Diana Clarington

By trezhiee

231 3 0

Diana adalah kawan masa kecil dari Emily Clarkson yang dipertemukan oleh nasib setelah perceraiannya dengan s... More

Bertemu Kawan Lama
-- Billy Johnson --
-- Vania --
-- Harris --
-- Friday the 13th --

-- Augustine --

19 0 0
By trezhiee

Diana Clarington mengedikkan mata dan aura lain memasukinya, aku tidak yakin dengan pribadi yang lain. Apakah Enigma? Dr.Welsh bersiap-siap dan aku menunggu dengan penuh ketegangan.

“Hey,” sapanya tersenyum. Aku merasakan keteganganku dan Dr.Welsh memudar. Matanya berkedip dan menopang dagunya. Tiba-tiba ia berdiri dan akan berjalan keluar dari ruangan sebelum aku menghentikannya.

“Diana! Kau mau kemana?” tanyaku tiba-tiba. Ia berhenti dan memutar badan.

“Bersenang-senang, silly. Hidup hanya sekali, kau harus menikmati setiap detiknya,” jawabnya sambil memperlihatkan giginya. Ia menyibakkan rambutnya dan meraba lehernya, memperlihatkan kebosananya. Tiba-tiba ruangan itu dipenuhi feromon.

“Siapa kamu?” tanya Dr.Welsh.

“Kau gila? Aku Diana Clarington. Aku lahir dan tumbuh besar di St.Luciana, tidakkah kau sadar ini aku?” tanyanya dengan sarat mata nakal dan melihat melalui bulu matanya. “Hey, aku bosan oke? Kau tidak akan melarangku berjalan menikmati hidup kan?”

Aku dan Dr.Welsh saling pandang, sebelum Dr.Welsh memutuskan untuk memenuhi permintaannya. Tetapi dengan ketentuan bahwa kami akan ikut dengannya.

Diana tertawa, “Dan kenapa aku harus mau diikuti oleh kalian? Aku tidak butuh dua bodyguard menemaniku, tanpa adanya keuntungan yang kudapatkan dengan—“

“Maksud kami adalah kami mengajakmu makan malam di Mount Dupoint karena aku sedang berulang tahun, Diana. Kau lupa ya ini ulang tahunku?” tanyaku berbohong. Tampaknya Diana yang satu ini tidak sadar bahwa kami sedang dalam sesi terapi dan menganggap Dr.Welsh dan aku adalah teman biasa yang bertemu dalam satu ruangan.

Aku lupa memberi tahu bahwa ruangan terapi Dr.Welsh bukanlah ruangan kaku yang berisi tempat tidur putih beserta obat-obatan yang terpampang dalam lemari putih berkaca. Ruangannya bukanlah tipikal ruangan untuk orang sakit jiwa yang sering kau lihat di televisi, ruangannya diisi dengan buku-buku ringan sampai berat dan diiisi furniture bernuansa kayu. Sangat nyaman, katanya ini untuk lebih menstimulasi mereka dengan gangguan psikologis merasa aman dan tidak penuh tekanan. Tetapi tentu saja akan ada satu pintu yang berisi ruangan putih mengerikan itu dengan alat-alat kejiwaannya, tetapi Diana tidak perlu tahu.

“Oh! Maafkan aku temanku, aku hanya ingin membeli kado untukmu makanya aku tidak mau kalian ikut. Tapi kalau sudah begini, yasudah. Mount Dupoint kan? Tentu! Tentu! Temani aku belanja, manis. Aku harus beli baju sebelum – oh, apakah kau juga mau ikut kami wanita belanja?” pandangan Diana mengarah kepada Dr.Welsh yang tidak memakai baju putih tipikal dokter.

“Oh tidak aku tidak akan ikut kalian belanja. Tetapi aku juga ingin membeli buku untuk studi teori pengembangan otak manusia, Diana. Kita dapat sama-sama pergi ke downtown mendapatkan kado dan baju yang kau perlukan!” jawab Dr.Welsh lancar seakan ini sudah menjadi bagian dari rencana.

Sweet! Ayo kita pergi!” seru Diana riang menarik lenganku kuat-kuat.

Dalam perjalanan Dr.Welsh berbisik kepadaku cepat bahwa ia tidak akan lebih jauh dari sepuluh meter mengikuti kami dan memintaku untuk berteriak atau menelponnya apabila ada hal aneh terjadi. Aku mengangguk dan melambaikan tangan terhadap Dr.Welsh yang pura-pura memasuki toko buku dan mencari Theory of Mysterious Human Mind by Carl Jackson.

