WHEN SHE'S DEAD (Ongoing)

By ChristinaTirta

26K 1.3K 231

WHEN SHE'S DEAD By Lexie Xu dan Christina Tirta AUTHOR'S NOTE Dear Readers, Sebelumnya Kalex dan Kachris min... More

PROLOG
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
BAB ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
POLLING POLLING
PENGUMUMAN SEBELUM FINAL CHAPTER
DUA PULUH

SATU

2.2K 129 23
By ChristinaTirta


SATU

Fleur

Aku tak peduli bila seluruh dunia menganggapku sebagai gadis paling bodoh sejagad raya. Aku, perempuan yang nyaris menikahi the most eligible bachelor in town, memilih minggat dan menghancurkan impian beribu, bukan!, berjuta gadis atau bahkan janda di seluruh muka bumi. Aku bahkan yakin, mereka pasti sudah bersiap-siap saling mencakar dan menendang sedetik setelah aku melepaskan titelku, demi memperebutkan kursiku. Aku mengangkat bahu. Tidak pada siapa-siapa.

Seperti biasa, setiap jumat pagi, aku akan mencuri waktu demi menghabiskan entah segelas atau bahkan bergelas-gelas kopi di kedai kopi ini. Hanya kebiasaan, kupikir. Aku hanya ingin berdiam diri. Berkencan dengan kopi, the great Diana Krall, dan rokok. Aku tahu kedai kopi ini berjodoh dengan Jumat dan diriku sejak desah Diana Krall menghuni udara.

Aku bertopang dagu. Oh, tidak! Aku bukannya sedang memikirkan bajingan bertopeng rupawan yang berpendapat bahwa status tunangan itu hanyalah, well, hanya sekadar status. Status yang tak bisa mencegahnya meniduri beberapa gadis lain dengan dalih- toh, semua pria bertunangan melakukan hal yang sama. Aku terlalu berharga untuk diperlakukan seperti seonggok sampah. Aku mengibaskan rambut panjang yang nyaris menutupi wajahku. Aku tidak serendah itu. Aku bahkan tak membutuhkan pria. Semua yang kulakukan, atau tepatnya aku dan Josh lakukan, hanya menjual mimpi. Tapi, peduli apa?

Hidup ini hanya mimpi yang teramat sangat panjang. Membosankan terkadang. Sekaligus melelahkan. Manusia hanya makhluk arogan yang terlalu mengagungkan cinta. Dan, bagai pesakitan, aku menikmati setiap tetes air mata yang dikucurkan oleh para pria jahanam itu. Sejujurnya, sejak pria-pria dalam hidup kami, maksudku kami adalah diriku dan Naia, belahan jiwaku, menampakkan wujud aslinya sebagai monster berlendir hijau yang menjijikkan, aku tak pernah menyerah membuat dunia berbalik.

Tak seharusnya wanita merindukan romantisme yang muluk. Dan tidak seharusnya pria menjual romantisme mereka demi secuil kenikmatan yang berbaur keringat dan erangan gairah di tempat tidur. Atau di mana pun.

Saat nyaris setahun lalu Josh, salah satu mantan pacarku, out of the blue, muncul di hadapanku dan membawa ide sinting itu, aku tak bisa berpikir apa pun. Aku hanya tahu, mungkin itu jawabannya.

Aku bukan seorang pemimpi. Tapi aku menjual mimpi. Lebih tepatnya, meminjamkan mimpi. Aku hanya perlu memastikan mimpi macam apa yang klien kami miliki. Bila mimpi itu buruk, aku akan menggunakan pecut untuk membangunkan mereka. Ya, akan ada keluh kesah dan tetes air mata. Tapi mereka tak akan pernah menyesalinya.

"Lo pernah mikir nggak, Fleur, kayaknya darah lo udah berganti sama kopi."

Aku mendongak dan tersenyum.

