Memories, a Person Like You

By yyoonina

9.8K 734 106

Kecelakaan itu membuatku menjadi aneh, melihat apapun yang tidak ingin aku lihat. Aku bisa melihatnya. Bagaim... More

Prolog
Chap 2 | "Kontrol" (5/2/16)
Chap 3 | "Between Me and You" (7/2/16)
Chap 4 | "Reality" (9/2/16)
Chap 5 | "Another You" (13/2/16)
Epilog
Author's Story

Chap 1 | "Memories" (6/1/16)

1.7K 109 15
By yyoonina

"Berhentilah mencari gara-gara." Ucap Eun Ji dengan nada yang kesal.

Na Yeong hanya menengokkan wajahnya, "Gadis itu menerima ucapan yang bukan sebenarnya..."

"Ah.. setidaknya berhenti melakukan hal seperti itu. Kau selalu berhasil membuatku merinding." Eun Ji bergidik ngeri. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Na Yeong yang terlihat seperti mayat berjalan, wajah pucat, ekspresi datar, dan sikap dinginnya, sungguh bukan seperti manusia.

"Mungkin karena sejak kemarin anak kecil korban pembunuhan seorang pembantu terus membututiku..." Na Yeong terlihat sedikit membungkuk sambil mengelus udara yang sekiranya kepala dari bocah tersebut, "...ia terus menanyakan dimana ibunya." Lanjut Na Yeong lalu melempar pandangan iba pada Eun Ji yang sudah hampir kehilangan kesadarannya itu.

Eun Ji terus berandai-andai akan gadis itu, jika saja ia tidak mengalami kecelakaan tujuh tahun yang lalu, gadis itu tak akan melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat. Kecelakaan yang membuatnya berbaring lemah di rumah sakit selama enam bulan dan menewaskan salah seorang yang berharga dalam hidupnya telah membuat gadis itu banyak berubah. Menjadi dingin, datar, dan aneh.

"Berhenti menakutiku..."

"Anak itu akan mengamuk jika terus aku acuhkan, tadi pagi ia sempat hampir membuat Nam Joo terluka karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku..." Jelas Na Yeong kembali menegakkan tubuhnya, ia terlihat sedikit meninggalkan senyumannya saat mulai mengalihkan pandangannya dari anak tersebut. "Apa laporan yang kemarin belum selesai?"

Eun Ji mulai lega mendengar Na Yeong mengalihkan obrolannya. Ia mengangkat tangannya guna melihat jam tangannya, "Sedikit lagi, deadline pukul 17.00 aku bisa menyelesaikannya."

"Selesaikan dan aku akan mengeceknya sebelum itu..."

***

Pintu ruangan tersebut terbuka ketika seseorang menampakkan dirinya dari balik kayu tipis berbentuk kotak tersebut. Na Yeong berjalan pelan menuju meja kerjanya, berusaha melepas apapun itu yang memberatkannya sebelum menyandarkan dirinya sendiri di kursi.

Ruangan ini di desain se-klasik mungkin dengan cat putih tulang polos dengan ornamen coklat tua, berharap memberikan suasana tenang dan sesunyi mungkin. Na Yeong bukan lagi gadis dengan sifat yang rumit seperti halnya gadis lain, ia hanya akan menerima apapun itu, asal tidak mengganggu kenyamanan dan kesunyiannya sebagai seorang gadis penyendiri.

Tangan Na Yeong terangkat mengikuti bentuk alur mejanya, berjalan pelan hingga berujung pada sebuah bingkai yang tepat berada dihadapan kursinya. Gadis itu tertunduk sambil menduduki kursi tersebut, memandang bingkai yang terdapat sebuah foto didalamnya dengan pandangan kosong, "Woo Hyun-ah..."

Musim Panas, 2008

"Aku baru saja mendapatkan SIM ku." Ucap Woo Hyun mengacungkan SIM-nya tinggi-tinggi. Merasa bangga akan hal itu, ia terus-terusan memasang senyum terbaiknya sambil tak lupa melambai-lambaikan kartu tipis tersebut.

