Loizh II : Arey

By Irie77

479K 24.5K 1.6K

"Aku merasa pernah jatuh cinta tapi dengan siapa aku jatuh cinta ?". -Karin. Karin, seorang gadis yang ingata... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Versi Cetak

Part 11

14.6K 1.4K 101
By Irie77

-Alex Pov-

Aku terus melangkah menjauhi Loizh tanpa menghiraukan gerbang yang mulai bermunculan memenuhi ruang hampa. Yang terpenting adalah mencari gerbang yang dipenuhi banyak warna seperti pelangi. Itulah gerbang yang kutuju. Dimensi Manusia.

Tak berapa lama, akhirnya gerbang yang kucari mulai terlihat. Aku mempercepat langkahku bahkan hampir setengah berlari. Gerbang penuh warna itu berpendar dengan sangat indah. Membuatku ingin menyentuhnya dan meraihnya. Bayangan Karin mulai melintas dalam kepalaku. Aku membayangkan Karin akan terkejut dengan kedatanganku yang mungkin—akan membuatnya terlihat lucu.

Aku melangkahkan kakiku melewati garis batasnya perlahan dan tak butuh waktu lama gerbang dimensi mulai terbuka perlahan. Cahaya matahari menyambutku dengan hangat. Sinarnya yang terang benderang membuat mataku tidak mampu untuk menatapnya. Kupejamkan mataku untuk menikmati hangatnya matahari yang menyelimutiku.

Kulihat ulqi ditelapak tanganku mulai menguar seperti asap diluar kendaliku. Cahaya itu melambung tinggi dan bentuknya mulai berubah. Aku hanya memperhatikan cahaya itu dengan saksama. Semakin lama, cahaya itu memanjang dan membentuk tubuh seperti tangan, kaki dan kepala. Cahaya itu mulai meredup dan kini menjadi sosok yang kukenal yang masih diselimuti cahaya.

"Karin?" gumamku refleks.

"Terimakasih kau sudah membawaku kembali Alex," sahutnya menggema.

Aku mengerutkan alis. Meskipun sosoknya menyerupai Karin, tapi aku tahu sosok ini bukan dia. "Siapa kau?"

"Aku memang bukan Karin. Tapi aku tetap bagian dari dirinya yang berada didalam jiwamu."

"Apa maksudmu?"

"Aku adalah bagian dari hatinya yang selalu kau simpan."

Lagi-lagi aku dibuat tidak mengerti oleh perkataannya. "Aku belum mengerti apa maksudmu."

Ia tampak menghela nafas dan berkata "Baiklah itu tidak penting. Meskipun kujelaskan kau tidak akan mengerti. Sekarang aku tanya padamu, apa kau ingin menjadi Manusia?"

"Ya," jawabku yakin.

"Untuk apa?"

Aku berpikir sejenak. "Agar aku bisa tinggal bersama seseorang didalam sana dan selalu bersamanya."

"Aku tahu siapa dia. Tapi sebelum itu, apa kau sudah siap dengan segala resiko yang akan kau terima?"

"Apapun resikonya aku akan tetap melakukannya."

"Sungguh?" tanyanya membutuhkan kepastian.

Aku tidak tahu apa yang harus kujawab. Sejenak rasa ragu menjalariku perlahan dan kuat. Aku hanya diam bergeming. "Bisakah kau memberitahuku resiko apa yang akan kualami jika aku menjadi Manusia?"

"Kau tahu? Dimensi Manusia tidak seindah yang kau bayangkan, Alex. Keindahan yang dipancarkannya adalah keindahan yang semu. Lihatlah baik-baik dan perhatikan sungguh-sungguh." Gadis dihadapanku merubah posisinya sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. "Disana Neraka dan Surga menjadi satu dimana ada kesedihan dan tawa, duka dan suka cita, penderitaan dan kebahagiaan berbaur dan mengalir secara bergantian."

"Bukankah itu yang membuatnya terlihat indah?" tanyaku sambil memperhatikan sepasang pemuda yang tersenyum dengan bahagianya.

Gadis itu tampak mendesah malu. "Rupanya kau sudah tahu itu ya?"