Naia. Itu namanya. Namanya seunik orangnya. Ia adalah perempuan modern fans fanatik fengshui dan Oprah Winfrey Show. Perempuan berpenampilan mencolok ala nyonya-nyonya elit dengan celak mata terlalu tebal, pipi merona yang sama sekali tidak malu-malu, dan bibir bergincu merah menantang. Semua itu masih ditambah dengan gaun bercorak macan tutul berani lengkap dengan sepatu hak sepuluh senti yang membalut tubuh padatnya. Kulitnya semulus bayi dan warnanya sepucat susu. Tak ada kata yang lebih tepat menggambarkan sobatku ini selain- menakjubkan. Kami adalah sahabat sehati dan sejiwa, sahabat sejak SMA, tak peduli betapa bertolak belakangnya penampilan kami.

Ia menaruh pajangan kodok berkaki tiga di bawah meja kasir. Akan merayu uang datang. Itu kata fengshui. Nyonya muda kaya kurang kerjaan. Dibekali butik supaya tidak merecoki tuan yang sibuk berbinis sampai dini hari. Dengan kemeja beraroma alkohol dan wanita. Ada bekas lipstik di ujung kerahnya. Tubuhnya panas dan loyo. Itu karena sudah puas berpesta dengan dua-tiga perempuan yang mengerumuninya seperti semut merah menyantap permen yang ditinggalkan di meja dengan bungkus terbuka.

Naia adalah salah satu alasanku pindah ke kota ini. Dia adalah bayanganku dalam cermin. Sayangnya, dia memilih kelokan yang berbeda dalam mimpi kami berdua. Mimpi yang membawanya pada iblis bernama David. Suaminya. Lebih tepatnya, kutukan dalam hidup Naia.

"Lo tau, Say." Pandangannya menyapu sekitaran kami. Penuh kritik.

"Hm?" tanyaku malas.

"Pagi-pagi seharusnya semua lampu dinyalakan. Akan membangkitkan chi positif, energi positif."

"Dan rekening listrik positif juga," sahutku memulai sarkasme di pagi hari dengan nada sumbang.

"Dan lo harus betulin gigi lo." Naia, seperti biasanya, memilih mengabaikan sinisku. Atau mungkin ia sudah terbiasa. Siapa tahu?

"Nggak ada yang salah sama gigi gue," kilahku membela diri. "Semua orang memuja gue karena ini." Lebih tepatnya, semua laki-laki, aku menambahkan dalam hati.

"Lo emang blagu," kekeh Naia. "Seperti yang sering gue bilang, gigi lo kan jarang-jarang. Lo enggak bakalan bisa kaya. Percaya deh, rezeki bakalan gampang mengalir keluar." Ia lantas mengamati kukuku yang polos dengan dahi berkerut. Ya, aku tahu, seharusnya aku menggunakan pemulas kuku warna-warni. Membawa chi positif atau apa pun itu. Aku hanya tidak ingin terbelenggu dengan komitmen menjengkelkan semacam menjaga kemulusan kuku. Buat apa? Toh, tanpa embel-embel semacam itu, aku tahu para pria tak pernah bisa menolakku. Ya, aku memang blagu.

"Gimana bisnis?" tanyaku sok resmi sambil meneguk kopiku. Suara Diana Krall masih mengisi telingaku dengan ocehan Crazy-nya.

"Up and down. Gimana bisnis?" Naia balik bertanya. Ia pernah menawariku untuk kerja di butiknya. Dan dia bersedia membayarku mahal untuk itu. Membayangkan nikmatnya bekerja di butik mewah yang sejuk dengan jam-jam santai sempat membuatku tergiur. Tapi Josh memang gigih. Ia, tak perlu diragukan lagi, adalah perayu ulung. Dalam konteks apa pun.

Aku mengangkat bahu. "Lo nggak bakal nyangka, betapa banyak jiwa-jiwa naïf yang berceceran di seluruh kota ini. Memalukan. Setiap hari tabloid gosip nggak pernah bosan memuntahkan berita perceraian artis. Nggak cukup hanya perceraian. KDRT, perselingkuhan... Lo pikir manusia-manusia itu bisa belajar sesuatu dari semua itu?" Aku menggeleng.

"No no. Mereka persis seperti zombi yang haus darah. Setiap hari, catat, setiap hari!, kami mendapatkan klien baru yang putus asa mencari cinta. Mereka memohon, mendesak, mengemis, bahkan mengancam hanya untuk mendapatkan mimpi yang konyol itu. Kadang aku kepengin muntah, Nai."

