Bukan Siti Nurbaya

By chayoochayaa

383K 1.3K 191

Sebuah cerita tentang perjodohan, persahabatan, dan cinta. Zaman boleh modern, tapi ternyata kebiasaan masyar... More

Utang Nyawa
bukan siti nurbaya 1b
Janji Adalah Utang
Pertemuan Kedua
Bukan Siti Nurbaya
Galau
bukan siti nurbaya
bukan siti nurbaya
Menua Bersamamu
Cinta Mulai Bersemi
Tinggal Kenangan
Mencuri Kesempatan
Insiden
Pengakuan Rasa
Tekad Bulat
Goyah
Kerikil-Kerikil Kecil
Cari-Cari Perhatian
Sahabat Terbaik
Bernostalgia
Persaingan
Ancaman
Tempat Ternyaman
Perang Batin
Rencana

Kado Spesial

8.2K 44 6
By chayoochayaa

Chapter Delapan

Author POV

Tidak seperti biasanya Ravi tidak ke teras depan hari ini untuk menikmati suasana pagi yang sangat ia sukai, tapi ia punya cara lain untuk menikmatinya. Tanpa kesusahan Ravi membuka jendela kamar lebar-lebar karena ia sudah hafal betul seluk-beluk kamarnya, meskipun rumah ini baru dibeli beberapa tahun silam dan sering tidak ditempati. Menikmati pagi dari jendela juga tidak kalah mengasyikkan. Sesering mungkin ia menghirup udara pagi yang segar, ada bau kuntum bunga yang bermekaran dari taman samping, bercampur dengan bau daun-daun teh yang terhampar luas di sekitar area rumah Ravi. Sebuah perpaduan bau yang elegan.

‘Tok...Tok...Tok’ Ravi sedikit memutar kepalanya ke arah pintu.

“Ravi masih ingin sendiri, Ma.” Ravi menyahut malas tanpa beranjak dari tempat duduknya.

“Nak, bukalah pintunya, Mama dan Papa ingin bicara. Jangan kayak anak kecil lagi. Ayolah, kamu juga belum makan dari kemaren pagi. Nanti kamu sakit gimana?” Rayu bu Theo dari balik daun pintu.

“Ravi tidak akan keluar sebelum rencana perjodohan itu dibatalkan. Titik.” Ravi masih bersikeras dengan pendiriannya.

“Oke. Oke. Kamu keluar, dan semuanya akan beres.” Perintah pak Theo tegas, sedikit tak sabar. Ravi terdiam beberapa saat, kalau Papa sudah mengeluarkan nada seperti itu berarti bukan pertanda baik untuk melanjutkan aksi mogok. Ia harus segera keluar dari sarang persembunyian.

“Duduk.” Perintah Papa lagi setelah Ravi sampai di ruang keluarga. Tak ada bantahan yang keluar dari mulut Ravi selain menuruti perintah Papa.

“Jadi kamu tidak mau dijodohkan?” Todong Papa langsung. Ravi menganggukkan kepalanya.

“Kenapa?” Tanyanya singkat dengan nada sedikit marah.

“Papa, Ravi jangan dibentak-bentak.” Mama mengingatkan dengan suara pelan.

“Karena Ravi tidak mau menyusahkan hidup orang yang Ravi cintai.” Jawab Ravi tegas.

“Jadi masalahnya dimana? Kamu mencintai Rana.” Papa berusaha menekan kalimatnya agar amarah yang yang bersarang dalam dada tidak menyembur kemana-mana.

“Rana tidak mencintai Ravi. Ravi mencintai Rana hanya sebagai seorang adik perempuan yang sudah lama Ravi impikan.” Sahut Ravi menjelaskan.

“Kalian bisa mencobanya untuk saling mencintai lebih dari itu.” Papa menegaskan kembali.

“Tapi, Pa, perasaan bukanlah ujian percobaan. Ravi tidak mau mempermainkan perasaan Rana dan juga perasaan Ravi sendiri. Ravi tidak ingin menyakiti Rana.” Pendirian Ravi belum bisa digoyahkan oleh apapun.

