Down There Is What You Called...

Atikribo tarafından

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... Daha Fazla

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

Surface - 1

12.3K 837 244
Atikribo tarafından

TATAPANNYA KOSONG dan bagian putih pada matanya terlalu banyak seolah-olah pupilnya telah lenyap. Pemuda itu terkapar lemas di sisi tempat tidur dengan tangan terkulai di sisi; mulutnya setengah terbuka, air liur mengalir dari sana. Tak ada sepatah kata yang terucap ketika Raka melihat sahabatnya telah pergi meninggalkan bumi. Hanya sensasi dingin yang menjalar di seluruh tubuh serta tenggorokan yang tercekat.

Sahabatnya, Jun, tak lagi bernapas dan Raka tahu ia telah terlambat.

Perlu lebih dari sepuluh detik hingga Raka dapat menjalankan fungsi otaknya lagi. Dengan tangan gemetar ia memegang tubuh dingin sahabatnya itu, mencari denyut nadi yang tak kunjung terasa. Menghela napas, ia menutup kelopak matanya, memberitahu kabar duka ini kepada sepupunya, Iyas.

Kamu bercanda ya? adalah kata-kata perempuan itu yang terdengar dari seberang telepon.

"Semuanya 78.500 rupiah, Mas." Ucap seorang petugas kasir di hadapannya.

Layaknya minimarket pada umumnya, tempat itu tidak begitu ramai. Seorang perempuan berjaket tebal tengah membuat minuman panas di seberang kasir sementara seorang pemuda seusia Raka mengambil uang dari ATM. Raka tidak sadar jika petugas kasir di hadapannya telah mengatakan nominal yang harus ia bayar. Pramuniaga itu memanggilnya sekali lagi dengan nada yang terdengar cukup kesal. "Mas."

Pemuda itu terkejut, lamunan akan memori duka seminggu yang lalu buyar sudah. "Sori, berapa, Mas?"

Petugas kasir menyebutkan kembali nominalnya dan Raka memberikan selembar uang seratus ribu. "Rokoknya satu kotak lagi deh Mas," ucapnya impulsif. Setelah mendapatkan kembalian dan satu kotak rokok tambahan, Raka mengucapkan terimakasih kemudian keluar dari sana; menyalakan motor dan mengendarainya ke kampus.

Bulan sabit tampak tinggi di langit namun awan kelabu yang menggantung rendah menghalangi terangnya bintang dan rembulan malam itu. Bulan Oktober bukanlah bulan yang ramah menurutnya. Cuaca tidak pernah bisa diprediksi. Di siang hari cuaca bisa sepanas gurun pasir namun di malam hari tahu-tahu lebih dingin dibandingkan dengan AC di ruang seminar kampus. Acap kali hari kian memburuk ketika hujan deras turun di siang hari dan Raka sama sekali tidak bisa pergi membeli perlengkapannya berkarya.

Hari ini genap tujuh hari mendiang sobatnya pindah domisili ke surga; setidaknya itu yang orang-orang percaya.

Ketika kabar kematiannya mengudara, jelas saja hal itu menjadi pembicaraan semua orang. Dalam satu himpunan, luar himpunan, bahkan komunitas di luar kampus, hal ini menjadi gossip yang terlalu hiperbolik. Kabar seorang mahasiswa seni rupa yang tewas karena overdosis mengubah kacamata orang awam melihat mahasiswa seni kembali lagi seperti dulu: tukang mabuk, bandel dan seperti gembel.

Raka tidak begitu peduli bagaimana orang awam melihat para aktivis seni, tapi yang menjadi masalah utamanya adalah bagaimana sahabatnya, Mahardika "Jun" Sudibyo tewas. Raka tahu betul Jun dan dia tidak mungkin melakukan kebodohan seperti ini tanpa alasan yang jelas.

