Loizh II : Arey

By Irie77

479K 24.5K 1.6K

"Aku merasa pernah jatuh cinta tapi dengan siapa aku jatuh cinta ?". -Karin. Karin, seorang gadis yang ingata... More

Part 1
Part 2
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Versi Cetak

Part 3

20.2K 1.6K 73
By Irie77

-Karin Pov-

Kenzie menepati janjinya untuk menjemputku sepulang kerja. Sekarang aku sudah duduk di audi miliknya. Kupandangi pemandangan diluar jendela. Melihat beberapa gedung kaca dan pohon-pohon yang tampak berjalan berlawanan arah denganku. Sesekali aku menatap Kenzie yang sedang fokus menyetir dan dia membalas tatapanku diiringi dengan senyuman nakal khasnya.

Aku langsung mengalihkan pandanganku darinya. Sebenarnya ia ingin mengajaku kemana? Aku bahkan tidak diizinkan pulang terlebih dahulu untuk mengganti seragam kerjaku. Kami hening selama perjalanan dan membuatku jenuh didalam audi miliknya.

"Buka laci dasbor. Aku tahu kau jenuh," ucapnya memecah keheningan seolah dia tahu apa yang kupikirkan.

Aku membuka laci dasbor dan seonggok benda berwarna emas terlihat berkilauan dari dalam laci yang sedikit gelap.

"Dark Choco," gumamku saat membaca tulisan yang terpampang dan dilapisan kertas emas yang membungkusnya.

Tanpa pikir panjang, aku langsung merobek kertas yang melapisi coklat dan mematahkannya sebelum memasukannya kedalam mulutku. Jujur saja, ini sedikit membuatku mual. Dari kecil aku tidak terbiasa makan sesuatu didalam mobil selama perjalanan. Tapi dari pada aku mati dalam kejenuhan, ini cukup membantu untuk mengalihkan pikiranku yang kosong. Dan yang paling membuatku sebal, Kenzie tidak suka banyak bicara disaat menyetir. Setiap aku bertanya 'Kita akan pergi kemana?' dia hanya menjawab 'Kau akan tahu setelah kita sampai.' Menyebalkan sekali.

Tak berapa lama, Kenzie memarkirkan audinya didepan sebuah butik. Aku termangu menatap bangunan berwarna putih orange dihadapanku.

"Untuk apa Kenzie mengajakku kesini?" pikirku. Tanpa kusadari Kenzie sudah berada diluar dan membukakan pintu untukku.

"Ayo keluar." Ia menyodorkan tangannya kearahku.

Aku menerima uluran tangannya dan keluar lalu Kenzie menutup pintu audinya sebelum kami berjalan memasuki butik.

"Halo Kenzie, selamat datang! Sudah lama kau tidak mengunjungi butikku." Sapa seorang wanita paruh baya yang langsung memeluk Kenzie. Tak lama wanita itu melepas pelukannya dan menatapku. "Apa dia pacarmu?" bisiknya ditelinga Kenzie tapi masih bisa kudengar.

Kenzie tersenyum miring. "Seperti yang kau lihat," jawabnya sambil menggenggam tanganku.

"Oh," gumam wanita itu sambil mengangkat sebelah alisnya dan kembali menatapku dari ujung kepala hingga keujung kaki. Aku hanya tersenyum simpul mengikuti tatapannya.

"Karin, kenalkan ini temanku Clara. Dia designer yang sangat luar biasa yang pernah aku kenal." Kenzie merangkul wanita yang bernama Clara itu.

"Salam kenal Clara," sapaku masih mempertahankan senyum.

Clara membalas senyumanku. "Salam kenal juga Karin." Ia kembali menatap Kenzie dan berkata "Apa kau bermaksud untuk memilihkan baju untuknya?"

"Tentu saja. Hari ini aku ingin menghadiri acara pesta pernikahan temanku dan aku ingin mengajaknya, jadi aku ingin dia tampil secantik mungkin," balas Kenzie riang.

Clara memutariku sambil mengamati setiap inci tubuhku. Sesekali ia menarik rambutku beberapa helai dan melepaskannya lagi. "Ini mudah sekali. Kemari sayang!" Ajaknya sambil menggerakan jari telunjuknya sebagai kode.

