Heartbeat⇝

By jealoucy

4.7M 92.7K 6.1K

[SUDAH TERBIT] Berbeda dari saudara kembarnya yang mendapat seluruh curahan perhatian dari keluarga, Seraphin... More

Heartbeat⇝
2ndBeats
3rdbeats
4thbeats
5thbeats
6thbeats
7thbeats
8thbeats
28thbeats
detak ke-32
Pengumuman
Perubahan Harga PO

detak ke-31

139K 7.3K 1.3K
By jealoucy


⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊Heart ✽ Beat✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

"Kapan kamu mau putus sama Elang?"

Aku mengerjapkan mata menatap saudariku yang berdiri di ambang pintu dengan kedua lengannya terlipat di depan dada. Aku mengorek-ngorek telingaku, siapa tahu aku salah dengar dengan pertanyaannya.

"Ini sudah terlalu lama kamu bersama dia dan akan menjadi semakin sakit pula saat dia meninggalkanmu nanti."

Aku melongo menatapnya, kali ini aku yakin tidak salah dengar. "Kamu salah minum obat atau apa sih?"

Meletakan baju yang sudah kulipat ke dalam ransel, aku melangkah ke lemari lagi untuk mengambil kaus kaki. Kata Elang aku harus membawa kaus kaki tebal karena di gunung dingin, tapi karena tidak punya maka aku membawa beberapa pasang.

Saat aku berbalik aku menemukan Fani dengan wajah marah tertahan yang jelek, kedua tangannya mengepal kuat di samping tubuhnya, seolah-olah dia menahan diri untuk tidak meledak. Terkejut malihatnya begitu, aku mundur selangkah. Dia segera memperbaiki ekspresinya.

"What is wrong with you?" tanyaku, setengah kesal setengah penasaran dengan reaksi yang baru saja aku lihat. Aku tidak pernah melihatnya seperti itu.

"Nothing," jawabnya pendek.

"Kalau begitu kenapa pake nanya kapan aku mau putusin  Elang segala?"

Dia menghela nafas dan duduk di tepi tempat tidurku sementara aku kembali memasukan peralatan campingku ke dalam ransel.

"Sebelum dia memutuskanmu akan lebih baik kamu yang memutuskan dia lebih dulu," ujarnya dengan nada simpati yang aku benci itu.

"Are you being serious?" tanyaku tidak percaya akan apa yang baru saja aku dengar. "Lagipula, tau dari mana dia bakal mutusin aku?"

Dia memutar bola matanya. "Bukankah selalu berakhir seperti itu? Kamu pacaran dengan seseorang yang ternyata malah menyukaiku. Kalian putus dan kamu patah hati."

Ini namanya menebar garam diatas bekas luka. Sakit sih tidak, tapi tersinggung iya banget. Aku melipat lengan di depan dada. "Emang dia bilang kalau dia menyukaimu?"

Fani memberiku senyum sedih dan simpati. "Elang lebih dulu mengenalku-"

"Bukan berarti dia menyukaimu," selaku. Fani melototiku. Dia paling tidak suka kalau ada orang memotong pembicaraannya.

"Dia ngga pernah menghidariku," Fani membela diri.

"Still, doesn't mean he likes you," kataku sambil meresleting ransel untuk camping dua hari mendatang.

"Kamu ngga tau itu."

"Aku tau itu," balasku. Kalau Fani mau bermain memanas-manasi, aku juga bisa. "Elang bukan orang bodoh. Dia tau betul siapa yang Ketua OSIS dan siapa yang Seraphine Alana. Dia juga bukan seorang pengecut. Kalau dia memang menyukaimu secara romantis dia pasti sudah nyamperin kamu alih-alih mendekatiku."

"Saat itu aku masih bersama Iwan," geramnya.

"Sudah aku bilang Elang bukan pengecut. Dia keras kepala dan ngga peduli apa kata orang. Jadi kalau dia memang menyukaimu dia ngga akan peduli entah ada Iwan atau ngga," ujarku membela... Entah siapa yang aku bela, Elang atau keyakinanku.

Fani mendengus. "Gayamu itu, seperti sudah sangat mengenal Elang saja." Aku menghendikan bahu tak acuh. "Did you even know when his birthday is?" Saat aku diam mengerutkan dahi dia menyeringai menang.

Aku memutar bola mata. "Hari ulang tahunnya ngga masuk kategori alasan mengapa aku harus memutuskannya."

Aku pergi untuk mengambil lotion anti nyamuk di dalam laci nakas, saat aku kembali pada Fani dia melotot padaku. Kedua tangannya mengepal di sisinya.

Aku menghela nafas. "Aku ngga pernah ikut campur dengan urusan pribadimu, bisa ngga kamu melakukan hal yang sama terhadapku?"

"Aku mencoba memperingatkanmu," ujarnya kesal, "semakin lama kamu bersama dia, akan semakin sakit juga nanti saat dia memutuskanmu."

"Itu urusanku. Sejak kapan sakit hatiku menjadi urusanmu iuga?" balasku sama kesalnya. Saat melihat wajah marahnya semakin jelek aku menghela nafas, lagi. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, tapi aku akan menangani sendiri apa yang akan datang padaku."

"Kamu akan menyesalinya," ujarnya memperingati.

Entah karena nada suara atau karena emosi yang ada di wajahnya, atau mungkin karena keduanya tapi suatu perasaan aneh merayapi punggungku, membuatku merinding. Udara dingin mengiringi kepergian Fani dari kamarku di mana pintu malang itu menjadi pelampiasannya.