Tiba di kampus, ia masuk ke dalam gedung kuliahnya. Banyak orang telah duduk di tangga yang mengelilingi sebuah lapangan di tengah gedung, berkasak-kusuk sementara di atas lapangan seorang pemuda yang Raka kenal sebagai ketua angkatannya duduk di atas kursi kayu. Cahaya kuning halogen menyorotinya yang tengah menundukkan kepala, bernapas secara teratur.

"Sudah mulai?" tanya Raka setelah menyulut rokok dan duduk di samping temannya yang bernama Duta.

"Belum." Ujar pemuda berambut bergelombang panjang dan berkulit gelap itu.

Berbeda dengan Raka yang rambutnya cenderung nanggung dan warna-warna pakaiannya yang cenderung netral, Duta tampak lebih preman dibandingkan dengannya. Pakaiannya selalu serba hitam seolah-olah ia siap pergi melayat kapanpun dan di manapun. Brewok tebal yang jarang ia cukur cukup membuatnya semakin menyeramkan.

"Emang harus gini ya?" tanya Raka sambil memberikan botol bir yang tadi ia beli dari minimarket kepada Duta.

Duta mengangkat bahu. "Tujuh harian...enggak ada salahnya juga sih."

Orang-orang mengira Jun meninggal karena overdosis. Orang tua Jun menolak anaknya untuk diautopsi dan setelah menyelidiki ke sana–kemari, polisi akhirnya menyimpulkan bahwa sobatnya itu mati bunuh diri karena depresi.

Ha, bercanda! Mana bisa polisi menyimpulkan seenak jidat seperti itu tanpa adanya autopsi? Raka mengenal Jun sejak mereka kelas masuk SD dan dia bukanlah seorang anak yang mudah patah semangat. Berita yang ia dengar terlalu janggal di telinga dan jujur saja, itu membuatnya gelisah dan kesal sekaligus.

Ketika ia datang ke rumah duka di Ibu Kota, lantunan surat yasin berkumandang di seluruh rumah. Raka memeluk orang tua Jun, mengutarakan rasa dukanya. Ibu Jun tidak menangis namun tatapannya kosong. Ketika bertemu Raka barulah ia banjir air mata dan bertanya di tengah isak tangisnya, "Kenapa bisa gini Ka?" Raka hanya bisa menggeleng tak tahu harus mengucapkan apa.

Sulit untuk merelakan kepergian seseorang. Raka mengambil posisi sangat dekat dengan dipan di mana tubuh kaku Jun ditutup kain, mencoba berdoa dan membacakannya ayat-ayat dari surat yasin namun tak lama, ia menutupnya. Ada segelintir amarah berkecamuk pada dirinya. Ia mengepalkan tangan, menarik napas dalam-dalam, meletakkan kedua sikutnya di atas dipan, menahan kepala.

"Aku enggak tahu kalau kau masih bisa mendengar ini atau enggak," desis Raka, mengeraskan rahangnya, "tapi aku yakin kau masih di sini, jadi...apa-apaan, Jun? Kau enggak segoblok ini buat mati. Seenggaknya cerita kek."

Ingin ia menonjok sesuatu. Keluar ruangan, Duta menepuk punggungnya yang ia balas dengan senyum tipis. Ia butuh asupan nikotin.

"Kita kehilangan seorang teman, seorang sahabat, dan seorang anggota keluarga," suara ketua angkatannya terdengar lantang dan berat. Seluruh orang yang duduk di tangga yang mengelilingi lapangan itu diam seketika dan Raka kembali ke dunia nyata. Berdecak, rokoknya telah habis setengah batang tanpa ia hisap.

"Masyarakat, aku mengumpulkan kalian di sini bukan untuk meluruskan isu-isu miring yang beredar di gedung bahkan di kampus. Aku sendiri bahkan tidak tahu mengapa dia bisa meninggal. Biarlah isu-isu menguap seiring waktu, tapi yang aku percaya di sini dan di sini," pemuda bertubuh gempal dan berkacamata itu menunjuk kepala dan dadanya, "adalah Jun orang baik, dan akan selalu menjadi orang baik.

