The Good Girl's Bad Boys: The...

By loud-tranquility

75.8K 3.1K 451

"Ini sungguh sederhana sebetulnya," Bennett memberitahuku. "Kau akan menjadi cewek baik kami," ucap Declan. J... More

Pesan dari Penulis
Bagian Satu
Prolog
Bab Satu: Kubilang Tinggalkan Aku Sendiri
Bab Dua: Kontrak Starbucks
Bab Tiga: Apakah Kita Melupakan Sesuatu?
Bab Empat: Siapa yang Mengundang si Kutu Buku?
Bab Lima: Satu untuk Semua, dan Semua untuk Satu
Bab Enam: Serangan Satu, Serangan Dua
Bab Delapan: Bukan, Nomi Bukan Aku
Bab Sembilan: Karna Aku Teman Cowokmu, Nomi
Bab Sepuluh: Meter Persegi
Bab Sebelas: Tidak Kecuali Kami Menculikmu
Bab Dua Belas: Kurasa Aku Akan Ngompol
Bab Tiga Belas: Topiknya Tidak Pernah Diungkit
Bab Empat Belas: Bisakah Kalian Pergi Saja?
Bab Lima Belas: Kembali Kepadamu Gena dan Roger
Bab Enam Belas: Kami Sangat Menyesal
Bab Tujuh Belas: Bisakah Kau Menjanjikanku Ini?
Bab Delapan Belas: Bukankah Dia Pria Pendek Itu?
Bab Sembilan Belas: Ini Jennett, Beclan, dan Dordan.
Bab Dua Puluh: Mereka Mengikuti Kami

Bab Tujuh: Serangan Tiga, Kau Keluar

1.9K 111 9
By loud-tranquility

"Naomi, apa kau mendengarkanku?"

Aku mengerjap dan mendongak pada Declan. Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, sori Declan, aku tidak mendengarkanmu."

Dia memandangku kemudian memandang ke kantor lagi. "Apakah ada yang salah? Apa yang sedang terjadi di dalam kantor itu? Apa yang akan terjadi pada idiot-idiot itu?"

"A-aku tidak tahu," kataku. "Aku hanya bisa menebak. Pernah seorang anak mengunyah permen karet tepat di depan Kepala Sekolah Barnes dan dia menskorsnya selama sebulan."

"Serius? Sebulan?"

"Ya," kataku dengan murung, "sebulan."

Declan memberengut mendengarnya dan bersandar pada dinding. Dia menghela napas dan menggaruk lehernya, dan memandangku kembali. "Hei Naomi, kenapa kau terlihat begitu sedih?"

Aku menggelengkan kepalaku, menatap lantai. "Aku khawatir. Apa kau tidak khawatir?"

Dia mendengus. "Kenapa aku harus khawatir?"

Aku memandanginya. "Apa yang mereka lakukan akan membuat mereka diskors, bahkan lebih buruk, dikeluarkan."

Dia menaikkan satu alis dan tertawa. "Ooh, aku sangat takut, mereka tidak akan pergi ke sekolah selama sebulan. Apa kau pikir mereka akan benar-benar peduli? Sungguh, tidak ada sekolah untuk seminggu itu rasanya seperti hadiah bagi mereka untuk menjadi idiot. Ayolah Naomi, akupun tahu kau lebih pintar dari itu."

"Tapi..." suaraku tersendat.

Tapi Raymond benar. Serangan satu dan serangan dua. Sekolah baru saja dimulai dan dua dari mereka bertiga sudah diseret ke kantor kepala sekolah. Sekarang aku hanya memiliki satu pengawal untuk melindungiku. Ketika Declan pergi, maksudku jika Declan pergi, menaranya ditinggal tidak berdaya. Itu akan menjadi serangan tiga. Kemudian Raymond akan berada tepat di sana untuk menghiburku. Sadar akan sarkasme di kalimat itu?

Tapi kemudian aku memikirkan betapa terdengar egoisnya aku. Aku terlalu sibuk takut untuk diriku dan bukan untuk... ayo Naomi, kau bisa melakukannya...t-t-te... Coba lagi... t-t-t-e-m... Hanya satu kata... t-te-te-tempurung, bukan, bukan itu, tembak... te-tembakau, bukan itu, oke, percobaan terakhir... te-te-teman. Nah sudah kukatakan. Tiga Musketir adalah... teman-temanku. Fiuh, itu lebih sulit dari kelihatannya. Bahkan dengan kepastian Declan, aku masih mengkhawatirkan mereka.

"Tapi apa?" Ada jeda sedikit sebelum akhirnya jelas baginya. "Kau takut."

Untuk suatu alasan aku menjadi merah pada perkataannya. "Ya, ya aku takut."

"Sekarang pada saat kau tahu kau seharusnya tidak mengkhawatirkan mereka, kau mengkhawatirkan dirimu," katanya dalam kesadaran, semua yang dia katakan itu benar.

"I-iya."

Dia terdiam untuk sesaat. Aku menatap lantai dalam malu. Dia mungkin berpikir aku seorang yang egois- Tiba-tiba Declan tertawa.

"Apa yang lucu?" tanyaku padanya.

"Kau pikir aku tidak bisa melindungimu sendirian?" tanyanya, menantangku.