"Sekali lihat, gue bisa tahu mana cowok bajingan dan mana yang berpotensi jadi bajingan. Katakan saja, dari sepuluh klien laki-laki, mungkin hanya satu yang masih punya harapan untuk tidak tiba-tiba bertransformasi jadi monster berkulit ular. Dan dari sepuluh klien perempuan, mungkin hanya satu yang masih punya pikiran waras untuk tidak menjerumuskan diri dalam masalah dengan memilih pria-pria bajingan. Hanya demi apa? Cinta murni? Oh, tidak! Semua sudah teracuni oleh uang, ketampanan, dan ketenaran. Bukankah itu menyedihkan? Ya, kita hidup di zaman itu, Nai. Tidak ada lagi mimpi seperti dulu. Mimpi yang murni." Aku berhenti untuk mengambil napas. Terkadang aku sangat menyelami pekerjaanku. Dan itu sangat menakutkan. Josh benar. Kami memang tim yang hebat. Hanya saja, kadang Josh terlalu optimis. Dan itu tidak kalah menakutkannya.

Tak terhitung berapa banyak klien pria yang berusaha mengajakku kencan begitu tahu aku dan Josh bukan sepasang kekasih. Tidak heran, sih. Tapi tetap saja memuakkan.

Namun Naia nyaris tak mendengarku. Matanya nanar. Aku tahu persis kata-kataku memukulnya begitu telak.

"Nai..." Aku menelan ludah. Aku tahu, di balik tata rias tebal dan penampilan wah seorang Naia, hatinya dipenuhi lebam dan memar. Aku tahu tapi tak berdaya.

"Kemarin malam John mengirimi gue pesan ini, Fleur." Naia menatapku. Matanya dihuni ngeri dan nafsu. Perpaduan yang membuat sekujur tubuhku seketika menggigil.

Aku menerima ponsel Naia dengan enggan, seolah ia tengah menyodorkan makanan yang kubenci namun tetap harus kulahap demi tata krama. John bukan suami Naia. Tapi bukan berarti dia tidak sejenis dengan David, suami Naia. Mungkin Naia masih buta, tapi aku teramat sangat melek dan sekali lihat, aku bisa tahu pria macam apa si John itu. Atau mungkin aku hanya terlalu skeptis. Saat mataku menyapu dengan perlahan apa yang tertera di layar ponsel, seolah ada batu yang menghantam dadaku.

Kala senja merangkak memasuki kejamnya malam. Kala malam makin membutakan pandanganku. Di hadapanku hanya ada kamu. Putih bercahaya bagaikan bulan di hatiku yang temaram. Kapan kita bersatu? Walau sebenarnya jiwa kita tidak pernah sedetik pun terpisah.

Ai shiteru

Aku meraih jemari Naia. Seperti yang bisa kutebak, aku seperti sedang menggenggam seonggok es. Dinginnya menusuk hingga ke tulang-tulang. "Lo bisa akhiri semua ini, Nai..."

Namun, seperti biasanya, Naia hanya menggeleng. "Are you joking, Hon? Bokap gue bisa stroke dan gue bisa jadi anak durhaka yang dikutuk seumur hidup gue. Lagian nggak bakalan bisa semudah itu. David sudah pernah wanti-wanti dia mau clean record, clean reputation. Dan itu termasuk keutuhan rumah tangganya. Lo tau kan, pernikahan kami ini adalah kontrak sampai mati. Nggak seperti seleb yang bisa seenaknya kawin-cerai, dalam kamus David, cerai berarti mampus, tewas, the end, finito. Semua orang tahu dia hobi main cewek, tapi nggak ngaruh kok. Who cares? Yang penting dia punya istri setia yang berfungsi jadi trofi saat acara-acara formal dan juga sebagai mesin pembuat anak. Gue bisa dibunuhnya sebelum sempat telepon pengacara buat minta cerai, Fleur." Mata Naia nanar seperti sedang menceritakan pengalaman sakit Aids. Menjerat kehidupan sampai ajal menjemput. Keropos sampai tidak ada daging tersisa. Yang bisa dilakukan hanya menunggu.