"Tidak semua orang kenal dengan Jun, bahkan mungkin di antara kalian pun ada yang belum pernah berbicara dengannya, tapi biarlah. Malam ini, kita akan mengenangnya. Mengenang Mahardika 'Jun' Sudibyo yang telah pindah kediaman ke surga."

Raka tersenyum. Mendengar perkataan Akbar terkadang menggelikan karena pilihan katanya yang agak berlebihan dan seringkali Jun mengejek Akbar dengan kebiasaannya itu. Tapi kali ini Raka pikir Jun pantas untuk mendapatkannya.

Seorang perempuan mengangkat tangan dan berdiri, "Aku cukup kenal dengan Jun. Beberapa kali aku kencan dengannya dan kenangannya berbekas. Dia sangat manis. Mungkin aku sudah telat untuk mengatakan ini secara langsung, tapi...aku menyayanginya."

"Hey, inget enggak Jun segitu benci dengan namanya jadi dia selalu memperkenalkan dirinya dengan nama 'Jun' padahal nama aslinya Mahardika Sudibyo doang. Aku selalu tanya dari mana datangnya itu nama, tapi Jun selalu bilang, 'Suka-suka aku, nama-nama aku.' "

"Aku ingat waktu tingkat pertama dulu, aku mau nonjok senior karena omongannya enggak pakai otak. Tapi, dia menahanku; mencengkram bahuku sambil bilang, 'Kalau kau nonjok, kau kalah, Ul. Masalahnya panjang kalau terjadi sesuatu padamu. Kau lebih kuat daripada si goblok itu kalau bisa menahan amarahmu. Sabar.' Anjis. Tahun pertama tuh memang drama. Anak itu memang bukan ketua angkatan, tapi kehadirannya sama sepertimu, Ba. Aku respek ke orang itu."

Orang-orang, teman-temannya satu persatu mulai mengangkat tangan. Membicarakan segala kenangan mengenai Jun. Mulai dari kebodohan, kegilaan, hingga kebaikan yang sobatnya telah lakukan. Bagaimana Jun pernah masuk ke selokan karena melihat seorang gadis berdada besar berjalan tak jauh darinya sampai bagaimana Jun marah besar ketika teman-temannya tidak serius menggarap pameran. Beberapa orang tertawa, beberapa orang menghela napas sedih. Raka sendiri daritadi hanya mendengarkan dan telah menyulut rokok ketiganya.

Aneh sekali rasanya membicarakan orang yang sudah tiada. Padahal usia mereka sama, tapi dia pergi terlebih dulu. Tidak bisa dipercaya namun tidak bisa dibilang mimpi juga.

Raka mengangkat tangan, memutuskan untuk bersuara. Akbar yang masih duduk di tengah lapang sebagai moderator menaikkan alis, mempersilakannya untuk bicara. Seisi lapangan kembali sunyi, terdengar suara terbatuk beberapa kali kemudian sunyi sampai-sampai Raka dapat mendengar napasnya sendiri. Ia menghembuskan asap rokok, melihat sekeliling yang memandangnya balik.

"Kalian enggak merasa aneh, ngomongin orang mati?" Raka mencoba memilih kata-kata yang tepat, tapi nyatanya tidak bisa, "Tubuhya dingin dan kaku, matanya tak lagi menampung nyawa. Aku yang menemukan jasadnya. Kalian melihat Jun ketika dia hidup, aku melihatnya saat dia meninggal. Polisi bilang Jun meninggal karena bunuh diri. Overdosis bisa jadi, tapi bunuh diri?! Jun enggak akan mati dengan cara sebodoh itu. Ada yang enggak beres, aku yakin," Raka menggeleng, mendadak wajahnya terasa hangat. Ia kesal.

Orang-orang mulai menatapnya dengan kerutan di dahi, beberapa menunduk, beberapa mulai mengalihkan pandangannya. Menggigit bibir, Raka menghela napas dan menghisap lagi rokoknya. "Kalian...," Raka meghembuskan asap, "berhenti ngomongin orang mati. Aku tahu, kita semua tahu Jun orang baik, tapi membicarakannya takkan membuat dia kembali."

