Loizh II : Arey

De Irie77

479K 24.5K 1.6K

"Aku merasa pernah jatuh cinta tapi dengan siapa aku jatuh cinta ?". -Karin. Karin, seorang gadis yang ingata... Mais

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 15
Versi Cetak

Part 14

12.9K 1.2K 77
De Irie77

-Karin Pov-

Kupejamkan mata sementara tubuhku sudah terbenam oleh air. Pikiranku melayang dalam kegelapan. Aku mulai menggali ingatanku perlahan yang selama ini membuatku hampir menyerah. Bukan, bahkan aku sudah putus asa dengan semuanya. Tapi—entah kenapa aku justru teringat Arey.

Dua hari ini aku selalu menemuinya dan kudapati ia selalu sendirian di ruangan. Ternyata dia hanya sebatang kara. Ia tidak mau menceritakan apapun tentang keluarganya terutama orang tuanya. Yap, hampir sama sepertiku. Tapi bedanya, aku memilih sendiri karena aku tidak tahan oleh sikap kedua orang tuaku yang selalu bertengkar karena urusannya masing-masing. Tapi—yang kulihat dari Arey berbeda, meskipun ia hidup sebatang kara, aku bisa melihat binar bahagia di matanya.

'Sendiri membuatku merasa bebas dan ringan. Aku lebih suka jika tidak ada yang mengenalku' begitulah ia dengan bangganya mengucapkan suatu hal yang menurutku—tidak wajar sebagai Manusia. Padahal, setiap orang pasti ingin dikenal semua orang bahkan mendambakan sebuah ketenaran. Semua itu membuatku penasaran dengan kehidupannya.

'Karin Reyneer, aku senang bisa mengenalmu.' Kalimat itu masih terngiang, membuatku merona malu sekaligus merasa bersalah.

Reyneer. Aku tidak tahu kenapa aku menggunakan nama itu. Saat aku mengenalkan namaku padanya, aku merasa seperti ada yang pernah memanggilku 'Karin Reyneer' tapi—apakah orang itu benar-benar memanggilku seperti itu? Bodoh sekali.

Arey benar, sendiri memang membuatku bebas—sekaligus menenangkan. Yahh, inilah hasil dari kesendirianku. Membuatku menjadi makhluk individual dan apatis tapi—meskipun begitu, kadang aku juga membutuhkan seorang teman. Tidak seperti Arey yang ternyata—tidak mengenal siapapun selama ini. Itu membuatku terkejut sekaligus—kecewa yang mencengangkan. Jika seperti itu, selama ini dia tinggal dimana? Siapa yang selalu bersamanya? Tidak mungkin jika ia sendirian tanpa bantuan seorangpun. Kira-kira seperti apa orang tuanya?

Pikiran-pikiran itu membuatku ingin menyembulkan kepala dari dalam air. Jika aku menemuinya lagi apa aku akan dianggap sebagai pengganggu hidupnya?

Aku mulai menjuntaikan kaki kelantai sebelum akhirnya aku membilas rambutku kemudian mandi dengan terburu-buru karena aku ingin segera menemuinya. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku saat ini, tapi yang jelas, aku merasakan sebuah irama yang menyenangkan dalam hatiku sejak awal bertemu dengannya.

Aku meraih handuk dan memakai baju handukku sebelum aku keluar dari kamar mandi lalu beringsut menuju kamar. Kulihat pintu kamarku tertutup dan sayup-sayup kudengar sebuah musik yang akhir akhir ini menjadi favoritku. Tunggu, siapa yang menyetel musik?

Aku membuka kenop pintu perlahan dan kulihat ada seseorang yang terbaring di tempat tidur dengan posisi miring dan berselimut dari ujung kaki hingga ujung kepala. Karena merasa curiga, aku bergegas ke teras belakang untuk mengambil sapu tanpa suara. Tak butuh waktu lama sudah kembali berada di kamar dan sudah dalam posisi siap menyergap.