Aku menatap Kenzie yang masih tersenyum misterius dan dia membalas tatapanku sambil mengangguk. Aku tidak tahu apa yang direncanakannya. Dia bilang ingin mengajakku kesuatu tempat tapi ternyata hanya ingin menghadiri pesta pernikahan temannya. Yah, cukup mengecewakan, padahal aku berharap ia akan mengajakku ke tempat yang pemandangannya bagus.

Aku mengikuti Clara ke sebuah ruangan. Aku benar-benar kagum melihat seisi ruangan yang dipenuhi pakaian dengan rancangan yang rumit dan ada juga yang terlihat klasik dan unik. Kulihat sebuah lemari besar sudah berjejer gaun-gaun yang mewah dan anggun bahkan ada yang terkesan glamour dengan hiasan pernak pernik seperti permata dan benang emas.

"Semua ini kau yang merancangnya?" tanyaku masih merasa takjub.

"Tentu saja. Kau menyukainya?"

"Rancanganmu sangat keren, Clara. Pantas saja Kenzie mengajakku kemari."

Aku sudah terduduk di kursi rias sementara Clara masih menyiapkan alat-alat rias dibantu dengan asistennya.

"Pakailah baju ini dulu selama kami meriasmu." Asisten Clara menyodorkan sebuah kain tipis berwarna putih dengan model kimono handuk.

Aku menerimanya dan langsung ke ruang ganti. Tak butuh waktu lama, aku sudah kembali duduk dikursi rias. Asisten Clara sudah keluar dari ruangan dan sekarang hanya tinggal aku dan Clara. Clara mulai menjepit rambut dengan penjepit, terutama dibagian poniku. Sesekali ia terlihat berfikir sejenak sambil menatapku untuk memilihkan warna yang cocok dengan karakter wajahku.

Clara memulai aktifitasnya dengan mengoolesi wajahku dengan beberapa krim yang terasa dingin lalu meratakannya.

"Sudah berapa lama kau mengenal Kenzie?" tanyanya sambil menatapku dari ceriman.

"Dia teman kecilku. Kira-kira—sudah ada dua belas tahun mengenalnya," jawabku sambil sesekali memperhatikan wajahku dicermin.

"Oh, aku kira kau benar-benar pacarnya. Dia pernah cerita padaku tentang gadis impiannya."

"Gadis impian?" Aku menyipitkan mata.

Clara mengangguk cepat. "Dia bilang gadis itu berambut panjang dan memiliki mata kelabu yang teduh. Dan kupikir—kaulah orangnya."

Aku terkekeh. "Itu tidak mungkin. Dulu dia pernah bilang padaku kalau aku bukan tipe wanita idamannya."

"Apa kau pernah punya perasaan padanya? Hmm—seperti perasaan ingin dekat dengannya lebih dari seorang teman misalnya."

"Hmm—dulu aku pernah menyukainya. Dia baik dan selalu menolongku di saat aku kesulitan beberapa hal. Yah, sampai sekarang aku masih mengaguminya."

"Pejamkan matamu!" Titahnya sambil mengoleskan bubuk padat dipelupuk mataku. "Hanya mengaguminya saja? Tidak ada perasaan lain seperti jatuh cinta?" tanyanya sambil mengusap-usap mataku lalu mengaplikasikan Eyeliner di sana.

Aku memutar otak sejenak dalam mata terpejam. "Hmm—tidak."

"Okey. Tunggu sebentar." Clara seperti menghilang dari balik pintu dan mataku masih terpejam. Tak berapa lama Clara kembali masuk. "Nah sekarang buka matamu."

Aku membuka mataku dan rias diwajahku sudah selesai. Aku tidak menyangka wajahku secantik ini. Aku bahkan tidak mengenali diriku didalam cermin. Clara memang pandai merias.

"Sekarang tinggal berganti pakaian!" ucapnya sambil menimang sebuah Coast Dress berwarna peach. "Sepertinya ini sangat cocok untukmu." Clara menyodokan Dress itu dan langsung kuterima.

Aku mulai memasuki ruang ganti. Didalam sana aku menimang-nimang sekali lagi dress yang sudah berada dalam genggamanku. Tak lama kemudian, aku mulai menanggalkan pakaian riasku dan menggantinya. Kuamati diriku didalam cermin. Dressnya nyaman tidak terlalu ketat ditubuhku. Kutatap diriku yang terlihat anggun dicermin. Aku tersenyum dan sekali lagi, Clara benar-benar hebat.