Hening. Bahkan Akbar tak membuka mulutnya. Suasana mendadak menjadi runyam seiring suara bisikan bermunculan dari berbagai arah. Pemuda itu menepuk tangannya sekali sambil menyeringai, berharap suasana menjadi kembali cair. Ia perlahan kembali duduk di samping Duta. Mengulurkan tangan, Raka memberikan kunci motor milik Duta yang ia pinjam tadi dan memasukkan botol bir ke dalam tas. "Duluan, Ta."

"Ya, jangan mati." Raka menjawab perkataan temannya dengan dengusan.


Udara pengap khas Ibu Kota melengkapi langit sebiru laut siang itu. Meski matahari begitu terik, banyak orang menggunakan pakaian serbahitam. Raka tidak menitikkan air mata, tubuhnya tidak bergetar luar biasa lantaran luapan emosi dalam dirinya. Ia berdiri dengan kokoh layaknya sebatang pohon, memandang secara perlahan tanah yang mulai menimbun tubuh mendiang temannya.

Di samping Raka, Ibu Jun menangis tanpa suara. Beberapa kali wanita itu hampir jatuh terhuyung sehingga Raka menggenggam lengannya, menjadi tumpuan sementara, sementara suaminya berada di liang itu, mengubur anaknya.

Raka datang bersama Iyas, Duta, dan Akbar. Menggunakan jeep Iyas, sepupunya itu menyetir bagaikan orang kesetanan. Mereka tidak banyak bicara selama perjalanan, hanya beberapa kali mampir ke rest area untuk buang air kecil, merokok dan membeli camilan. Ketika topik tewasnya Jun dibicarakan, obrolan itu selalu berhenti tak lebih dari dua menit. Mereka sadar membicarakan ini tidak akan menghasilkan apapun. Seolah-olah menjadi sebuah persetujuan tersirat, tak ada lagi yang mengangkat Jun sebagai bahan pembicaraan.

Setelah masuk ke jalanan dalam kota, Iyas tak ragu untuk menekan klakson, menjadi beringas sebagaimana orang-orang mengatasi medan tempur kemacetan Ibu Kota kebanyakan. Beruntung mereka tidak terlambat, pulang pergi Ibu Kota-Kota Kembang tentu saja membuat mereka kelelahan dan bangun kesiangan pagi itu.

Ibu Jun tersenyum lemah ketika melihat Raka dan Iyas datang, memeluk mereka bagaikan anak sendiri. Keluarga Raka dan Iyas berada di rumah duka itu. Trio Raka-Iyas-Jun selalu sepaket dan entah bagaimana mereka menjalin sebuah hubungan keluarga yang tidak ada hubungan darah (kecuali Iyas dan Raka, tentu saja).

Seusai pemakaman dan kembali ke rumah duka, banyak orang yang berpamitan pulang setelah bercengkrama di sana-sini. Tak ada lagi isak tangis seolah-olah mereka telah merelakan Jun pergi. Pembicaraan-pembicaraan basa-basi saat itu dilengkapi dengan sedikit tawa dan obrolan keseharian yang biasa. Tak ada lagi yang membahas Jun. Memang, katanya tidak boleh menangisi orang yang telah pergi. Raka pun selama ini tidak menangis, tapi ia merasa gelisah. Gelisah akan kematian Jun yang menurutnya janggal.

Raka dan ketiga temannya mengasingkan diri, memasuki kamar Jun yang masih penuh dengan barang namun tersusun rapi. Tempat tidur di sisi ruangan, koleksi lima figur Star Wars 1:10 diletakkan berjajar di atas rak dibarengi dengan susunan One Piece yang lengkap dari buku pertama. Raka tersenyum tipis dan berkata, "Barang-barang ini bakal dikemanakan ya?"

"Entahlah," gumam Duta sambil mengambil komik One Piece secara acak, "Dijual online 'kali."