"Apa? Aku tidak pernah bilang-"

"Aku tidak butuh dua idiot itu untuk bantuan," dia memberitahuku, menyilangkan lengannya seperti anak yang keras kepala. "Aku bisa sendiri."

"Tidak, hanya saja-"

"Lagipula, aku memiliki mereka," Declan mulai melenturkan otot-ototnya seperti binaragawan. Cewek-cewek yang lewat jatuh pingsan, kurasa satu meneteskan air liur, sisanya memandangku dengan tajam. Apa? Bukan salahku Declan melenturkan otot-ototnya padaku.

"Oke, itu masuk akal, tapi tetap saja..."

"Naomi, dengarkan aku," ujarnya, memegang kedua bahuku untuk menghadapnya. "Akan butuh lebih dari memukul seseorang atau membuat balasan sarkastik untuk mengirimku ke kantor kepala sekolah seperti dua orang bodoh itu. Aku berjanji, aku akan menempel padamu seperti lem sepanjang hari sampai mereka kembali. Setelah mereka kembali, mereka akan membelikan kita piza karena telah menjadi idiot-idiot. Kau mengerti?"

"Aku hanya mendengar kata lem dan piza," kataku, bercanda tapi membuatnya tersenyum.

"Hampir betul, sekarang ayo ke kelas."

"Tapi kita mempunyai jadwal yang berbeda," aku memberitahunya.

Dia tersenyum lebar, mata coklatnya berseri-seri. "Kau pikir aku peduli soal itu? Aku akan menguntitmu sepanjang hari, Lorraine. Ayo."

Dia menggenggam tanganku dan menyeretku menyusuri ruangan. Dia berjalan cepat tapi susah untuk melakukan itu karena aku memperlambatnya. "Ayolah, kau tidak ingin terlambat, kan, nona penurut?"

Dia ada benarnya juga, jadi aku mulai berlari. Kali ini orang-orang tidak mencoba untuk menyandungku, melempar benda ke arahku, atau mengejekku. Mereka bisa secara tidak sengaja memukul Declan atau dia akan berpikir mereka sedang berbicara kepadanya. Jadi sebagai ganti harus menggali jalanku melalui kerumunan hanya untuk sampai di kelasku yang selanjutnya dengan lebam-lebam dan perasaan yang tersakiti di perjalanan, anak-anak di ruangan berpisah seperti Laut Merah, membuat Declan dan aku sampai di kelas tepat waktu.

Declan membukakan pintu untukku, yang merupakan pertama kalinya. Secara harfiah, ini adalah pertama kalinya. Belum pernah ada yang membukakan pintu untukku. Ya mereka menutup pintu di depan wajahku, tapi tidak pernah membukanya. Aku berjalan masuk ke kelas dengan tersenyum, tapi senyum itu langsung hilang saat aku melihat apa yang sedang menunggu untukku.

"Ugh, aku sudah yakin dia tidak masuk hari ini."

"Ya, aku tidak melihatnya di bis, orang-orang biasanya menunggunya di sana."

"Menunggu dengan balon-balon air, kan."

Seluruh kelas tertawa pada kalimat itu. Aku mengabaikannya, aku sudah terbiasa dengan ini. Tapi tiba-tiba gelak tawa terhenti dan semua orang menatapku. Aku mengerjap, apa yang sedang mereka tatap- oh, lupakan.

"A-apa itu Declan?"

"Apa yang sedang dia lakukan di sini?"

"Dia di kelas kita? Sejak kapan?"

"Aku tidak peduli, aku hanya ingin tahu di mana aku bisa menemuinya setelah kelas selesai."

Aku memandang Declan yang hanya memutar bola matanya pada komentar-komentar tersebut, mengabaikannya. Dia mungkin sama terbiasanya dengan komentar-komentar itu seperti aku yang terbiasa dengan caci makian.

Aku mulai berjalan ke bangkuku, yang berada di tengah-tengah kelas. Kau pasti bertanya, mengapa bangkumu berada di tengah-tengah kelas? Apa kau memiliki semacam keinginan untuk mati? Kenapa kau tidak duduk saja di belakang atau duduk di depan seperti dirimu yang kutu buku? Well itu pertanyaan yang bagus. Aku akan menjawabnya seperti ini.

Sesuai abjad.

Itu akan menjadi penyebab kematian diniku suatu hari. Bukannya itu sudah menjadi penyebabnya sih.

Jadi aku sedang berjalan ke bangkuku. Dan ketika aku sudah benar-benar berjalan cukup jauh, rekor baru kurasa tiga atau empat kaki. Sampai seseorang memutuskan untuk mengeluarkan kakinya, membuatku tersandung. Aku bisa jatuh ke lantai dengan muka duluan jika bukan karena Declan lagi. Dia menggenggam kerahku dan menarikku berdiri. Aku mendapatkan keseimbanganku dan sadar akan pandangan-pandangan yang kuterima. Semua orang menatap kami berdua, mulut terbuka, hanya terdiam.

"Apa kau lihat itu?"

"Kurasa dia baru saja membantunya berdiri."

"Tolong beritahu aku dia tadi mencoba untuk mencekiknya atau sesuatu."

"Apa orang-orang ini serius?" tanya Declan padaku.

Aku mengangkat bahu. "Kau akan terkejut."

"Apakah mereka sedang berbicara satu sama lain?"

"Kurasa ya."

Aku terus berjalan sampai aku sampai ke kursiku. Aku menyadari coretan cemooh tentangku di meja. Aku ingat ketika seseorang juga menaruh lem di tempat dudukku. Bilang saja aku tertancap untuk beberapa waktu, membuat sekelompok anak-anak mengolok-olokku sampai akhirnya pembersih sekolah membantu menarikku. Aku benar-benar menyukai jins itu, itu adalah jins yang bagus. Aku duduk di kursiku, mendesah dalam kelegaan karena tidak ada lem kali ini.

Declan memandang sekeliling ruangan. Lalu dia memandang pada cowok yang duduk di bangku sebelahku, Noah.

"Minggir."

Cowok itu mengangguk, kemudian tidak sengaja jatuh dari kursinya. Lalu dia bangkit, menenangkan dirinya, dan berjalan ke belakang kelas. Declan dengan tenang duduk dan menguap.

"Kelas apa ini?" tanyanya padaku.

"Bu Davis, Sejarah," seseorang langsung menjawab, namanya Aden kurasa, seolah ini pertanyaan kuis mendadak.

Declan menoleh ke anak itu dan menatapnya tajam. "Aku bukan sedang berbicara kepadamu."

"M-maaf," katanya lemah.

"Biar aku bertanya lagi," katanya, menghadapku. "Kelas apa ini?"

Aku tidak bisa tahan untuk tidak tertawa kecil. "Bu Davis, Sejarah," jawabku.

"Itu hal yang sama yang kukatakan!" seru anak itu.

Aku dan Declan menoleh ke anak itu dan menatapnya tajam. Pipinya memerah dan dia berpaling.

"Hei Lynch, kenapa kau bersama si Kutu Buku di sana?"

Aku menoleh untuk melihat cowok lain, entah Michael atau Mitchel. Kau tidak bisa menyalahkanku untuk mengetahui tiap orang mem-bully-ku. Bahkan anak-anak di sekolah lain mem-bully-ku. Ya, aku seterkenal itu.

"Maaf?" tanyaku. "Aku punya nama." Walaupun jika sekarang kupikirkan, aku tidak tahu namanya juga. Tapi dia tahu namaku, semua orang tahu.

"Maaf?" tanya Declan. "Dia punya nama."

"Oke terserah. Kenapa kau bersama Kutu Buku Naomi?"

"Kenapa kau bertanya?" geram Declan.

"Ingin tahu saja, bro."

Mata Declan menyipit pada Michael/Mitchel, aku bisa melihatnya meneguk. "Aku bukan bromu."

Michael/Mitchel mengangguk, mengerti, tapi terus melakukannya. "Tapi kenapa kau ada di kelas ini, sih?"

Dia menoleh padaku. "Cowok ini cukup kepo, ya?"

"Iya, ya?"

"Apakah semua orang di sekolah ini seperti ini?"

Aku mengangkat bahu. "Kau akan terkejut."

"Hei, kenapa kau berbicara kepadanya? Aku sedang berbicara kepadamu," Michael/Mitchel, yang mempunyai keinginan mati jika aku boleh tambahkan, berkata.

Declan tiba-tiba berdiri dari kursinya. Semuanya mendongak padanya, mata lebar dan mulut tertutup. Mereka semua menatapnya.

"Aku berbicara ke Naomi karena aku berbicara kepadanya lebih dulu. Aku tidak berbicara kepadamu karena kau membuatku marah dengan kau yang kepo. Aku tidak berbicara kepada orang-orang yang tidak sopan kepadaku dan teman-temanku. Kau dengar?"

Michael/Mitchel mengangguk, memahami dengan jelas kali ini.

"Sekarang bagaimana kalau kau diam dan biarkan aku bicara kepada Naomi? Aku sedang mengalami perbincangan yang bagus, tapi kau terus memotong kami. Sekarang minta maaf padanya."

Aku harus menghentikan ini sebelum ini lepas kendali. "Declan kau tidak perlu-"

"Minta. Maaf. Padanya."

"A-aku minta maaf Ku- maksudku, N-Naomi."

Ini baru pertama kali terjadi. "Em, trims, kurasa."

"Tempat parkir. Sepulang sekolah," ujar Declan, sebelum kembali duduk.

"Ya, tentu, tentu saja," katanya lemah.

"Ada apa dengan itu?" tanyaku kepada Declan. "Tempat parkir? Sepulang sekolah? Apa kau selalu melakukan itu?"

Declan tersenyum lebar dan hanya mengangkat bahu. "Kau akan terkejut."

Pintu terbuka dan seseorang berjalan ke dalam ruangan. Dan yang mengejutkanku bersama yang lain kecuali Declan adalah itu bukan Bu Davis.

"Namaku Pak Norman," katanya dengan wajah kosong yang hampir sebagus Bennett. "Aku akan menjadi guru pengganti kalian untuk Bu Davis yang sedang tidak bisa hadir di sini,"

Biasanya, ketika ada guru pengganti, semua orang tidak akan mendengarkannya. Mereka akan mengunyah permen karet, mengumpat yang akan membuat seorang pelaut tersipu, mendengarkan musik, menggunakan ponsel mereka, atau semua itu bersama-sama. Tapi karena pertunjukan kecil Declan, mereka masih mencoba untuk memproses apa yang terjadi dan mendengarkan ke Pak Norman ini. Jadi dia seharusnya berterima kasih kepada Declan sekarang.

"Well biarkan aku mengabsen," katanya, mengambil kertas absensi.

"Mason Adams, Chloe Archer, Allison Bailey, Cameron Burner..."

Beliau terus memanggil nama anak-anak satu demi satu, tiap dari mereka mengatakan "hadir". Bu Davis mengatur grafik tempat duduk sesuai abjad. Semuanya diatur dari nama belakang. Aku menoleh ke Declan, dan dari pandangan di wajahnya dia sedang memikirkan hal yang sama. Lalu beliau memanggil namaku.

"Naomi Lorraine?"

"Hadir," kataku keras.

"Noah Lucas?"

Noah, anak yang duduk di sebelahku dan Declan usir, baru akan mengatakan dia hadir, tapi Declan mendahuluinya.

"Hadir," ucap Declan dengan tenang, mengenakan pandangan kosong bahkan mungkin bosan pada wajahnya.

"Baiklah..." kata Pak Norman, menandai kehadirannya.

"Linus Martin, Sarah Mitchell, Caleb Morgan, Jodie Norman..."

Aku menatapnya. "Jadi Noah..."

Declan memandangku dan tersenyum. "Ya Naomi?"

"Kau terlihat berbeda hari ini," kataku. "Potongan rambut baru?"

Dia melarikan jari-jarinya melewati rambutnya. "Iya, aku ingin mencoba sesuatu yang baru. Trims sudah menyadari."

"Sama-sama," kataku tulus.

"Kau tahu ini murni keberuntungan bahwa ada pengganti hari ini," ujar Declan. "Kurasa tidak semua gurumu akan tidak masuk hari ini. Dan aku cukup yakin mereka mengenal semua murid-murid mereka."

Aku mengkerutkan dahi. "Ya, kau benar juga." Aku berhenti untuk sesaat dan berkata. "Aku tidak ingin kau dapat masalah. Tapi aku juga tidak menginginkanmu untuk meninggalkanku. Jika kau pergi untuk sedetik saja, Raymond akan ada di sana."

Dia bersandar ke kursinya. "Well aku tidak bisa berada di luar kelas. Penjaga ruangan itu akan menangkapku pada kesempatan pertama yang dia dapat," katanya, mengacu pada Bobby, penjaga ruangan yang melakukan pekerjaannya terlalu serius.

"Well kecuali kau menemukan cara yang bisa bekerja untuk mengganti jadwalmu supaya sama dengan jadwalku," ucapku. "Tapi kau tidak punya kemampuan komputer Jordan dan walaupun kau tahu apa yang harus dilakukan, mereka akan... menangkap... mu..."

Aku menatapnya. "Kenapa kau tersenyum?" Kemudian aku sadar. "Tidak, tidak, tidak. Kau tidak akan melakukan itu. Kau akan tertangkap, dan aku akan terbunuh. Jika tidak ikut tertangkap, ya tertangkap oleh Raymond. Jadi jangan kau coba-"

"Oh, Naomi," katanya, tertawa kecil pada dirinya sendiri. "Siapa yang bilang aku akan tertangkap?"

-

"Kita akan sangat tertangkap," gumamku pada diri sendiri.

"Kita tidak akan tertangkap," kata Declan.

"Ya kita akan tertangkap. Kau akan dikeluarkan. Ini akan ditaruh di catatan permanenku dan-"

Declan menggenggam bahuku supaya aku bisa menatapnya tepat di mata. "Naomi, kita tidak akan tertangkap."

Aku mengulurkan tangan di antara kami berdua.

"Lima dolar," kataku.

Dia menyeringai dan menyalami tanganku. "Setuju."

Declan kemudian berpaling dan mengintip melewati bahunya ke sudut lorong. Aku menghela napas dan melarikan jari-jariku ke rambutku, yang kusadari harus kusisir dengan benar nanti.

"Kita akan mati."

Saat itu jam makan siang. Kami mempunyai keberuntungan yang cukup untuk bertahan sampai jam makan siang. Empat kelasku selanjutnya adalah: Sastra AP, Kalkulus AP, dan mata pelajaran pilihanku. Guru sastra APku, Bu Dawson, yang masih mengalami rasa sakit akibat mabuk dari sebuah pesta di akhir pekan, jadi hanya menyuruh semua murid mengerjakan pekerjaan kelas dan tidak mengabsen. Guru kalkulus APku, Pak Roberts, sebenarnya ada Declan untuk periode keempat dan dia benar-benar takut dengannya. Saat Declan menjelaskan secara singkat kenapa dia ada di sana, yang karena dia merasa ingin, Pak Roberts menerimanya dan menandainya hadir untuk kelasnya yang lain.

Kelas terakhirku adalah mata pelajaran pilihanku, servis. Aku mengambil servis untuk semua mata pelajaran pilihanku karena aku tidak perlu terjebak di ruangan lain dengan anak-anak yang membenciku. Jauh lebih baik terjebak bersama orang dewasa dan berurusan dengan anak-anak satu per satu daripada sekelas anak-anak. Susternya, Bu Matthews, cukup baik, aku mengenalnya cukup baik mengingat berapa kali aku pergi ke kantornya setelah dipukuli oleh sekelompok anak-anak, terutama Raymond. Walaupun, aku tidak berpikir beliau masih percaya aku tidak sengaja menabrak tiang setelah beberapa kali. Terkadang aku mencoba alasan-alasan lain seperti menabrak pintu, hanya untuk menjaga hal tetap menarik.