Na Yeong mendekat antusias seraya memandang SIM itu, "Kau menyogok? Bagaimana bisa pria kekanak-kanakan sepertimu bisa mengendarai mobil?"

"Hya... Apa perlu ku buat mobil itu bicara agar kau percaya?" Woo Hyun menurunkan tangannya, memasukan SIM tersebut kemudian mengeluarkan sebuah kunci sebagai gantinya, "Bagaimana dengan berkeliling menggunakan mobil? Akan aku belikan ice cream vanilla nanti. Kesukaanmu bukan?"

"Ini sudah gelap..."

Woo Hyun memanyunkan bibirnya, "Hyaaa~" Ucapnya seraya menarik tangan Na Yeong pelan, wajahnya terlihat sangat memohon.

"Ah, baiklah-baiklah... Tapi aku ingin ramen, bukan ice cream."

"Ramen? Setuju..." Woo Hyun menaikan kedua ujung bibirnya.

Setelah berhasil menuntun Na Yeong menuju mobilnya, Woo Hyun mulai menyalakan mesin dengan hati-hati. "Pertama, nyalakan mesin dan..."

"Hya... lakukan saja, kau tidak perlu mengejanya bukan?"

Pria itu menengok sambil memperlihatkan jejeran giginya. Pria itu terlihat konyol, menurut Na Yeong. Perlahan mobil yang mereka tumpangi mulai melewati jalan besar pertengahan kota. Entah mengapa pemandangan jejeran gedung terlihat sangat indah malam itu. Baru kali ini ia berfikir betapa indahnya kota yang mereka tinggali saat melihat kelipan cahaya dari arah mobilnya.

Woo Hyun sesekali terlihat kaku ketika memasukan beberapa gigi mobil, membuat Na Yeong terkekeh saat memperhatikannya.

"Bagaimana dengan ramen di dekat pertigaan sekolah, aku suka ramen buatannya..." Usul Na Yeong yang langsung mendapat anggukan oleh Woo Hyun.

Mobil Woo Hyun terhenti di sebuah persimpangan karena Woo Hyun menyadari bahwa lampu merah sedang menyala. Mata itu penuh hati-hati memperhatikan setiap detail dalam berkendara akibat faktor dirinya yang baru berlatih dan mendapatkan SIM. Na Yeong tak terlalu memberi nilai buruk untuk Woo Hyun dalam menyetir, pria itu melakukannya dengan baik walau mulut yang kadang terus merapal beberapa kata yang hanya ia dan tuhan yang mengerti. Namun sungguh, Na Yeong sangat menyukai suasana semacam ini. Berdua dengan Woo Hyun dengan mobil yang dibawa secara pelan-pelan. Na Yeong menyukainya.

"Kalau begitu, belok ke kanan, kan?" Tanya Woo Hyun menengok ke arah Na Yeong. Secepat mungkin Na Yeong berusaha menyembunyikan senyumannya, takut ketahuan bahwa ia sedang memperhatikan Woo Hyun, lalu menjawab, "Eung~" Na Yeong mengangguk senang bersamaan dengan lampu hijau yang menyala.

"Cha~ kalau begitu..." Woo Hyun terfokus dengan apa yang berada di dalam kendalinya. Haha.. pria yang unik. Na Yeong tersenyum dalam hati.

Woo Hyun perlahan memajukan pelan mobilnya, berkonsentrasi terhadap kendalinya seraya memperhatikan jalan yang terlihat ramai, mengingat lebih banyak kendaraan yang berjalan lurus dari pada berbelok ke kanan. Hingga seseorang tiba-tiba saja berteriak ditengah-tengah konsentrasinya untuk berbelok.

"HEY!! CEPATLAH MENGHINDAR!!"

