Gitak

By rendifebrian

53.1K 4.9K 657

Pernah melihat hantu? Aku pernah. Selalu. Kemanapun aku pergi, dimanapun aku berada, aku selalu melihat hantu... More

Penggitan
Sekedik
Abot
Goap
Kurup
Wade

Ara

7.7K 767 131
By rendifebrian

AN:

Don't be scare, karena bagian ini nggak akan serem kok. So, you can read this now.  Sip? Ditunggu komen sama vote-nya, nggak ada... huh. Saya nggak mau update lagi. Jahahaha!

-----

Doa-doa dan jimat itu bukannya kadaluarsa atau apa.

Hanya berhenti berfungsi karena memang tidak selamanya doa-doa dan jimat itu menangkal pemberian Tuhan kepadaku. Aku lebih suka menyebutnya sebagai kutukan. Memangnya siapa yang mau diberi 'gift' bisa melihat makhluk halus di dunia ini? Lebih buruknya lagi, bisa bicara dengan mereka. Kalau aku boleh request, aku mau mempunyai kehidupan normal. Tetap jadi gay tidak apa-apa. Yang penting aku tidak akan dipandang aneh oleh orang-orang jika mereka melihatku. Rara selalu bilang kalau aku mempunyai aura anak aneh itu di dalam diriku. Seperti wajah tampan, akan menempel lekat di wajah seseorang. Dapat terlihat dengan jelas. Seperti itu juga aura yang aku tunjukkan pada orang lain.

Worst. Fucking worst.

Semakin buruknya lagi... aku bertemu hantu bencong. Dari pertama aku meliriknya hari itu, aku tahu kalau dia adalah bencong. Dari gelagat kemayunya, cara dia memutar bola matanya, cara dia tertawa dengan menutup mulutnya, atau saat dia melenggak-lenggokkan badannya yang langsing saat melangkah. Aku benci hidupku. For real.

"So, eyke kemarin itu ketumbar samorse lekong tampanland di kamar under. Ouh, badaniah so cucok, cyin. You must lehetong tuh badaniah si lekong. Yey pestong mawar gilingan jilat-jilat bisep ooh la-la-nya."

Padahal sudah berkali-kali aku mengabaikan hantu bencong itu. Berharap dia pergi karena aku tidak menerima kehadirannya. Tentu saja seperti bencong kebanyakan... semakin dilarang, semakin menjadi. Persis seperti Kalvin. Kalvin itu juga gay. Ngondek mampus kayak hantu bencong yang sedang, mengutip ucapannya yang menjijikan: berbaring manja di atas kasurku. Setiap kali hantu bencong itu bicara, dia selalu menggunakan bahasa banci versi 0.72.3. Begitu yang dia bilang. Kalau ini android, setelah Jelly Bean, Kit-Kat, Lemonade, bahasa bancinya sudah ada di versi M.

M untuk Mastin. What the fuck!

Tujuan dia di sini juga sama. Dia ingin minta tolong. Aku langsung pura-pura mengabaikannya. Dia juga tahu kalau auraku yang berwarna ungu sudah kembali terang. Dia tahu aku sudah dapat melihat hantu lagi. Hanya beberapa hantu dan jin yang mengizinkan aku untuk melihat sosok mereka. Tidak seperti sosok kuntilanak yang selalu menggangguku itu. Dia tidak mau menampakkan wujudnya. Dia pasti punya agenda terselubung untukku. Surely, isi agendanya untuk membunuhku.

"Terus nih, ya... today eyke juga ketumbar samorse mantan eyke di Mataram Mall. Cuih! Diana udin gandeng bencong brand new. Tapi pantat tuh bencong eyke yakin udin pernah dimakarena samorse belatung. So, ew kan? Like Iggy Azalea said di lagu Fancy. Stupid mantan! Kalo eyke belum metong, udin eyke sindir di Twitter."

Dan yang membuatku terkejut adalah... ternyata ada hantu bencong. Aku pikir, setelah bencong itu mati akhirnya mereka dijadikan lelaki sepenuhnya. Tahunya... itu tidak sungguh terjadi. Yang paling aneh lagi, hantu bencong yang ada di kasurku itu mengenakan baju so gay yang masih bagus dan juga celana jeans yang tersetrika rapi. Wanginya pun wangi bunga mawar. Biasanya hantu mempunyai wangi tanah basah—karena tubuh mereka yang sudah dikubur di dalam liang lahat, juga wangi kayu bakar jika mereka dikremasi. Kenapa yang ini bunga mawar? Kenapa juga dia tetap bencong?