*

Makan malam di Mount Dupoint nampaknya menggembirakan hati Diana dan ia berdandan sangat cantik, aku nyaris tidak mengenalnya saat ia memakai cocktail dress abu-abu Armani Exchange dan sepatu Prada merahnya. Ia menarikku pulang ke rumahnya dan menemukan banyak branded goodies yang tersembunyi di bawah tempat tidur dan belakang lemari baju Diana untuk memasangkan tas Miu-miu berdetail rantai emas untuk dicocokkan dengan sepatu barunya yang seharga $200. Ia tidak lupa juga menutupi wajahnya dengan polesan bibir merah dan eyeshadow smokey yang mendukung seluruh penampilannya.

Untuk makan malam Mount Dupoint yang menurutku mahal, tetapi tidak semahal keseluruhan atribut lengkap Diana berlangsung dengan –yah sampai sejauh ini – tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dr.Welsh memakai blazer dan kemeja putih yang simple namun saat ini aku tidak bisa tidak menyadari bahwa garis wajah Dr.Welsh yang keras dan runcing makin terkasat mata. Bola matanya seperti bongkahan safir dan alisnya cukup tebal membingkai keseluruhan tatapannya. Emily Clarkson yang bodoh baru saja menyadari bahwa Frederick Welsh tampan setelah kurang lebih berinteraksi dengannya selama satu minggu tujuh jam setiap hari. Mungkin dikarenakan kekhawatiranku yang sangat besar terhadap Diana, membutakan semua sense-ku yang lain. Ia membawa seorang kawannya yang tidak kalah tampan.

Aku menarik Dr.Welsh mendekat, “Dr.Welsh, aku menghargai keramahanmu membawa seorang kawan agar berjumlah genap, tetapi aku tidak yakin aku bisa membayar tagihan untuk empat orang tanpa aku harus tidak makan selama seminggu,” bisikku.

“Jangan khawatir Ms.Clarkson, aku yang akan membayar tagihannya walaupun itu tertulis atas namamu. James adalah rekanku, ia mengerti sepenuhnya kondisi Diana,” katanya balas berbisik.

“Tidak boleh begitu! Aku yang menyeret kau dan Diana untuk ke restoran yang bahkan aku kunjungi hanya saat merayakan anniversary perkawinanku,” tolakku halus namun sedikit gugup.

“Kau sudah menikah, Ms.Clarkson?” tanya Dr.Welsh membesarkan mata.

“Baru saja bercerai, dan itu bukan topik utamanya! Aku tidak bisa membiarkan kau membayar kami semua.”

“Oh, aku terkejut karena inisial namamu ms. bukan madam atau mrs. Baiklah kalau begitu kita bagi berdua saja. Cukup fair kan?” akhirnya Dr.Welsh mengalah.

“Baik begitu saja,” aku melihat Diana memandang aneh kepada kami dan aku cepat-cepat menarik Dr.Welsh menuju tempat duduk reservasi, “ayo, dok—F-Fred. Kita tidak mau Diana menunggu.”

Saat itu adalah malam pukul 9.21 dan Dr.Welsh serta aku memasuki mobil Chevrolet Aveo miliknya. Diana Clarington tidak kunjung menjadi Diana Clarington yang kami kenal, maka dari itu kami berdua cukup mengulur waktu berbicara sebelum memasuki mobil dan berpendapat bahwa kami tidak dapat mempercayai identitas Diana yang satu ini. Apabila Diana asli tidak kunjung hadir, kami akan menempatkannya dalam kamar terapi khusus dengan suster-suster yang dapat mengawasinya 24jam. Selama perjalanan ini, kami setuju mengorek pribadi Diana yang satu ini saat sedikit mabuk.

“Jadi, Diana Clarington. Kau suka pestanya?” mulai Dr.Welsh.

“Yah cukup senang, maksudku aku jarang diajak makan mahal tahu? Emily memang sangat baik mengundangku, dan—“ ia terlihat menutup mulutnya. Aku cepat-cepat mengambil plastik, tetapi Diana tertawa cegukan.

“Kau terlihat lebih gembira dari yang kau katakan,” Dr.Welsh berkata dengan sedikit nada khawatir mobilnya akan terkena jackpot.

