. Suasana pasti akan menjadi tidak nyaman dengan adanya Choi Seungcheol dan aku sekaligus.

Apa yang harus aku lakukan?

"Maaf Hyung, kursi kosongnya hanya tinggal satu," kata Lee Chan tanpa sengaja memberiku jalan keluar. "Kalian berdua terlalu lama. Aku kira kalian tidak turun untuk makan malam"

Seungkwan menggerutu. "Jeonghan, ayo kita cari kursi yang lain."

"Tidak perlu," sergahku. "Seungkwan, kau duduklah di sini dan aku akan mencari kursi yang lain."

"Tidak apa-apa, aku akan menemanimu mencari kursi yang lain."

"Tidak perlu," tolakku. "Kau duduklah di sini. Mencari satu kursi yang kosong akan lebih mudah daripada mencari dua kursi kosong." Ayolah Boo Seungkwan! Tolong aku kali ini saja dengan diam dan ikuti permintaanku. Aku tidak mungkin duduk semeja dengan Choi Seungcheol. "Kau duduklah!"

Aku segera beranjak dari meja ketika melihat Seungkwan dan yang lain ingin mengeluarkan protesnya. Sekali lagi aku mengedarkan pandanganku mencari kursi kosong sebelum kemudian aku melihat di pojok kafetaria, seseorang sedang duduk sendirian di meja yang bisa ditempati untuk tiga orang.

Mengabaikan tatapan demi tatapan orang yang aku lewati, aku berjalan menuju meja tersebut. Semakin dekat dengan meja yang aku tuju, aku semakin mengenali sosok yang sedang duduk sendirian di sana.

"Apa aku boleh bergabung denganmu?"

Lee Jihoon mengangkat kepalanya, menatapku yang berdiri di depannya dengan raut bertanya. Terlihat jelas dia mengernyit bingung akan kehadiranku yang tiba-tiba dan tidak seperti biasanya.

"Tinggal meja ini yang kursinya masih kosong," jelasku ketika dia tidak juga memberiku respon. "Apa aku boleh bergabung denganmu?"

"duduklah," jawabnya akhirnya.

Aku duduk dan meletakkan nampanku yang berisi semangkuk nasi, sepiring kecil kimchi, sepiring ayam goreng mentega, dan segelas besar jus jeruk.

"Di mana teman-temanmu?"

Penggunaan kata 'teman-temanmu' lagi. Apakah dia merasa bahwa aku dan dia berada di dalam lingkarang pertemanan yang berbeda? Apakah aku dan Lee Jihoon bahkan berteman? "Sedang makan di meja yang lain. Kursi kosong tinggal satu ketika aku dan Seungkwan tiba. Jadi, aku megalah dan memilih mencari kursi kosong yang lain."

Mendengar jawabanku, Lee Jihoon kemudian sedikit memanjangkan lehernya dan mengedarkan pandangan ke penjuru kafetaria. Mengabaikan sikapnya itu, aku mulai menikmati menu makan malamku.

"Jadi karena ada Choi Seungcheol?" Lee Jihoon bertanya padakau, sekali lagi dengan begitu blak-blakannya.

"Kenapa dengan Choi Seungcheol?" Aku pura-pura tidak mengerti dengan apa yang dia maksud sambil terus menyuapkan makananku.

"Aku menyadari ada sesuatu yang aneh ketika tadi dia menabrakmu," Lee Jihoon menggiggit apelnya. "Apakah kalian bertengkar? Tidak berbicara satu sama lain?"

Aku mengabaikan pertanyaan Lee jihoon dan membiarkannya untuk berbicara sendiri.

"Aneh sekali," lanjutnya lagi. "Bukankah kalian adalah teman sekamar?"

"..."

"Tadi Choi Seungcheol bahkan tidak mengatakan maaf padamu padahal dia telah menabrakmu," Lee Jihoon tetap keukeuh melanjutkan topik pembicaraan tentang Choi Seungcheol meskipun aku tidak juga meresponnya. "Sikapnya tadi benar-benar bukan seperti Choi Seungcheol, sang ketua asrama, yang ramah pada semua orang."

Oh, berarti Choi Seungcheol hanya menunjukkan sikap permusuhannya padaku saja? Informasi yang baru kudapatkan tersebut membuatku semakin kesal.

"Apa kau melakukan sesuatu yang menyinggungnya?"

Aku mengangkat pundak berusaha terlihat tak acuh.

"Choi Seungcheol bukan orang yang pendendam atau gampang tersinggung. Dia juga gampang sekali untuk akrab dengan orang lain. Coba kau ingat-ingat apakah kau pernah melakukan suatu kesalahan yang fatal terhadapnya?"

Mau tidak mau aku mengikuti saran Lee Jihoon membuka ingatanku dari awal pertama kali aku datang ke asrama ini. Sepertinya aku tidak pernah melakukan atau mengucapkan sesuatu yang salah pada Choi Seungcheol sehingga dia harus memusuhiku seperti ini.

Aku menggelengkan kepalaku. "Seingatku aku tidak pernah melakukan sesuatu yang membuatnya marah. Entah apa yang merasukinya, sejak hari pertama kedatanganku ke asrama ini, Choi Seungcheol sudah mengibarkan bendera permusuhannya padaku."

"Pasti ada alasannya kenapa dia begitu."

"Yah, apapun alasannya, aku tidak tahu."

"Mungkin kesalahan ini kau lakukan sebelum kepindahanmu ke sini?"

"Aku tidak ingat pernah bertemu Choi Seungcheol sebelum aku pindah ke sini, jadi tidak mungkin aku bisa melakukan sesuatu yang dapat menyinggungnya. Dan, bisakah kita mengganti topik pembicaraan?" usulku. Aku benar-benar tidak sedang dalam mood yang baik untuk membicarakan Choi Seungcheol yang kekanakan.