"Mending buat aku," celetuk Iyas dari belakang.

Sementara Iyas dan Duta berdebat mengenai peletakkan barang-barang itu jika memang mau dibawa ke kontrakan, Akbar menepuk punggung teman seangkatannya, berkata pelan, "Tumben kamu enggak banyak omong, Ka."

"Aku juga kaget enggak banyak omong," Raka menghela napas, "Kau enggak merasa aneh sama sekali? Kematiannya lebih dari bunuh diri 'kan? Aku kenal anak itu, cukup lama sampai aku tahu kapan ia pertama kali bercinta dengan pacarnya dulu. Dia bahkan menceritakannya dengan detil! Detil, lho, gila apa? Dia akan cerita padaku segala macam, tapi ini! Ada yang salah, Ba."

Akbar yang akrab dipanggil Baba menaikkan kacamatanya. Merangkul teman yang lebih pendek tiga senti darinya itu, "Dengar, Ka. Semua orang pasti punya rahasia, Jun sekalipun. Aku punya rahasia, kamu juga punya rahasia, Duta, Iyas, semua orang punya rahasia. Tidak salah tak membicarakan hal itu ke orang lain, mereka punya alasan untuk melakukannya." Baba menggerakkan tangan figur Darth Vader dan menambahkan, "Bahkan Darth Vader punya alasan untuk mengikuti Sith."

"Anakin 'kan termakan omongan yang enggak benar," ucap Raka datar, "Lagian dia terlalu labil sampai-sampai beralih ke Dark Side."

"Iya sih, tapi...intinya adalah," Akbar mencoba memfokuskan pembicaraan, "Jun yang kamu kenal bisa saja bukan Jun yang kamu kenal. Yang mengetahui siapa dia sebenarnya ya dia sendiri, bukan dirimu, bukan orang lain, tapi Jun."


Tak ada seorang pun di kontrakan. Jelas saja, semua pengunjung langgangan masih di kampus, memeringati tujuh hari kematian Jun. Menyalakan lampu sorot, Raka menaiki tangga berhenti di depan kamar Jun yang terletak tepat di sebelahnya.

Seminggu yang lalu masih ada garis kuning pembatas polisi di sana. Raka, Iyas dan Duta terpaksa menginap di kost-an teman mereka selama sehari. Hari-hari berikutnya teman-teman Raka yang berkunjung acap kali ingin melihat di mana Jun tewas, sampai-sampai Raka muak dan melarang orang-orang untuk datang kecuali penghuni tetap alias Iyas dan Duta. Orang tua Jun bahkan sampai sekarang belum membawa pakian dan beberapa barang anaknya yang sudah tiada kembali ke rumah. Ia bilang tidak baik menyimpan barang-barang orang yang sudah meninggal. Ia menitipkan semua barang Jun untuk disumbangkan ke sebuah panti asuhan atau semacamnya, tetapi baik Iyas maupun Raka belum menyentuh barang-barang itu sama sekali.

Membuka pintu, kamar Jun masihlah serapi ketika ia masih ada. Kasur di pojok ruangan; meja komputer di seberangnya, hanya saja di sana tidak ada apa-apa lagi. Sebuah lemari berisi figur Star Wars dan poster berbau futuristik serta buku-buku filsafat di samping tempat tidurnya; pakaian-pakaian yang telah dicuci diletakkan di atas karpet tempat Jun tewas. Desiran angin malam terasa di pipi Raka, membuatnya sedikit kaget karena ia selalu menutup jendela sebelum pergi meninggalkan rumah. Apa Duta membiarkannya terbuka supaya ada angin segar masuk?

Raka menemukan sebuah tabung plastik —berdiameter kurang dari 1cm dan tinggi tak lebih dari 3cm—di dekat jendela. Di dalamnya terdapat terdapat cairan tak berwarna. Gelembung udara bergerak ke kiri dan ke kanan ketika pemuda itu menggerakkan tabung itu, membuat kerutan di dahi Raka semakin dalam. Ia melihat sekeliling, mencari-cari jika ada botol lain yang tergeletak di dekat sana atau tanda-tanda seseorang telah berada di dalam rumahnya. Akan tetapi, hasilnya nihil.