Aku mencoba fokus ke gambar yang sedang aku buat. Aku sudah menemukan judul untuk komikku yang selanjutnya. Peran hantunya tetap nenek yang aku temui di astral projection-ku kemarin. Aku sudah merancang plot twist­-nya. Aku berharap ini bisa masuk ke meja redaksi, tidak seperti ceritaku tentang wanita tak mempunyai bibir yang aku karang dari imajinasiku semata karena waktu itu aku sudah tidak melakukan astral projection. Proyek itu gagal karena ceritanya terlalu kekanak-kanakan.

Dan aku setuju.

"Oh, yey pernah makarena di Bambu Strawberry, no? Yang sebelahan samorse Rumah Sakit Islam? Atau makarena di kedai Terserah. Kalo belum, yey harus cebok. Legit beud deh makarena di sana. Yey pestong nehi nyesal karena udin ngeluarin uang buat makarena di tempat rekomendasi eyke."

Ignore, ignore, ignore.

Tiba-tiba saja... "Kamu lagi sibuk nggak? Bisa bantuin aku bentar nggak?"

Sammy muncul di dalam kepalaku. Aku bisa melihat sudut pandangnya sekarang. Dia sedang ada di taman, entah taman mana, duduk di salah satu bangku sembari memegang Chatime di tangan. Apa lagi sekarang? Sammy selalu memanggilku, atau mengusikku untuk hal-hal nggak berguna. Seperti mengkoreksi tugas kuliahnya. Atau makalah yang dia buat sudah bagus atau belum. Bertanya DVD mana yang harus dia beli. Novel John Green yang mana yang paling keren. Entah kenapa, semenjak Sammy dan aku makin dekat (sebagai teman sesama gay), dia jadi lebih centil dan banyak omong.

"Bantu apa, Sam?" tanyaku, membuat si hantu bencong mendekat. Aku mendapati hantu bencong itu mengernyit mendengar aku berujar seorang diri—menurutnya.

"Aku lagi mau ketemuan sama seseorang, cowok lain lagi, aku mau kamu ngelihatin aja... ada hantu nggak di sekitar dia. Memperingatkan aku untuk menjauhi cowok ini karena dia psikopat kayak Adam. Oke? Kamu bisa, kan? Nggak mungkin kamu lagi sibuk sekarang."

Aku paham betul kenapa Sammy bisa setakut ini. Aku juga tahu kenapa dia mulai mengakrabkan dirinya denganku. Kami tidak terlalu punya banyak teman yang bisa diajak bicara tentang cowok. Terutama Sammy. Aku tidak keberatan membantunya dengan segala hal... hanya saja, demi Tuhan Sammy! Memangnya dia tidak bisa menyeleksi cowok baik-baik dengan instingnya sendiri?

"Oke," setujuku. Ujung-ujungnya aku pasti menyanggupi.

Sammy bangkit, mulai melangkah pelan ke area tengah-tengah taman. Hantu bencong itu memegang tengkukku, membuatku merinding karena kedinginan. Aku mau mendelik marah, tapi jika aku melakukan itu dia makin girang karena aku sadar akan keberadaannya di sini.

"Itu dia cowoknya!" desis Sammy, menunjuk cowok tinggi berwajah lumayan tampan yang sedang sendirian sembari menendang-nendang kerikil karena bosan. Itu hanya asumsiku, tentu saja. "Sekarang aku bakal ngeobservasi di sekiling cowok itu, kasih tau aku kalo dia emang ada yang ngikutin. Oke?"

"Hmmh," gumamku malas-malasan.

Sammy menatap ke seluruh area taman, menatap cowok itu, kemudian ke sisi kiri cowok tersebut. Ke bagian belakang, ke bagian atas, ke bagian bawah, bahkan menatap selangkangan cowok itu. Entah apa tujuan Sammy melakukan itu. Itu menjijikan kalau dia mau tahu.

"Ada nggak?" tanya Sammy, suaranya makin lama semakin mirip ular. Kenapa sih dia bisik-bisik?

