Sayap-sayap Plastik

Rasdianaisyah

1.4M 41.8K 1.9K

Warning! Bacalah saat benar-benar luang. Cerita ini hanya fiksi. Aluminia Lara merupakan wanita ambisius yang... Еще

BLURB
PROLOG
01 • Nyonya Wanna Be
02 • Pertemuan Ke Dua
04 • Positif
05 • Luka Tak Bernama
06 • (Bukan) Manusia Tak Berhati
07 • Lubang di Sudut Hati
08 • Ikatan yang Keliru

03 • Permainan Dimulai

36.6K 4K 145
Rasdianaisyah

BAB 03

Permainan Dimulai

Lumi bedecak kesal. Untuk kali ketiga dalam lima menit ini, ponselnya berdering nyaring. Dia yang tengah duduk bersila sembari membaca majalah The Girls terbaru dengan cover wajahnya secara close up, meraih benda pipih persegi di atas coffee table, membaca id caller sekilas, lantas menggeser icon merah.

Tak penting mengangkat telepon dari Rafdi.

Setelah men-silent ponsel pintarnya, Lumi kembali menaruh benda itu ke tempat semula, kemudian lanjut membaca.

"Lumi!" Yang dipanggil mendengus pendek mendengar suara lembut menyuarakan namanya. Detik kemudian, ia merasakan sisi kosong sofa panjang tempat duduknya melesak ketambahan beban.

"Mau?" Aroma kentang goreng menggelitik hidung. Lumi melirik sekilas dan mendapati Cinta menyodorkan sepiring stik potato, menawari. Bibir Lumi mengernyit tak suka. Sesuatu dalam perutnya terasa bergejolak lagi, tapi mati-matian ia tahan. Malas bolak balik ke kamar mandi seperti subuh tadi, kalau pada akhirnya hanya cairan bening yang dimuntahkan. Dari kemarin Lumi merasa tak enak badan, barangkali karena masuk angin lantaran dua hari lalu ia baru menyelesaikan sesi pemotretan under water yang nyaris menghabiskan waktu tiga jam dalam air kolam. Makanya hari ini gadis itu tak bekerja dan men-cancel semua jadwal.

Cinta yang lagi-lagi diabaikan, hanya tersenyum kecil. Sudah maklum menghadapi sikap tak acuh Lumi sejak sepuluh tahun terakhir. "Tumben hari sabtu kamu nggak ada kegiatan?" tanya Cinta ramah. Gadis itu meletakkan piring stiknya tak jauh dari ponsel Lumi setelah mencomot beberapa dan mulai memakan satu per satu.

"..."

"Kamu lagi cuti atau libur? Emang model kerjaannya nggak tentu, sih. Tapi pasti seru banget, ya? Tiap hari kerja di tempat berbeda dan ketemu orang-orang baru. Nggak kayak aku yang cuma duduk di balik meja doang ...." Cinta terus berbicara di antara kunyahannya. Kendati ia tahu, sampai mulut berbusa pun Lumi tak akan menanggapi.

Gustav yang sedang melintasi ruang tengah memutar mata jengah saat tak sengaja mendengar ocehan adiknya. Ia berhenti beberapa meter dari undakan tangga dan berujar sarkas, "Ta, daripada lo ngomong sendiri, mending ke kamar gue. Kita bisa nobar di atas aja."

Cinta menelan sisa-sisa kunyahan dalam mulutnya sebelum menoleh pada Gustav sambil nyengir lebar. "Aku lagi cerita-cerita sama Lumi, nih! Ia menggeser posisi duduk lebih dekat dengan Aluminia, lalu menepuk sisi sebelah. Ayo dong, Kak. Gabung bareng kita."

"Gue mah, ogah ngobrol sama batu." Gustav sengaja menekan akhir kalimatnya. Mendelik pada Lumi yang tampak asyik sendiri. Seolah bukan dia yang dibicarakan.

Berdecak kesal, si sulung Hutama meneruskan langkah menuju tangga. Membiarkan Cinta ngobrol sendiri dengan seonggok arca di sampingnya.

"Jangan dengerin Kak Gus, ya." Cinta bicara lagi begitu tubuh tegap Gustav menghilang. "Kamu kan tahu sendiri, mulutnya nggak pernah disekolahin."