Duduk di atas tempat tidur, ia mengarahkan botol itu ke lampu. Cairan itu berpendar, menampilkan warna-warna ungu, hijau, merah dan biru. Aneh namun tampak indah. Raka perlahan-lahan membuka tutup botol dan mencoba membaui cairan itu.

Sensasi dingin terasa di hidungnya dan kepalanya...entah kenapa kepalanya terasa ringan mendadak. Ia tidak bisa mengetahui bau apa itu, hanya saja rasanya dingin layaknya menthol. Ia langsung menjauhkan botol, menggelengkan kepala.

"Whoa, terlalu kuat!" serunya, mengerjapkan mata. Efeknya jauh lebih cepat dibandingkan merokok tiga batang tanpa henti. Giting dia pernah, ngejamur juga pernah dan dia bukanlah seorang pecandu, hanya sekadar jembatan sosial saja, tetapi ini terlalu kuat. Raka cepat-cepat menutup botol dan menyimpannya di dalam dompet.

Sesaat terpikir olehnya apakah benda ini yang menyebabkan sahabatnya itu tewas.

*

Selama lima tahun pemuda berusia dua puluh tahun itu tinggal di Kota Kembang, ia tidak pernah melihat langit malam secerah ini. Tak ada awan yang menghalangi ratusan bintang di langit sana, tak ada gedung-gedung apartemen tinggi juga pepohonan yang tumbuh tak beraturan menghalangi langit malam. Semuanya begitu tenang. Anehnya lagi terdengar suara jangkrik yang sudah lama tak bersua. Semuanya begitu tenang. Janggal.

Raka tahu ia sedang bermimpi. Ia melihat dirinya sendiri, duduk mengelilingi api unggun dengan sebatang rokok bertengger di bibir dan sebuah ukulele di tangan. Selain dirinya, Iyas, Baba dan Jun berada di sana, bercengkrama. Meskipun begitu Raka tak bisa mendengarkan pembicaraan mereka seolah-olah tak ada udara sebagai medium penghantar suaranya. Semuanya begitu tenang. Janggal.

Ia tidak mengerti bagaimana caranya, tahu-tahu Raka berada di tubuhnya lagi. Dengan matanya sendiri memandangi ketiga sahabatnya berada di sebuah tempat yang jauh dari perkotaan, meyanyikan lagu entah berjudul apa sambil mengelilingi api unggun. Mereka tertawa lepas menikmati malam perjalanannya mendaki gunung. Di tengah mimpi itu ingatannya seperti kembali. Ini memori dirinya tiga atau empat bulan yang lalu. Mereka tertawa lepas menikmati malam.

Apa yang terjadi berikutnya begitu aneh. Tempat mereka berkemah tiba-tiba berubah menjadi sebuah ruang putih namun langit malam yang dipenuhi bintang tetaplah terlihat terang benderang. Iyas dan Akbar menghilang, meninggalkan dirinya dengan Jun seorang. Ukulele yang Raka pegang turut lenyap seiring ruangan berubah putih. Jun yang tadinya mengenakan jaket tebal kini tinggal kaos hitam dan celana jins yang sama ketika Raka menemukannya tewas di kamar.

Mata Jun menggelap dan ia tersenyum. Sebuah senyum simpul seolah-olah mengatakan selamat tinggal. Raka bergeming, ia tidak bisa bergerak dari tempatnya, melihat tubuh sobatnya bergetar hebat, kejang-kejang. Selama tubuhnya bergetar hebat, mata Jun berputar ke belakang, meninggalkan bagian putihnya saja yang terlihat. Ketika ia terjatuh, tak ada lagi tenaga untuk bergerak, ruangan putih itu berubah menjadi kamar Jun; Raka berdiri di ambang pintu, hanya bisa menatap kosong apa yang ada di hadapannya.