Clara menyisir rambutku setelah aku keluar dari ruang ganti. Ia membiarkan rambutku tergerai dengan memberi hiasan sebuah bando tipis berwarna senada dengan rambutku yang hanya dihiasi bunga mawar berwarna peach. Kulihat sekali lagi diriku dicermin sementara Clara sudah tersenyum di belakangku.

Kenzie terpana menatapku saat aku keluar dari ruang rias. Tak lama kemudian, ia tersenyum. "Kau—cantik sekali," gumamnya refleks.

Aku tertawa kecil melihat reaksinya. "Jangan menatapku seperti itu. Itu menyebalkan."

Seperti tersadar atas ucapanku, Kenzie tertawa kecil. "Baiklah kita pergi sekarang."

Aku hanya mengangguk dan mengikutinya.

"Terimakasih Clara," ujar Kenzie sambil melambaikan tangan dan langsung dibalas oleh lambaian Clara.

Tak butuh waktu lama, audi yang kami naiki sudah kembali melaju. Hari hampir menjelang malam. Kupandangi mega sore yang hampir tenggelam perlahan di ufuk barat sambil tersenyum.

* * *

Pukul delapan malam akhirnya kami selesai menghadiri pernikahan salah seorang teman Kenzie. Acaranya benar-benar meriah sekali. Kebahagiaan yang terpancar dari pasangan pengantin itu membuatku sedikit iri. Aku juga ingin seperti itu tapi—dengan luka hati seperti ini, melihat kebahagiaan mereka sedikit menyakitiku. Dan sialnya, sampai sekarang aku tidak tahu siapa yang telah menorehkan luka ini.

"Aku ingin menunjukan sesuatu padamu," Kata Kenzie ditengah keheningan.

"Apa?"

"Kau akan lihat sendiri." Kenzie menyeringai.

"Selalu saja seperti itu!" tukasku sebal.

"Hey jangan cemberut begitu. Kau akan terlihat jelek." Kenzie tertawa ringan.

Untuk pertama kalinya aku melihat Kenzie tertawa disaat menyetir. Aku tersenyum dalam hati, berharap ada percakapan yang lebih panjang untuk menghilangkan kejenuhanku. Tapi sayangnya harapanku tidak terkabul, Kenzie kembali fokus pada jalanan didepan.

"Kita mau kemana?" tanyaku setelah menyadari bahwa jalanan yang kami lalui bukan jalan yang biasa menuju kerumahku.

"Kau akan tahu, Karin," jawabnya tersenyum.

Aku menghela nafas sabar dan hanya menunggu. Menyebalkan sekali.

Lima belas menit kemudian, Kenzie membelokan audinya dan masuk ke jalanan yang lebih kecil dan menanjak. Sepuluh menit kemudian, Kenzie memarkirkan audinya tepat sebuah tanah lapang.

"Kita sudah sampai," ujarnya sebelum keluar dari audinya.

Aku membuka pintu dan menyusulnya keluar. Keberadaanku langsung disambut oleh hembusan angin malam. Kini posisiku berada diatas bukit. Kenzie menggandeng tanganku melangkah menuju tepi jurang. Pemandangan dibawah sana benar-benar indah sekali. Lampu-lampu rumah warga di bawah sana berkelip seperti kunang-kunang berwarna putih dan kuning. Ditambah lagi malam ini sangat cerah dengan taburan bintang. Cahaya bulan menerangi kami. Suasana seperti ini benar-benar membuatku tenang.

"Aku hanya ingin menepati janjiku," bisik Kenzie di telingaku.

Ia membuka selembar kertas yang tampak usang. Dikertas itu ada sebuah gambar yang dulu pernah ia gambar waktu kecil. Di gambar itu berdiri seorang laki-laki dan perempuan yag sedang bergandengan tangan disebuah tanah lapang. Mereka menatap langit malam yang penuh cahaya bintang.