Jengah, Lumi menutup kasar majalah yang tak lagi terasa menarik. Kupingnya panas mendengar kicauan Cinta pagi-pagi. Melempar majalah sembarangan, ia meraih ponsel di meja lalu berdiri. Gadis itu melenggang begitu saja, meninggalkan Cinta yang mengikuti gerakannya dengan tatapan nanar. Cinta merindukan Lumi yang dulu, terlepas dari masalah keluarga mereka yang tak berkesudahan. Namun Cinta bisa apa, saat hanya ia seorang yang mau berjuang demi ikatan persaudaraan mereka. Tidak dengan Lumi yang memilih menyerah dan membiarkan seluruh keluarga membencinya.

"Lumi," panggil Cinta pelan. Aluminia pura-pura tak mendengar. Tetap melangkah menaiki undakan tangga, hendak kembali ke kamar. "Nanti malem jangan ke mana-mana, ya. Aku mau kamu ikut hadir dalam  acara lamaranku."

•••

"Hueek ... hueek ... hueek ...!"

Lumi menunduk di depan wastafel. Berusaha memuntahkan apa saja yang tertampung dalam perut. Namun yang keluar hanya sedikit cairan bening.

Tubuh Lumi yang sudah melemas, jatuh terduduk di lantai kamar mandi. Ia tak lagi punya tenaga untuk bangun. Bahkan suara gedoran pintu dari luar kamar tidak diacuhkannya.

Tak lama berselang, pintu kamar mandi terbuka. Menggunakan tenaga yang tersisa, Lumi berusaha menggerakkan tulang lehernya, mendengak demi bisa memastikan siapa yang telah lancang memasuki kamarnya tanpa izin.

"Ya Allah, Non ...."

Bi Sumana.

Lumi mendengus. Ia ingin marah, tapi tak mampu. Tubuhnya terlalu lemah. Jadilah gadis itu cuma menyipit tajam. Mengintimidasi asisten rumah tangga yang sudah hampir tiga puluh tahun mengabdi pada keluarga ini.

"Non Lumi, kenapa?" Mengabaikan tatapan tajam sang nona majikan, Bi Sumana tergopoh menghampiri Lumi. Membantu gadis itu berdiri.

"Jangan cerewet deh, Bi!" geram Lumi tak suka.

Dengan telaten, Bi Sumana memapah tubuh kurus tinggi Lumi hingga mencapai ranjang. Membantunya berbaring lalu menyelimuti penuh kasih sayang. Wanita empat puluh tujuh tahun itu hendak meletakkan punggung tangannya di kening Lumi untuk memeriksa suhu tubuhnya, tapi justru mendapat tepisan kasar.

"Jangan sentuh gue pake tangan kotor lo!" Lumi membentak. Ia yang tadinya akan memejamkan mata, membatalkan niatnya demi memelototi Bi Sumana. "Bahkan gaji lo sebulan pun nggak akan mampu bayarin satu kali perawatan kecantikan gue!"

"Bibi cuma ngecek aja kok, Non." Bi Sumana tersenyum keibuan, terlalu kebal terhadap bentakan nona yang satu ini. Takutnya, Non Lumi kena demam.

"Ck! Bawel lo, ya!" Lumi mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Selimut yang ia kenakan melorot hingga perut. Serta-merta kedua kelopaknya menutup kala campuran rasa sakit dan berputar-putar menyerang dua sisi kepalanya secara tiba-tiba.

"Eugh ...." Dan Lumi memilih untuk merebahkan tubuhnya kembali, tak sanggup menegakkan badan lama-lama.

"Non Lumi istirahat aja, dulu." Bersitan rasa kahawatir tersirat dalam nada suara Bi Sumana. "Marah-marahnya ditunda aja, sampai Non sembuh." Ia kembali menyelimuti tubuh Lumi. Tapi, gadis tak tahu diri itu kembali menepis kasar tangan Bi Sum.

"Pergi!" usirnya dengan mata menutup rapat. Kernyitan dalam di kening Lumi membuat Bi Sum prihatin. Sebagai seorang yang menyaksikan tumbuh kembangnya sedari bayi, tentulah Bi Sum teramat mengenal anak asuhnya ini. Dan seberapa kasar pun perlakuan Lumi, tidak pernah Bi Sum ambil hati.

Tak ingin membuat Lumi kehabisan tenaga di saat Kondisi tubuhnya menurun, Bi Sum mundur selangkah. Tatapannya tak lepas sedikit pun dari wajah catik Aluminia yang pucat pasi. "Dari tadi pagi Non Lumi belum makan. Bibi masakin bubur dulu, ya."

Satu menit menunggu, Bi Sum tak dapat jawaban. Yang ia tahu, diamnya Lumi berarti iya. Buru-buru wanita itu undur diri untuk memasakkan makanan yang sudah dijanjikan.