Sepuluh detik. Sepuluh detik hingga Akbar datang menepuk punggungya dan berkata, "Semua orang punya rahasia, Ka. Jun yang kamu kenal bisa saja bukan Jun yang kamu kenal. Mengerti maksudku 'kan, Ka?"

"Ka?"

"Ka. Raka!" Akbar mengguncang tangannya, tampak tergesa.

Raka terjaga. Ia menarik napas terengah dengan jantung berdegup hebat. Terbangun, pemuda itu tak bisa berpikir jernih ketika melihat Iyas berada di hadapannya. Pening, Raka memijat mata, pelipis serta pangkal hidungnya sembari mendapatkan arwahnya kembali.

"Bangun, hei," ujar gadis berambut ikal nyaris sepinggang itu. Kacamata persegi yang biasa gadis itu gunakan bertengger di kepalanya, menahan poni rambut legamnya. Iyas berkacak pinggang, memandangi sepupunya yang menjawabnya dengan erangan. "Mimpi apa sih, kamu?"

Raka menghela napas berat, mengusap telapak tangan di wajahnya. "Enggak, enggak tahu. Aku lupa," dusta Raka kemudian menanyakan waktu pada Iyas.

"Sembilan," jawab Iyas, "Aku mau cabut, tapi kamu beneran enggak apa-apa?"

Raka menyipitkan mata, sedikit heran dengan pertanyaan Iyas. Jarang ia mendengar sepupunya tampak cemas seperti ini, "Hah? Kenapa mesti apa-apa? Kau mau aku curhat?" tanya Raka setengah bercanda.

"Dih, enggak tuh," jawab gadis itu sedikit terkejut, menggelengkan kepala kemudian berpamitan, meninggalkan Raka sendiri di kamar.

Di pagi hari kontrakannya selalu sepi. Mereka punya kesibukannya sendiri baik di kampus maupun luar kampus. Pukul sembilan, Iyas selalu ada kuliah pagi. Duta yang pulang hanya sekadar ganti baju; tahu-tahu sudah ada di kampus, dengan pakaian serbahitam yang tampak tidak ada bedanya. Raka sendiri, jika tidak untuk tidur, lebih sering berada di kampus menyelesaikan tugas studionya. Jun... Jun kini tinggal nama. Kontrakan seringkali kosong namun sekalinya ramai, bisa lebih dari lima belas orang datang ke rumah kecil itu menghadiri sebuah acara yang dituanrumahi oleh Raka.

Bersiap di kamar mandi, Raka memandangi dirinya di cermin. Matanya tampak sipit karena baru bangun tidur, rambut bergelombang dengan panjang nanggungnya tampak acak-acakan. Janggut tipis tumbuh di dagunya dan Raka merasa malas untuk mencukur hari itu. Ini memang penampilannya setiap hari setelah bangun tidur namun perasaannya kini berbeda. Mimpi tadi pagi tidak membuat senang suasana hatinya. Ia menyeringai mencoba menghibur diri dengan perkataan motivasi seperti, 'Kamu keren, Ka,' namun lagi-lagi yang terbesit di kepalanya adalah tubuh tak bernyawa Jun yang terkapar di kamar. Raka mengumpat, memijat kepalanya lagi.

Memakan nasi kuning untuk sarapan yang dibelikan Iyas, Raka telah bersiap untuk pergi ke manapun ia mau. Ia bosan di kampus, bosan dengan orang-orang yang mengatakan, "Ayo, dong bos, jangan sedih melulu," bosan dengan kegiatan di kampusnya yang monoton. Mungkin ia harus jalan-jalan. Tekadnya bulat: ia harus jalan-jalan.

Pusat barang-barang rongsok yang terletak dekat dengan pusat kota adalah pilihan Raka dalam perjalanan tak tentunya hari itu. Mungkin ia akan menemukan satu-dua barang bagus yang bisa dijadikan karya di sana. Mengambil jaket windbreaker berwarna hitam beserta buff dari kamar, Raka kemudian pergi mengendarai sepeda gunungnya. Langit bulan Oktober sebiru laut; matahari seolah-olah tinggal 7cm lagi hingga menyentuh permukaan bumi. Ia yakin hari itu belum sampai pertengahan hari, tapi teriknya sudah keterlaluan.