"Tentu saja. Aku bisa merasakan tempat ini adalah cerminan dari penghuninya. Ia terlihat indah karena memiliki gunung dan lembah, kehidupan manusiapun sama. Kadang diatas dan dibawah itulah yang menjadikannya begitu indah dimataku."

"Tapi sayangnya keindahan itu tidak abadi. Jika kau ingin menjadi Manusia, kau harus melepas keabadianmu, karena dimensi Manusia dan penghuninya tidak ada yang abadi. Apa kau sudah memikirkannya sungguh-sungguh? Jika kau menjadi Manusia, kau akan musnah bersama mereka," jelasnya sambil menatap kosong kearah langit.

Aku memejamkan mata sejenak. Membayangkan saat-saat Karin masih bersamaku. Aku memandangnya terlalu indah, tapi aku juga merasakan kerapuhan darinya. Seolah-olah ia mudah hancur delam sentuhan kecil sekalipun tapi—aku tahu, diantara kerapuhan Manusia tersimpan kekuatan yang tertanam dalam diri mereka masing-masing. Mereka kuat dari dalam sementara kami, kami hanya makhluk dengan jiwa yang kosong. Peradaban yang kami ciptakan adalah hasil dari penjiwaan kami terhadap mereka.

"Aku sudah memikirkannya dengan sungguh-sungguh, dan aku ingin seperti mereka meskipun aku harus melepas keabadianku sekalipun. Lagi pula, seharusnya aku sudah lenyap saat kau menghisap habis ulqi-ku bukan? Sejak saat itu aku merasa bahwa diriku sekarang bukanlah diriku yang dulu. Aku selalu merasa bahwa aku sudah menjadi orang asing di Loizh sejak aku memilikimu. Semua yang kurasakan begitu nyata dari yang seharusnya kurasakan."

Gadis disampingku tersenyum. "Sejak aku masuk kedalam jiwamu, disisi lain kau bukan lagi Una, Alex. Kau sudah memiliki sebagian dari apa yang dimiliki Manusia." Gadis itu mencondongkan tubuhnya dan berbisik, "Yaitu hati, dan hatimu—adalah aku".

Aku hanya diam termangu mendengar bisikannya. "Hati."

Gadis itu mengangguk. "Jika kau ingin mejadi Manusia sungguhan, kau hanya perlu melepas keabadianmu. Disitulah hatimu akan akan melekat dan statusmu sebagai Una akan hilang. Di dunia ini, kelak hatimu lah yang menjadi kekuatanmu, tidak ada ulqi dan sejenisnya," jelasnya.

"Bagaimana caranya?"

"Jika kau ingin menjadi penghuni dimensi ini, kau harus menyatukan dirimu dengannya. Kertas disakumu akan menuntunmu."

Gadis dihadapanku perlahan berkabut dan berubah menjadi cahaya. Kuulurkan tanganku dan cahaya itu kembali bertengger ditelapak tanganku. Ia sudah kembali menjadi ulqi yang bisa kukendalikan sebelum akhirnya aku memadamkannya.

Aku diam sejenak untuk mencerna kembali apa yang dikatakannya. Dia bilang bahwa dia adalah hatiku dan dia kembali menjadi ulqi-ku. Manusia memiliki hati, Una memiliki ulqi.

Aku merogoh saku dan mengeluarkan secarik kertas yang sedari tadi berdiam manis didalamnya. Aku membuka dan mulai membacanya. Disini kertas ini hanya tertulis 'Jika Una ingin menjadi Manusia, ia harus melepas keabadiannya. Hal ini dikarenakan Manusia bukan makhluk abadi. Jika Una ingin melepas keabadian sebagai Manusia, maka ia harus membuat dimensi tempat tinggal mereka menerimanya sebagai salah satu penghuni tetapnya.'

Aku sedikit mengerutkan alis sambil memahami apa yang tertulis pada kertas ini. Tunggu, dibalik kertas ini ada tulisan lagi. Dan tulisan kali ini menggunakan gaya bahasa yang berbeda dari tulisan yang sebelumnya kubaca. Lebih mirip dengan surat pribadi dari pada penjelasan buku eksiklopedi.

Untukmu, Alex.