Declan berpura-pura dia sedang sakit kepala, membuatnya berbaring di salah satu tempat tidur. Ingin menghindari anak lain yang ditempatkan denganku di UKS, aku menghabiskan waktu di ruang terpencil itu. Anak itu ingin memberitahu Bu Matthews tentang apa yang kulakukan, tapi satu tatapan tajam Declan membuat anak itu diam. Bu Matthews mengabaikannya, berkata aku hanya menemani pasien yang kesepian.

Sekarang jam makan siang, dan bukannya aku dan Declan menuju ke kantin, kami malah bersembunyi di tengah tangga-tangga sampai semua guru dan staf pergi untuk makan siang, dan aku berharap aku salah satu dari mereka sekarang.

"Percayalah sedikit terhadapku, ya?"

Perutku berbunyi. "Kau akan mati jika aku tidak dapat sesuatu untuk dimakan," ancamku sebelum menambahkan, "Kecuali guru-guru menangkap kita sebelum aku bisa melakukannya."

"Kita masih taruhan?"

"Kenapa? Kau takut?" tantangku.

"Tidak, kukira kau takut," balasnya kembali.

Aku menyeringai. "Ayo selesaikan saja ini. Lalu aku bisa mencentang ini dari daftar keinginanku."

Dia menaikkan satu alis. "Kau ada ini di daftar keinginanmu?"

"Ya, mengubah sesuatu di komputer sekolah berada tepat di sebelah tinggal di penjara semalam," aku memberitahunya.

Declan mengeluarkan tawa kecil. "Aku hanya senang kau masih memiliki selera humormu."

Dia memandang sekitar sudut lagi. Declan menoleh kembali padaku dan mengangguk.

"Sudah aman. Ayo."

Declan berdiri dari posisi jongkoknya, aku mengikutinya. Dia melihat sekali lagi kemudian berbelok dan mulai berjalan menyusuri lorong. Aku mengintip melewati atas dinding dan mengawasi ketika kami berjalan dengan tenang, napas Declan teratur, tidak gugup sama sekali. Ini hampir tampak seolah-olah ini bukan pertama kalinya dia melakukan ini. Aku tidak menyukai pemikiran itu sama sekali.

Aku ragu-ragu selama sejenak. Hanya sejenak. Aku cewek baik. Aku tidak pernah absen, catatan yang bersih, nilai bagus. Aku tidak pernah bermimpi melakukan sesuatu seperti ini kecuali saat aku menonton acara polisi. Aku mengambil napas dalam dan mengikuti Declan tepat di belakangnya. Dia sudah sampai di pintu kantor utama. Dia berbalik dan pandangan kosong ada di wajahnya, seolah dia tidak terkejut aku tidak berada di belakangnya dan ragu-ragu untuk mengikutinya.

Dengan berhati-hati, dia menggenggam kenop pintu dan dengan pelan memutarnya. Pintunya terkunci atau tidak itu berpeluang 50-50. Tapi kali ini, 50 yang satunya karena pintu terbuka dengan bunyi klik kecil.

"Beruntung pintunya terbuka," bisik Declan. "Biasanya Jordanlah yang mencongkel kuncinya."

"Biasanya?" tanyaku.

Dia tertawa kecil dengan gugup kemudian meletakkan sebuah jari ke bibirnya. Declan pelan-pelan membuka pintu. Pintunya membuat derit yang menyakitkan ketika terbuka. Saat dia sudah membuka cukup lebar, dia mengintip ke dalam. Ingin tahu, aku memandang melalui atas kepalanya dan melihat ke dalam juga. Kantor utama sepi. Tapi kemudian aku mendengar suara teriakan yang jelas, lebih tepatnya, teriakan Kepala Sekolah Barnes. Aku meneguk, kami akan mati, kami sungguh akan mati.

Aku akan pelan-pelan mundur dan melarikan diri ke kantin dimana makan siang sedang menungguku. Tempat itu mungkin mempunyai sekelompok anak-anak yang membenci keberadaanku dengan makanan untuk dilemparkan kepadaku. Tapi tempat itu masih punya makanan. Aku sedang dengan canggung bersandar di atas Declan saat aku memandang lewat atas kepalanya. Aku mencoba untuk bangkit, tapi dengan tidak sengaja aku kehilangan keseimbanganku. Aku jatuh ke atas Declan, membuatnya jatuh ke lantai.

"Umph!"

Tiba-tiba teriakan itu berhenti. Declan mengumpat pelan, dan bergegas masuk ke ruangan. Dengan insting untuk hidup, aku mengikutinya dan merangkak masuk ke ruangan. Kami menyandarkan punggung kami ke meja resepsionis besar. Declan menatapku, memberitahuku untuk diam atau kami akan benar-benar mati. Ketika kami barusan sampai di sana, pintunya terbanting menutup. Pintu lain terbuka di dalam ruangan.