Setibanya di tempat tujuan, dahi pemuda itu sudah penuh dengan peluh. Ia menggiring sepedanya menaiki jembatan yang menghubungi jalan dan pusat barang bekas itu dan disambut hangat oleh orang-orang di sana, "Dek Raka!" sapa seorang pria paruh baya. "Ke mana saja kamu? Saya cari kamu terus-terusan kok enggak ada."

Pria itu kurus, mengenakan kemeja hitam usang dengan garis horizontal berwarna kuning. Kacamata menggantung rendah dari pangkal hidungnya, rambut pendek yang sudah penuh dengan uban ditutupi dengan kopiah berwarna putih. "Pak Rus," Raka balas menjawab, memberikan alasan basa-basi tanpa menyebutkan tentang kematian Jun.

Jika Raka bukan seorang yang senang dengan hal-hal praktikal, pemuda itu pasti tidak akan datang ke sana. Alih-alih sebuah toko, tempat ini merupakan kumpulan dari beberapa blok kios dengan lorong yang cenderung temaram dan menjajakan berbagai macam barang.

Setiap kios mempunyai spesialisasinya sendiri meskipun rata-rata reparasi dan menjual suku cadang barang-barang lama. Kios satu membenarkan telepon rumah, kios lainnya membenarkan televisi tabung, kios yang terletak di dekat tangga menyediakan berbagai macam roda gigi dan bagian dalam mesin. Pria paruh baya berkopiah itulah yang menempati kios di dekat tangga, Raka sudah sering merepotkan Pak Rus dan dia dengan senang hati mengajarinya berbagai macam hal.

Tidak ada barang yang bagus ternyata. Urung pergi, Raka pun duduk bersama dan bercengkrama dengan pelanggan maupun teman seprofesi Pak Rus. Sebatang rokok dan segelas kopi hitam menemani perbincangan mereka hingga seseorang menarik perhatiannya: seorang gadis bermantel nila di tengah hari yang begitu terik berjalan mendekati kios.

Selain mantelnya yang mencolok, pakaiannya pun luar biasa aneh —meskipun Raka sudah sering melihat setelan macam itu di kampusnya. Baju yang gadis itu kenakan bukan baju 'normal' yang biasa terlihat di tempat semacam ini. Terusan rok di atas lutut berwarna gading, stoking abu-abu juga sepatu boot semata kaki lebih sering ia lihat di dalam mall. Kulit pucatnya tampak berpendar di bawah terang lampu; rambut bergelombang yang melebihi bahu dibiarkan digerai, menyebabkan Raka yang melihatnya ikut merasa gerah.

Raka beserta bapak-bapak yang sedang berbincang diam seketika. Matanya mengamati dari ujung kepala sampai ujung kaki gadis itu, seolah-olah belum pernah melihat seorang perempuan sejelita ini. Gadis itu mendekati bapak berkopiah, alisnya berkerut tampak ragu dan kata-kata yang keluar dari bibir gadis itu kemudian sama mengejutkannya dengan penampilannya, "Apa tempat ini menjual jantung kucing?"

*

//done and done. The First chapter is done! Agak berbeda ya, semoga kalian tetap masih mau baca chapter berikutnya. Aku menghilangkan bahasa daerah yang dianggap rancu dan mengubah cara bicara Raka yang tadinya lo-gue menjadi aku-kau. Takkan bosan kuucapkan terimakasi bagi yang telah membaca. See you next time! //

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

3.7K 932 16
[Thriller - Misteri - Action] Ersa dihadapkan dengan dendam masa lalu kakaknya, sosok yang Ersa kira menghilang tanpa jejak pada 2015 kembali muncul...
1.1M 105K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
5.7K 1.5K 24
[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahama...