Loizh II : Arey

By Irie77

479K 24.5K 1.6K

"Aku merasa pernah jatuh cinta tapi dengan siapa aku jatuh cinta ?". -Karin. Karin, seorang gadis yang ingata... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 14
Part 15
Versi Cetak

Part 13

14K 1.3K 61
By Irie77

-Karin Pov-

Sore ini, aku berjalan menelusuri koridor rumah sakit dengan tergesa-gesa. Rasa cemas menyeruak begitu dalam seiring dengan langkahku. Panggilan telepon dan beberapa pesan singkat dari Kenzie yang sedari tadi membuat ponselku berdering, kali ini aku benar-benar mengabaikannya. Entah kenapa, aku lebih mengkhawatirkan pemuda itu. Yap, semenjak pemuda itu memanggil namaku. Jujur saja, itu sangat menggangguku. Jika pemuda itu mengenalku kenapa aku tidak mengenalnya? Oh sial! Sebenarnya seberapa parah amnesiaku ini?

Kini aku sudah berdiri di depan sebuah ruangan dimana pemuda itu terbaring. Aku memutar kenop pintu dan melangkah masuk perlahan. Dari ambang pintu, kulihat pemuda itu masih terlelap. Ruangan begitu sunyi, tidak ada orang lain selain pemuda itu sebelum aku memasukinya. Apa belum ada pihak keluarganya yang dihubungi? Malang sekali pemuda ini.

Kini aku sudah berada di samping pemuda itu, wajahnya begitu pucat seolah-olah tidak ada darah yang mengalir. Aku meletakan telapak tanganku didahinya. Meskipun wajahnya terlihat pucat tapi—tubuhnya tidak sedingin yang kupikirkan. Dasar pemuda aneh!

Ponselku kembali berdering untuk kesekian kalinya, dan deringnya menggema di ruangan, itu cukup membuatku sebal. Akhirnya kuputuskan untuk menecan tombol Call dan menjauh dari tempat pemuda itu berbaring.

"Karin kau dimana? Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?" Sebuah pertanyaan menyerbuku dari suara seberang sana.

"Hmm—aku sedang berada di—rumah temanku. Ada apa Kenzie?" jawabku berbohong.

"Kenapa kau tidak memberitahuku? Aku bisa mengantarmu."

Aku memutar bola mata. "Kenzie itu tidak perlu. Jika teman-temanku sering melihatku selalu bersamamu, mereka akan berpikir yang tidak-tidak. Kau mengerti kan?"

"Maksudmu—kau tidak mau jika temanmu berpikir bahwa aku pacarmu?"

"Yahh begitulah. Aku—mereka semua tahu kalau kau adalah sahabat kecilku."

"Apa salah jika mereka berpikiran seperti itu? Itu hak mereka dan—"

"Tapi pada kenyataannya tidak seperti itu," sergahku memotong. "Aku tidak ingin ada salah paham entah itu kau maupun teman-temanku yang lain."

"Ehmm—baiklah, maafkan aku. Aku hanya khawatir padamu, itu saja. Telepon aku jika kau membutuhkan sesuatu, atau nanti aku jemput jika kau mau," ucapnya dengan nada menyerah.

"Terimakasih. Kau sudah sering membantuku. Maaf jika hari ini aku jarang mengubungimu."

"Tidak apa-apa. Sekarang, nikmatilah waktumu bersama teman-temanmu okey. Jangan lupa untuk meneleponku jika kau membutuhkan jemputan. Aku siap kapanpun yang kau mau." Kali ini nadanya terdengar semangat.

Jujur saja, itu membuat hatiku teriris. "Jangan berbicara seolah-olah kau adalah pengawalku."

"Karena kau adalah tuan putri di hatiku." Suaranya melembut. "Selamat bersenang-senang!" lanjutnya kembali meninggi dan bersemangat.

Telepon terputus sesaat dan aku hanya bisa menghela nafas. Apakah kata maaf saja sudah cukup untuknya? Dalam keadaan seperti ini, aku ingin sekali mengucapkan kata maaf hingga ribuan kali padanya. Tepatnya meminta maaf atas perasaanya yang belum sempat kubalas.

"Maafkan aku Kenzie," riasuku dalam hati.

"Karin!" Sebuah suara memanggilku lemah dari arah belakang.

Aku menoleh saat pemuda itu memanggilku lagi. Aku merubah nada dering ponselku menjadi senyap sebelum bergegas mendekatinya.

"Karin."

Aku berdiri disamping pemuda itu, dan ternyata dia masih terpejam. Al, hanya itu nama yang kutahu darinya.

"Karin."

Aku duduk di kursi yang tersedia di samping tempat tidur. Pemuda itu masih memanggilku. Kutatap wajahnya yang baru kusadari, dia sangat tampan meskipun wajahnya pucat. Aku meraih tangannya dan ia menggenggam jemariku erat.