"Kau ingat gambar ini? Dulu aku menggambar ini dan bilang padamu bahwa suatu saat nanti aku akan datang ke tempat dimana aku akan melihat keindahan malam dengan jelas. Lalu kau tertarik dengan tempat itu dan memintaku untuk menggambar gadis di samping pemuda ini. Bukan hanya itu, kau juga memintaku untuk berjanji agar aku mengajakmu kesana. Gadis dalam gambar ini adalah kau. Aku berjanji padamu untuk mengajakmu kemari. Kau masih ingat?"

Aku tersenyum simpul. "Aku hampir saja melupakannya. Aku tidak percaya kau mengingatnya bahkan masih menyimpan gambar ini."

"Aku tidak akan melupakan janjiku padamu meskipun kau melupakannya. Itulah alasanku mengajakmu kemari," bisiknya lagi sambil melingkarkan tangan di pinggangku dari belakang. "Selain itu, aku juga sudah mencintaimu, karin."

"Kenzie—."

"Ssshh!" bisiknya sambil mengencangkan dekapannya agar aku tidak bisa memberontak dari pelukannya. "Kau tahu? Dari kecil kau sudah memberiku rasa, dan rasa itu masih ada hingga sekarang."

"Ke-Kenzie aku—." Ucapanku tergantung begitu saja. Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan padanya. Bagiku dia adalah teman yang baik. Perasaanku padanya hanya sebatas sahabat kecil, tidak lebih dari itu.

"Maukah kau menikah denganku?" bisiknya lagi sebelum mengecup leherku.

Kecupannya membuatku sedikit terlonjak kaget. "Aku—."

Kenzie memutar tubuhku dan kami saling berhadapan. "Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku ingin perasaan itu mengalir perlahan," ucapnya sambil membelai pipiku.

Kalimatnya membuatku merasa lega. Tapi—aku seperti melihat rasa sepi dalam tatapan matanya yang teduh. Apa yang terjadi dengannya selama ini?

Dalam sekejap bibir kami bertemu tanpa kusadari. Cukup membuatku shock dan ingin melepaskannya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari dekapannya. Entah kekuatan dari mana, aku berhasil mendorongnya hingga terjungkal.

"Karin?" panggilnya dengan tatapan tak percaya.

Entah apa yang sedang merasukiku, aku benar-benar menamparnya dengan keras. "Antar aku pulang!" teriaku tanpa kendali.


-Alex Pov-

Aku terbaring ditempat tidur. Ingin sekali rasanya untuk memejamkan mata dan tertidur tapi aku tidak bisa. Terlalu banyak gumpalan-gumpalan pekat yang semakin mengeras dan mengganjal. Aku akan menikah dalam waktu dekat ini. Bisakah aku melupakan Karin dengan kehadiran Syaira di sampingku? Rasanya ingin sekali aku merenggut rasa ini dan menghancurkannya. Aku benar-benar menderita karenanya dan sekarang—aku lelah sekali. Apa yang harus kulakukan?

Kupejamkan mata dan memutar kembali tayangan yang tersimpan manis dalam ingatanku. Dari saat pertama aku bertemu dengannya, Karin menolongku dari rasa sakit saat aku mencoba mengikuti Manusia yang kujiwai untuk gantung diri. Waktu itu aku masih dalam sosok seorang gadis. Baginya itu perbuatan yang sangat konyol sekali. Aku tersenyum melihat bayangan itu. Betapa manjanya aku saat merajuk kesal padanya karena telah melepaskan tali yang mengikat leherku. Karin, Manusia yang pertama kali kutemui dan kusentuh.

Sejak saat itu, aku mulai tertarik dengannya, bahkan aku sempat berfikir untuk menjiwainya. Tapi ternyata rasa tertarikku padanya melebihi batas yang diperbolehkan, dan akhirnya rasa tertarik itu berubah menjadi suka. Lalu—seiring berjalannya waktu saat ia kemari dan berada disisiku, rasa suka ini semakin membesar hingga kusadari bahwa aku—mulai mencintainya.

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menjiwai laki-laki agar dia tertarik padaku. Tidak kusangka aku melakukan kesalahan kecil yang sangat fatal sekali dan sekarang aku harus menebus kesalahan itu dengan mengorbankan rasa cintaku padanya. Aku—akan menikah.

Kini bayangan itu berubah menjadi sebuah peristiwa dimana aku harus berpisah dengannya. Aku masih ingat bagaimana aku memeluknya untuk terakhir kalinya, ia menangis dalam pelukanku. Lambaian tangannya dan senyumnya yang terakhir sebelum pintu dimensi ditutup dan aku kehilangan dirinya—untuk selamanya.