"Siapa kau?! Beraninya kau tidur dikamarku tanpa izin! Bangun! Cepat bangun dan keluar dari kamarku, sialan!" teriakku sambil memukulnya berkali-kali.

Akhirnya orang itu membuka selimutnya dan dengan sigap, ia menarik pinggangku lalu menekan pergelangan tangaku di tempat tidur.

"Heyy lepaskan aku! Lepaskan!" jeritku meronta.

Aku terus berusaha membebaskan diri dengan menendang lututnya tapi ia malah menjepit pinggangku dan membuat pergerakanku semakin terkunci dibawah tubuhnya.

"Bisakah kau diam?" ucapnya sambil menekan pergelangan tangaku semakin erat.

Suara itu menyadarkanku. Aku diam sejenak sebelum akhirnya aku menyadari siapa pemilik suara itu.

"Rey?" Aku ternganga. "Sedang apa kau disini?"

Ya, dia pemuda yang ingin kutemui siang ini.

"Seperti yang kau lihat bukan? Aku sedang tidur. Kenapa kau memukulku?"

"Kenapa kau tidur di kamarku? Dan—sejak kapan kau keluar dari rumah sakit?"

"Baru tadi pagi. Berhubung aku tidak memiliki tempat istirahat jadi aku memilih untuk beristirahat di kamarmu," jawabnya tanpa merasa berdosa.

"Dari mana kau tahu rumahku?"

"Aku mencium aroma tubuhmu berasal dari tempat ini. Jadi kupikir ini adalah rumahmu, benar kan?"

Keningku berkerut refleks. "Kau benar-benar pamuda yang aneh."

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau memukulku?" tanyanya dengan tatapan yang menuntut untuk dijawab.

"Karena aku pikir kau penjahat yang masuk kedalam rumahku."

"Apakah aku memiliki tampang-tampang seperti penjahat?"

"Aku tidak tahu. Lagi pula siapa yang menyuruhmu tidur di kamarku tanpa izin?" sahutku tak mau kalah.

Rey mengangkat sebelah alisnya. "Tidak ada."

"Lalu kenapa kau disini?"

"Kenapa kau menanyakan hal yang sudah kujawab?"

'Kau menanyakan hal yang sudah kujawab' Kata-kata itu serasa tidak asing ditelingaku.

Aku kembali menggali ingatanku, tapi sayangnya rasa sakit di kepalaku kembali menyengat. Aku mengerjap dan mengurungkan niatku untuk mencoba mengingatnya.

"Kau pucat sekali. Apa kau sakit?" tanyanya mulai cemas.

"Kau sendiri juga pucat."

Arey melepaskan tanganku lalu meletakan telapak tangannya di atas kepalaku dan mengelus-elus dahiku dengan ibu jarinya.

"Jika ingatanmu membuatmu sakit, lebih baik kau tidak berusaha untuk mengingatnya." ujarnya sendu.

Ada apa dengan tatapan itu? Dia terlihat menyerah dan putus asa.

"Dari mana kau tahu bahwa aku sedang mencoba untuk mengingat sesuatu?" Kini aku kembali dilanda penasaran.

"Aku tahu semua tentang dirimu."

"Siapa—kau sebenarnya?" Rasa penasaranku semakin meningkat.

"Sudah kubilang aku adalah penggemarmu. Kau—"

"Bohong! Mana mungkin kau penggemarku? Aku bukan orang yang terkenal atau seorang selebriti!" sahutku tak puas dengan jawabannya. "Jawab aku, siapa kau?"

"Aku memang bukan siapa-siapamu." Nadanya begitu lembut, tapi sejenak ia tersenyum miring "Setidaknya belum."

Aku tahu dia berusaha menggodaku hanya untuk mengalihkan pembicaraan dan itu—membuatku merasa seperti anak kecil yang dibelikan sebuah balon agar aku tidak menangis.

Aku merasa ada yang tidak beres dengannya. Ada beberapa hal yang yang tidak asing darinya. Ditambah lagi, semenjak aku kenal dengan Arey aku tidak pernah lagi bertemu dengan pemuda yang selalu datang dalam mimpiku. Tanpa sadar satu butir air mata menetes dan membasahi telingaku.