"Al," bisikku di telinganya sambil berharap dia akan mendengarku.

Pemuda itu tersenyum sejenak dengan mata yang masih terpejam. "Aku mencintaimu."

Aku tertegun mendengar ucapanya. Dia mencintaiku? Tunggu, sebenarnya—siapa pemuda ini?

"Al," bisikku lagi.

Pemuda itu semakin menggenggam jariku erat. Membuat tulang-tulang jariku sakit, dan kini aku merubah posisi tanganku dan menautkan jariku di jemarinya dan—ya, aku seperti—pernah mengenal tangan ini.

Aku mencoba menggali ingatanku kembali, mungkin ada pemuda ini dalam serpihan ingatanku. Sebuah cahaya berkelebat dalam kepalaku dan sejenak cahaya itu sudah menjadi sebuah layar.

Aku melihat diriku sedang bersama seseorang, jari kami saling bertautan. Tangan yang sama dan jari yang sama. Ya, aku bisa merasakannya, namun sejenak kepalaku kembali disengat sesuatu dan itu membuat kepalaku sakit.

Aku mengerjap berkali-kali lalu meletakan punggung tangannya di pipiku. Aroma alam yang hijau langsung merasuk dalam penciumanku. Sebuah cahaya kembali berkelebat dan menjadi sebuah layar lagi.

Kulihat aku sedang bersama seorang pemuda, tapi wajahnya tidak begitu jelas. Ia menyentuh pipiku dan kami berciuman.

"Aduhh!" rintihku refleks. Kali ini kepalaku seperti dijepit dua batu.

Rasa sakit kembali mendera kepalaku dan memudarkankan ingatanku yang sedang diputar dalam kepalaku. Tapi aku tetap memaksakannya agar aku tahu siapa pemuda itu sebenarnya. Semakin aku memaksakannya, sesuatu berbentuk cair dan kental mengalir dari hidungku. Ya, darah. Untuk kesekian kalinya aku mimisan seperti orang sakit. Tapi—mungkin aku memang benar-benar sakit. Seluruh pandanganku mulai buram dan akhirnya menjadi gelap gulita.


-Alex Pov-

Hanya warna putih yang kulihat dimana-mana saat aku membuka mata, dan akhirnya kusadari bahwa aku berada disebuah ruangan yang biasa disebut—Rumah Sakit.

Kulihat seorang gadis terlelap disampingku dalam posisi duduk. Ia menautkan jemarinya disela-sela jariku dan menjadikannya sebagai bantal untuk menopang kepalanya yang terkulai. Aroma tubuhnya yang sudah kukenal membuatku tersenyum dan ingin merengkuhnya.

Karin, aku tahu itu dia. Aku mencoba terbangun dan duduk untuk membelai rambutnya perlahan. Entah sejak kapan dia berada disini untuk menemaniku, yang jelas aku bahagia karena ada dia disaat aku membuka mata untuk pertama kalinya.

Tak lama, Karin mengerjap dan mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya tampak sepucat kapas.

"Kau sudah sadar rupanya," katanya dengan mata yang masih setengah terpejam.

Tunggu, ada darah yang mengalir dari hidungnya. "Karin, kau tidak apa-apa?" Aku melepaskan jariku dan meraih pipinya lalu mengusap darah yang sudah setengah mengering dengan ibu jariku. "Apa kau sakit?"

Karin melepas tanganku dari pipinya dan mengusap darahnya sendiri dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari tasnya. "Aku—tidak apa-apa."

"Sungguh? Tapi—sepertinya kau sedang tidak baik. Kau harus banyak beristirahat," sahutku khawatir.

"Sungguh aku tidak apa-apa." Karin kembali memasukan sapu tangannya yang sudah bernoda darah kedalam tasnya. "Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu."

"Hal apa?"

"Darimana kau tahu namaku? Dan—kenapa tadi kau tampak khawatir dengan keadaanku?"

Aku termangu sejenak. Ternyata dugaanku selama ini benar, ada yang menghapus ingatannya tentangku. "Apa—kau sedang berusaha mengingat sesuatu dengan susah payah? Apa karena itu juga hidungmu berdarah?"

"Katakan padaku, siapa kau? Kenapa—"

"Jawab aku. Jika kau tidak mengenalku kenapa kau berada disini?"

Karin menatapku sendu. "Iya, aku sedang mencoba mengingat sesuatu." Ia meNundukan kepalanya perlahan. "Aku berada disini karena—aku seperti pernah mengenalmu, dan itu terasa dekat sekali. Wajahmu tidak asing di mataku dan tanganmu—." Karin menautkan jarinya kembali di jariku. "Tanganku seperti sudah menganal tangan ini" Ia menghela nafas sejenak "Seandainya saja ingatanku kembali."

