Loizh II : Arey

Por Irie77

479K 24.5K 1.6K

"Aku merasa pernah jatuh cinta tapi dengan siapa aku jatuh cinta ?". -Karin. Karin, seorang gadis yang ingata... Más

Part 1
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Versi Cetak

Part 2

23.6K 1.8K 64
Por Irie77

-Karin Pov-

Malam hari, aku terduduk di jendela kamarku sambil menatap langit dengan tangan menggenggam sebuah buku diary kecil. Jutaan embun yang melekat di antara dedaunan memantulkan cahaya bulan yang menerangi kegelapan di setiap sudut halaman rumah. Kupandangi bulan yang menggantung sendirian diatas sana tanpa ada titik cahaya bintang satupun. Benar-benar pemandangan langit yang hampa. Meskipun begitu, malam memiliki keindahan tersendiri yang selalu membuatku terpesona.

Aku mulai membuka bukuku dan mulai menulis. Bagiku, malam lebih membuatku tenang dari pada siang. Cahaya bulan yang lembut selalu menghadirkan kedamaian tersendiri dalam benakku.

Udara yang berhembus syahdu.

Kilau embun yang lembut.

Cahaya bulan yang bersinar anggun.

Disana terbentang batas sepi.

Malam kian berlalu.

Merangkai seribu mimpi.

Mengarungi malam dan mengoyakan sunyi.

Aku menghentikan gerakan tanganku. Kupandangi sekali lagi tulisanku sebelum menutup bukuku. Setidaknya itulah bait-bait yang tersirat dalam hatiku.

Sudah hampir satu jam aku duduk di jendela setelah listrik padam, tapi aku belum menyalakan lilin satupun dan membiarkan rumahku dalam keadaan gelap. Kecuali kamarku yang diterangi cahaya bulan yang masuk melalui lubang jendela. Ketenangan ini membuatku enggan untuk beranjak meskipun udara dingin mulai merambat di setiap permukaan kulitku hingga ke leher.

Tak lama kudengar suara pintu kamarku terbuka. Aku terlonjak saat kulihat sepasang mata kecil menyala sempurna dengan warna hijau terang dari celah pintu. Tubuhku kembali melemas saat aku tahu bahwa mata itu milik kucingku, Ren. Pintu kamarku yang tidak tertutup rapat membuat Ren berhasil mendorongnya hingga setengah terbuka dan aku bisa melihat kegelapan dari ruang tengah.

Ren mengeong dan langsung melompat ke jendela. Cahaya matanya mulai meredup saat menatap keluar. Ren terduduk disampingku sebelum aku mengelus bulunya. Ia mengeong pelan dan matanya semakin menyipit hingga setengah terpejam, pertanda bahwa ia merasa nyaman dengan elusanku. Aku hanya tersenyum melihat ekspresinya yang polos seperti kertas.

Semakin lama tubuhku mulai menggigil kedinginan. Tak kuat menahan dingin, akhirnya kuputuskan untuk menyalakan lilin sebelum menutup jendela. Rumahku semua sudah dalam kondisi pintu terkunci dan aman dengan membiarkan seluruh ruangan dalam keadaan gelap, kecuali kamarku yang diterangi cahaya lilin. Aku menutup tirai jendela sambil menggendong Ren yang matanya sudah kembali terbuka. Kulihat jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Aku meletakan Reen di pojokan kasur. Ren menguap dan meregangkan tubuhnya sebelum akhirnya meringkuk dan terlelap hingga membentuk bulatan seperti kue tar yang berbulu.

Aku membaringkan diri dan menarik selimut hingga seleher. Mataku masih menerawang keatas. Sesekali memejamkan mata dan bertanya pada hatiku sendiri. Aku merasa seperti mengalami perpisahan yang menyedihkan dengan orang yang pernah kucintai dan kejadiannya—sepertinya belum lama. Entah aku yang meninggalkannya atau dia yang meninggalkanku. Yang jelas aku benar-benar terluka dengan perpisahan itu. Tapi—dengan siapa? Aku bahkan tidak mengingat wajahnya sama sekali.

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan sebelum akhirnya meremas rambutku. Apa yang terjadi denganku sebenarnya? Aku tidak merasa mengidap amnesia. Kalaupun aku amnesia mungkin aku sudah melupakan segalanya, tapi pada kenyataannya aku masih bisa mengingat masa laluku waktu aku kecil. Bahkan aku juga masih bisa mengingat saat aku ketahuan memakan permen hasil curian sepuluh tahun yang lalu, tapi—aku tidak bisa mengingat kekasihku tahun-tahun yang lalu. Itulah yang membuatku selalu bertanya. Siapa dia? Seperti—ada orang yang mengambil kenangan itu dan menghapusnya secara paksa dari ingatanku.