Sedetik kemudian terdengar begitu banyak suara riuh yang memperingatkan Woo Hyun secara bergantian bahkan bertubrukan satu sama lain. Na Yeong sempat bingung dengan apa yang terjadi –faktor karena dirinya yang terlalu asyik memperhatikan dan melamunkan dengan Woo Hyun-, namun matanya membulat sempurna begitu menyadari sebuah cahaya memenuhi pandangannya, sebuah mobil melaju kencang ke arahnya tanpa terlihat memiliki kesempatan yang baik untuk menginjak rem.

Woo Hyun yang ikut menyadari hal itu pun ikut terlihat panik, sedikit meracau seraya mengerang pelan, bagaimana bisa mobil itu merusak acara driving pertamanya. Kekakuan Woo Hyun bertambah di situasi genting seperti ini. Pria itu berusaha menginjak pedal gas namun entah mengapa tidak bereaksi sedikit pun. Dan hanya beberapa detik setelahnya mobil itu sudah berada tak jauh darinya tanpa memberi kesempatan Woo Hyun untuk melakukan hal yang berarti untuk menyelamatkan diri. Dengan respon secepat mungkin, pria itu mendekap Na Yeong kencang, melindungi gadis itu dari ketidak berdayaannya menghindar dari mobil yang melaju kencang tersebut sambil menutup matanya, "Na Yeong-ah.."

"..."

"...saranghae..."

BRAK!!!!!

...tuut...

Sebuah kecelakaan baru saja terjadi di daerah pertengahan kota Seoul. Belum ada dugaan pasti terhadap kecelakaan yang terjadi pukul 19.30 tadi. Kasus ini melibatkan tiga orang, dua diantaranya luka berat dan salah seorang tewas. Korban tewas dipastikan seorang siswa SMA bernama Nam Woo Hyun. Polisi masih menindaklanjuti kasus ini dan berusaha menyelesaikannya karena walaupun banyak saksi yang menyaksikan, masih belum ada kejelasan tentang kejadian ini. Saya... melaporkan langsung dari tempat kejadian.

Flashback Off~

"Permi..." Ucap Eun Ji tiba-tiba saja terdiam melihat pemandangan yang terlihat sendu walaupun hal tersebut sudah terjadi seperti biasa, pemandangan Na Yeong membeku memperhatikan sebuah bingkai foto dengan tatapan kosong miliknya, terhanyut dalam lamunannya. "...si~" Lanjut Eun Ji melengkapi, walaupun ia tahu itu tak akan ada yang benar-benar dikoreksi atau hanya sekedar didengar oleh sang pemilik ruangan.

"Na Yeong-ssi. Aku letakan laporannya disini..." Sambung Eun Ji seraya meletakkan laporan itu baik-baik di atas meja kerja Na Yeong lalu berbalik perlahan. Gadis itu cukup pengertian supaya tidak mengganggu acara nostalgia Na Yeong walaupun itu tidak baik untuknya. Namun apa boleh buat, Eun Ji sendiri tidak memiliki cara apapun untuk membuat gadis itu move on.

"Ah, Eun Ji.." Gadis itu tersadar, sedikit menyentakkan tubuhnya lalu menaruh bingkai tersebut, membuat Eun Ji menghentikan langkahnya lalu kembali menghadap si pemilik suara. "Ya?" Sahut Eun Ji.

"T-tidak. Aku hanya baru menyadari keberadaanmu. Terimakasih atas laporannya."

Eun Ji tersenyum tipis melihat sahabat yang sekarang sedang menjadi atasannya tersebut. Walaupun dengan keadaan tertekan sekalipun, gadis itu tetap terlihat profesional dengan setelan rapi dibalut blezer elegan ketika berada di meja kerjanya. Kecelakaan tujuh tahun yang lalu memang membuatnya berbeda dan jujur saja, ia terlihat sangat aneh, namun tidak dengan otaknya. Dia tetaplah gadis yang cerdas.

Eun Ji memegang gagang pintu ruangan tersebut, sebelum akhirnya Na Yeong meneriakinya, "Jangan terlalu lebar membukanya..."

"Wae....yo?" Ucap Eun Ji ragu dan hampir kembali berbalik.

"Hanya saja anak lelaki tadi tidak mau menyingkir dari pintu. Kau bisa mengganggunya jika membukanya lebar-lebar."