"Setelah ingatanmu kembali, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku belum tahu. Karena itu—katakan padaku siapa kau?" tanyanya lagi, tapi kali ini dengan nada memohon.

"Jika kau sedang mengingat hal-hal yang hilang dari ingatanmu, apa kau merasa sakit?"

"Kenapa kau tidak menjawabku?"

"Pertanyaan terakhir sebelum aku menjawabnya."

Karin terdiam sejenak lalu mengangguk. "Itu memang sakit tapi aku tidak perduli. Karena—aku tahu, dalam ingatan itu ada hatiku yang tersimpan disana."

Aku mengerutkan kening. "Hati?"

"Hmm—maksudku—ada perasaan aneh yang sepertinya tersimpan dalam ingatanku yang hilang dan kuharap kau mau membantuku untuk mengingatnya."

Sebelah alisku terangkat. Sekarang aku mengerti, meskipun ia tidak bisa mengingatku tapi hatinya mengenalku. Baiklah, mungkin ini adalah permainan dunia dan aku pasti bisa mengikutinya. Tujuanku adalah untuk bersamanya. Tidak perlu mengingat, yang terpenting adalah bersamanya dan memulainya dari awal.

Aku melepas jariku dan merubah posisi tangaku. Kami berjabat tangan. "Kenalkan, namaku Arey. Kau boleh memanggiku Rey."

"Apa maksudnya ini?" Dia masih tampak bingung.

"Kenapa kau harus mengingat sesuatu yang tidak bisa kau ingat secara instan? Aku percaya cepat-atau lambat kau akan mengingat semuanya. Kau bilang hatimu ada dalam ingatan itu bukan? Ikutilah hatimu dan biarkan dia menuntunmu untuk mengingatnya perlahan."

Karin terdiam sejenak sebelum akhirnya dia tersenyum. "Kau benar. Mungkin--aku harus mengikuti hatiku, seperti apa yang kau katakan. Namaku Karin." Ia kembali terdiam dengan ekspresi seperti mengingat sesuatu. "Hmm—maksudku Karin Reyneer. Tapi—panggil saja aku Karin," lanjutnya terdengar ragu.

Karin Reyneer? Tunggu, Sebenarnya seberapa banyak ingatan yang sudah ia dapat tentangku?

"Bagaimana keadaanmu? Apa sudah membaik?" tanyanya mencoba menepis kecanggungan dirinya.

"Aku sekarang udah baik-baik saja. Terimakasih sudah menolongku malam itu."

"Tunggu, kau belum menjawab pertanyaanku. Malam itu kau memanggil namaku, darimana kau tahu namaku sebelum ini?"

"Hmm—aroma tubuhmu yang memberitahuku."

"Kau bercanda. Ayolah, katakan padaku," pintanya merajuk. "Apa sebelumnya kita saling kenal?"

Aku tersenyum. "Aku—penggemarmu, Karin. Kau mungkin pernah mengenalku, tapi kau lupa."

"Sungguh?" tanyanya dengan wajah memerah.

"Menurutmu?"

"Baiklah, baiklah itu tidak penting lagi. Hmm—kemarin malam kau mengatakan 'Ini aku, Al' Apa itu namamu? Jika iya, kenapa sekarang namamu berubah menjadi Arey? Kau sedang tidak berbohong padaku kan?"

Aku merasa tersodok dengan pertanyaannya. Aku hampir saja memberitahukan namaku. "Itu karena masih ada sisa-sia air dimulutku jadi mungkin namaku terdengar tidak jelas," jawabku dusta agar si Air tidak murka.

Karin menyipitkan matanya sambil menjawab "Oh."

"Ada lagi yang ingin kau tanyakan?"

Karin tampak berpikir sejenak. "Hmm—kenapa kau bisa terdampar di pantai? Apa kau seorang Nelayan yang diterjang badai dan kapalmu tenggelam? Atau—kau sedang berenang di pantai dan air laut kebetulan sedang pasang?"

"Bukan dua-duanya."

"Lalu?"

"Aku sengaja menceburkan diri kelaut dan membiarkan air laut membawaku."

"Yang benar saja, itu hanya dilakukan oleh orang-orang sinting."

"Hmm yahh mungkin menurutmu memang terdengar sinting tapi itulah kenyataannya. Aku menceburkan diri ke laut sambil berharap air laut membawaku pada cinta sejatiku. Dan—kaulah yang menemukanku bukan?" ucapku menggodanya sambil mengedipkan mata.

Karin tersenyum kaku. "Sepertinya kau sedang mengigau, Rey. Ayo cepat bangun dan buka matamu." ucapnya sambil mencubit pipiku.

"Jika aku belum sadar, untuk apa kau melakukan interogasi pada orang yang sedang mengigau?"

"Hmm—benar juga yah." Karin melipat tangan sambil bersandar. "Oh ya satu hal lagi, kau tadi mengigau bahwa kau mencintaiku. Apa kau bermimpi sesuatu?"

Aku memutar otak sejenak. "Tidak. Aku tidak memimpikan apapun. Tadinya aku pikir kaulah cinta sejatiku saat kau menemukanku, tapi kau menganggapku sinting bukan? Baiklah, kutarik ucapanku bahwa aku mencintaimu."

Karin tertawa. "Jangan cemberut begitu. Kau kan belum tahu bagaimana masa depanmu nanti."

"Masa depanku, aku sudah tahu."

"Hmm?"

"Yaitu bersamamu," godaku sambil tersenyum lebar.

Karin tertawa dengan rona merah diwajahnya. "Dasar tukang penggoda. Baiklah sekarang, kau istirahat."

"Ingat! Kau juga harus istirahat. Hari juga sudah malam."

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Aku—."

Ucapan Karin terpotong oleh suara pintu yang mendadak terbuka. Aku dan Karin menatap sosok yang sudah berdiri di ambang pintu. Seorang pemuda berdiri mematung sambil menatap Karin. Aku hanya bisa melihat mereka bergantian.

"Kenzie?" gumam Karin.

"Ternyata ini teman yang kau maksud?" kata pemuda itu dingin.

"Tadinya aku mau pulang, tapi karena aku mengkhawatirkan pemuda ini, jadi aku sempatkan untuk datang kemari," jawab Karin dengan nada ringan.

Tapi—aku bisa melihat kebohongan dimata Karin pada pemuda itu. Kenapa Karin harus berbohong?

Pemuda itu masuk dengan rahang mengencang lalu menarik tangan Karin dengan Kasar. Melihat kejadian itu, aku langsung menarik tangan Karin yang satunya.

"Apa kau tidak bisa memperlakukan seorang gadis dengan lembut, Kenzie?" tanyaku sambil memicingkan mata.

"Tidak ada urusannya denganmu!"

"Kenzie lepaskan aku!" Karin menarik pergelangan tangannya dari genggaman pemuda itu. "Ada apa denganmu?"

"Aku benci pembohong!" ucapnya pada Karin.

"Dia tidak bohong. Dia baru datang kemari lima belas menit yang lalu bersama temannya," sergahku cepat untuk membela. "Tapi temannya sudah pulang lebih dulu karena ditelepon oleh Kakaknya." Sebisa mungkin aku ingin melindungi Karin meskipun aku juga berbohong padanya.

"Kau dengar sendiri bukan?" sahut Karin dengan nada menantang.

"Kenapa kau tidak ikut pulang bersama temanmu?" tanyanya lagi pada Karin.

"Apa salahnya jika Karin menemaniku sebentar disini?" jawabku tak suka.

"Karena aku mengkhawatirkannya!" jawabnya sambil menatap tajam kearahku sebelum ia melangkah menuju kearah pintu. "Kau mau pulang atau tidak? Jika kau mau pulang, pulanglah bersamaku. Jika tidak, itu terserah padamu." Kali ini kalimat itu tertuju pada Karin tanpa menoleh kebelakang.

Karin mencengkram selimutku. Aku tahu bahwa ia ingin tetap tinggal disini, tapi—aku juga mengkhawatirkannya.

"Pulanglah. Siapa yang akan mengantarmu pulang jika bukan Kenize," ujarku sambil mengenggam tangannya.

"Aku bisa pulang sendiri," jawabnya dengan nada dingin.

"Pulang! Tidak baik seorang gadis berjalan sendirian dimalam hari." Kali ini nadaku terdengar sedang memohon sekaligus mengizinkan.

Aku menekan jemarinya dan mangangguk sambil tersenyum.

"Baiklah, aku pulang. Jaga kesehatanmu, Rey. Jika ada waktu aku akan menemuimu lagi." Karin menggenggam tanganku erat sebelum ia melepaskannya.

"Baiklah kutunggu." Aku melambaikan tangan.

Karin tersenyum sebelum akhirnya ia hilang dibalik pintu dan meninggalkanku.

Ruangan kembali hening tanpanya. Entah kenapa aku merasa kehilangan dengan kepergiannya. Ditambah lagi, ingatannya tentangku telah dihapus. Semua itu membuatku terluka dan pemuda itu—terlihat sangat mengkhawatirkan Karin dan sepertinya ia dekat dengannya.

"Kenzie. Siapa dia?"

_______To be Continued_______

Next.. ^^

Continue Reading

You'll Also Like

172K 10.2K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...
1.5M 78.3K 41
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
227K 314 17
Kumpulan cerita dewasa part 2 Anak kecil dilarang baca
3.6M 358K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...