“Jadi, kamu lebih mementingkan perasaan Rana daripada perasaan Papa sama Mama?” Bentak Papa. “Kamu tahu dimana muka Papa dan Mama ini ditaro di depan teman-teman Papa jikalau perjodohan ini dibatalkan, heh?” Amarah itu akhirnya meledak. Mama mengusap-ngusap pundak Papa, berusaha menenangkan. Lalu Mama berbalik menatap Ravi.

“Undangan sudah disebar sejak dua hari yang lalu. Pasti sangat tidak sopan, kan jika tiba-tiba kita memberi tahu mereka kalau pernikahan tidak jadi dilaksanakan. Teman-teman Papa kamu itu semua orang penting, mereka tidak punya waktu untuk bermain-main. Kita juga pasti tidak punya muka di hadapan keluarga Rana, kita yang menginginkan perjodohan ini, sangat tidak etis kalau kita membatalkannya. Kamu harus fikirkan akibatnya juga, Nak. Bisa, kan?” Ucap Mama lembut, kemudian ia pindah duduk di samping Ravi, menggenggam jemari Ravi dengan hangat.

“Kenapa kalian begitu menginginkan Ravi menikahi Rana?” Kata Ravi balik bertanya. Ia membalas genggaman tangan Mamanya. Ia selalu merasa sedikit tenang setelah memegang tangan yang halus itu.

“Karena kita lihat kamu sangat menyayangi Rana. Akhirnya kita sepakat membuat perjodohan itu saat kamu berumur 10 tahun dan Rana umurnya masih satu hari.” Mama mengusap-usap pundak Ravi dengan hangat. “Jadi cobalah mengerti ya, Sayang?” Pinta Mama penuh harap.

Ravi terdiam beberapa saat. Sebegitu sayangnyakah aku kepada Rana? Ketika umurku masih kecil aku sudah menginginkannya. Tapi aku, kan menginginkan seorang adik perempuan, bukan seorang wanita yang terpaksa menjadi istriku. Kenapa semuanya jadi begini? Ravi membatin.

“Ravi, sepertinya kami harus menceritakan cerita yang sejujurnya kepadamu agar kamu mengerti kenapa kami mengambil pilihan ini.” Papa mengejutkan Ravi yang tengah melamun. Dengan lugas dan lancar Papa menceritakan kisah selengkapnya kenapa sampai ada perjodohan ini, kisah dua puluh tahun silam.

“Jadi, secara tidak langsung Rana itu pembayar utang keluarganya? Dan Ravi yang mendapatkan pembayaran itu?” Ravi masih tidak bisa mempercayai kisah silam tersebut.

"Bukankah ini tidak adil untuk Ravi dan Rana, Pa? Para orangtua yang saling mengikat janji dan anak-anak tanpa persetujuan mereka yang harus menjalani? Ravi rasa ini perlu direvisi, Pa." Cetus Ravi.

“Iya. Kurang lebih memang begitu adanya.” Kata Papa singkat. “Namun, semuanya sudah terlanjur, dan ini demi untuk kebaikan kamu dan Rana, juga demi kebaikan kedua keluarga. Jadi kamu harus bisa menerima perjodohan ini. Anggap saja apa yang akan kamu lakukan adalah pembebasan keluarga Rana dari perasaan memiliki utang.” Sambung Papa.

Ravi diam, ia tidak membantah lagi ucapan papanya, meski fikirannya masih berkecamuk.

“Ya sudah, kamu siap-siap sekarang, siang nanti kita akan berangkat ke rumah yang di Jakarta agar besok tidak terlambat datang ke acara pernikahan itu.” Perintah Papa sembari berdiri dari tempat duduknya.

***

Author’s POV

‘Tok..Tok..Tok..’ Pintu kamar Rana diketuk dengan semangat. Rana yang merasa kesal karena kesenangannya diganggu akhirnya menyembulkan sedikit kepalanya dari balik selimut.

