Lena Lee : When You Comeback

By Ludthfiyana

45.6K 3.5K 395

"Kau baru saja baru bangun dari tidur panjangmu, Lena." Itulah kalimat yang diucapkan orang-orang disekelilin... More

Prolog
Kembali
Udara Bebas
Berkunjung
London Eye
Sakit
Candle Light Dinner
Rekan Kerja
Permulaan
Alexia Smith
Zac Kembali
Fettucini Oglio Olio
Konferensi
Aku Pergi
Teka-Teki Gorgon
Justin & Bunga Mawar

Perkenalan

2.8K 199 9
By Ludthfiyana

Suara bising dari rententan klakson terdengar samar-samar, langit gelap tanpa ada setitik cahaya dari sang bintang. Harmoni rintik hujan yang membentur jendela terdengar begitu jelas ditengah keheningan yang tercipta.

Wanita berumur dua puluh delapan tahun didepannya tak lagi bersuara semenjak menerima telepon dari seseorang yang amat ia kenali.

Lelaki itu mendesah, mengusap wajahnya kasar lalu kembali menatap wajah tanpa ekspresi yang ditampakkan wanita itu. Cafe bernuansa Japan yang terletak tak jauh dari bandara kota London ini sedang ramai pengunjung, dinginnya hujan seakan sirna saat menyicipi berbagai jenis tea yang terkenal dari negeri Matahari Terbit itu.

"Aku masih tak percaya." lirih lelaki itu memecah keheningan, menatap mata biru yang sebiru samudera itu lamat-lamat tak memperdulikan lagi kakinya yang keram karena duduk dengan posisi bersila. Cafe ini memang tak menyediakan sofa atau kursi, sesuai adat Jepang yang cinta kesederhanaan.

"Kau harus. Ini fakta."

Sekali lagi lelaki itu mendesah, "Aku tak menyangka harus berbuat ini padanya. Ia bahkan hampir saja membuat adikku mati."

Bibir merah muda Rowena terkatup rapat, memperjelas harmoni benturan hujan yang sempat redam.

"Kenapa kau menghapus ingatannya, jika memang kau tahu Justin masih hidup?" Lanjutnya lagi.

Rowena menyesap green tea hangatnya, meletakkan cangkir berwarna putih bercorak khas itu ke atas meja lalu menjawab dengan datar, "Aku hanya menjaga Lena tetap aman sebelum Justin hidup, Ludwig. Ia berpotensi untuk bunuh diri saat itu."

"Huh," Ludwig menghela nafas kasar, "Baiklah, jika ini semua tentang Lena. Gadis itu pantas mendapat kebahagiaan setelah kematian Alice."

"Tapi Zac?" Lanjutnya cepat. Rowena menatap lelaki itu penuh tanya, cangkir yang sudah berada di depan bibirnya ia letakkan kembali ke atas meja.

"Zac?" ulangnya, "Kau mengenalnya?"

Kerutan kecil muncul di kening Ludwig, "Aku kira kau yang menyuruh Zac untuk menjaga adikku."

"Tidak," Rowena menggeleng, "Aku memang tahu dia tinggal di London tapi aku tak tahu sama sekali bahwa ia dekat dengan Lena."

Ludwig terdiam. Bukan karena Zac tapi karena perubahan raut wajah wanita berambut coklat keemasan di depannya.

"Seberapa dekat hubungan mereka?"

Ludwig menerawang, "Sangat dekat." Ia berhenti sejenak lalu menatap wajah Rowena lekat, "Aku bahkan berpikir mungkin mereka sepasang kekasih sekarang." Lanjutnya.

Rowena menahan nafasnya. Tiba-tiba saja bayangan ramalan 'pertikaian saudara' terlintas di otaknya. Ia benci jika ramalan itu selalu benar. Wanita itu tersentak ketika Ludwig bangkit berdiri seraya menjinjing tas tangannya.

"Aku harus pergi ke bandara sekarang." Ucapnya.

Rowena mengangguk. Saat punggung Ludwig terlihat menjauh, wanita itu kembali melamun. Sudah cukup penderitaan ini. Sudah cukup.

--------

Sang surya berjalan perlahan kembali ke dunia, burung-burung berkicau menari di langit biru muda yang mengusir kegelapan. Sinar-sinar terang lampu satu-persatu padam, menyisakan sinar mentari yang menyelusup dari balik kaca bening.

Pelupuk mata itu perlahan bergerak membuka, menampilkan manik mata coklat yang bersinar diterpa cahaya surya, bergerak menyusuri seluruh ruangan yang bernuansa dark dengan warna kelabu pada dindingnya. Aroma maskulin menyeruak berebut masuk ke indra penciumannya. Satu kata yang terlintas dipikirannya saat menghirup aroma itu -Justin-.

Lena memutar kembali ingatannya, hujan deras, tidak ada taxi, mobil BMW, obat sakit kepala dan lelaki itu. Wanita itu bangkit perlahan, memandang suasana London dari jendela besar di samping tempat tidur sebentar. Ia melirik badannya dan bersorak kegirangan saat melihat pakaiannya masih utuh bahkan ikat pinggangnya masih tetap pada lubang yang sama. Bukannya paranoid, Lena tahu betul bahwa tubuhnya sama sekali tidak menggoda tetapi janjinya ke Alice adalah mutlak. Seperti janji wanita Asia pada ibunya, no sex before married. Ibunya memang sangat menganggumi budaya dan tata krama orang Asia tapi bukan berarti ia membenci budayanya sendiri.

"Kau sudah bangun?"

Lena menoleh ke arah lekaki yang berjalan mendekatinya dengan dua cangkir berwarna merah darah. Sudut-sudut bibirnya terangkat saat mengetahui isi dalam cangkir tersebut ; coklat panas

Wanita itu menyesap coklat panasnya, matanya memandang lekat lelaki yang berdiri menghadap jendela. Ia terlihat begitu tampan dengan baju tidur berwarna merah dengan garis-garis hitam yang membalut tubuhnya. Lena memandang lelaki itu lebih lekat dan entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa lelaki ini rapuh dan kesepian. Apakah setelah koma ia mendapatkan kemampuan sebagai seorang cenayang?

"Aku sudah memberitahu Mr. Smith bahwa kita akan sedikit terlambat hari ini."

Suara maskulin itu menarik kembali Lena ke alam sadarnya. Ia mengerjap dan mendapati Justin berdiri memandangnya.

"Sebaiknya kita ke apartemenmu sekarang." Katanya lagi dan beranjak dari tempatnya, berjalan menuju pintu coklat tua yang berada di sisi kiri ruangan.

"Aku akan bersiap-siap."

Kenop pintu itu terputar dan perlahan bergerak membuka, Lena masih memandang tubuh lelaki yang hampir hilang di balik pintu. Tiba-tiba lelaki itu terhenti dan kembali menatap mata coklat Lena.

"Habiskan coklat panasmu." Katanya lembut sarat akan perintah. Wanita itu tersenyum dan mengangguk samar hingga akhirnya tubuh itu benar-benar tak lagi terlihat.

--------

"Memandang hujan lagi, eh?"

Justin memandang wanita yang berdiri di dekat jendela itu. Hari ini ia kembali terlihat mempesona dengan pakaian kerja berwarna putih dengan setelan rambut yang ia biarkan terurai jatuh di jasnya. Lena tersenyum sekilas lalu kembali menatap titik-titik air yang turun beriringan dari sang langit yang sudah menenggelamkan surya. Lelaki itu tersenyum, memasuki ruang kerjanya dengan langkah pelan.

"Kau tak pulang?" tanyanya lagi.

Wanita itu menoleh, "Nanti saja, masih hujan."

Justin tak menyahut, lelaki itu sibuk merapikan meja kerjanya. Saat barang terakhirnya sudah masuk ke dalam tas tangan berwarna hitam kesayangannya ia kembali menatap istrinya yang masih sibuk mengamati hujan. Perlahan terukir senyum dibibirnya, ia selalu mengaggumi sosok wanita itu jika sedang mengamati suatu kejadian. Wajahnya yang serius dan mata coklatnya yang selalu berbinar. Seperti dulu ketika wanita ini mengamati butiran salju dari atas balkon kamar mereka, ia benar-benar tak menyangka bahwa dulu wanita ini pernah ditolaknya mentah-mentah.

"Hati-hati di jalan." Suara lembut itu menyentakkan Justin, ia mengerenyit saat melihat Lena tersenyum kepadanya.

"Kenapa menatapku seperti itu?" Tanya wanita itu lagi.

Justin menggeleng lalu meletakkan tas tangannya di atas meja, menyingsing kemejanya hingga siku dan menatap hujan tepat disamping wanita itu berada. Lena mengerenyit tapi tak ambil pusing, bahkan ketika pikirannya mulai berkata bahwa ia pernah mengalami ini dengan butiran salju yang turun pada langit malam.

"Kita belum berkenalan, ya?"

Lena menoleh cepat ke arah lelaki yang juga tiba-tiba saja menoleh padanya. Sesaat mata mereka bertemu, saling terdiam tanpa ada yang mengalihkan pandangan.

"Aku Justin Drew Bieber." Tutur lelaki itu ramah, tangannya terulur menunggu untuk disambut. Lena mengerjap, memandang tangan lelaki itu ragu lalu kembali menatap wajah Justin yang tersenyum teduh.

"Lena Lee." Jawab Lena singkat dan menerima uluran tangan itu.

Justin mengangguk, senyum dibibirnya semakin berkembang saat melihat perubahan sikap wanita didepannya. Ia terlihat begitu manis jika sedang kikuk dan merona.

Titik-titik hujan sudah mulai mereda, Lena berbalik menuju meja kerjanya.

"Kau ingin pulang?"

Lena mengangguk, "Ya. Hujan sudah reda, lagipula kakakku akan pulang dari USA malam ini."

"Ingin pulang bersama?"

Lena berhenti melakukan aktivitasnya dan memandang lelaki yang masih berdiri di dekat jendela itu.

"Ini sudah malam, aku hanya ingin memastikan kau aman." Lanjutnya.

Lena tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Ia mengekori lelaki itu dari belakang, pikirannya kalut.

Cincin putih di-jari manis Justin, bukankah itu cincin pernikahan? Lena membatin. Wanita itu terus saja diam bahkan ketika ia sudah sampai di apartemennya. Jika benar yang ia lihat di jari itu adalah cincin pernikahan, kenapa hatinya bisa remuk dan bahagia secara bersamaan?

~~~~~~~

Duh, rasanya pengen bilang ke Lena kalau itu sebenarnya cincin pernikahan kalian_- tapi apa daya ingatanmu hilang, Len.

Haloha! Disini ada yang beliebers juga nggak? Udah pada denger nggak cerita Justin sama Hailey date? Padahal aku tuh cemburu pake BGT!!! Apalagi aku ngeship-nya Justin sama Selena, tapi kalau Justin bahagianya sama Hailey yang nggak papa lah.

Yang penting disini Justin milik Lena selamanya.

Disini aku gambarin Lena itu kaya Mia Wasikowska itutuh pemain Alice yang di Alice in the Wonderland. Entah kenapa, dari awal bikin karakter ini langsung jatuh cinta sama Mia. Wajahnya itu polos, natural, terus kaya cocok aja kalau meranin Lena yang notabene wanita yang rapuh. Hihi~~~

XOXO guys!!!! Thanks for reading!!!

Continue Reading

You'll Also Like

25K 2.1K 13
Geo seorang pemuda manis yang memasuki dunia novel bergenre Vampire, dengan cerita klasik dimana cinta antara tokoh utama perempuan dan lelaki (sang...
114K 10.3K 35
6 vampire said: takdir sudah memilih mu untuk terikat dengan kami, karena kami sendiri yg merasakannya Jake harem 17+
4.4K 566 10
Setelah kejadian dimana Renjun akan di habisi dengan banyak pukulan, tendangan bahkan sayatan di tubuhnya oleh murid berpengaruh di sekolah. Pria kec...
2.4K 344 12
Ratusan tahun lalu, terdapat klan vampir yang bersumpah hidup mengabdi kepada nenek moyang mereka. Namun, ikatan sumpah itu harus putus dan menjadi m...