"Lo tau nggak, Say. Infidelity itu layaknya minum tequila di Meksiko. Alias benar-benar normal. Nggak ada kata cerai dalam kamus mereka. Tapi PIL atau WIL? No problemos. I wish I could adopt that attitude. Tapi gue nggak bisa. Gue kepengin hidup normal dan indah. Bersama John. Hanya bersama dia. Mimpi sederhana tapi mustahil." Naia berhenti sambil mendesah

Naia pacaran dengan David enam tahun lamanya dan langsung menikah setelah lulus kuliah. Sejak hari pernikahannya, Naia terbangun dalam kenyataan bahwa dia sudah tidak mencintai mempelai prianya. Tapi semuanya sudah terlambat. Ia memaksakan seulas senyum palsu di balik riasan sepucat boneka lilin dan memberikan the wedding kiss dengan bibir terkunci rapat.

Pada malam pertama ia terbaring kaku seperti mayat, seperti ikan beku. Dingin bagai boneka rusak belaka. Kenyataannya ia jatuh cinta pada sahabat suaminya. Pria menawan yang membantu mengangkat slayer-nya. Pria bernama John. Handycam menangkap kesedihan di sinar matanya yang redup. Hanya orang berdarah dingin yang tidak bisa menyadarinya. Sayangnya semua orang berdarah dingin, haus perhatian, dan cinta diri sendiri.

Naia dengan terisak-isak menceritakan kefrustrasiannya. "Setiap malam gue seperti diperkosa, Fleur. David hanya tahan dua menit saja. Bayangin, dua menit. Apa itu orgasme? Gue nggak kenal. Siapa dia? Orang mana? Bisa lo kenalin gue, Fleur?" tanyanya pilu.

"Seandainya gue seberani elo, Fleur." Naia tersenyum kaku.

Sebagai balasannya, senyumku sinis. "Berani memutuskan tunangan jelmaan iblis dari neraka?"

"David bilang, ada yang nggak beres di otak lo, Say." Naia terkekeh dengan suara gemetar. "Katanya, Kevin nggak pernah bisa maafin elo. Harga diri dan egonya terluka parah."

Ya, David dan Kevin memang berteman. Mereka sama-sama anak orang tajir yang menganggap merekalah pusat alam semesta. Sebenarnya, David dan Naia yang memperkenalkan aku pada Kevin. Itu setelah Naia frustrasi melihatku berganti kekasih seperti berganti baju. Tidak ada salahnya. Lebih baik putus daripada berselingkuh. Dan Kevin bertingkah laku seperti pangeran berkuda putih dengan pedang berkilauan diterpa mentari pagi. Harusnya aku tahu, pangeran itulah penjahat yang sesungguhnya. Aku seharusnya mencari penjahat yang berkeliaran di hutan, yang lebih besar kemungkinannya adalah pangeran yang sesungguhnya.

"Good for him." Aku memalingkan wajah.

Bayangan mereka masih menari-nari di pelupuk mataku. Makhluk itu dan dua orang gadis bersepatu hak tinggi. Tanpa apa pun lagi. Saat itu aku hanya berdiri. Membayangkan berada di dalam sebuah mimpi vulgar. Sama sekali tanpa erotisme. Hanya rasa jijik. Padahal aku adalah gadis tanpa batasan moral. Tanpa tata krama yang membosankan. Tanpa basa-basi. Tanpa aturan. Aku bukan seorang munafik atau hipokrit. Ya, kami bercinta seperti dua orang yang kerasukan. Dan aku adalah pencinta yang murah hati. Setelah dipikir-pikir, semua itu tidak penting, bukan? Nafsu tidak seharusnya memperbudak manusia. Mungkin sedari awal, tidak seharusnya aku bertunangan dengan Kevin dan merusak segala yang kami miliki.

Kupikir aku tahu apa itu "waras". Dan kupikir aku adalah manusia waras. Namun aku meragukan kewarasanku sejak saat itu. Dan menendang Kevin keluar dari kehidupanku adalah hal waras yang dianggap tidak waras oleh nyaris seluruh dunia. Ah, siapa peduli?