“Aku sering memanjakan diriku. Aku butuh perawatan, wanita punya kebutuhan, kau tahu? Tidak ada yang bisa mengalahkanmu apabila kau – bisa menikmati apa yang hidup tawarkan. Hidup tidak akan buruk bila kau coba untuk melihat titik terangnya kau tahu? Kalau kau ingin memiliki barang, beli saja. Kalau kau ingin menjadi cantik, jangan tahan keinginanmu membeli walaupun harganya $1000. Untuk apa ada kartu kredit?” ia tertawa keras  sambil ambruk di dadaku.

“Kalau kau bahagia, tidak akan ada masalah bila hal buruk menimpamu kan? Walaupun kau dikejar hutang ataupun orang-orang membenci dan merendahkanmu. Semua orang hanya iri akan kecantikanku dan oleh apa yang aku punya.,” kata Diana bergumam tidak dapat berhenti. Ia lalu menatapku kosong dan tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya.

“Emily, kamu tahu tidak? Wanita harus jadi cantik, jadi betapapun orang merendahkanmu dan membencimu kau punya alasan untuk berdiri! Punya hal yang bisa kau banggakan! Tidak akan ada lelaki yang menolakmu!” Diana tertawa kencang sekali dan aku harus menenangkannya sebelum aku sadar Dr.Welsh membawa kami ke tempat terapi. Keadaan Diana sungguh menghawatirkan, dan aku benar-benar sedih melihat sedalam apa Diana jatuh dalam kekosongan tanpa orang mempedulikan dan mengetahui.

Dr.Welsh membantuku menarik Diana turun dan membawanya. Dalam keadaan mabuknya, Diana menyadari bahwa ia tidak dibawa pulang ke rumahnya oleh Dr.Welsh. Seketika Diana mencoba kabur, tangan dan kakinya tidak terkontrol. Aku dan Dr.Welsh kewalahan, sampai Diana jatuh ke lantai. Dr.Welsh menelpon seketarisnya melalui ponsel yang terengah-engah diambilnya, “Halo? Kent? Demi Tuhan, tunjukkan batang hidungmu di pintu utama dan bantu aku. Bawa yang lainnya!” teriaknya. Diana mulai berteriak-teriak, “Tidak mau! Aku ingin pulang!” berkali-kali.

“Tenanglah!!” teriakku mendiamkannya. Sekejap pandangan kosong Diana menatapku.

“Kalian.. Aku tahu, ini adalah bayaran mahal restoran itu ya?” Diana tertawa tidak terkontrol, “Baiklah. Baiklah. Harga diri bukan apa-apa. Panggil semua teman-temanmu, Fred! Aku akan memuaskan kalian satu-satu!! Kalian mau gaya apa?” tanya Diana terlihat gila.

“DIANA!!!! Sadarkan dirimu! Kami hanya mau membantumu!!” teriakku tidak sadar mengeluarkan air mata sambil memeluknya erat.

“Siapa Diana? Siapa dia? Aku Augustine! Wanita malammu! Jangan sampai kau lupa!”

Beberapa orang berlari kearah kami dan membantu kami membawa Diana masuk, salah satunya membawa obat penenang. Tetapi Dr.Welsh mengangkat tangan secara Diana terlihat pasrah dan dapat diatasi walaupun berkali-kali ia menggumam meyakinkan siapapun yang ia lihat, “kita akan menikmatinya bersama, pasti,” dan bergumam pelan lagi, “jangan bingung, aku profesional” lebih kepada dirinya.

Mereka membawa Diana ke ruangan putih jauh dari jangkauan benda tajam dan peralatan keras, mendudukkan Diana-Augustine disitu dan memberinya air putih agar menghilangkan efek mabuknya. Diana mulai memberontak lagi begitu ia melihat ruangan itu, “Aku tidak mau! Tidak! Aku tidak suka orang sadis. Rough tidak apa tapi aku bukan masochist!” sebelum seorang asisten Dr.Welsh yang diduga bernama Kent menyuntikkan obat penenang. Hanya hitungan detik Diana mulai lemas dan bernafas lebih teratur. Dr.Welsh mengusap keringatnya dan aku diam menatap Diana kosong, seakan rohku tersedot keluar.

“Kau tidak apa, Ms.Clarkson? Apakah kau ingin pulang?” tanya Dr.Welsh menatapku penuh simpati.

“Aku hanya ingin kopi yang kuat, Dr.Welsh,” jawabku datar.

“Mari kutemani, Ms.Clarkson,” ia memberikan gestur kepada Kent dan Kent balas mengangguk cepat, “kami akan segera kembali, Diana.” Diana terlihat menatap kami berdua dengan pandangan kosong yang dua kali lebih menghawatirkan dari insiden mabuknya.