"B-b-ba-baik-baiklah..." Ucap Eun Ji tergagap sambil membuka pintu perlahan sebelum tubuhnya kehilangan tenaganya akibat peringatan Na Yeong.

Drrt.. Drrt..

Na Yeong mengalihkan perhatiannya, handphonenya bergetar dan menandakan bahwa seseorang sedang mencoba menghubunginya.

Ayah.

Begitu tulisan yang muncul di layar dengan dua pilihan tombol telepon warna hijau dan merah. Na Yeong menekan tombol hijau, "Ya, ayah?"

"Bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini?" Seseorang menyahut dari ujung telepon sana.

"Tidak buruk. Mengapa ayah menelpon?"

Tuan Ahn terdengar membuang nafas beratnya, "Ada yang ingin ayah bicarakan denganmu.. mampirlah kerumah nanti, atau perlu ayah..."

"Tidak, ayah tahu aku tidak suka menaiki mobil." Sanggah Na Yeong cepat. Itu adalah salah satu aturan Na Yeong yang baru setelah kecelakaan tujuh tahun lalu. Yang membuat gadis itu harus menaiki bus umum dengan pakaian rapih yang selalu mengundang banyak perhatian. Bahkan menaiki bus saja butuh beberapa waktu latihan supaya Na Yeong berhenti menutup matanya takut, takut menatap ramainya kendaraan berlalu lalang. Namun akhir-akhir ini Na Yeong lebih suka berjalan kaki walaupun memakai sepatu kerja yang memiliki hak lumayan tinggi.

"Kalau begitu biarkan Sung Gyu menjemput lalu menemanimu..."

Na Yeong memperhatikan isi mejanya, hanya sekedar memberikan kesempatan dirinya untuk menimbang-nimbang. Ya, Kim Sung Gyu, sekertaris pribadi sekaligus orang kepercayaan ayahnya. "Tidak merepotkan?"

"Tidak. Ayah tunggu setelah pekerjaanmu selesai."

***

"Ayah tidak akan mengundangku jika tidak ada yang penting. Ada apa?" Na Yeong melirik ke arah Sung Gyu yang terus saja terdiam walaupun mereka sedang berjalan beriringan.

Sunggyu mengedikan bahunya dengan gerakan 'irit', pria itu perlu menjaga image-nya sebagai sekertaris yang tegas dan terpercaya dihadapan siapapun. "Ada sesuatu yang perlu beliau sampaikan langsung..." Sung Gyu membuka pintu utama rumah Tuan Ahn yang sangat lebar itu, "Mari..." Sung Gyu mempersilahkan Na Yeong masuk terlebih dahulu.

Na Yeong melihat sekeliling rumah besarnya itu sambil terus berjalan masuk perlahan. Ia tetap selalu merasa kagum ketika masuk rumah tersebut walaupun sama sekali tak ada yang berubah sejak keputusannya lima tahun silam. Dimana ia memilih untuk memiliki rumah pribadi yang lebih sederhana dibanding tinggal bersama dengan orang Tuanya di rumah luas yang sekarang hanya ditemani oleh orang kepercayaannya, Sung Gyu.

"Na Yeong..." Tuan Ahn menyapa dari balik ruangannya.

Sung Gyu yang menyadari akan hal itu hanya pamit diam-diam dan membiarkan pasangan anak-ayah itu membicarakan topiknya empat mata.

"Ayah..."

"Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja?"

"Never been better... Rumah kita hanya berjarak enam kilo meter ayah... Berhenti mengkhawatirkan aku seperti anak sekolah dasar."

Tuan Ahn tersenyum lega mendengar anak gadisnya menjawab sekaligus berbicara lumayan panjang walaupun dengan nada dingin khas Na Yeong saat ini. "Duduklah..."

Na Yeong menuruti sugesti ayahnya tersebut, "Ada apa?"