“Masuk, Ma, nggak dikunci.” Teriaknya seraya menenggelamkan lagi kepalanya ke dalam selimut.

Pasti si Mama mau ngajak ke salon lagi. Pura-pura mati, ah. Pikirnya sembari berusaha lagi memejamkan mata.

“Wah, wah, wah, calon ratu sehari kita masih tidur sore-sore begini?” Sebuah suara yang sangat dikenal Rana nyeletuk persis di telinganya. Sangat dekat, hanya dibatasi selimut tebal.

“Sleeping beauty, kali, Ka.” Balas suara yang satunya lagi dengan santai dan juga sangat dikenal Rana.

“Kenapa kalian ada disini?” Rana menyibak selimut tebal yang membungkus seluruh tubuhnya. Ia duduk dengan muka ditekuk. Perkiraannya salah, padahal ia sudah menahan nafas untuk beberapa saat.

“He he he. Kita berdua pengen lo menghabiskan malam terakhir sebagai gadis perawan dengan kita.” Siska terkekeh nakal dibarengi tawa Memey yang tidak kalah sadis.

“Hih, merinding gue dengernya.” Rana menyumpal kupingnya dengan kedua telunjuknya. “Emang malam-malam selanjutnya gue nggak pe...pe..ra..wan lagi?” Bibirnya bergetar pucat.

“He he he. Kalau suami lo nanti ternyata nggak normal, bisa dipastikan lo masih tetap virgin.” Celetuk Siska seenak udelnya.

“Atau kalo lo sembunyi di bawah kolong terus.” Memey menambahkan. “Dia kan nggak bisa...”

‘Hmmmphhhh...’ Memey kesulitan berkata-kata. Mulutnya tiba-tiba dibekap Siska.

“Na, maksud Memey calon suami lo nggak bisa tidur di bawah kolong tempat tidur.” Siska melanjutkan kata-kata Memey dengan cengengesan. Rana mendelik heran.

“Levashiinn ngangan lo. Bangu ngeyasi!” Memey meronta-ronta. Siska menuruti keinginan Memey karena ia rasa Memey sudah bisa dikendalikan untuk sementara.

“Kenapa sih, lo? Tangan lo bau terasi, tau!” Memey mencak-mencak lalu menghempaskan pantatnya di pinggir kasur.

“Lo tau aja gue makan apa di rumah. Sori ya gue tadi reflek aja.” Jawab Siska tanpa merasa bersalah lalu ikut-ikutan duduk di ujung kasur mengelilingi Rana.

“Lho, kenapa jadi liatin gue gitu, sih?” Rana keheranan dengan tatapan maut dari dua sohib kentalnya itu.

“Kita punya kado pernikahan spesial buat lo. Taraaaaaa...!” Siska dan Memey sama-sama mengeluarkan kado mereka. Dua buah bungkusan berukuran sedang bersimpuh pasrah di hadapan Rana.

“Apa isinya ini?” Rana memungut kado-kadonya dengan mata berbinar.

“Giliran kado, semangat.” Sindir Siska dengan senyum nakal di ujung bibirnya.

“Buka aja. Itu khusus kita cari buat lo sehabis kuliah tadi.” Jawab Memey bersemangat. Dengan hati-hati Rana merobek salah satu bungkus kadonya lalu membuka tutup kotaknya dengan perlahan. Kemudian ia mendadak mengatupkan kedua kelopak matanya.

“Gue deg-degan, apa ya isinya? Secara gue dapat kado istimewa kalo lagi ulang tahun saja.” Kata Rana sambil menutup matanya dan tangannya dengan lihai mengeluarkan isi kado.

“Buka dong mata lo, masa ngeliat kado dangan mata merem?” Ujar Siska.

“Jangan-jangan dia mau beradaptasi kali dengan calon suaminya yang...”