Begitu pintu tertutup dari luar, Lumi membuka matanya kembali. Ia melirik ke seluruh penjuru kamar, tersenyum kecil saat mendapati Catty sedang menjilati ekornya sendiri di dekat meja rias.

"Cat ...." Lumi memanggil dengan nada lemah. Catty yang sudah sangat mengenali suara majikannya itu pun menoleh. Ia berhenti menjilat-jilat ketika melihat tangan Lumi terulur, memintanya ikut naik ke atas ranjang. Dan dengan patuh, Catty berlari kecil menuju Lumi lalu bergelung nyaman di sisinya.

Bulu lebat kucing hitam bertubuh kurus itu terasa lembut dalam dekapan Lumi. Hanya dengan mengelus tiga kali punggung Catty, ia sudah begitu lelap memasuki alam mimpi.

Suara kenop pintu yang terbuka setengah jam kemudian, menarik paksa Lumi dari lelapnya. Hidungnya mengeryit tak suka ketika membaui aroma pekat tempe dan daging ayam yang makin lama makin membuatnya mual.

Cepat-cepat ia menoleh. Kemarahannya muncul lagi ke permukaan saat melihat Bi Sum mendekati ranjang dengan senyum lebar.

"Stop di sana!" Tangan Lumi maju ke depan dengan kelima jarinya yang merentang. Sementara tangan lain menutup hidung agar tak lagi membaui aroma memuakkan yang berasal dari nampan yang Bi Sum bawa.

Mendapati reaksi aneh Lumi, otomatis pergerakan Bi Sum terhenti. Dari ekspresinya saja, Bi Sum tahu, Lumi akan memarahinya lagi.

Alih-alih marah, Lumi buru-buru melompat turun, berlari menuju kamar mandi. Detik selanjutnya, suara muntahan terdengar samar-samar.

Khawatir, Bi Sum meletakkan nampan persegi yang dibawanya ke nakas. Segera ia menyusul Lumi kemudian.

"Ya ampun, Non ...." Kendati tahu Lumi akan mengamuk jika dirinya lancang menyentuh, Bi Sum tak peduli. Ia mengambil tempat di sisi kiri Lumi lalu memijit tengkuknya perlahan. Anehnya, Lumi tak menghindar. Barangkali ia terlalu lelah, terbukti dari cara bernapasnya yang ngos-ngosan.

Selesai mencuci mulut, Lumi berjalan gontai keluar dari kamar mandi dengan bantuan Bi Sumana. Tiga meter dari tempat tidur, kaki gadis itu terhenti berayun. Indra penciumannya yang sensitif menangkap bebauan itu lagi. Segera Lumi mengapit hidungnya rapat-rapat.

"Bibi bawa makanan apa?" tanyanya tajam. Tatapan keji, ia arahkan pada wanita paruh baya bertubuh tambun dengan tinggi badan sebatas pundak yang masih mengamit lengannya.

Dengan tampang polos, Bi Sum menjawab, "Bubur ayam kesukaan Non Lumi."

"Kenapa bau begini?" Ia masih mempertahankan nada tingginya.

"Ah, ndak mungkin toh, Non." Bi Sum melepaskan lengan Lumi perlahan. Ia melangkah mendekati nakas sembari melanjutkan kalimatnya barusan. "Lha, wong, Bibi masaknya kayak biasa, kok." Ia mengangkat nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih, hendak kembali mendekat. Tapi cepat-cepat gadis itu menghidar ke sudut ruangan.

"Jauhin makanan laknat itu dari gue, Bi!" titahnya. Bukannya menurut, Bi Sum justru bergeming dengan kening berkerut bingung.

"CEPAT BAWA PERGI, BI!" teriak Lumi berang. Alis dan bibirnya menukik, siap mencacah Bi Sum dengan kata-kata dan umpatan kasar bila wanita paruh baya itu tetap bebal.

"Tapi, Non—" Ucapan Bi Sum terputus kala melihat tubuh Lumi berputar dan kembali berlari menuju arah kamar mandi sambil membekap mulutnya.

"Non Lumi nggak mungkin hamil, kan?" Dan pertanyaan spontan yang keluar dari bibir Bi Sumana, sukses memaku kaki Lumi di ambang pintu. Gejolak yang tadi siap menguras isi perutnya, surut seketika.

Menelan ludah, gadis itu berbalik badan seraya bertanya gamang, "Maksud Bibi, apa?"