Aku mengacak-acak rambut dengan frustasi. Setelah itu aku mencoba untuk menenangkan diri dengan menghela napas sebanyak mungkin. Tak lama ponselku berdering pendek. Kulihat pemberitahuan pesan masuk dilayar ponselku sebelum aku menekan tombol untuk membacanya.

'Lihatlah keluar jendela!'

Kulihat di kotak pengirim hanya terdapat angka-angka nomor yang tertera didalamnya, pertanda nomor itu belum tersimpan di kontak ponselku.

Aku langsung melonjak dari tempat tidur dan membuka tirai jendela. Kulihat seorang pemuda jangkung berdiri tak jauh dari jendela kamarku. Pemuda itu tersenyum sambil membentangkan kedua tangannya. Aku menatapnya dengan mata terpana karena belum pernah melihat pemuda setampan itu. Sejenak aku langsung melompat keluar jendela.

Aku masih menatapnya kagum dengan jantung berdetak kencang. Aku melangkah mendekatinya dan dia juga mendekatiku perlahan. Mata kami bertemu.

"Kau—." Ucapanku menggantung. Aku seperti pernah mengenalnya tapi—siapa dia?

"Karin." Panggilnya membuatku semakin gugup.

Dalam sekejap aku sudah berada dalam pelukannya. Ia membenamkan wajahnya dileherku dan memelukku erat.

"Aku sangat merindukanmu." Isaknya dalam tangisan.

"Kau—siapa?" tanyaku penuh keheranan.

Dentuman keras mengenai dirinya dan dia—lenyap sebelum menjawab pertanyaanku.

Aku melonjak dan ternyata aku masih duduk di jendela. Aku memandangi sekitarku dengan bingung. Kulihat tangaku masih menggenggam buku diary kecilku dan kamarku masih dalam keadaan gelap. Aku—bermimpi?

Oh ya aku ingat, aku duduk meringkuk sambil bersandar. Udara yang menenangkan membuatku ketiduran di jendela dalam posisi duduk. Aku putuskan untuk menutup jendela sekaligus menutup tirai sebelum aku menyalakan lilin. Kulihat Ren sudah terlelap di sofa yang terletak disudut kamar dengan posisi tubuh lurus.

Jam sudah menunjukan pukul sembilan lebih tiga puluh menit. Waktu yang lebih cepat di banding jam dalam mimpiku. Aku mulai membaringkan diri dan menarik selimut. Tak lama ponselku berdering pendek. Sebuah pesan masuk terpampang di layar ponsel. Kulihat hanya nomor yang tertera di kotak pengirim. Jantungku berdegup kencang. Dengan hati-hati, aku menekan tombol untuk membaca isi pesan.

'Lihatlah keluar jendela!'

Mataku terbelalak membaca pesan itu. Ini—pesan yang ada dalam mimpiku barusan. Apakah aku bermimpi lagi? Aku mencubit pipiku dengan keras dan pipiku terasa sakit. Masih kurang percaya akhirnya aku menampar pipiku hingga merah. Aku meringis kesakitan sambil mengelus-elus pipiku perlahan.

Ponselku kembali berdering. Kulihat nomor yang sama dan pesan yang sama. Aku langsung membuka tirai jendela dan—sosok pemuda sudah berdiri disana.

Aku menyipitkan mata sebelum bergumam "Kenzie?"

Tapi—di mimpiku tadi bukan dia yang datang.

Tanpa pikir panjang aku melompat keluar jendela. Aku langsung berlari kearahnya dan dia tersenyum hangat.

"Kenzie!"

"Apa kabar Karin? Sudah lama kita tidak bertemu yah," sapanya lembut.

Aku sendiri juga tidak percaya bisa bertemu dengannya lagi. Dia—sahabat kecilku. Kami saling berpelukan.

"Aku baik-baik saja. Kenapa kau tidak memberi kabar kalau kau sudah pulang dari luar negeri?"

"Aku suka melihat ekspresimu saat terkejut seperti itu," jawabnya polos.

Aku termangu sejenak. 'Aku suka melihat ekspresimu yang terkejut seperti itu'. Sepertinya aku pernah mendengar ucapan seperti itu. Tapi siapa?

"Kau selalu saja membuat kejutan untukku."

Kenzie tertawa saat melihat rumahku. "Kau sama sekali tidak berubah Karin. Selalu malas untuk menyalakan lilin disaat listrik padam."

"Sudah menjadi kebiasaan agar kau tidak heran melihatnya. Kau sendiri juga tidak berubah."

"Agar kau bisa mengenaliku." Kenzie tersenyum. "Besok kau ada acara?"

"Hmm—tidak."

"Besok aku akan menjemputmu sepulang kerja."

"Sungguh?"

Ia mengangguk. "Aku ingin mengajakmu kesuatu tempat."