"Nggak ada," jawabku. Yang aku lihat hanya beberapa hantu yang bermain di kolam ikan. Dua hantu. Sepasang kakek-nenek. Mungkin mereka sedang mencari cincin pernikahan salah satu di antara mereka yang hilang. Ya, benar sekali. Urusan sekecil apapun yang belum tuntas, atau arwah itu belum puas selama hidupnya... dia akan bergentayangan. "He's clean."

"Yakin?"

"Iya, yakin. Dia sendirian di situ, sama sekali nggak ada hantu. Coba kamu deketin dia sekarang. Siapa tau hantu yang mau memperingati kamu atau apa itu bakal muncul kalo kamu udah ada di sisi cowok itu." Bisa aku rasakan Sammy mengangguk. Dia membenarkan hoodie yang dia kenakan dan mulai melangkah ke arah cowok itu. Aku menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Hantu bencong itu kini sedang melihat-lihat komik yang telah aku terbitkan. Jangan pedulikan, jangan!

Sammy berhenti melangkah. "Euh, Jandro, kan?"

Cowok yang ditanya oleh Sammy—bernama Jandro itu—mendongak. Senyumannya terbit dua detik kemudian. "Sammy, ya?"

Pengelihatan Sammy mulai ke mana-mana, seperti tadi lagi. "Nggak ada apa-apa di sana, Sam. Dia clean. Udah kan urusan kita? Saya mau lanjut bikin komik."

Sammy mengangguk. Aku berdiri, mengabaikan hantu bencong yang melanggak-lenggok aneh di sebelahku. Aku membuka laci night table dan mengambil anggrek untuk aku kunyah. Apa yang harus aku lakukan agar hantu bencong ini pergi? Mungkin aku harus menghubungi Rara lagi, bertanya pada cewek itu apakah dia mengenal orang yang punya jimat seperti yang aku kalungkan selama beberapa bulan ini. Tidak melihat ada yang aneh di sekitarku itu menyenangkan, kau tahu. Aku tidak melihat ada hantu duduk di pinggir trotoar sedang menangis—pasti meninggalnya ditabrak mobil. Tidak melihat ada banyak hantu di kolam berenang karena mati tenggelam di kolam berenang itu. Atau di parkiran motor, si tukang parkir yang pernah dibacok. Meminta pertolonganku untuk memberitahu istrinya kalau surat tanah ada di bawah lemari baju.

HP-ku berbunyi nyaring, menyerukan lagu Phantom Sage. Aku meraihnya di atas meja gambar, nama Rara tertampil di caller id-nya. Waktu yang tepat.

"Hallo?"

"Hello, it's me. I'm wondering—" Oh, not again!

"RARA!" bentakku sebal, membuat hantu bencong itu terlonjak kaget hingga menempel di dinding. Persis seperti adegan di telenovela. "Ngapain kamu ngerjain saya terus pakek Hello-nya Adele, hah?"

Rara tertawa menjengkelkan di ujung sana. "Habisnya hidup kamu kan menyedihkan, Vid. Jadi harus dibuat semenyenangkan mungkin dengan cara dikerjai."

"Tapi cara yang barusan udah basi. Kamu udah ngelakuin itu ke saya sekitar... tujuh kali mungkin. Saya udah tau kalo itu lagu, oke! Saya nggak udik lagi soal itu. So stop it!"

"Ya, ya, ya. Biasa aja kali, nggak usah nangis gitu." Aku mendengus tak sabar. "By the way, weirdo, jadi nggak kita ketemuan hari ini di Mirasa? Kalvin nanti bawa cowok barunya, lho. Kamu juga udah lama nggak denger gosip tentang temen-temen SMA kita, kan? Kamu masih inget Karmila nggak? Hell, dia sekarang udah bunting, you know. Padahal kan dia—oke, cerita lengkapnya pas kita meet up aja, ya?"

Ck. "Oke! Saya siap-siap dulu."

Rara tertawa lagi. Lebih menyebalkan sekarang. "Siap-siapnya kamu kan cuma cuci muka."

Aku langsung mematikan sambungan telpon. Melempar HP ke atas kasur dan mulai membuka baju. "Oh, NO! Eyke nanti terangsang lehetong yey telanjang. Eyke harus capcus dari sindang."

Hantu bencong itu beneran capcus. Berlari persis seperti bencong kesurupan menembus jendela kamar. Aku mengernyit sebentar, kemudian melanjutkan apa yang sedang aku lakukan. Cuci muka dan sikat gigi, membasahi sedikit rambutku. Mengenakan jaket hitam andalanku dan celana jeans kumal yang malas kucuci karena aku sudah nyaman dengan kekumalannya. Aku tahu, aku memang aneh.