"Seperti?"

"Seperti..." aku berpikir sejenak. "Apa besok kau ada kelas?"

"Yup, kelas sejarah musik jam satu siang."

"Sejarah musik?" tanyaku tertarik. "Ada kelas seperti itu?"

"Tentu saja ada. Kalau kau ingin mendalami suatu bidang, bukankah harus sampai ke akar-akarnya?"

Aku mengangguk menyetujui. Mungkin semester depan aku perlu mengikuti kelas tersebut. Bagaimana mungkin aku tidak tahu kalau ada kelas seperti itu?!

"Dan kau sendiri?"

Lee Jihoon melihatku dengan penasaran ketika melihat raut mukaku yang masam dan gerutuanku yang tidak jelas.

"Kau mengatakan sesuatu?" tanyanya dengan raut wajah penasaran yang tidak disembunyikannya. "Karna aku tidak bisa mendengar gerutuanmu dengan jelas."

Aku menggerutu pelan, itu berarti artinya aku memang tidak kau mendengarnya!

"Aku ada kelas seni tata rias," jawabku akhirnya.

Segera aku melihat Lee Jihoon tersedak air mineral yang diminumnya. Aku hanya mendengus tidak ingin membantunya ataupun memberikan perhatianku padanya.

Biarkan Lee Jihoon menikmati batuk-batuk kecilnya sendiri!

"Kau, ikut kelas itu?" tanya Lee Jihoon diiringi dengan tawa setelah terbebas dari batuk-batuknya.

Aku menarik kembali pendapatku jika aku pernah berpikiran bahwa Lee Jihoon terlihat begitu ramah ketika tertawa. Karena sekarang yang ada Lee Jihoon terlihat begitu menyebalkan saat tertawa terpingkal-pingkal di depanku.

Mengabaikannya, aku kembali fokus terhadap makananku yang sudah hampir habis, tidak mempedulikan Lee Jihoon yang sedang berusaha mengatur napasnya.

"Bagaimana mungkin kau bisa mengikuti kelas itu?" tanyanya ketika sudah mampu mengendalikan diri.

"Boo Seungkwan yang mengajakku."

"Dan kau mau?" aku bisa mendengar nada tidak percaya dari Lee Jihoon, seolah-olah yang dia tanyakan padaku adalah 'Apa kau bodoh?'

"Boo Seungkwan benar-benar tipe orang yang ngotot dan keras kepala jika mengiginkan sesuatu."

Lee Jihoon menatapku dengan prihatin. "Dan sangat berisik."

Aku mengangguk menyetujuinya dengan lesu.

"Kau kan juga mengikuti kelas melukis. Sepertinya tata rias tidak begitu jauh berbeda dengan melukis. Atau anggap saja seperti itu..."

Apakah Lee Jihoon berusaha membuat perasaanku lebih baik?

"Kubilang kalau aku sangat dan sangat buruk dalam melukis," potongku

"Kalau begitu kenapa kau mengikutinya?" tanyanya bingung.

"Karena kelas melukis adalah salah satu kelas yang menurutku tidak membutuhkan tenaga dan pikiran yang banyak, jadi tidak akan terlalu sulit untuk mengikutinya."

Lee Jihoon memutar bola matanya mendengar alasanku yang tidak bermutu.

"Teman-temanmu sepertinya sudah selesai dengan makan malam mereka dan bersiap untuk kembali ke kamar," kata Lee Jihoon tiba-tiba memberikan update-an yang sama sekali tidak aku tanyakan. "Mereka sedang melihat ke arah kita dengan penasaran. Kecuali Choi Seungcheol tentu saja"

Tentu saja. Sayangnya saat ini aku tidak terlalu mempedulikannya. Aku hanya memandangi nampanku dan tidak ikut melihat ke arah yang ditatap Lee Jihoon.

"Masalahmu datang," bisik Lee Jihoon sambil menahan tawanya.

Dengan refleks aku mendongak, mengikuti arah tatapan Lee Jihoon dan mendapati Boo Seungkwan sedang berjalan ke meja kami.

Benar.

Masalahku datang.

"Jeonghan, aku sudah memikirnya," kata Seungkwan tanpa memberikan salam kepada kami terlebih dahulu. "Tidak masalah kalau kau tidak membeli perlengkapan make up dulu. Tetapi kau mau kan menemaniku untuk membelinya sepulang kelas besok?"

Bukankah itu tetap sama saja memalukannya bagiku? Membeli perlengkapan make up, huh?

Sepertinya tidak ada pilihan lain lagi untukku mengingat bagaimana Boo Seungkwan selama ini sudah baik padaku. "Baiklah."

"Oke!" serunya dengan semangat. "Kalau begitu aku akan kembali ke kamarku dulu. Selamat malam Lee Jihoon!"

Lee Jihoon hanya membalas sapaan Seungkwan dengan anggukan tanpa senyumannya.

"Membeli perlengkapan make up?" tanya Lee Jihoon dengan tidak percaya. "Aku serius. Aku benar-benar prihatin padamu."

Haruskah kuucapkan rasa terima kasihku pada Lee Jihoon?

***

Semoga kalian suka dan terima kasih sudah bersedia membaca cerita ini :)

Noerana^^

Continue Reading

You'll Also Like

1M 83.1K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
44.1K 3.2K 23
Love and Enemy hah? cinta dan musuh? Dua insan yang dipertemukan oleh alur SEMESTA.
292K 22.5K 103
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
71.1K 14.6K 161
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...