Dr.Welsh membawaku ke coffee stop terdekat yang masih berada dalam satu gedung dengan ruangan terapinya. Aku memesan kopi Americano dan Dr.Welsh yang tidak terlihat sama terguncangnya denganku memesan Espresso dengan sedikit susu. Kami tidak berbicara lama sekali, dan aku menghindari pandangan matanya yang mengawasiku.

“Paling tidak kita bertemu dengan personality Augustine dan membuatnya bicara banyak,” kata Dr.Welsh memecah keheningan.

Aku melempar pandangan sangat mencela, dan membuat Dr.Welsh memundurkan pandangan dan badannya dariku. Tampaknya kemungkinan seorang wanita normal yang mendelik lebih menakutkan daripada wanita gila yang berteriak-teriak memecah malam.

“Aku mengerti amarahmu, Ms.Clarkson. Tapi kita harus melihat segala kemungkinan yang terbaik dari apa yang terjadi malam ini,” katanya hati-hati, terlihat berjaga-jaga bila aku berteriak tiba-tiba.

“Kesalahanku adalah membiarkan Diana ‘Augustine’ Clarington mabuk dan membiarkan Mr. Frederick Welsh memperlakukannya seperti orang gila,”kataku licin dan dingin.

“Aku akan meminta maaf denganmu, Ms.Clarkson bila itu membuatmu lebih baik. Tetapi aku tidak memposisikan diriku sebagai seorang teman yang baik bagi Ms.Clarington. Aku punya anak buah dan aku bertanggung jawab atas keselamatan Ms.Clarington dan Ms.Clarkson, sahabatnya apabila itu artinya memperlakukan Ms.Clarington dengan berbeda dan mendapat protes keras dari sahabatnya,” katanya menjelaskan, tanpa nada jelas. Bukan permintaan maaf maupun argumentasi, dan aku terlalu marah untuk memandang sepasang mata safir itu.

Aku sadar bahwa Dr.Welsh tidak punya pilihan yang lebih baik, tetapi apakah yang kami lakukan ini akan berhasil baik? Apakah ini yang diperlukan Diana untuk memaafkan masa lalunya? Tidak adakah cara lain?

Aku menerawang jauh dengan menyimpan amarah yang berangsur-angsur membaik. Pemahaman dan penjelasan Dr.Welsh tidak akan bisa aku sanggah, tetapi aku belum bisa memaafkannya untuk saat ini. Tetapi aku memutuskan untuk sedikit melunak, apapun yang terjadi ia sudah banyak membantu.

“Tapi tampaknya anda cukup takut dengan konfrontasi, Dr.Welsh.”

“Anda tidak salah Ms.Clarkson. Wajah anda sanggup menghentikan peperangan,” jawab Dr.Welsh jujur. Perkataannya membuatku teringat saat mantan suamiku, tergagap sampai salah mengambil oatmeal dengan sereal HoneyBun milik Cynthia saat aku mengetahui kedekatannya dengan Patricia Robinson. Aku mendengus.

Sudah sepuluh hari semenjak hari kedatangku di St.Luciana dan dengan menemani Diana secara intensif karena dia adalah pengidap Dissociative Identity Disorder yang mempunyai alter ego lain yang hostile – membahayakan dirinya. Sejauh diskusi kami dengan Diana Clarington yang asli, ia menceritakan tentang keberadaan Enigma yang diduga merupakan alter Diana yang berbahaya dan kerap menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas mutilasi diri, luka bakar ataupun pukul yang terlihat di bagian tubuh Diana.

Dr.Welsh sudah menceritakan dan menjelaskan ke Diana tentang tiga identitas yang sudah kami temui, yaitu: Billy Johnson, seorang anak kecil yang diduga berumur tujuh atau delapan tahun dengan ketertarikan yang besar terhadap kapal dan pesawat terbang. Sejauh ini Billy tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia adalah identitas agresif dan tidak mempunyai memori mengerikan yang pernah ia alami.

Kedua adalah Vania, personality tomboy yang mengejar ambisinya dan merupakan pribadi yang keras dan dingin. Sebuah projeksi Diana yang ingin mandiri dan mencari jati diri. Vania percaya ia masih remaja dan dibalik sifat emosionalnya, ia pribadi yang cukup dapat diajak bekerjasama. Kejujuran dan sikap masa bodohnya mempermudah Dr.Welsh mendapatkan informasi, walaupun ia bersumpah tidak pernah dikerasi secara fisik. “Kutonjok wajahnya kalau ada yang berani macam-macam denganku!” katanya.