Tak terasa air mataku menetes saat melihat bayangan itu. Perasaan yang terlahir dari jiwaku dan membuatku bahagia dengan kehadirannya sekarang berubah menjadi sebilah pisau tajam yang melukai jiwaku sendiri.

Air mataku kembali mengalir membasahi telingaku. Seandainya aku dipertemukan lagi dengannya, bolehkah aku memilikinya?

"Alex!" Sebuah suara memanggilku.

Aku membuka mata dan pemandangan di sekelilingku sangat gelap. Aku merasa berada diruang hampa. "Siapa?" jawabku bertanya.

Sebuah cahaya lembut berpendar di hadapanku. Semakin lama cahaya itu semakin membesar dan muncul sebuah sosok dari dalamnya. Sosok itu berjalan mendekatiku.

"Karin!" gumamku dengan mata terbelalak.

Ia tersenyum dan semakin mendekatiku. Aku mengulurkan tangan untuk meraihnya tapi dia belum terlalu dekat denganku, hingga akhrinya ia meraih tanganku yang terulur dan menggenggamnya.

"Apa ini benar kau?"

Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Dalam sekejap aku sudah memeluknya. Ia membalas pelukanku. Aku sangat bahagia sekali. Sungguh, aku bahagia sekali! Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku sangat merindukannya tapi justru air mataku yang mengungkapkannya.

"Kau merindukanku?"

Aku hanya mengangguk dan semakin memeluknya erat.

"Sampai sekarang aku juga sangat merindukanmu, Alex." ujarnya sambil membenamkan wajah di leherku.

"Aku ingin hidup bersamamu. Tapi bisakah kita bersama?" tanyaku mengungkapkan rasaku.

Karin mengangkat wajahnya dan melepaskan pelukannya. "Aku—tidak tahu," jawabnya sambil menggelengkan kepala. "Meskipun aku merindukanmu tapi aku tidak bisa mengingatmu." Karin mengangkat tangannya dan baru kusadari bahwa ada sebuah rantai panjang berwarna perak yang mengikat tangnnya. "Rantai ini membuatku melupakanmu. Kau sama sekali tidak ada dalam ingatanku, Alex," lanjutnya lagi.

Aku tercengang dengan pengakuannya. Ada yang merenggut kenangan itu darinya? Aku tidak percaya bahwa ada yang menghapus semua tentangku dalam ingatannya.

Sekelebat pertanyaan terlintas dalam benakku. "Jika aku tidak ada dalam ingatanmu, kenapa kau memanggilku dan tahu namaku?"

"Entahlah. Aku hanya mengikuti kata hatiku saja. Aku merasa hatiku sangat mengenalmu meskipun kau tidak ada dalam ingatanku. Aku yakin hatiku akan memperkenalkanmu padaku—suatu saat nanti," jawabnya tersenyum. "Carilah aku, dan kau akan menemukanku."

"Beri tahu aku apa yang harus aku lakukan? Aku rela melakukan apa saja untukmu." Aku mulai antusias.

"Temukan hatiku," jawabnya.

Aku merasa ia semakin melangkah mundur. Rantai itu menariknya perlahan untuk menjauhiku. Aku ingin sekali mengejarnya tapi tubuhku tidak bisa bergerak. Aku hanya bisa berteriak "Karin, jangan pergi!"

"Aku mohon kembalikan ingatanku. Hanya kau yang bisa melakukannya!" teriaknya sebelum ia masuk kedalam cahaya dan cahaya itu menghilang.

"Jangan pergi—Karin," gumamku di tengah kegelapan yang hening. Aku terisak sendirian diruang hampa.

"Alex!" Sebuah suara memanggilku lagi.

"Karin, kaukah itu?"

"Alex!"

Aku merasa tubuhku seperti terhempas angin. "Karin."

"Yang mulia Alex!" Suara itu semakin jelas ditelingaku.

Tubuhku mengerjap. Aku segera membuka mata dan melihat pemandangan di sekelilingku. Aku berada dikamar. Kulihat Syaira sudah duduk ditepi ranjang sambil mencengkram lenganku. Dan kulihat Roy juga sudah duduk di kursi dekat meja kamarku sambil menggigit buah Patch dan menatapku tajam. Melihatku tersadar, Syaira langsung berdiri dan membungkuk memberi hormat padaku.