Aku melihat melalui atas konter dan melihat wajah Kepala Sekolah Barnes mengintip ke luar kantornya. Matanya tidak menatap tajam pada apapun, tapi dia sedang mencari sesuatu. Aku menahan sebuah pekikan dan kembali ke posisiku semula.

"Halo, ada seseorang di sana?" suaranya menuntut ke ruangan yang kosong.

Tiba-tiba pintunya berderak, sedang dibuka.

Aku mendengar ketukan yang jelas dari sepatu hak tinggi Kepala Sekolah Barnes yang terlalu tinggi. Langkah kakinya berhenti. Aku tidak bisa bernapas, jadi hanya berhenti bernapas. Butir-butir keringat membasahi wajahku. Sepatu ketsku tidak sengaja membuat sebuah bunyi cicit di lantai dari beban diriku yang sedang mencoba menahan diriku pada meja. Declan memberiku tatapan tajam. Kepala Kepala Sekolah Barnes berbalik ke arah kami. Langkah kaki itu mulai lagi, datang mendekat. Aku menutup mataku dan mulai berdoa kepada siapapun yang menjagaku tapi juga yang melakukan pekerjaannya dengan sangat buruk. Sekali saja lakukan sesuatu untukku setelah kau mengacaukan selama tujuh belas tahun.

"Hei Barnes, kau yakin itu bukan hanya imajinasimu?" aku mendengar suara Jordan memanggil dari dalam kantor kepala sekolah. "Karna kau tahu apa yang mereka katakan, semakin tua usiamu, semakin pikun kau jadinya."

"Siapa yang bilang begitu?" suara Bennett bertanya dalam ketidakpercayaan.

"Aku, aku yang bilang begitu," balas Jordan kembali.

"Diam!" perintah Kepala Sekolah Barnes.

"Baik tuan-" Jordan memulai tapi ada erangan, membuatku menebak Bennett memukulnya di lengan.

Kepala Sekolah Barnes membelalak pada mereka dari ruangan lain. "Saat orang tua kalian sampai di sini, kalian berdua akan berharap kalian tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah ini."

"Aku sudah be-" kata Jordan, lalu ada erangan lagi.

Sekali lagi, mata Kepala Sekolah Barnes memeriksa ruangan. Kemudian dia mengangkat bahu dan berbalik, berjalan kembali ke kantornya. Pintu terbanting menutup dan Declan dan aku mengeluarkan napas lega.

"Kita hampir mati," ucap Declan.

"Iya."

"Kita bisa saja tertangkap."

"Iya."

"Jika bukan karena mereka berdua, kita pasti sudah tertangkap."

"Iya."

"Kau hampir membuat kita tertangkap."

"Iya- Tidak aku tidak membuat kita tertangkap, oke baiklah aku hampir. Hampir."

"Ayo, selesaikan saja ini dan keluar dari sini," kata Declan, bangkit berdiri.

Aku mengikutinya ketika dia pergi ke belakang meja. Dia menoleh kepadaku dan memberitahuku aku yang mengawasi. Aku mengangguk padanya dan pergi ke posku di meja resepsionis. Declan pergi ke salah satu komputer pusat, duduk, dan menyalakannya.

Aku mulai merasa sedikit seperti seorang mata-mata seperti James Bond. Aku menyelinap di tempat berkeamanan tinggi. Ada orang jahat yang menjadi musuhnya. Aku dan partnerku sedang membajak ke komputer pusat untuk mencuri kembali berkas yang dicuri, dalam kasus ini mengubah jadwal partnerku.

Aku menirukan tanganku ke sebuah pistol dan mulai menembak target-target acak. Pintu. Mati. Tong sampah. Mati. Komputer. Mati. Kalendar anjing. Mati. Tapi tiba-tiba, aku teringat sesuatu.

Kepalaku berbalik ke Declan dan aku bertanya padanya. "Apakah kau bahkan tahu kata sandinya?"

"Tidak-" sebelum aku bisa mulai berteriak padanya, ditambah mengungkap penyamaran kami, dia menambahkan "-tapi Jordan tahu. Hal pertama yang dilakukannya saat kami datang ke sekolah ini adalah membajak ke jaringan sekolah sementara sekretaris sedang tidak melihat dan menemukan apa kata sandi sekolah untuk WiFi dan hal-hal lain..."

Aku mengeluarkan napas lega. "Bagus."

Declan mulai memasukkan kata sandinya. "Kata sandi untuk sekolah ini adalah barnes_rocks314," katanya selagi dia mengetik.

"Itu menyedihkan," kataku, berbalik kepadanya.

"Apanya?" sebuah suara bertanya di belakangku.

"Bahwa Kepala Sekolah Barnes adalah yang sebenarnya membuat kata sandi sekolah yang sebenarnya adalah barnes_rocks314. Maksudku sungguh?" kataku, berbalik. "Siapa yang lakukan itu?"

Raymond menelengkan kepalanya. "Aku tak tahu. Kau beritahu aku."

"Oh sial!" seruku, mundur.

"Apa?" tanya Declan, mendongak. Lalu dia mengerang dan memutar bola matanya. "Kerja bagus, pengawas."

"Aku minta maaf!" kataku padanya lalu berbalik kembali pada Raymond.