"Kau tahu. Umur dua puluh lima sudah waktunya bukan? Maksudku, mulailah menatap masa depan, Na Yeong. Berhenti menengok kebelakang, itu adalah masa lalumu." Ayahnya mencoba membuka topiknya secara perlahan. Dipandanginya Na Yeong belum memberikan respon yang berarti, "Bagaimana dengan mulai mencoba bersenang-senang dan berpikir kedepan? Teman ayah memiliki seorang anak laki-laki yang sekiranya baik untuk..."

"Apa perusahaan sedang mengalami krisis?"

Tuan Ahn sudah menebak dengan ucapan itu, seorang Ahn Na Yeong yang sekarang sangat sulit diajak mengobrol tentang masa lalunya. Ia hanya akan terus menebak apapun itu dengan spekulasi anehnya untuk sekedar menghibur diri, agar dia tidak terlihat seperti orang yang melakukan kebiasaan yang salah "Ayah hanya ingin kau melupakannya, Na Yeong. Ayah berbicara sebagai ayahmu, bukan sebagai seorang presdir yang membutuhkan bantuan dalam menjalankan perusahaannya."

Na Yeong sedikit mengalihkan pandangannya, sedikit menerawang jauh dimana memori itu disimpan baik-baik di laci pikirannya sendiri. Bahkan ia belum sempat berpikir untuk melupakan kejadian tujuh tahun yang lalu beserta kenangan didalamnya.

"Simpan saja kenangan tersebut di sebuah kotak yang bisa kau lihat hanya ketika kau benar-benar membutuhkannya. Bukannya terus mematung didepan kotak itu dan terhanyut didalamnya, sadarlah masih banyak kotak yang perlu kau isi dengan kenangan yang baru. Kebahagiaanmu masih ada, berada di berbagai celah yang ada di dunia ini."

Na Yeong menatap ayahnya dengan tatapan datar yang sulit dimengerti, namun perlahan namun pasti gadis itu mengangguk pelan. "Aku akan mencobanya..."

***

"Namanya Kim Myung Soo, anak dari pemilik perusahaan LKim Corp. Ayah akan senang ikut mendengar cerita kalian..." Ucapan ayahnya masih terpatri jelas. "Kim Myung Soo? Jadi sekarang aku benar-benar sedang dijodohkan?" Gumam Na Yeong pelan sambil terus berjalan lurus.

"Rupanya akan banyak kabut..." Suara seseorang mengagetkan Na Yeong dari lamunannya. Lelaki dengan pakaian serba hitam dan jubah selutut berambut ikal tiba-tiba saja berjalan sejajar dengannya.

Na Yeong memandang pria itu bingung, lalu mengangkat tangannya pelan ke arah pria itu.

"Aku manusia, bodoh..."

Na Yeong menaruh kembali tangannya tanpa merubah ekspresinya sedikitpun, namun bisa dipastikan gadis itu telah berusaha mengiyakan fakta bahwa pria itu adalah manusia. "Pantas saja, tidak akan ada hantu yang mau berdandan seram sepertimu..." cibir Na Yeong pelan, tak lagi terlihat keantusiasannya untuk mengobrol.

"Apa kau bilang?" Pria itu terdengar menaikan nadanya karna nada bicara gadis itu yang terdengar sedikit menghinanya, ah.. banyak menghinanya. Sedetik kemudian pria itu sudah kembali tidak menggubris ucapan Na Yeong.

"Ngomong-ngomong aku tetangga barumu. Namaku Sung Yeol." Pria itu membuka obrolan lain.

Na Yeong menaikan sebelah alisnya tak peduli walaupun hanya sekedar membalas ucapan pria itu dengan menyebut namanya sendiri sambil terus berjalan lurus, karna jujur saja, perkenalan semacam itu tidak akan membuatnya bersosialisasi lebih baik dari kebiasaannya yang hanya hobi mendengarkan lawannya bicara tanpa memberikan respon yang berarti –kecuali ketika ayahnya atau orang tua lain yang sedang mengajaknya berbicara, karena untungnya Na Yeong masih memiliki sopan santun.-

Akhirnya kakinya sudah melangkah tepat kedalam pagar rumahnya. Ia sudah tidak tahu apakah pria itu sudah hilang atau masih memandanginya, tapi mendapati keheningan yang terjadi, gadis itu hanya memilih untuk masuk kedalam rumahnya sambil memikirkan beberapa rencana kegiatan istirahat yang akan ia lakukan nanti.