'Dimensi Manusia memiliki empat elemen kehidupan yang paling utama, yaitu Api, Air, Angin dan Tanah. Kau harus bisa membuatnya menerimamu dan pilih salah satu diantara kemepat elemen itu. Kau harus membiarkan mereka memelukmu dan menggoresmu. Jika terjadi reaksi pada ulqi-mu, berarti mereka sudah menerimamu dan dirimu akan berubah total. Tapi ada yang harus kau tahu Alex, kau disana akan hidup dengan penuh kerja keras tanpa ada ulqi atau sejenisnya untuk melindungimu dari penjahat. Karena itu, gunakan tubuhmu sebagai tameng fisikmu. Aku percaya, Manusia akan mengajarimu banyak hal termasuk untuk melindungi dirimu sendiri.'

'Setelah kau menjadi Manusia, kau akan memiliki sesuatu yang mereka sebut hati. Kau harus bisa mengendalikannya, itulah yang terpenting dalam kehidupan Manusia. Dan yang paling utama, setelah kau menjadi Manusia, kau akan merasakan dirimu selalu menjadi bahan rebutan antara Iblis dan Malaikat.'

'Semoga berhasil Alex. Jiwaku akan mendoakanmu.'

Roy.

Baiklah, aku mengerti sekarang. Aku melipat kertas dan memasukannya kembali kedalam saku sebelum aku melesat kebawah dan gerbang dibelakangku mulai tertutup dan menghilang menjadi puing-puing angin.

"Terimakasih Roy," gumamku sambil berlari diatas angin. "Aku akan selalu mengingat pesanmu."


-Karin Pov-

Aku duduk termenung di jendela kamar seperti biasanya, menatap langit malam yang tidak seindah malam kemarin. Malam ini langit diselimuti kabut. Masih kurenungi ungkapan Kenzie yang selalu mengganggu pikiranku. Tak kusangka kalau dia tetap memaksakan perasaannya padaku.

Tak lama ponselku berdering panjang pertanda ada panggilan masuk. Kulihat nama Kenzie terpampang dilayar ponsel. Dia menelponku disaat aku memikirkannya? Kebetulan macam apa ini?

Kutekan tombol Call sebelum aku mengucapkan kata "Halo."

"Halo Karin. Apa aku mengganggumu?"

"Tidak, ada apa ?"

"Mau keluar bersamaku?"

Dia mengajakkku keluar lagi?

"Aku tahu kau sedang memikirkanku bukan?" tanyanya menyindir.

Keningku berkerut seketika. Bagaimana dia tahu? "Tidak. Aku tidak memikirkanmu," jawabku dusta.

"Kau tidak bisa bohong padaku Karin. Meskipun aku tidak membaca matamu, tapi suaramu saat berbohong aku bisa mengenalinya. Sekarang kau mau keluar bersamaku atau tidak?"

"Kemana lagi?"

"Kesuatu tempat. Kau akan tahu nanti."

Aku memutar bola mata sambil mencibir. "Tidak ada jawaban lain?"

"Karena—aku senang melihat ekspresimu saat terkejut heheh."

'Aku senang melihat ekpresimu saat terkejut.' Ucapan itu lagi-lagi terngiang dalam kepalaku.

Untuk kedua kalinya Kenzie mengucapkan kata–kata seperti itu. Tapi—itu sangat tidak asing ditelingaku. Aku merasa ada orang lain yang suka mengatakan hal seperti itu padaku selain dirinya, tapi siapa?

Mataku terpenjam untuk mencoba mengingat kembali, namun rasa sakit menyengat kepalaku secara tiba-tiba, dan sejenak rasa sakit itu sudah menghilang lagi.

"Karin? Halo? Kau masih mendengarku?"

"I-iya, aku mendengarmu."

"Apa ada sesuatu?" tanyanya menyelidik.

"Tidak. Aku tidak apa-apa Kenzie," sahutku cepat.

"Sepertinya kau sedang tidak baik. Baiklah rencana untuk keluar kubatalkan. Aku akan kerumahmu sekarang juga."

"Tidak perlu Ken—." Ucapanku terpotong karena telepon ditutup begitu saja olehnya.