Aku memasang senyum tertulus yang bisa kulakukan kepadanya. "Selamat datang ke kantor pusat Dartwell High. Apakah ada yang bisa kulakukan untukmu?" tanyaku padanya, mengedip-ngedipkan mataku untuk efek.

"Ya," ejeknya, bersandar mendekat. "Bisakah aku menemui Kepala Sekolah Barnes? Aku harus melaporkan dua anak yang sedang membajak ke komputer sekolah."

Aku dengan lugu mencibir. "Maafkan aku. Tapi Kepala Sekolah Barnes sedang tidak bisa ditemui saat ini. Bisakah kau membuat perjanjian? Jika tidak, tolong tinggalkan pesan setelah bunyi bip. Bip."

"Tidak perlu," Raymond meyakinkan. "Aku akan menemui beliau sendiri."

Dia memandang ke arah kantor kepala sekolah. Aku mempunyai raut kebingungan pada wajahku. Apa yang akan dia- Mataku melebar saat aku menyadari apa yang akan dilakukannya. Tapi sebelum aku bisa bersandar melampaui meja dan membungkam mulutnya, dia berteriak ke arah pintu.

"Kepala Sekolah Barnes!" serunya.

Aku memandang ke Declan yang bermuka muram. "Kurasa aku berhutang lima dolar padamu."

Pintu terbuka dengan keras dan Kepala Sekolah Barnes menyerbu masuk ke dalam ruangan. Sebelum dia bisa berteriak apa yang sedang terjadi dia berhenti dan memandang kami bertiga. Kami bertiga menatapnya. Bennett dan Jordan mengintip dari kantor kepala sekolah dan menatap kami berempat.

"A-apa yang kalian bertiga lakukan di sini?" tuntutnya. "Kalian seharusnya sedang makan siang."

"A-aku di sini mengerjakan tugas yang belum selesai," kataku, yang merupakan hal pertama yang muncul di pikiranku.

Semua mata tertuju padaku sekarang.

Aku memutuskan untuk membiarkannya mengalir saja dan meneruskan. "Kalian lihat, aku ada servis sebagai mata pelajaran pilihan, dan aku tadi tidak bisa menyelesaikan pengurusan berkas-berkasku, jadi aku memutuskan untuk menyelesaikannya sekarang."

Kepala Sekolah Barnes menatapku lama sekali sebelum dia menoleh ke dua lainnya. "Well bagaimana dengan kalian?"

Raymond tersenyum. "Well aku sangat prihatin dengan teman sekelasku, Lorraine ini, bahwa dia melewatkan jam makan siang untuk mengerjakan tugasnya. Jadi aku memutuskan untuk membawakannya roti lapis untuk memberinya energi atas kerja kerasnya.

"Roti lapis?" tanya Kepala Sekolah Barnes

"Roti lapis?" tanyaku.

Dia mengangguk. "Iya, roti lapis."

Dia membuka tas ranselnya dengan gerakan cepat dan mengeluarkan sebuah roti lapis. Roti lapis yang terlihat enak. Ham dan keju pada roti Perancis, dibungkus plastik. Aku jadi tergiur dan perutku berbunyi segera setelah aku melihatnya. Dia meletakkannya di meja dan tersenyum padaku.

Oh, dia bagus juga.

"Dan bagaimana denganmu?" Kepala Sekolah Barnes bertanya, menoleh ke Declan. "Aku ingin mendengar alasanmu mengapa kau berada di belakang komputer sekolah."

Sebelum Declan bisa mengatakan sesuatu, aku memotongnya. "Well, aku ada banyak pengurutan berkas yang harus dilakukan. Jadi aku memintanya untuk-"

"Apa kau yakin, Naomi?" tanya Raymond, tersenyum sangat lebar. "Declan tidak mengambil servis sepertimu, dan jika memang pengurutan berkas yang kau kerjakan, kenapa dia berada di belakang komputer? Jika terserah padaku, aku akan bilang dia memanfaatkanmu untuk menggunakan komputer sekolah."

"Apa? Tidak!" kataku, memberitahu Kepala Sekolah Barnes.

"Ya, memang," ucap Declan dengan muram, berdiri dari kursi. Dia berbalik kepadaku dengan raut sedih pada wajahnya. "Naomi, itu benar. Aku memanfaatkanmu supaya bisa mengakses komputer sekolah dan mengubah nilaiku menjadi A semua."

Aku memandangnya dengan mata lebar. Kenapa dia melakukan ini? Ini bukan bagian dari rencana. Ini tidak pernah bagian dari rencana. Dia seharusnya tidak menyerahkan diri. Terutama untuk kebohongan yang Raymond buat.

"Dia berbohong!" aku memberitahunya. "Itu tidak benar!"

"Naomi, jangan," ucap Declan, menggelengkan kepalanya.

Kepala Sekolah Barnes menatap Declan dengan tajam. Wajahnya berubah menjadi merah terang. Semuanya mundur beberapa langkah, bahkan Jordan dan Bennett beringsut pergi dari pintu.

"Lynch, masuk ke kantorku!" bentaknya.

Declan memandangku untuk yang terakhir dan mulai berjalan menuju kantor kepala sekolah. Jordan dan Bennett membukakan pintu untuk anggota Tiga Musketir yang terakhir. Mereka berdua mengangguk padanya, menepuknya di punggung.