"Kemana?"

"Kau akan tahu sendiri nanti." Kenzie mengedipkan sebelah matanya.

Aku tersenyum melihat tingkahnya. "Selalu ada kejutan darinya. Itulah yang membuatku dulu menyukainya," gumamku dalam hati.


-Alex Pov-

"Apa ini?" Kulihat sebuah bangunan menjulang tinggi diantara tebing batu yang curam.

"Itu Istana Occultum yang baru saja dibuat oleh ayah untuk tempat tinggal mereka saat ini," jawab Roy dengan tatapan takjub kearah menara.

"Kenapa kau mengajakku kemari?" tanyaku menyipitkan mata.

"Ayah memintaku untuk mengundangmu ke istananya. Ada yang ingin ia tunjukan padamu Alex."

Ucapan Roy membuatku semakin bertanya-tanya, sebenarnya apa yang ingin mereka tunjukan?

Kulihat di sekelilingku tampak sangat indah dan pekat. Di samping kiriku terdapat air terjun kecil. Bangunan ini sengaja dibuat lorong di bagian halamannya. Sangat cocok sekali jika perjalanan menuju kemari harus melewati hutan gelap yang mengerikan. Peri beterbangan dimana-mana. Sepertinya ayah berhasil membuat tempat untuk berlangsungnya kehidupan para peri disini.

Terlihat dari lorong kosong disamping bangunan, di sana banyak sekali peri-peri yang beterbangan keluar masuk. Aku tersenyum dalam hati. Bangunan ini bisa dibilang cukup besar. Berbeda sekali dengan tempat Occultum yang biasa dibangun ayah. Ini bukan menara lagi tapi benar-benar istana. Biasanya ayah tidak membangun menara sebesar ini. Jika dilihat dari tempat dan struktur bangunannya, aku langsung tahu bahwa ayah memang sudah menyiapkan tempat ini untuk dia tinggali seusai turuh tahta. Cerdik sekali!

Aku masih mengikuti langkah Roy yang berjalan mendahuluiku melewati halaman. Dan—apa ini?

"Cahaya matahari?" tanyaku sambil mendongak keatas.

"Bukan. Coba perhatikan baik-baik."

Kuperhatikan bola cahaya yang terang benderang. Semakin lama bola itu bentuknya tidak stabil. "Ulqi?" tanyaku tak percaya.

"Itu Ulqi milik yah. Jangan katakan kalau kau baru pernah melihatnya Alex."

Aku ternganga dengan takjub. Ulqi Ayah berwarna kuning terang bahkan mendekati warna putih. "Sekuat itukah ayah?"

"Ya, tapi ayah memang tidak pernah menujukannya pada siapapun kecuali saat melawan Dendez."

Kami melanjutkan langkah menuju bangunan yang sudah berada tepat dihadapan kami. Kami mulai menaiki tangga dan dalam sekejap pintu terbuka sendiri secara otomatis. Hal ini sedikit membuatku heran saat aku menyadari bangunan ini diselimuti oleh Ulqi. Bagaimana ayah bisa melakukan ini?

"Lihat! Yang mulia raja datang!" teriak ayah yang sudah berdiri ditangga yang membentuk spiral.

"Jangan memanggilku seperti itu ayah. Bagaimanapun kau adalah orang tua kami," jawabku sambil membentangkan tangan dan memeluk ayah. "Kau juga pernah menjadi Raja."

Ayah terkekeh mendengar jawabanku dan membalas pelukanku, sementara Roy langsung menaiki tangga tanpa aba-aba. Aku tahu Roy ingin langsung menemui ibu.

"Bagaimana kabarmu Alex? Sepertinya kau belum bisa melupakan gadis itu," tanya ayah setelah merangkulku keteras belakang.

"Seperti yang kau lihat, ayah," jawabku menunduk.

"Sudah kuduga akan seperti itu." Ayah melepas rangkulannya sejenak.

"Roy bilang, ayah ingin menunjukan sesuatu padaku? Apa itu?"

"Oh iya, tunggu sebentar." Ayah berteriak. "Syaira! Kemarilah!"

Aku hanya terdiam mendengar panggilan Ayah.

"Iya Paman!" Sebuah suara gadis menyauti panggilan ayah.

Ayah tersenyum dan aku merasa ada sesuatu dibalik senyumannya. Rasa gelisah mulai menyelimuti disetiap pori-pori kulitku saat seorang gadis cantik muncul dari balik pintu bangunan sebelah.

"Siapa dia, ayah?" bisiku di telinga ayah sambil menatap gadis itu.

"Itu Syaira. Putri teman Ayah dari kota Lignum," jawab Ayah membalas bisikanku.

Gadis itu tersenyum riang dan mendekati kami.