"Jadi, nggak ada apa-apa antara elo dan Josh? Really?" Naia menerima buku menu dari seorang pelayan yang nampaknya gerah melihat kami memonopoli sudut ini hanya dengan beberapa gelas kopi. Ia menunjuk beberapa menu dengan jarinya yang runcing dan semerah darah. Bagaimanapun, merah adalah warna keberuntungan.

"Waffles with cheese cream dan teh Jasmine. Makasih banyak ya, Mbak." Ia menyerahkan buku menu itu dengan senyum merebak. Naia memang tipe pembeli yang terlalu ramah. Sama sekali tipe yang berbeda denganku. Menurutku, senyum bukan untuk diobral.

"Lo tau, Say, senyum itu sama ampuhnya dengan serum anti penuaan. Lo bisa kelihatan sepuluh tahun lebih muda hanya dengan tersenyum. Brilian, kan?" Naia lagi-lagi menceramahiku.

Aku memamerkan senyum sinisku. "Begini termasuk senyum bukan?" tanyaku.

Namun lagi-lagi Naia memilih mengabaikanku. Ia mungkin satu-satunya manusia yang bisa bertahan dengan sinismeku yang mendarah daging. "Now, kembali ke Josh. Gue bisa liat dia tergila-gila, atau lebih tepatnya lagi, kalian berdua saling tergila-gila satu sama lain."

"Yeah, right." Aku menguap. Tertarik secara fisik? Siapa pun itu, gila namanya kalau sampai tidak tertarik pada makhluk sekeren Josh. Aku mungkin skeptis. Tapi aku tidak buta. Dan tidak gila. Belum.

Kini, aku malah merenungi larutan kopiku yang kian dangkal, tiba-tiba teringat. Aku memergoki cecak bersetubuh pagi ini. Yang jantan kehitaman seperti orang Afrika. Yang betina keputihan seperti penderita albino. Mereka menyusuri dinding, rekat bagaikan seekor cecak berbuntut ganda. Sang betina terus merayap, seolah ingin mengentakkan si jantan sampai jatuh. Aku memalingkan wajah. Bagaimana dengan Naia? Terbayang di depan mataku badannya yang remuk ditindihi tubuh kekar David. Dua menit bagaikan berjam-jam. Jarum di jam dinding bergerak bagaikan di slow motion-kan.

"Nggak semua hubungan percintaan seperti gue dan David, Say." Sayup-sayup kudengar suara Naia. "Gue percaya, cinta masih punya harapan."

"Maksudnya, seperti lo dan John?" tanyaku tak bisa mencegah nada sinis yang sudah mengakar di urat nadiku.

"Ini pesanannya, Bu." Si pelayan membawa nampan berisi pesanan Naia. Semerbak keju seketika mengambang di udara. Aku mengendus-endus persis seekor tikus mengendus sepotong keju dengan permukaan bolong-bolong seperti yang digambarkan di komik jaman dulu.

"Mau?" Naia menawari dengan murah hati. Dan aku meraih sendok, mengiris waffle empuk itu tanpa malu-malu. Siraman krim kejunya tampaknya cukup menggiurkan.

"Josh." Aku berhenti untuk mengunyah. Hm, lezatnya keju langsung membuatku merem-melek. Aku selalu begini. Untuk menghindari adegan memalukan seperti ini, aku bertekad melarikan diri dari keju. Tapi, sama persis seperti laki-laki yang penasaran pada seorang perempuan, keju selalu dapat menemukan diriku. Biasanya di saat-saat lemahku. Seperti sekarang. Sial.

"Josh kenapa?" Naia terkekeh puas melihat ekspresiku.

"Terkadang gue persis perempuan jalang yang gatal kepengin disentuh olehnya. Gue hampir gila karenanya. Tapi, kadang gue seperti seorang biarawati suci yang membenci semua jenis hal-hal duniawi vulgar semacam itu. Coba, lo kasih tau gue, Nai, apa yang lo rasakan saat bercinta sama John? Cinta? Nafsu?" tanyaku menyuap irisan kedua. Mungkin seharusnya aku memesan untuk diriku sendiri. Atau tidak. Kelezatan yang berlebihan akan dengan mudah berubah wujud menjadi rasa mual. Sama seperti rasa yang overdosis. Cinta. Nafsu. Benci. Atau apa pun itu.