"TIDAK!" seruku. "Ini salah! Dia tidak melakukan apa-"

"Lorraine, Myers, kembali makan siang." perintah Kepala Sekolah Barnes, bahkan tidak memandang kami.

Raymond tersenyum. "Dengan senang hati, Kepala Sekolah Barnes."

"Tidak!" aku terus mengulang. "Tidak, tidak, tidak!"

Declan tersenyum lemah. "Aku sebetulnya berhutang $2.50 padamu, semenjak hanya salah satu dari kita yang tertangkap."

"Apa? Tidak, kau tidak hutang! Tidak!"

Aku mulai berlari menuju kantor kepala sekolah. Aku tak tahu mengapa. Aku rela untuk memohon kepada Kepala Sekolah Barnes. Siapa yang peduli dengan catatan akademikku yang sempurna? Siapa yang peduli tentang semua itu? Aku tidak peduli! Aku akan menawarkan untuk menggantikan Declan. Aku tidak peduli. Dia tidak pantas menerima ini. Ini bukan salahnya.

Tapi aku merasakan lengan Raymond yang besar menjalar ke sekitar pinggangku. Aku menjerit dan menendang, tapi dia bisa mengangkatku dari lantai. Dia mulai membawaku menuju pintu kantor pusat. Menyeretku lewat pinggang. Dia bisa membuka pintu dengan satu tangan dan masih memegangku dengan yang lain. Aku terus menjerit pada Declan dan hanya Declan.

"Kau sudah berjanji!" Aku memberitahunya. "Kau berjanji bahwa kau akan menempel padaku seperti lem! Kau menjanjikanku piza! Kau berjanji padaku, Lynch! Kau janji!"

Kepala Sekolah Barnes berjalan kembali ke kantornya. Beliau mengabaikan jeritan protesku. Mereka bertiga berpisah untuk beliau masuk. Ketika dia sudah masuk, pintu mulai tertutup dengan pelan. Wajah Jordan menghilang, kemudian wajah Bennett. Sekarang wajah Declan satu-satunya yang bisa kulihat ketika Raymond menarikku dari kantor utama.

Raut muram terpasang di wajah Declan. "Maafkan aku."

"Tidak!" Aku terus berteriak padanya. "Kau berjanji padaku! Kau-"

Pintu terbanting menutup di depan wajahku. Aku terkesiap. Aku berhenti memberontak, sudah tidak ada gunanya sekarang. Tapi pada saat itu aku merasakan sesuatu yang basah di wajahku. Air? Garam? Air mata? Itu bodoh. Kenapa aku harus menangis? Aku tidak punya alasan untuk menangis. Semua temanku kan sedang tidak berada di kantor kepala sekolah. Atau bahwa salah satu dari mereka menyerahkan dirinya untukku. Atau bahkan Raymond, musuh terburukku, sedang menawanku. Mungkin sedang memikirkan hal-hal yang bisa dia lakukan bersama dengan kawan-kawannya.

Aku bergerak dengan gelisah dari cengkeramannya yang kuat, berusaha sekali lagi untuk kabur. Kuku-kukuku menusuk ke dalam lengannya, menginginkannya untuk melepaskan. Tapi dia mengabaikan itu semua. Meskipun dengan keberontakanku, dia berhasil mendekatkan kepalanya dan membisikkan sesuatu di telingaku.

Aku lemas di genggaman Raymond. Lagipula apa gunanya? Matilah aku. Jadi Declan salah. Kami berhutang $2.50 pada satu sama lain, dia tertangkap dan aku juga. Sekarang kata-kata yang Raymond bisikkan padaku terulang berkali-kali seperti kaset rusak. Aku menegang mendengarnya, lengannya masih menggenggamku dengan erat.

"Serangan tiga," bisiknya ke telingaku. "Kau keluar."

---

aneh ya ada kata 'kepo'nya di atas tadi.. x_x di Bahasa Indonesia yang artinya kepo (/nosy) ga ada sihh. mungkin karena itu anak2 Indonesia menciptakan kata kepo xD

Continue Reading

You'll Also Like

55.9M 3.3M 102
Telah terbit di Penerbit Romancious. Cerita ini tidak di revisi, jadi masih berantakan. Kalau mau baca yang lebih bagus penulisannya bisa beli bukuny...
13.7M 1.8M 71
[ ๐™‹๐™š๐™ง๐™ž๐™ฃ๐™œ๐™–๐™ฉ๐™–๐™ฃ! ๐˜พ๐™š๐™ง๐™ž๐™ฉ๐™– ๐™จ๐™š๐™จ๐™–๐™ฉ! ] . Amanda Eudora adalah gadis yang di cintai oleh Pangeran Argus Estefan dari kerajaan Eartland. Me...
5.8M 636K 47
"Kamu kenapa belum nidurin saya?!" "Maksud bapak apa ya?!" "Ma-maf, maksudnya nidurin anak saya." **** Anya memilih kabur dari rumah daripada di jod...
2.1M 65.8K 52
[Tamat๐Ÿ’ฏ] SEQUEL [ZHAFRAN (ON GOING)] jangan lupa mampir jika kalian mau tau kelanjutan dari iniโ˜บ [Wajib follow and komen aku maksa] Siapa sangka per...