•••

Ugh, ini mendebarkan. Sangat mendebarkan. Iron tak pernah merasa sebegini gugup selama hidupnya. Malam ini untuk kali pertama, ia duduk gelisah di hadapan seseorang dan merasa sangat terintimidasi, padahal orang yang ditakutinya kini tengah mengobrol santai dengan sang papa. Entah apa yang mereka bicarakan, karena yang telinga Iron dengar hanyalah bunyi gemuruh yang berasal dari dalam dadanya.

Menggunakan ekor mata, ia melirik Cinta yang duduk diapit oleh Tuan dan Nyonya Hutama di sofa panjang seberang meja. Gustav yang menempati sofa single, sesekali menimpali obrolan ringan ayahnya dan ayah Iron, Subhan Hanggara. Sementara ibu Iron, Nyonya Rosaline, wanita kelahiran Canada yang memang tak banyak bicara itu hanya tersenyum menanggapi obrolan para pria dan tertawa kecil sesekali. Begitu pun dengan Nyonya Resti.

Merasa diperhatikan, Cinta yang sedari tadi sibuk menekuri meja, mendongakkan kepala. Tatapannya lansung jatuh pada Iris cokelat terang Iron. Senyum simpul gadis itu suguhkan pada lelaki yang malam ini datang untuk meminang.

Gustav yang diam-diam memerhatikan dua sejoli itu, memberi kode pada orangtuanya dan orang tua calon adik iparnya, bahwa dua manusia yang tengah dimabuk asmara di antara mereka sedang asyik sendiri.

Serempak, dua pasangan paruh baya itu mengikuti arah pandang Gustav. Senyum geli terbit di bibir mereka.

Tak kuat menahan gemas akan sikap Cinta dan si calon menantu, Tuan Hutama berdehem pelan, tapi berhasil memecah kesadaran Iron. Laki-laki muda itu mengedip sekali sebelum menoleh pada sang tuan rumah. Saat pandangan mereka bertemu, jantung Iron benar-benar sudah menggelepar dalam perut, bergabung dengan usus-usus dan menciptakan gejolak aneh di sana.

"Jadi, Nak Iron," Tuan Hutama memulai sesi serius malam ini. Iron menahan napas di tempatnya duduk, "ada kepentingan apa, hingga malam ini kamu datang kemari bersama kedua orang tuamu?"

Iron yakin, sebenarnya Tuan Hutama sudah mengetahui niatnya mendatangi kediaman beliau. Tapi, kenapa harus bertanya segala? Tak tahukah Wandi, saat ini, untuk menelan ludah pun terasa lebih sulit ketimbang menelan sebongkah batubaginya. Tapi demi keformalan pertemuan dua keluarga, ia pun menjawab dengan deheman pelan lebih dahulu.

"Begini, Om ...." Iron berhenti sejenak saat merasa suaranya sedikit bergetar. Ia berdehem sekali lagi,  berharap gugupnya berkurang. "Saya datang kemari bersama kedua orangtua saya, bermaksud untuk meminang putri Om dan Tante." Diliriknya Cinta yang sudah kembali menunduk dalam.

"Sekadar informasi," cepat-cepat Iron mengembalikan fokus pada ayah gadisnya, begitu suara bass Wandi terdengar memenuhi ruang tamu. Ia mengerjap beberapa kali, menahan diri agar tak terus-terusan menatap Cinta yang kini terlihat lebih cantik dari biasanya, "saya memiliki dua orang putri. Yang manakah yang ingin kamu lamar, Nak?"

Iron tahu, Cinta merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia memiliki kembaran, meski selama ini tak pernah dikenalkan. Iron juga tak terlalu peduli siapa kembaran Cinta, kendati jika dipikir ulang, sebenarnya cukup aneh bila di acara penting macam ini kembaran Cinta tak ada. Lebih-lebih, dalam foto keluarga yang menggantung indah di sisi utara dinding ruang tamu pun, yang terpotret hanyalah wajah Tuan dan Nyonya Hutama, beserta Gustav dan si bungsu.

"Yang ingin saya lamar, tentu saja gadis cantik yang duduk di samping Om sekarang," jawab Iron mantap. Spontan Cinta mengangkat kepala, memperlihatkan dua belah pipinya yang merona. Senyum Iron melebar melihatnya.

"Kamu dengar itu, Cinta?" tanya Wandi pada sang putri. "Apa jawabanmu? Bersediakah kamu menerima Nak Iron?"

Tanpa menoleh pada Wandi, Cinta mengangguk malu-malu. Bukan hanya Iron saja, sejujurnya ia juga gugup sekali malam ini.