Aku hanya terdiam sambil memandang layar ponselku yang sudah kembali ke layar utama. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana kalau Kenzie menagih perasaanku tentangnya lagi? Aku tidak mau persahabatanku dengannya hancur begitu saja hanya karena masalah hati.

Selang dua jam, kudengar suara pintu rumah diketuk padahal aku sudah menarik selimut. Itu pasti Kenzie. Aku bangun dari tempat tidurku dengan malas karena seharusnya ia tidak perlu datang kerumahku. Mungkin aku akan berpura-pura lelah dan mengantuk agar tak berlama-lama di rumahku.

Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu dengan gontai. Aku membuka pintu perlahan dan—.

"Kau?" teriaku terkejut karena yang datang bukan Kenzie melainkan—orang yang pernah kukenal. "Alex?"

"Karin, aku datang," ucapnya sambil memelukku.

Sudah lama aku menunggu saat-saat ini, saat-saat bertemu dengannya. Tak kusangka dia—benar-benar datang kerumahku.

"Aku tak percaya kau benar-benar datang."

"Ya, akhirnya aku bisa menemukanmu."

"Aku sudah menunggu, tapi—itu tidak masalah lagi untukku karena sekarang kau ada disini."

Alex melepaskan pelukannya dan mengangguk riang dengan air mata basah. "Aku rela melakukan apapun untukmu asalkan kau bersamaku."

"Kau terlalu berlebihan, tapi—terimakasih."

Dalam sekejap, Alex sudah mengecup bibirku. Begitu manis dan hangat membuatku terbuai dan lupa segalanya. Namun, disaat aku ingin membalas ciumannya, aku mendengar suara pintu diketuk. Suara yang begitu samar, tapi semakin lama semakin jelas dan keras. Alex melepas ciumannya dan tubuhnya menguap bersama hembusan angin yang menerpaku. Hatiku merasa teriris dalam sekejap saat menyadari bahwa aku telah kehilangan dirinya lagi.

Aku mengerjap dan mataku terbuka lebar. Kulihat diriku masih terduduk tertelungkup di jendela kamar. "Sial! Aku ketiduran lagi," umpatku sebal.

Suara ketukan itu masih terdengar. Aku segera melompat dari jendela dan berlari menuju ke ruang tamu. Kubuka kunci pintu dengan cepat, namun sebelum aku memutar kenop pintu, seseorang telah menerobos masuk dan membuat kepalaku terbentur daun pintu yang terbuka secara tiba-tiba.

"Kau baik-baik saja? Aku benar khawatir sekali. Ditambah kau lama sekali membuka pintu." Kenzie sudah memelukku erat. "Aku takut terjadi sesuatu padamu. Apa kau masih suka sakit kepala sampai tak sadarkan diri seperti waktu itu?"

"Jadi—kau yang waktu membawaku ke rumah sakit?"

"Yah, tadinya aku ingin memberimu kejutan dan membuat prank untukmu, tapi aku malah melihatmu tergeletak di sofa dengan wajah pucat. Ditambah kau tak bergerak sedikitpun saat aku membangunkanmu."

Aku hanya terdiam ditengah kebingungan. Baru saja aku memimpikan pemuda lain yang datang kerumahku. Tapi aku sadar, dalam kenyataanku hanya ada Kenzie. Pemuda itu tidaklah nyata dan itu membuat perasaanku hancur.

Aku tertawa frustasi. "Bisa-bisanya aku jatuh cinta dengan pemuda yang hanya imajinasiku semata," gumamku membatin.

"Kau baik-baik saja?" Kenzie tampak cemas dengan perubahan sikapku yang meungkin terlihat aneh.

"Ya, aku baik-baik saja," sahutku putus asa.

_______To be Continued_______

Next.. ^^

Continue Reading

You'll Also Like

148K 18K 24
Sang Tiran tampan dikhianati oleh Pujaan hatinya sendiri. Dia dibunuh oleh suami dari kekasihnya secara tak terduga. Sementara itu di sisi lain, dal...
680K 43.1K 31
Kanara menyadari dirinya memasuki dunia novel dan lebih parahnya lagi Kanara berperan sebagai selingkuhan teman protagonis pria yang berujung di camp...
1.5M 78K 41
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
1.2M 104K 51
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...