“Mey!” Siska menekan suaranya. Matanya melotot tajam ke wajah Memey. Memey segera faham dan tidak jadi melanjutkan ucapannya daripada mulutnya disumpal tangan bau terasi lagi.

“Ih, kalian berdua ini mengganggu konsentrasi gue aja. Ya udah, gue buka ya sekarang. 1...2...3!” Perlahan Rana membuka matanya dan seketika mata bulat nan jeli itu terbelalak kaget. “Ya, ampun! Apa-apaan ini?” Matanya menatap horor pada benda asing yang terbungkus rapi dalam kotak plastik bening. Tangannya gemetar hebat memegang benda itu. Keringat dingin bercucuran dari kening dan ujung hidungnya. “Li-nge-ri-e.” Desisnya pelan mengeja kata itu dengan tampang bloon. Kedua makhluk manis yang duduk didepannya mengangguk serempak.

“Buat apa?” Rana masih shock. Ia menjauhkab benda mengerikan itu dari pangkuannya.

“Buat pemacu adrenalin, gitu kata mbak penjaga tokonya.” Jawab Siska polos yang diiyakan oleh Memey.

“Ta...ta..pi kalian tahu sendiri gue mau pake apa aja nggak akan ada pengaruhnya buat Ravi.” Ujar Rana susah payah. “Lagian siapa yang mau ber-honeymoon dengan dia?” Sambungnya salah tingkah.

 “Oh, iya ya. Kita lupa. Soalnya mbak tokonya merekomendasikan ini, sih.” Memey ngeles dan diaminkan oleh Siska.

“Soal sama siapa Ravi akan ber-honeymoon, yang jelas bukan sama kita ya?” Siska menyikut lengan Memey yang lansung mendapat respon yang meriah dari Memey.

“Kalau mau ngajak kerjasama jangan main sikut-sikutan deh, cukup main mata saja.” Memey memanyunkan bibirnya.

“Sori. Sori. Gue sengaja, kok.” Balas Memey tertawa nakal.

“Tom and Jerry lagi.” Sungut Rana menengahi "perang" yang tengah berlangsung.

“He he he... Sori juga, Nyonya Ravi kita kelepasan.” Memey nyengir kuda sembari menggoda Rana. “Sok, dibuka lagi kado yang satunya.” Ucapnya tersenyum manis.

“Nggak mau lagi.” Rana memeluk boneka kesayangannya dengan erat lalu membenamkan wajahnya ke perut boneka lucu itu. “Passytii isinya tak jauh beda.” Rana ngambek.

“Coba buka dulu, baru marah.” Siska mengangkat kepala Rana. Akhirnya Rana menuruti permintaan temen-temennya untuk membuka bungkusan yang satu lagi.

“Hah?” Rana hampir pingsan setelah melihat apa isinya. “Ini baju tidur, kok seksi banget. Apa Mbak tokonya juga merekomendasikan ini?" Tanyanya polos.

"Iya, biar bervariasi.” Timpal Memey dengan lugu. Seperti biasanya.

“Make ini mah bakal tetep digigitin nyamuk, kedinginan dan bisa masuk angin.” Ucap Rana pelan. Ia tampak putus asa dengan kepolosan teman-temannya. 

‘Ha ha ha....’ Memey dan Siska menertawai kepolosan Rana. Mereka berdua merasa puas sudah mengerjai Rana hari ini. Rana hanya bisa diam manyun sambil masih memandang nanar kedua kado yang tak pernah terfikir di benaknya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

16.1M 529K 30
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
1.1M 4.1K 16
seorang remaja polos bernama calista kelas 12 sma menjadi babu di rumah keluarga kaya raya tapi ternyata bos nya menyukasi gadis remaja ini Rey seora...
1.1M 41K 62
Menikahi duda beranak satu? Hal itu sungguh tak pernah terlintas di benak Shayra, tapi itu yang menjadi takdirnya. Dia tak bisa menolak saat takdir...
1.7M 19.5K 22
Kumpulan cerita pendek Only for 21+++ Disclaimer: adult romance, mature, sex scene