Naia mengerling tidak suka. "Nafsu itu bukan hal yang buruk, Fleur."

"Gue kan nggak bilang begitu."

"Nggak mungkin lo bercinta dengan seseorang tanpa nafsu."

"Kalau begitu, antara lo dan David?"

Naia mendesah pelan sambil menyesap teh jasmine-nya. "David nggak pernah bercinta sama gue, Fleur."

Aku meneguk kopiku. "Jadi David udah nggak pernah nyentuh lo?"

Naia menatapku ngeri, seolah aku barusan mengatakan hal yang buruk. "Mana mungkin! Dia menagih haknya seperti tuan tanah yang kejam. Tapi kami nggak bercinta. Dia cuma memasukkan anunya ke dalam anu gue. Tanpa basa-basi. Untungnya hanya beberapa menit."

Aku menahan diri untuk tidak menyumpahi jahanam itu. Naia tidak membutuhkan penegasan dariku. Laki-laki itu memang bajingan yang sudah seharusnya ditendang ke kawah gunung berapi. Atau jadi hidangan piranha sehingga proses kematiannya terasa perlahan dan menyakitkan. Atau ditelan anaconda hidup-hidup dan utuh-utuh, dalam keadaan sadar. Aku hanya menanti saat Naia berkata. "Cukup." Dan semua berakhir seperti mimpi buruk di tengah hari bolong.

"Tapi bagi lo nggak harus kayak gue, Fleur. Lo masih punya harapan." Naia menatapku seolah memohon. "Pasti ada pria di luar sana yang menghargai seorang Fleur. Siapa tahu memang Josh?"

Aku menoleh dan menangkap bayanganku dalam cermin di tengah-tengah kafe ini. Banyak orang mengatakan aku memiliki kecantikan unik. Mataku mempunyai daya tarik seperti penghipnotis yang bisa memperdaya hati pria. Tapi sempat terpikir olehku semuanya dikendalikan oleh otak, sebab yang sebenarnya mataku agak juling. Tidak ada yang sadar sebab mereka dikelabui ilusi yang kuciptakan. Hidungku agak bengkok akibat jatuh dari sepeda sewaktu balita. Bengkok seperti nenek sihir. Lucunya, mereka mengatakan aku eksotik. Aku tidak mengerti. Bibirku penuh seperti disuntik kolagen. Pria-pria yang sudah menciumku mengatakan bibirku seperti agar-agar, licin dan empuk. Menyalurkan sensasi aneh, bikin orang menagih. Rambutku nyaris tak pernah kuurus. Warisan dari gen nenek moyang yang melambai sampai ke tengah punggung. Sintingnya, semua pria memujanya. Aku tidak peduli, yang penting aku tidak perlu repot-repot bersisir pada saat bangun pagi. Anggaplah ini hadiah dari Tuhan. Bed head itu seksi, kan? Badanku memang setipis papan cucian. Tapi aku tidak pernah mau ribet walaupun Naia berkali-kali menyentil tentang wonder bra dan suntik silikon. Kenapa harus memuaskan nafsu pria secara gratisan? Aku memang tidak perlu semua itu. Aku adalah goddess. Kesombonganku menciptakan aura misterius. Aku memang terlalu angkuh.

Barusan Naia bilang apa? Ya. Mungkin ada seorang pria di luar sana yang bisa melengkapi keping puzzle-ku. Josh-kah itu? Sekali lagi aku mengangkat bahu. Tidak pada siapa-siapa.

***

BER



Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 88.8K 40
Dave tidak bisa lepas dari Kana-nya Dave tidak bisa tanpa Kanara Dave bisa gila tanpa Kanara Dave tidak suka jika Kana-nya pergi Dave benci melihat...
111K 11.4K 62
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.
425K 16.1K 45
Takdir yang membawa gadis cantik selalu kena hukuman setiap harinya dari kakak lelaki nya sendiri, karena kenakalan nya dan memiliki sahabat yang sam...
1.2M 12.4K 24
18+ Pecinta tt garis besar. Pengusaha kaya raya, Aarav Arsenio menyukai gadis montok Whynnie Olivia secara ugal-ugalan. Semua bentuk badan Oliv, Ayan...