"Na Yeong-ssi!" Seseorang memanggilnya, dan suara itu terdengar familiar karna ia sudah mendengarnya tepat saat ia berjalan menuju rumahnya barusan. Suara si-tetangga-baru. Ternyata ia masih menungguinya.

Na Yeong melongokkan kepalanya dari balik pintu dan memandang pria itu dengan tatapan menanti-nanti kata apa yang akan pria itu lontarkan kepadanya, walaupun yang sebenarnya membuat ia penasaran adalah tetang bagaimana cara pria itu mengetahui namanya. Tapi itu bisa saja terjadi, perusahaan ayahnya bukanlah perusahaan kecil, sudah menjadi hal yang wajar ketika seseorang mengenalnya secara tiba-tiba.

"Tetaplah sadar dan jangan lari..." Ucap pria itu seraya tersenyum tipis. Kata-katanya diucapkan dengan nada yang hati-hati.

"Maks..."

"Hanya... tetaplah berpegang pada kenyataan." Pria itu menyahut sebelum pertanyaannya selesai. Na Yeong memandang pria itu dengan mata yang menyipit bingung.

Rupanya masih ada orang yang lebih aneh dariku...

***

"Di jodohkan?!" Pekik Eun Ji kaget hampir gagal menelan minumannya, alhasil ia menumpahkan separuh minumannya dari mulutnya. Selain kaget karna kabar tersebut, Na Yeong juga bukanlah orang yang mudah membicarakan masalahnya atau bahkan hanya sekedar mengutarakan tentang pendapat pribadinya.

"Jorok sekali..." Gumam Na Yeong datar sambil mengambilkan Eun Ji selembar tissue. Gadis itu teralalu malas untuk merubah ekspresinya.

Eun Ji menerima uluran tissue tersebut dengan senang hati, lalu membersihkan baju dan mengelap bibirnya. Sekiranya sudah cukup, gadis itu kembali menatap Na Yeong dengan tatapan penasaran, "Siapa? Dengan siapa kau akan dijodohkan?"

"Kim Myung Soo??" Ucap Na Yeong dengan nada setengah memberi tahu setengah bertanya, barangkali Eun Ji mengenalnya secara visual atau hanya sekedar katanya. Na Yeong sadar diri tentang dirinya yang sangat sulit untuk bersosialisasi, apalagi ikut 'nimbrung' untuk mengetahui kabar terbaru yang tidak ada hubungannya dengan bisnis. Bertanya dengan sahabatnya yang supel dan pandai bergaul itu mungkin bisa membantunya. Karna info yang ia dapat hanyalah fakta bahwa Kim Myung Soo adalah seorang anak dari rekan kerja ayahnya.

Mendengar nama tersebut, Eun Ji langsung memelototkan matanya. Sepertinya gadis itu benar mengenalnya. "Hya! Pria itu? A-aku sungguh tidak bisa membayangkan kau dijodohkan dengan pria sepertinya!"

"Ada apa?"

"Pria dingin dan.. ugh! Apa jadinya jika ia bertemu dengan mu, hah? Siapa yang akan mencairkan hati siapa? Kalian sama-sama dingin dan..." Eun Ji mengentikan ucapannya begitu melihat reaksi Na Yeong yang terlihat sedikit tidak terima dengan ucapannya. "...em.. maksudku. Aku dengar beberapa minggu atau hari yang lalu pria itu baru pulang dari Jerman setelah enam atau lima tahun disana. Hh~" Eun Ji memilih untuk mengalihkan topiknya setelah beberapa menit Na Yeong terus menatapnya tanpa berkedip.

Na Yeong memiringkan sedikit kepalanya, masih menatap Eun Ji dengan tatapan yang sama. Namun Eun Ji bisa mengerti dengan tatapan itu. Na Yeong menunggu penjelasan yang lengkap dari ucapannya, "Jer...man?"

Na Yeong hanya mengarahkan bola matanya asal lalu menatap Eun Ji kembali. Hanya Eun Ji yang bisa mengerti bahwa gadis itu sedang meng-iyakan ucapannya.

"Seperti biasa... hanya alasan pendidikan dan pelatihan, perusahaan Kim memerlukan Myung Soo untuk melanjukan menjalankan perusahaannya, kan?"

Drrt... Drrt...

"Seseorang menelpon..."

Na Yeong mengetahui nada dering khas miliknya tersebut. "Dari kantor? Sekertarisku menelpon..."

Gadis itu mengarahkan handphonenya kedekat telinga setelah menekan tombol terima berwarna hijau pada layar, "Ya?"

"Seseorang menungguku?"

"..."

Wajah Na Yeong sedikit berubah setelah beberapa detik mendengar jawaban sekertarisnya.

"Baiklah..."

"Apa ayahmu kemari?" Eun Ji sudah langsung melontarkan salah satu dari beribu pertanyaannya yang seketika muncul setelah melihat reaksi Na Yeong yang terlihat berbeda tadi.

"Bukan..."

"Kalau begitu..." Eun Ji menaruh telunjuknya pada dagu lalu melemparnya ke arah Na Yeong, menatap Na Yeong dengan beberapa dugaan.

"Ya..."

***

"Tuan Kim Myung Soo sudah menunggu di dalam ruangan anda..." Sapa Sekertarisnya seraya tersenyum.

Na Yeong hanya mengangguk ramah sambil tersenyum tipis. Sekertarisnya sempat bingung mendapat respon seperti itu. Bahkan Na Yeong sendiri pun bingung mengapa ia perlu tersenyum. Apa ia gugup?

Entah mengapa langkah menuju ruangannya sendiri terasa sangat horror. Horror layaknya ketakutan seperti biasanya, tapi jarang ia rasakan di ruang kerja. Ini adalah langkahnya menuju ruangannya sendiri, tapi mengapa semuanya terasa asing? Ruangannya tak terasa hangat seperti biasanya.

Ada nuansa berbeda yang menyeruak menyerang seluruh tubuh Na Yeong ketika tangannya baru saja membuka pintu besar pembatas ruangannya. Aura berbeda sangat terasa seperti Na Yeong masuk ke ruangan antah-berantah yang tidak ia tahu itu dimana. Di sisi lain, aura ini...

Na Yeong memandang segaris lurus dimana kakinya berada, dan disanalah pria itu berdiri.

Tubuh tegap dengan dada bidang dan setelan jas hitam yang serasi. Mata tajamnya langsung menyambut Na Yeong yang masih mematung di ambang pintu, bibirnya yang terkatup rapat sama sekali tak berniat untuk menyapa. Pria itu berdiri dan hanya mematung mendapati sang pemilik ruangan yang tak kunjung memasuki ruangannya, bahkan malah melakukan hal yang sama, berdiri mematung mendapati orang asing berdiri di tengah ruangannya.

Mata mereka terpaut satu sama lain, enggan untuk beralih.

Na Yeong menatap mata pria itu tanpa berkedip. Pria itu... mata pria itu... mengapa rasanya ia ingin menangis?

Tidak... kurasa aku tidak mengenalnya. Tapi perasaan apa ini?

Mata Na Yeong tampak mulai basah dengan air yang menumpuk di pelupuk matanya, yang ia tahan dan diupayakan untuk tidak terjatuh begitu saja.

Ada apa denganku? Na Yeong mengalihkan pandangannya. Perlahan ia usap air mata yang belum sempat terjatuh itu.

Begitu pula dengan pria itu, bersamaan setelah Na Yeong mengalihkan pandangannya, pria itu langsung memiringkan badannya tak ingin menghadap ke arah gadis itu. "Seharusnya kau tak datang..." Ucap Myung Soo dengan desibel rendah hampir tak terdengar.