"Jika kau tahu semua tentangku, kau juga pasti tahu tentang ingatanku yang hilang bukan?"

Arey hanya terdiam sambil mengusap air mataku sebelum menetes ke telingaku, dan perlakuan itu benar-benar tidak asing.

"Aku tidak tahu tentang hal itu, tapi kumohon jangan paksakan dirimu," sahutnya beberapa detik kemudian.

"Aku tidak ingin melupakannnya, Rey."

"Suatu saat kau juga pasti akan mengingat semuanya."

Aku hanya mengangguk. Untuk pertama kali, aku percaya pada orang yang baru saja kukenal. Aku merasa—bahwa semua akan baik-baik saja saat bersamanya, termasuk ingatanku.

"Di rumah ini kau sendirian kan? Apa aku boleh tinggal di rumahmu?" tanyanya sambil melonggarkan pinggangku.

"Hmm—baiklah, tapi kau tidur dikamar tamu," jawabku sambil bernapas lega dan perasanku sedikit tenang berkat dirinya.

"Tidak mau. Aku lebih suka tidur di kamarmu." Arey bangun dan melepaskan dirinya lalu kembali menarik selimutku sambil duduk memeluk bantal di sudut ranjang.

Aku bangun dan terduduk. "Heyy, kau tidak boleh tidur di kamar gadis sembarangan. Lagi pula—ruangan ini adalah bagian dari pribadiku."

"Pokoknya aku tidak mau," ujarnya keras kepala.

Lama-lama ia membuatku sebal. "Ayolah kalau kau tidur di kamarku, nanti aku tidur dimana? Aku tidak bisa tidur di kamar lain selain kamarku."

"Tidak mau. Kenapa kau tidak tidur disini saja bersamaku?"

"Aku tidak bisa tidur bersamamu."

"Kenapa?"

Aku menghela napas dan berusaha tabah. "Karena—kita belum menikah."

"Baiklah, kalau begitu menikahlah denganku."

Aku ternganga mendengar ucapannya yang spontan tanpa merasa berdosa itu. "Hah?"

"Kau menginginkannya kan?"

"Tidak. Jangan sok tahu," sergahku mengelak.

"Sungguh? Ah, padahal aku mau jika harus menikah denganmu."

Aku merasa wajahku memanas seketika. "Berhentilah menggodaku seperti itu Rey."

"Tapi kau menyukainya kan?" sahutnya tersenyum nakal.

* * *

Pukul satu siang awan begitu kelabu dengan udara sejuknya yang khas. Sepertinya hujan akan segera turun. Rey masih terlelap dalam tidurnya sementara aku sudah duduk di jendela kamarku. Sesekali aku memperhatikannya. Padahal siang ini aku sudah memiliki rencana untuk menemuinya tapi dia sudah berada disini. Mengingat pertemuan hari ini rasanya begitu aneh dan lucu, itu membuatku tersenyum dan menahan tawa. Dia benar-benar menyukai kamarku dan dia bilang kamarku adalah tempat ternyaman yang pernah dia temui. Mungkin malam ini aku yang terpaksa tidur di kamar tamu.

Aku beranjak dari jendela dan duduk sampinya. Kuletakan telapak tanganku di keningnya. Suhu tubuhnya mulai stabil, mungkin ia begitu lelah. Sebenarnya kemana arah tujuannya? Yang lebih membuatku heran, kenapa aku merasa tenang saat bersamanya. Yap, tepatnya aku merasakan sensasi yang berbada saat bersamanya dari pada saat bersama Kenzie.

Selang beberapa menit, akhirnya hujan benar-benar turun dengan lebat, meredam butiran debu yang beterbangan. Aroma tanah basah mulai menyeruak dari segala penjuru. Aku bergegas menutup semua jendela dan mengunci semua pintu. Kulihat Ren juga sudah terlelap di sudut kursi ruang tamu.

Aku menggendong Ren yang masih terlelap sambil sesekali mengelus bulunya agar ia tidak terbangun meskipun matanya terbuka setengah. Ren semakin mendengkur keras setelah kuletakan di tempat yang biasanya ia tidur. Aku memandangi Arey dan Ren bergantian dan aku tertawa saat menyadari sesuatu. Ren dan Rey, nama mereka hampir sama.

Kini pandanganku tertuju pada pemuda yang terbaring lelap di tempat tidurku. Cuaca seperti ini benar-benar sangat mendukung untuk memejamkan mata di tempat tidur. Hmm—seharusnya yang terbaring disana adalah aku, bukan pemuda menyebalkan itu.

Aku kembali mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya lalu kubelai rambutnya perlahan. Dari segi tubuhnya yang kekar terlihat bahwa ia tipe pekerja keras. Kulitnya yang pucat terkadang membuatku mengerutkan kening dan bertanya-tanya. Berapa hari ia berada di air? Arey. Sebenarnya siapa pemuda aneh ini?

Semakin lama aku memperhatikannya, rasanya seperti—aku ingin memilikinya. Untuk pertama kalinya aku melihat laki-laki yang tertidur dengan mata kepalaku sendiri dengan jelas. Pikiranku melayang, membayangkan dia merengkuhku dengan tangan kekarnya. Dengan begitu, aku bisa merasakan detak jantungnya di telingaku.

"Tidak, tidak! Astaga, apa yang barusan tadi kupikirkan?" gerutuku dalam hati sambil menggelengkan kepala.

Semakin lama mataku semakin berat dan mengantuk dan hujan belum juga reda. "Jika aku terbaring disini tidak masalah kan? Lagi pula ini tempat tidurku," gumamku sedikit egois atas tempat tidurku.

Aku terbaring di sebelah Arey yang tetap terlelap. Aku heran, baru kali ini aku menemukan laki-laki yang tidur lama seperti ini. Sebenarnya sudah berapa hari ia tidak tidur?

"Semoga saja aku bangun lebih dulu darinya," gumamku membatin sebelum akhirnya aku benar-bnear terlelap.


-Alex Pov-

Aku terbangun setelah merasakan aura panas di dekatku. Kulihat seorang gadis terbaring di sebelahku dengan posisi memunggungiku. Ya, Karin. Akhirnya dia mau juga untuk tidur di samppingku. Aku hanya bisa tersenyum senang, dan—oh, ternyata diluar sedang hujan deras. Tubuhku terasa berat dan lelah setelah menjadi Manusia.

Aku mencoba untuk menyentuhnya perlahan, dan sesuai dugaanku, sentuhan lembut tidak akan membuatnya terbangun. Aku melebarkan selimut untuk menyelimuti tubuhnya dan membelai rambutnya yang selalu terawat. Rasanya seperti mimpi saat dekat dengannya seperti ini. Kuharap aku bisa selalu bersamanya. Dengan begini aku bisa mencintanya tanpa harus merasa takut dengan malapetaka yang akan terjadi di dimensi kami.

Kudengar suara pintu depan diketuk dengan keras diiringi dengan suara teriakan yang sepertinya—tidak asing.

"Karin, apa kau didalam?" Sebuah suara memanggil Karin.

Suara itu seperti milik—Kenzie.

"Karin jika kau didalam, kumohon buka pintunya," serunya lagi.

Karin mulai bergerak namun dengan mata yang terpejam. Aku benar-benar merasa tegang untuk bebrapa saat, tapi—syukurlah, kupikir ia akan terbangun. Ternyata hanya merubah posisi tidurnya dan kini menghadap kearahku.

Aku mencoba mengangkat tanganku dan benar saja, kekuatanku tidak hilang sepenuhnya meskipun tipis sekali, kuharap ini masih cukup untuk digunakan. Aku menyentuh kepalanya perlahan dengan cahaya yang masih berpendar di tanganku.

"Kumohon, tetaplah terlelap dan tetaplah di sampingku," bisikku di telinganya.

Karin semakin terlelap dalam tidurnya, namun rasa pegal dan nyeri menjalar, membuat tanganku bergetar. Jendela kamar diketuk dengan keras hingga tubuhku mengerjap kaget.

"Karin, kau dengar aku? Bisakah kau temui aku sebentar saja? Aku tahu kau marah padaku, tapi kali ini kumohon! Aku tidak bisa tidak melihatmu meski hanya sehari." Kenzie masih memanggilnya dengan nada yang semakin memelas.

Jujur saja, aku tidak tega mendengar ia memohon seperti itu, tapi aku juga tidak ingin pemuda itu menganggu Karin. Tepatnya, aku tidak ingin pemuda itu menggantikan posisiku di hatinya.

"Karin, maafkan aku atas kejadian kemarin. Aku—aku tidak bermaksud membuatmu marah. Tapi—jujur saja aku tidak ingin kehilanganmu."

Aku menarik tubuh Karin dalam pelukanku, ucapan pemuda itu membuatku ingin selalu memeluknya.

"Kau tahu? Jujur saja, aku merasa bodoh dengan diriku yang sudah mencampakanmu dulu. Dulu kau berharap suatu saat nanti aku bisa menjadi pacarmu, tapi—aku justru mengatakan bahwa aku hanya ingin menjadi sahabatmu saja. Dan sejak saat itu senyummu hilang dalam sekejap dan hubungan kita jadi canggung untuk beberapa saat setelah mendengar jawabanku. Aku bodoh sekali, benar kan?" Kenzie berbicara dengan nada semakin sendu. "Seandainya saja waktu itu terulang kembali untuk saat ini, detik ini juga aku akan mengabulkan harapanmu."

Aku hanya memejamkan mata dan memeluk Karin semakin erat. Sebisa mungkin aku menahan rasa yang semakin menyesakkan dadaku. Ada orang lain yang mencintai Karin selain diriku. Jika aku tidak bisa hidup bersamanya, usahaku akan menjadi sia-sia.

"Jika kau tidak mau menemuiku tidak apa-apa. Aku tahu kau kesal padaku. Tapi satu hal yang harus kau tahu, aku akan selalu menunggu hatimu," lanjutnya namun kali ini diiringi suara langkah dan akhirnya—ia pergi.

Tanpa sadar air mataku sudah mengalir perlahan. Kupandangi wajah gadis yang terlelap dihadapanku. Aku datang untuknya dan tinggal bersamanya dengan harapan bahwa mencintainya kami akan baik-baik saja tanpa harus ada satu dimensi yang bermasalah. Tapi—kenapa justru ada yang terluka dengan hubungan ini? Apa ini juga termasuk permainan dunia?

Aku mengecup keningnya perlahan. "Aku tidak ingin menyakitimu dengan berusaha mengingatku. Lupakan aku yang disana karena aku sekarang berada disini, di sampingmu." Aku mengelus keningnya perlahan hingga akhirnya aku tidak bisa menahan diriku lagi untuk mengecup bibirnya.

"Alex," lirihnya.

Aku hanya diam ternganga sambil memandanginya.

"Jangan pergi lagi dariku," gumamnya lagi dengan mata yang masih terpejam.

"Karin," bisikku releks.

"Aku mencintaimu, Alex."

Ternyata di alam bawah sadarnya ia masih mengingatku dan itu—cukup melegakan bagiku.

"Aku disini. Aku tidak akan pergi darimu karena aku sudah ada disini." Aku membimbing tangannya untuk memelukku.

"Selama ini aku selalu merindukanmu," lanjutnya melemah.

Aku kembali memeluknya dan membenamkan wajahnya di dadaku.

"Aku akan disini bersamamu."

________To be Continued________

Next.. ^^

Continue lendo

Você também vai gostar

222K 310 17
Kumpulan cerita dewasa part 2 Anak kecil dilarang baca
179K 11.4K 19
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
266K 22.7K 21
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
61K 597 5
Jatuh cinta dengan keponakan sendiri? Darren William jatuh cinta dengan Aura Wilson yang sebagai keponakan saat pertama kali bertemu. Aura Wilson ju...