Aku mengambil kunci mobil—ini mobil pemberian Ayah—dan keluar dari kamar kos. Di sana mereka. Para hantu. Sibuk dengan diri masing-masing. Aku harus mengabaikan mereka. Kontak mata: don't!

Hantu cewek yang sedang mengelus-ngelus pintu itu namanya Danti. Meninggal karena melahirkan anak. Pintu yang dia elus-elus itu adalah bekas kamar cowoknya dulu. Yang menghamilinya. Cowok itu nggak pernah tahu Danti hamil. Danti ingin memintaku untuk memberitahu cowok itu kalau anaknya ada di Surabaya, bersama keluarga Danti. Danti yakin cowoknya ingin bertemu anak itu. Aku tidak bisa menolongnya. Cowok di kamar itu sudah pindah. Danti mau menunjukkan jalannya, tapi aku mengabaikan Danti. Aku tidak mau menolong hantu.

Yang di bawah tangga itu namanya Erik. Meninggalnya karena dijahili oleh Tuyul yang suka main di tangga sini. Meninggal delapan tahun yang lalu. Meminta pertolonganku untuk menghubungi keluarganya yang ada di Garut. Saat jasad Erik ditemukan di bawah tangga sana, selama dia ngekos di sini, Erik tidak mempunyai indentitas apapun. Delapan tahun yang lalu, kalau mau ngekos tinggal datang ngekos. Nggak seperti sekarang, harus menunjukkan KK. Erik juga masih baru di Mataram, dia belum punya teman dekat. Keluarga Erik masih menyangka Erik ada di Mataram dan hidup bergelimangan harta. Padahal Erik sudah dikubur di Kekalik.

Yang itu, yang duduk di bawah pohon, namanya Sumardi. Meninggal karena terjatuh dari lantai dua. Kepalanya membentur batu, tepat di pohon itu. Di situ dulu ada batu besar, sebelum diganti dengan pohon. Memintaku untuk memberitahu Ibu-nya kalau dia tidak pernah marah kepada sang Ibu. Sumardi meninggal tiga tahun yang lalu. Dia masih tujuh belas tahun. Masih sangat muda.

Masih banyak hantu yang lain. Aku tidak bisa menceritakan satu per-satu. Aku sangat ingin membantu mereka. Permintaan tolong mereka terkadang sangat mudah, hanya berisi pesan untuk orang yang mereka tinggalkan agar tidak merasa sedih. Tapi aku tidak berani. Saat seseorang meninggal, arwahnya akan keluar dari dalam tubuh. Jika mereka tetap diam selama empat puluh hari di dunia ini, dia akan diklaim oleh jin dan setan. Jin adalah yang paling kuat. Bentuknya macam-macam. Bisa membunuh. Bukan dengan cara disentuh. Ibuku dibunuh jin. Ibu dirasuki lalu dibunuh pelan-pelan dari dalam.

Itu karena aku menolong Ibu Wydia. Ibu Wydia sudah terperangkap dan diklaim oleh jin itu selama dua puluh tahun. Awalnya Ibu Wydia hanya ingin tinggal di dunia ini untuk menonton kehidupan orang-orang yang dicintainya, tetapi setelah tujuh tahun, akhirnya suaminya meninggal. Ibu Wydia siap untuk pergi, tetapi dia malah diperangkap oleh sosok jin berbadan naga. Ibu Wydia memintaku untuk membacakan doa di makamnya. Itu yang aku lakukan. Ibu Wydia datang dan berterima kasih.

Jin itu marah, kemudian... Ibuku yang menjadi sasaran.

Hantu, setan dan jin adalah tiga jenis makhluk halus yang berbeda. Hantu tidak berbahaya. Setan lumayan berbahaya dan jin yang paling berbahaya. Ayah selalu memperingatkanku ini. Ayah sudah tidak mempunyai kutukan ini lagi, ketika seseorang yang mendapat kutukan ini mempunyai anak, kutukan ini pindah ke anak tersebut. Aku sudah bisa melihat hantu dari umur satu tahun. Berinteraksi dengan mereka saat umur lima tahun. Sudah banyak hantu yang aku tolong. Dan selama hidupku itu juga, aku tetap takut dengan setan dan jin. Bentuk mereka sangat mengerikan. Mereka bau amis darah dan bangkai dari kulit yang membusuk.

Aku ingin sekali membantu hantu-hantu itu agar pulang ke rumah mereka yang seharusnya. Seperti dulu lagi, saat aku bisa tersenyum lebar saat arwah mereka melayang ke udara lalu menjadi sebuah titik cahaya di langit. Mereka bebas, mereka akhirnya bisa bahagia di tempat yang lebih baik.

Namun, rasa takut ini lebih besar dari rasa bahagia yang timbul ketika para hantu itu bebas.

Aku tidak mau ada kematian lagi. Terutama untuk orang-orang yang aku cintai.

"He's totally not my type!" seru Sammy, tiba-tiba (seperti biasa) muncul di kepalaku. Mata kiriku bisa melihat apa yang sedang dia lihat sekarang. Dia lagi ada di dalam taksi. "Ganteng sih ganteng, tapi tadi hawa mulutnya bau banget, deh. Bau-bau bawang putih gitu. Terus dia ngomong di depan wajah aku. Kan aku risih. Nggak, deh. Aku nolak yang ini. Mungkin aku harus fokus ke Rasya aja kali, ya?"

Rasya itu cowok yang ada di LINE. Yang pernah aku ceritakan.

"Mungkin," sambutku, membuka pintu mobil tua pemberian ayahku dan masuk ke dalam. Mematikan dulu AC-nya agar mobil tua ini bisa nyala. "But he's clean. Rasya juga clean, tapi auranya kayak orang brengsek gitu. No offense, saya cuma ngasih pendapat saya aja tentang tuh orang."

"Nggak apa-apa, aku nggak tersinggung kok. Dia emang kayak orang brengsek. Dari cara dia ngomong, kan? Brengsek dan arogan? Tapi dia romantis. Itu nilai plusnya."

Aku menoleh ke kanan, ingin memastikan tidak ada mobil atau motor yang lewat. "Kamu mau cari cowok yang gimana emang, Sam? Saya masih nggak ngerti sama tipe yang kamu mau. Yang kayak Adam gitu? Psikopat tapi berotot?"

"Amit-amit! Aku malah trauma sama yang bentuknya kayak gitu. Aku mau cari yang stocky aja mulai sekarang. Gimana menurut kamu? Rasya itu kan stocky. Kita kesampingkan dulu fakta kalo dia itu brengsek dan arogan."

Aku tertegun sejenak. Bukan tentang Rasya. Tentang hantu bencong itu. Lihat, dia sedang duduk di atas mobil Mazda 2 putih itu. Melambai-lambaikan tangannya seperti Ratu Kecantikan. Dia sengaja membuat rambutnya berkibas-kibas saat tertiup angin. Padahal, hantu sudah tidak bisa merasakan hembusan angin di dunia nyata lagi. Ini benar-benar hantu paling ajaib.

Lupakan saja hantu bencong itu!

"Kan yang ngejalinin hubungan sama si Rasya itu kamu, Sam. Bukan saya. Kalo menurut kamu Rasya ini cocok buat jadi pacar kamu, kamu iyain ajakan dia kemarin itu. Yang ngajak kamu jadi pacarnya. Siapa tau brengsek sama arogannya bakal ilang kalo udah sama kamu."

"Kayaknya sih begitu—ya, ampun! Kenapa ada orang di atas mobil itu? Dia emang nggak takut jatuh?"

Aku mendesah panjang. Akhirnya Sammy bisa melihat hantu itu juga. Terkadang, Sammy tidak bisa melihat hantu yang ada di sekitarku. Dia hanya bisa melihat sosok kuntilanak itu. Memperingatkanku kalau kuntilanak itu mau memulai sesuatu yang jahat.

"Itu bukan orang, itu hantu. Persisnya, hantu bencong."

"Hantu bencong?"

Gimana cara menjelaskannya, ya? Uh. "Yah, dia hantu. Tapi bencong. Kayak... hmmh, bencong di Taman Lawang, misalnya. Ada yang meninggal karena kecebur di kali Ciliwung lalu berubah lah jadi hantu. Nah, itu dia! Hantu bencong."

"Oh, pantes dia dadah-dadah kayak Miss Universe di situ. Seru nggak sih ketemu sama hantu bencong?"