"Kenalkan ini putraku, Alex. Dia menggantikanku sebagai raja sekarang." Ayah sambil menepuk punggungku.

Entah pengaruh apa yang diberikan oleh ayah sehingga aku tersenyum padahal aku tidak menginginkannya.

"Oh, hormat hamba yang mulia. Perkenalkan nama hamba Syaira dari kota Lignum." Gadis itu membungkuk hormat dihadapanku dan langsung kembali berdiri.

"Alex." Aku hanya menganggukan kepala.

"Syaira bisa buatkan minum untuk Alex?" Mata ayah tampak berbinar senang.

"Tentu saja paman. Dengan senang hati." Syaira tersenyum dan berlalu meninggalkan kami diteras belakang.

"Apa kau merencanakan sesuatu tanpa sepengetahuanku, ayah?" tanyaku setelah Syaira hilang dari pandanganku.

"Maafkan ayah jika sebelumnya tidak memberitahukanmu, Alex. Ayah hanya ingin kau terlepas dari penderitaanmu. Karena itu, ayah terpaksa bermaksud untuk menikahkanmu dengan Syaira."

"Tapi ayah aku—."

"Dengarkan Ayah, semua ini untukmu dan jiwamu. Mau sampai kapan jiwamu akan terkoyak seperti itu?"

"Ayah—."

"Kau adalah raja dan untuk menjaga rakyatnya, seorang raja tidak boleh terluka." Ayah menatapku lekat. "Kau akan menikah dalam waktu dekat ini agar kau segera melupakan gadis itu. Ayah yakin, Syaira akan membantumu untuk melupakannya."

Mataku mulai tergenang air. Wajah Ayah di hadapanku mulai buram. Tak terasa genangan air itu menetes perlahan melewati pipiku. "Aku—tidak mau ayah. Aku tidak ingin melupakannya."

"Jika kau tidak melupakannya, aku yakin kau tidak ingin menikah dengan orang lain selain dirinya bukan? Itu sangat dilarang, Alex. Kenapa kau tidak mau mengerti?" tuturnya dengan suara bergetar menahan amarah.

"Maafkan aku," gumamku putus asa.

"Permisi! Apakah kedatanganku mengganggu?" Roy membuatku dan ayah menoleh kearahnya.

"Tidak Roy. Kau datang tepat pada waktunya," ucapku cepat sambil menatap ayah tajam.

"Benarkah? Tapi maaf, aku sempat mendengar ucapan kalian." Roy menatap ayah yang sudah memandang sekumpulan para peri yang sedang bergelantungan disalah satu dahan pohon. "Ayah, menurutku tidak baik memaksakan kehendak seperti itu."

"Dengar Roy. Semua ini ayah lakukan agar tidak terjadi bencana pada kehidupan kita. Ayah tidak akan membiarkannya untuk jatuh cinta apa lagi sampai menikahi gadis yang berbeda dunia dengan kita."

"Tapi ayah, menikahkannya dengan cara paksa juga akan membawa malapetaka bagi kehidupan Alex bukan?"

Yap, benar sekali. Terkadang Roy selalu menjadi Dewi Penolongku disaat aku sedang terpojok seperti ini. Itulah yang terkadang membuatku kagum padanya.

"Malapetaka yang dialami satu orang tidak akan berpengaruh buruk bagi kehidupan di Loizh. Tapi malapetakan di Loizh semua Una akan terkena dampaknya. Pikirkan itu baik-baik!" ucap ayah tegas.

"Apa itu sebuah pengorbanan yang harus dilakukan Alex?" Roy menatap ayahnya tak percaya.

Ayah mengangguk. "Itulah yang harus ia lakukan. Mengorbankan perasaan dalam jiwanya yaitu dengan cara menikah." Dalam sekejap ayah sudah memeluku erat. "Maafkan ayah nak. Hanya itu satu-satunya cara."

"Terimakasih atas usahanya. Aku ingin sekali menghargainya, tapi—" Ucapanku menggantung. Aku tidak sanggup untuk berkata lagi.

Jiwaku terlalu sakit untuk mengungkapkannya. Padahal aku ingin mengatakan bahwa aku akan selalu mencintainya sampai kapanpun meskipun terikat oleh mantra pernikahan dengan wanita lain.

"Karin, aku ingin pergi denganmu," jeritku dalam diam.

_______To be Continued_______

Next.. ^^

Seguir leyendo

También te gustarán

126K 14K 15
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 3) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ____...
309K 799 8
konten dewasa 🔞🔞🔞
268K 22.8K 21
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
627K 52.2K 55
|FOLLOW DULU SEBELUM BACA, TITIK!!| Transmigrasi jadi tokoh utama? Sering! Transmigrasi jadi tokoh jahat? Biasa! Transmigrasi jadi tokoh figuran? Bas...