Ditengah-tengah pembicaran, terkadang alter Diana yang bernama Harris hadir menceritakan kisah cintanya dan kenangan ia bersama seorang teman masa kecil yang terlupakan nama dan rupanya. Pribadi Diana yang ini romantis dan aku berani bilang dia akan menjadi laki-laki yang dijerat perempuan bila mempunyai tubuh dan rupa yang sesuai. Maksudku, tidak akan ada wanita yang menyukai laki-laki berpayudara dengan rambut ash-blonde menjuntai sepinggang, kan?

Saat ini, kami baru saja bertemu dengan alter Diana yang lain: Augustine. Aku dan Dr.Welsh setuju dalam diam bahwa ini adalah identitas Diana yang sejauh ini sulit dihadapi. Ia liar, senang menghamburkan ratusan dolar dan mempunyai pandangan ekstrim tentang sosial dan laki-laki. Menurut pendapat Dr.Welsh dengan rekannya Dr.James yang diundang ke makan malam sebelum adanya insiden mengungkapkan bahwa Augustine mungkin adalah alter Diana yang keluar saat melakukan hubungan seks dan adalah penikmat hidup. Ini menjelaskan atas pribadi siapa yang bertanggung jawab saat Diana tiba-tiba terbangun di kamar asing, hotel ataupun di hangover setelah mabuk di bar. Aku mulai takut dengan penjelasan Dr.Welsh bahwa kepanikan Augustine setelah ditarik masuk ke dalam ruangan menandakan ia sering mendapatkan kekerasan seksual dengan sadis dari pelakunya.

“Karena sering dianiaya tanpa adanya support positif dan perlindungan, mekanisme persepsinya mangalahkan rasa takutnya dengan mempercayai bahwa hal itu adalah bagian dari kebahagian dan kenikmatan hidup,” jelas Dr.Welsh.

“Jadi maksudmu adalah, ia sering dilecehkan secara seksual sampai berpikir bahwa itu hanyalah kebahagiaan yang ditawarkan hidup?” tanyaku pelan. Kuperhatikan Dr.Welsh memandangi tanganku yang mulai gemetar.

“Bagi pribadi Augustine, Ms.Clarkson. Aku yakin Ms.Clarington tidak mempunyai pendapat yang sama dengan egonya yang ini,” jawabnya meyakinkanku.

“Apa tujuanmu, Dr.Welsh? Aku tidak yakin aku bisa percaya bahwa Diana Clarington dapat sembuh dan menjadi pribadi yang utuh dan normal,” tanyaku serius, mengharap jawabannya dengan takut. Aku tidak bisa membayangkan Diana akan hidup seperti ini seumur hidupnya.

Dr.Welsh terdiam, seolah menimbang-nimbang untuk mengatakannya. Tetapi ia akhirnya menjawabnya, “Aku dapat menjawab pertanyaanmu dengan ‘Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkannya’ tetapi aku tidak mau menghidupimu dalam delusi. Prioritas utamaku bukanlah menjadikan Ms. Clarington normal tetapi agar Diana dapat berdamai selain dengan masa lalunya, yaitu dengan alternya yang lain,”

“Maksudnya kau akan menyatukan alter-alter itu, Dokter?”

“Betul sekali Ms.Clarkson, walaupun sangat kecil sekali kemungkinan untuk menyatukan semua alternya menjadi satu. Tetapi Ms.Clarington dapat belajar dan terbiasa menghadapi alter lain, dan aku berharap besar agar identitas lain sedikit demi sedikit bersatu dengan pribadi utama Diana Clarington,”

“Lalu bagaimana dengan identitas lain yang berbahaya seperti Enigma? Kau lihat sendiri kan Augustine sulit sekali dikendalikan dan diajak bekerjasama.”

“Dalam semua pribadi-pribadi milik Ms.Diana Clarington, ada yang dinamakan host personality, dimana identitas ini bukanlah identitas asli Diana Clarington. Identitas ini terbentuk karena suppressed emotion yang ia lakukan bertahun-tahun, kuburan semua dendam dan kebenciannya dan trauma ekstrimnya. Kalau kita beruntung, kita bisa menghilangkan alter yang tidak terkontrol itu dengan membuat Diana Clarington lebih kuat mental dan menerima semua penderitaanya seperti ia memaafkan dirinya sendiri. Dikarenakan Ms.Clarington mengalami amnesia tentang masa lalu itu, kami berusaha menganalisa detail yang kami dapat dan menjadikan itu kekuatan untuk Ms.Clarington bukan untuk melemahkannya. Dari situlah, subconscious Diana Clarington akan menstimulasi pribadi utama yaitu Diana sendiri untuk lebih kuat melawan pribadi Enigma,” terang Dr.Welsh sebisa mungkin agar aku mengerti.