Na Yeong kembali memandang ke arah Myung Soo setelah berhasil menormalkan dirinya. Pria itu melirik ke arahnya, menunggu balasannya.

"Seseorang sedang berada di ruanganku, aku tak bisa mengacuhkannnya begitu saja..."

"Khawatir dengan barang-barangmu?" Pandangan Myung Soo bergerilya memandang setiap sudut ruangan Na Yeong. Terlihat dari sorotan matanya, pria itu sedikit tertarik dengan tatanan ruangan yang terlihat sangat to the point. Tak banyak barang tak berguna yang berada di ruangannya, hingga matanya tertarik dengan sebuah bingkai yang tertutup. Terjatuh? Atau sengaja? Perlahan namun pasti, tangan pria itu bergerak mendekat, berusaha menggapai bingkai itu dengan gerakan pelan.

"Tidak juga..." Sergah Na Yeong tiba-tiba, bebarengan dengan dirinya yang sudah berada dihadapan Myung Soo, membuat pria itu sempat kaget. Na Yeong mengambil bingkai yang belum sempat disentuh oleh Myung Soo tersebut, menatapnya sebentar lalu di simpannya kedalam laci secara hati-hati. Myung Soo sempat menaikan sebelah alisnya bingung, maksudnya, jika ia tidak bisa menyentuhnya gadis itu bisa melarangnya lewat ucapan, bukan?

Sesaat kemudian ruangan terasa sunyi, hening. Tidak ada satupun orang diantara mereka yang mau membuka obrolan lain, bahkan masih dengan posisi berdiri dan menghadap satu sama lain walaupun matanya mengedar dengan edarannya sendiri-sendiri, sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.

"Kalau begitu aku akan pergi..." Ucap Myung Soo lalu mengarahan tubuhnya menghadap ke pintu lalu mengeluarkan benda kotak dan menyalakan layarnya, melangkahkan kakinya pelan dan sikap tubuh yang tegas, tatapannya pun sama sekali tidak teralihkan dari pintu. Na Yeong memandangi punggung pria itu yang terus saja menjauh, namun tiba-tiba ada sesuatu yang rasanya mengganjal di hatinya.

"Chogiyo..."

Myung Soo menghentikan langkahnya sejenak sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menengokkan kepalanya 90˚ tanpa memandang ke arah si pemanggil.

Na Yeong berdehem begitu melihat reaksi pria yang sepertinya menunggu ucapan selanjutnya tanpa menatapnya itu.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Myung Soo langsung meluruskan kembali kepalanya setelah sepersekian detik menerima pertanyaan tersebut. "Entahlah..." Jawab pria itu sambil menunduk, lalu kembali meneruskan langkahnya saat memastikan tak ada lagi pertanyaan dari Na Yeong.

Dan Na Yeong kembali sendirian setelah pria itu menghilang di balik pintu seraya memikirkan jawabannya yang terdengar simple dengan hanya terdiri dari satu kata, 'Entahlah...'

***

Annyeonghaseyo >< Kembali dengan chapter 1 yang... ah sudahlah~ Sebenernya author sudah menyelesaikan ff ini setelah mempublikasikan prolog seminggu yang lalu. Hanya saja jika author mempublikasikannya langsung, nggak asik lah ya .-. nggak sempet bikin penasaran sama yang baca .-. *ya kalo ada yang baca .-.* Ada rekomendasi perlu di share dengan jarak berapa hari? Ff ini terdiri dari Prolog + 5 Chapter + Epilog. Terimakasih~ Keep waiting ya >< Maaf jika membingungkan .-.

Continue Reading

You'll Also Like

1M 105K 52
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya sang bayi...
442K 40.4K 92
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.
2.1M 105K 45
•Obsession Series• Dave tidak bisa lepas dari Kana-nya Dave tidak bisa tanpa Kanara Dave bisa gila tanpa Kanara Dave tidak suka jika Kana-nya pergi ...
13.3M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...