"Nggak!" Aku menjawab cepat dan pasti. "Dia selalu ngomong bahasa banci sama saya. Saya kan nggak ngerti dia ngomong apa. Dia juga masih nggak bilang mau minta tolong apa ke saya. Kerjaannya selalu gangguin saya. Kayaknya dia baru meninggal. Mungkin baru sebulan atau dua bulan. Soalnya dia masih kuat dan enerjik. Atau emang bencong selalu kayak gitu, ya?"

Sammy malah tertawa. "Eh, belok kiri aja, Pak." Dia lagi ngomong sama tukang taksi. "Aku lumayan bisa bahasa banci. Kalo kamu mau nolongin ini hantu, nanti aku bantu terjemahin. Bahasa banci versi berapa yang dia punya, by the way?"

Aku mengerutkan kening. "Emang bahasa banci ada berapa versi?"

"Ada berapa, ya? Tiga atau empat gitu, aku lupa. Semakin hari, bahasa banci di upgrade sama Mbak Debby. Biar nggak ketinggalan zaman. Gitu kata temen aku yang banci."

"Who the fuck is Mbak Debby?"

"Dia itu ketua PBBI."

"Apa lagi itu PBBI?"

"Pelopor Bahasa Banci Indonesia." DEMI TUHAN! Memangnya hal semacam itu ada, ya? Aku benar-benar baru tahu. "Kamu mau nolongin hantu bencong ini nggak, Vid? Kan kamu sama dia satu jurusan tuh. Sama-sama gay. Bantu aja, nggak apa-apa. Kayak kamu bantu Chakra dulu itu."

Aku mencengkram erat-erat kemudi. "Saya nggak bisa, Sam. Saya udah jelasin ke kamu kenapa."

"Iya, aku paham. Cuma... aku ngerasa Tuhan ngasih kamu kekuatan bisa lihat hantu itu untuk ini. Untuk membantu mereka yang urusannya belum selesai di dunia. Kayak yang Pak Daniel itu, lho. Kamu nolongin dia ngasih tau di mana si Pak Daniel ini nyimpen surat warisannya. Sekarang dua anak Pak Daniel hidup serba berkecukupan. Itu kan berkat kamu. Kamu bikin Pak Daniel dan dua anaknya bahagia."

"Saya nggak bisa, Sam. Gimana kalo kamu yang dibunuh karena saya udah nyelametin hantu? Emang kamu siap? Nggak, kan?"

"Iya, nggak akan siap. Tapi semua hal kan ada risikonya. Dengan aku bilang begini, aku juga tau risiko apa yang nanti aku dapet. Aku nggak pernah takut mati, Vid. Karena mati itu udah mutlak akan terjadi sama kita. Selama kamu bisa terus menolong hantu yang membutuhkan kamu, aku yakin orang-orang yang kamu cinta akan dilindungin sama Tuhan."

"Mas kok ngomongin hantu? Emang ada hantu siang bolong begini, Mas?" tanya Pak Supir taksi.

"Ih, bapak apaan, sih? Nguping aja. Bukan urusan bapak tauk." Lalu Sammy kembali menempelkan HP-nya di telinga. Pura-pura nelpon. "Aku percaya kamu itu orang yang pemberani Vidi. Don't give up, kay?"

Aku nggak menyahut. Terus menjalankan mobilku di jalanan Mataram yang tidak terlalu ramai. Aku kembali bertanya-tanya. Apakah aku harus kembali menyelamatkan hantu-hantu itu? Apakah aku harus membahayakan orang-orang yang aku cintai lagi? Bagaimana kalau Fredo yang menjadi korban selanjutnya? Bukan berarti aku mencintai cowok itu. Sama sekali bukan. Yang aku pikirkan adalah rasa bersalahnya. Aku tidak bisa hidup dengan hal itu terus-menerus. Sejak kematian Ibu, aku selalu berpikir kalau itu adalah salahku. Tapi ibu tidak ada di sini, tidak menemui dan bilang kalau semua ini bukan kesalahanku. Ibu seolah memberitahu kalau begitulah jalan hidup ibuku.

Kalau aku harus menerima juga jalan hidupku. Seperti yang selalu ingin aku terapkan pada diri sendiri.

"Sam, saya mau ketemu sama temen-temen dulu. oke?"

Sammy berhenti mengoceh tentang film The Danish Girl yang baru dia tonton tadi malam. "Oke."

Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan anggrek dari dalam sana. Mengunyahnya sampai Sammy tidak ada lagi di pandanganku. Aku memparkirkan mobil di basemant. Banyak sekali hantu di sini. Bahkan, ada setan di bawah ventilasi besar itu. Menyeringai ke arahku, membuat darah yang ada di mulutnya bercucuran deras. Itu Delong. Setan pemakan daging binatang dari Gunung Rinjani. Dia di sini pasti suka merusak mobil-mobil yang di parkir.

Kupercepat langkah kakiku, aku tidak mau berurusan dengan setan jahil hari ini. Aku baru saja sampai di pintu masuk saat hantu bencong itu muncul. Berdiri di dekat tangga menuju ke lantai atas. Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, agar dia tahu aku tidak butuh keberadaannya. Ketika aku naik ke lantai atas, hantu bencong itu mengikutiku. Sambil bernyanyi lagu Poker Face.

"Can't read your, can't read your, no I can't read your... Boker Face, eh, Poker Face. Ma-ma-ma-ma!"

Sampai aku di Mirasa pun, hantu bencong itu tetap mengikutiku. Sudah, lah! Biarkan saja. Lebih baik aku mencari Rara dan Kalvin. Mereka sudah sampai di sini sejak sepuluh menit yang lalu. Oh, itu dia! Duduk di tempat biasa. Aku membenarkan poni rambutku yang acak-acakan dan mengecek wangi tubuhku. Tetap saja wangi kematian. Wangi kamboja, maksudku. Entah kenapa aku bisa menghasilkan wangi ini. Aku juga benci dengan wanginya. Padahal sudah sering aku tutupi dengan parfum. Ini lah salah satu penyebab kenapa aku dipanggil aneh. Aku memang terlihat menyeramkan.

"Sorry, telat." Aku menarik kursi yang bersebelahan dengan cowok yang ada di hadapan Kalvin. Aku menoleh, menyeringai aneh tanda aku sedang tersenyum ramah.

"Nggak apa-apa," ujar Rara. Dia mengaduk kuah pempek-nya. "Sebelum kamu nanya soal yang mistis-mistis, aku mau gosip dulu sama kamu, Vid. Soal Karmila. Cewek yang pernah ngatain kamu pemuja setan itu. Sekarang hidupnya lebih menyedihkan dari Upik Abu."

"Jangan dulu yang itu!" tahan Kalvin. "Ini, aku mau kenalin cowok baru aku ke kamu."

Cowok yang duduk di sebelahku—wajahnya bulat dengan hidung mancung—menyodorkan tangannya. Belum sempat aku menyebut nama, hantu bencong yang berdiri di belakangku berseru lebay. "Indang kan lekong eyke. Ugh! Ternyata indang bencongnista tempurung yey! Eh, bencong, sana yey pulang ke gang Dolly—eh, tapi kan udin ditumpariah tuh Dolly. Oh, sana pulang ke Taman Lawang. Eh, udin ditumpariah jagung. Ke mindang dong? Yey itu kan banci dari planet apes."

"Vidi. Sahabatnya Kalvin."

"Rifky. Pacar barunya Kalvin." Cowok itu tersenyum diagonal. Cowok ini lumayan tampan. Pantas saja hantu bencong itu kayak nggak rela Kalvin pacaran sama Rifky.

"Indang bencong harus eyke kerja bakti, biar diana tahu-tempe rasa!"

Aku sama sekali tidak tahu arti yang hantu bencong itu ucapkan.

Tapi aku tahu itu bukan hal yang baik. Karena lampu gantung yang ada di atas kepala Kalvin mulai bergoyang-goyang, seolah ingin terjatuh. Apa lagi ini?!

***

Continue Reading

You'll Also Like

216K 27K 48
Kumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan s...
6.8K 1.6K 22
⛔ DILARANG KERAS PLAGIAT ‼️ ••• Badut itu lucu, jika tidak bermain dengan nyawa. Terdapat fakta mengejutkan mengenai adanya seorang badut yang berkel...
74.5K 6.1K 85
[COMPLETED] Kematian seorang Guru di SMP GENTAWIRA membawa Zuna dan Diana kembali ke sekolah lama mereka. Awalnya hanya Zuna yang ditugaskan untuk me...
4.2K 302 13
Mungkin khusus ytmc chat Ini chat random banget ygy + gw pen buanget kalo ada yang nge request jadi plissss...hehe...