"Apa yang kalian lakukan di kamarku?"

"Maaf sudah mengagetkanmu yang mulia. Anda sudah seharian mengurung diri dikamar sampai melewatkan waktu makanmu. Dan—ini—hamba meminta yang mulia Roy untuk mengantar hamba kekamarmu, hanya untuk mengantarkan buah ini padamu." Syaira meletakkan beberapa buah-buahan di atas meja di dekat tempat tidurku.

"Oh ya. Terimakasih Syaira," jawabku sambil tersenyum.

"Apakah anda ingin kubawakan minum?" tawarnya dengan wajah tersipu.

"Tidak. Tidak usah repot-repot melakukannya," sahutku sebelum melirik kearah Roy yang masih menatapku.

Merasa tidak enak dengan tatapan Roy akhirnya aku berkata, "Baiklah, kalian boleh keluar dari kamarku. Aku ingin beristirahat—"

"Ada yang ingin aku bicarakan padamu," timpal Roy memotong.

"Baiklah. Hamba permisi yang mulia." Syaira sambil menunduk hormat sebelum pamit undur diri.

"Apa yang ingin kau katakan?" tanyaku setelah pintu kamar tertutup rapat.

"Sepertinya kau benar-benar tidak bisa melupakan Karin yah, sampai kau menyebut-nyebutkan namanya dalam tidurmu di hadapan Syaira?"

"Itu bukan salahku. Dia yang masuk ke kamarku bukan?" jawabku dingin karena menurutku itu pertanyaan yang menyebalkan.

"Oh baiklah, itu tidak penting. Hmm—apa kau benar-benar tidak bisa melupakan Karin?"

Aku hanya terdiam mendengar pertanyaannya. Setelah aku bertemu dengannya dalam mimpi aku semakin tidak ingin melepaskannya. 'Temukan hatiku'. Ucapan itu masih terngiang dalam benakku. 'Carilah aku dan kau akan menemukanku.'

"Jujur saja aku—aku tidak tega melihatmu seperti ini, Alex. Aku—." Dalam sekejap Roy melompat ketempat tidurku dan memelukku. "Aku tidak mau kau menderita seperti ini. Aku bisa merasakannya. Kau saudaraku yang paling baik yang pernah kumiliki." Roy membenamkan wajahnya di leherku.

Aku membalas pelukannya. "Maaf sudah membuatmu ikut menderita, Roy. Maafkan aku. Maaf karena sudah membagi penderitaanku padamu. Aku—." Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya.

Saudara kembar biasanya memiliki ikatan jiwa yang kuat. Bisa merasakan kebahagiaan dan penderitaan satu sama lain dan ikatan itu semakin kuat semenjak Roy kembali dalam keluarga ini. Ia semakin dekat denganku bahkan aku merasa bahwa Roy adalah bagian dari diriku yang lain. Aku semakin merasa bersalah dengan apa yang terjadi denganku. Itu sama saja aku membuatnya menderita. Lebih tepatnya—menderita dengan penderitaan yang sama.

Jika bukan karena Karin, mungkin aku dan Roy tidak akan berakhir sebagai saudara melainkan sebagai musuh yang saling menyakiti. Aku tahu Roy juga beranggapan sama sepertiku dan aku juga tahu sejak saat itu Roy sangat mengagumi Karin.

Di saat kepergian Karin waktu itu, ia orang pertama yang memeluku dan menangis bersamaku dan tidak ada yang tahu bahwa kami merasa kehilangan orang yang sama meskipun dalam sudut pandang yang berbeda.

"Maafkan aku," bisikku dengan rasa penuh bersalah.

_______To be Continued_______

Next.. ^^

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 137K 49
•Airis Ferdinand. Aktris cantik dengan puluhan mantan pacar, baru saja mendapatkan penghargaan Aktris terbaik di acara Awards international. Belum se...
2.3M 120K 75
Ini gila, benar-benar gila. Bagaimana mungkin jiwa seseorang yang tertidur setelah dipaksa mencari pasangan tiba-tiba sudah pindah ke raga orang lain...
1.5M 78.3K 41
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
656K 39K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...