“Jadi dokter, pada akhirnya semua tergantung pada Diana,” kataku. Dr.Welsh mengangguk.

Dr. Welsh memintaku untuk pulang dan beristirahat sejenak karena Diana sedang dalam masa efek obat penenang. Tidak akan ada yang bisa kulakukan selain menunggu, dan Dr.Welsh siap menarik paksa aku pulang bila aku tetap menetap menunggu Diana sadar sepenuhnya. Dr.Welsh juga bersumpah akan menghubungiku kalau Diana Clarington siuman, sepagi apapun itu dan aku mau tidak mau pergi meninggalkan tempat itu dengan banyak pikiran mengenai kelangsungan hidup Diana Clarington. Aku menatap diriku sendiri dalam refleksi pintu berkaca dan aku lupa bahwa kami baru saja makan malam di Mount Dupoint. Sekarang diriku tidak lagi mengkhawatirkan Diana Clarington, aku lebih menghawatirkan baju kusut, rambut tak terkendali, wajah penuh keringat dan pandangan orang melihat diriku berjalan pulang dini hari.

*

Untuk seorang wanita yang baru saja bercerai, tentu saja kejadian Diana membuatku nyaris melupakan realitas kehidupanku. Perceraianku dengan Derrick bukanlah hal mudah, dan aku lebih mengkhawatirkan perasaan Karen lebih dari apa yang kualami. Orang mengatakan perceraian sangat berdampak bagi psikologis anak dan aku mengambil berat pasal itu, rumah tanggaku tidak berlangsung baik selama dua tahun terakhir dan pertengkaran memenuhi rumah yang kutinggali bersama Karen. Ia selalu menjadi saksi pertengkaran dan perang dingin aku dengan Derrick, hal ini membuatnya terguncang. Sampai pada suatu saat Karen menghilang seharian dan nyaris membuatku kehilangan semangat hidup, dengan Derrick yang terus-terusan menyalahkan perkawinan kita. Aku tahu Derrick terlandasi emosi dan penyesalan, menyalahkan apa yang telah terjadi. Kami akhirnya memutuskan untuk bercerai. Aku tidak mau mengatakan kami bercerai demi Karen atau demi kebaikan bersama, karena perceraian merupakan hal sulit yang membuat sedih semua pihak. Tetapi aku dan Derrick percaya bahwa percaya perceraian ini akan membuka lembaran baru kehidupan kami yang terus-menerus diintai masa lalu. Aku mencintai Derrick, aku mencintai Karen, aku yakin kami saling mencintai. Hanya saja cinta sendiri tidak cukup lagi bagi kami, itu saja.

Karen dengan sedih menerima kenyataan bahwa orangtua-nya berpisah tetapi kami bersumpah untuk selalu menjalin kontak demi kebaikan Karen. Walau sakit melihat sosok Derrick dan Patricia Robinson, aku dan Derrick berusaha semampu kami untuk tetap menjadi sahabat baik walaupun aku belum bisa berteman dengan kekasih barunya.

Pembicaraanku dengan Derrick dan Karen menenangkanku, aku menceritakan Derrick apa yang terjadi dengan Diana Clarington dan ia ikut bersimpati. Aku memintanya menjaga Karen mungkin tiga sampai lima hari lebih lama dari yang kurencanakan. Ia dengan positif menyanggupi. Karen terdengar bersenang-senang dengan berlibur di pantai dan mengatakan bertemu dengan teman baru yang usianya tidak jauh diatasnya. Setelah berbicara dengan mereka kira-kira pukul sembilan pagi, ada dering ponsel dari Dr.Welsh.

“Halo?” sapaku.

“Ms.Clarkson, dapatkah kau melaju kesini?” tanya Dr.Welsh dari seberang. Suaranya tenang tetapi terdengar sedikit berbeda.

“Apakah Diana sudah siuman?” tanyaku.

“Ya. Tapi tampaknya kali ini masih belum Diana,”jawabnya.

“Aku akan segera kesana,” kataku menggigit roti dan pamit dengan ayah ibuku yang sedang santai membaca koran dan menonton soap opera. Mereka balas melambai.

Continue Reading