Mendapat jawaban positif, praktis Iron merasa luar biasa lega. Dan lima orang lain dalam ruangan tersebut ikut tersenyum bahagia.

"Om nggak harus memperjelas jawaban putri Om, kan?" canda Wandi, yang dibalas Iron dengan menggaruk tengkuknya, salah tingkah. "Jadi, bagaimana menurutmu, Han?" Ia beralih pada calon besannya. "Putramu sudah melamar putriku. Kapan sebaiknya kita langsungkan pertunangan mereka?"

"Secepatnya. Kalau bisa bulan ini," jawab Subhan mantap.

"Saya tidak setuju," sela satu suara dari samping Subhan, berhasil mengagetkan semua orang yang berada di sana. Bahkan senyum Cinta yang mengembang sejak tadi, ikut luntur seiring dengan penolakan Iron.

"Kenapa?" tanya Wandi defensif. Bersitan amarah tersirat dalam ekspresi wajahnya. Takut bila iron hanya ingin mempermainkan putrinya saja.

"Saya ingin langsung menikahi Cinta."

Sesaat, suasana menjadi hening. Terperangah. Tak menyangka akan permintaan konyol Iron yang rupanya sudah tak sabar untuk mempersunting Cinta. Detik berikutnya, suara tawa Gustav membahana, disusul tawa-tawa lainnya. Muka Cinta makin merah. Tak menyangka Iron begitu terburu-buru.

"Oh, Tuhan ... Iron!" Gustav sampai memegangi perutnya yang terasa sakit. Ia saja yang sudah bertunangan selama dua tahun, tak ingin cepat-cepat menikah. Sedang si Iron, baru melamar sudah meminta segera dinikahkan.

PRAAANGGG ...!

Suara pecahan kaca yang berasal dari lorong dapur, sukses menghentikan tawa orang-orang di ruang tamu. Serempak, mereka menoleh. Dan berbagai ekspresi muncul begitu mendapati suara pecahan tersebut bersumber dari nampan dan gelas yang Lumi jatuhkan.

Tuan dan Nyonya Hutama serta Gustav saling berpandangan sejenak. Ada kekhawatiran dalam mimik wajah mereka. Takut jika Lumi berbuat ulah lagi, seperti yang dilakukannya di acara pertunangan Gustav dulu.

Tuan dan Nyonya Hanggara hanya mengeryitkan kening. Merasa cukup familier dengan wajah Lumi, tapi juga tak mengenalnya.

Cinta sendiri semringah. Senang karena Lumi mau meluangkan waktu untuk acara malam ini, meski harus membawa kehebohan serta.

Berbeda dari yang lain. Iron justru terpaku. Suara debum jantungnya yang tadi mereda, kembali berulah dengan tempo lebih cepat, seolah meminta dikeluarkan dari rongga dada.

Ia tak mungkin lupa pada gadis ini. Model cantik yang ditemuinya bulan lalu di Zera Agency. Juga wanita yang sempat ia goda.

Jangan bilang, jika Aluminia ini adalah ...

"Mereka tidak boleh menikah!" seru Lumi tanpa tadeng aling-aling.

Senyum Cinta mendadak musnah.

Orangtua Iron makin kebingungan.

Tuan-Nyonya Hutama serta Gustav segera berdiri dari tempat duduknya. Bersiap menghalau Lumi yang mungkin akan mengacaukan segalanya.

"Apa maksudmu?" Iron ikut berdiri. Ia mengabaikan rasa waswas—takut Aluminia membocorkan pertemuan mereka di Zera—dengan melesatkan tatapan penuh intimidasi.

"Berhenti membuat ulah, Lumi!" seru Wandi. Ia hendak mengambil satu langkah, tapi tertahan lantaran suara Lumi lebih dulu menyela.

"Iron dan Cinta nggak boleh nikah, Pa. Karena sekarang ...," gadis itu mengelus perut ratanya secara dramatis, "aku sedang mengandug anaknya!"

•••

BERSAMBUNG

.

.

.

Repost, 29 Nov 2021

Продолжить чтение

Вам также понравится

195K 12.3K 57
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
47.7K 5K 27
Juwita pernah menaruh hati pada Jeremy, namun terpaksa ia pendam karena sahabatnya Serena memiliki perasaan yang sama dan berbalas. Bertahun-tahun ia...
766K 77.3K 35
Pernikahan Rhea dan Starky hanya berlangsung selama tiga tahun. Meskipun mereka telah dikaruniai seorang putra, ternyata Starky belum juga bisa usai...
569K 80.2K 35
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...