Elang datang satu jam kemudian. Aku yang memang sudah menunggunya di pinggir jalan langsung membuka pintu begitu mobilnya berhenti di depanku dan segera menyuruh Elang cepat pergi dari sana sebelum Bang Adid dan teman-temannya sadar dari kegaguman mereka terhadap Shelby, mobilnya Elang. Baru ketika sudah berputar arah Bang Adid tersadar dan menyerukan namaku serta Elang untuk berhenti.

"Harus yah pakai Shelby jemputnya?" Elang melirikku dengan seringaian kecil terbentuk di mulutnya. "Dasar tukang pamer," tambahku menggerutu sedangkan dia malah tertawa.

Sudah berhari-hari Bang Adid menggangguku. Mereka yang mulai tertarik dengan otomotif menyuruhku membujuk Elang agar mau meminjamkan motornya pada mereka setelah mencoba ngomong langsung pada yang punya tidak dikasih. Ketika omongan mereka hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiriku, mereka lalu mulai menyulitkan. Usaha kekanak-kanakan mulai mereka lakukan, dari menghalangiku keluar ketika Elang menjemputku sampai menyuruh kami putus kalau Elang tetap tidak mau meminjamkan motornya.

Lalu mereka mulai mengancam. "Lo pikir kalau orang tua kami tau bahwa 'hobi' lo adalah ikut balapan liar lo  masih bisa ketemu adek gue?" kata Bang Adam waktu itu sambil menarikku ke belakang punggungnya. Kedua abangku menyeringai meremehkan memandang Elang.

"Hm," Elang berguman nampak berpikir.

Aku hampir yakin kali ini dia akan menyerah, tapi kemudian dia membalas seringaian abangku dengan seringaian sombong miliknya sendiri. Merangkul bahu kedua abangku, dia mengajak mereka menyingkir, menjauh dariku lalu berbisik-bisik kemudian berdebat. Entah apa yang mereka bisikan atau perdebatkan, tahu-tahu saja kedua abangku memohon-mohon dengan menyedihkan pada Elang agar mereka memboncengnya saja kalau memang tidak boleh meminjam.

Aku menghela nafas nafas mengingat semua itu. "Kalau ngga mau mereka mengganggumu lagi ya udah deh ngga usah pamer segala."

"Sst. Aku sedang mengumpulkan alat barter tau."

Aku memandangnya bingung. "Barter?" Dia mengangguk. "Percaya deh, Bang Adid ngga punya barang yang akan menarik perhatianmu. Barang milik mereka yang berharga cuma sekumpulam action figure G.I Joe dan Star Wars."

Aku cemberut mengingat kejadian ketika aku dijewer dan dikurung di dalam kamar mandi gelap seharian sampai nangis hanya karena aku melukisi helm Darth Vader mereka dengan gliter dulu. Padahal cantik banget loh ada bunga dan kupu-kupunya gitu.

"Aku suka Star Wars."

Aku memutar bola mata. "Sure you do."

°°°×°°°

Selesai membantu Bude dan kedua menantunya membereskan bekas makan siang dan menyiapkan makanan untuk makan malam  serta  memindahkan barang-barang dari mobil ke campsite sementara para pria menyelesaikan urusan mereka mendirikan tenda akhirnya aku punya waktu untuk mandi. Aku salahkan semua ini sepenuhnya pada Elang. Ada saja caranya untuk mengagguku berkonsentrasi dengan tugas yang ada di tanganku, membuatku lebih lama menyelesaikan tugas dari seharusnya.

Suara gemericik arus sungai membuatku semakin bersemangat. Sudah lama tidak mandi di kali rasanya kangen. Aku sampai di tepi sungai tepat saat seorang wanita dan anak remajanya selesai mandi dan hendak kembali ke perkemahan mereka tapi terhambat oleh anak lelaki yang bersikukuh duduk di atas dermaga kecil yang mencondong ke arah sungai yang airnya kebih tenang.

Samar-samar aku mendengar seruan Kak Adis dari arah kananku untuk ke sana karena di sini airnya dalam, tapi aku tidak menoleh. Sudah terlambat, pikiranku sudah menjelajah waktu, ke lain masa di mana tidak ada Kak Adis atau Elang.

"...phine alana." Samar aku mendengar namaku dipanggil.

Siapa?

"Hey Lara Croft."

Aku tahu suara itu.

Elang?

"Ya, ini aku." Aku berusaha mengusir kabut yang menyelimuti kepalaku. Ketika akhirnya pandanganku terfokus, aku menemukan wajah khawatir Elang di depanku. "Hai," sapanya dengan senyum.

"Hai," balasku pelan dengan suara serak.

Di belakang Elang Kak Adis berdiri dengan pipinya yang  basah dan mata berkaca-kaca membuatku bertanya-tanya apa yang telah disaksikannya. Tangkupan kedua tangan Elang pada wajahku dan usapan lembut jarinya pada pipiku yang ternyata juga basah membawa perhatianku kembali padanya. Mata coklat keemasannya nampak redup.

"Where have you been?" tanyanya. Walau dia tersenyum tetapi garis khawatir masih terlihat di kerutan-kerutan pada dahinya.

Aku menurunkan pandanganku dari wajahnya, merasa bersalah karena meletakan kekhawatiran itu padanya. Mataku menemukan  kedua tanganku yang mencengkeran bagian depan kaos Elang. Mereka kotor, kuku-kuku jarikupun hitam penuh tanah seperti aku baru saja menggali tanah dengan tangan kosongku.

"The past," jawabku berbisik. Air mataku langsung mengalir deras bersamaan dengan kembalinya flashback itu.

Elang menarikku ke pelukannya. "Shush. Aku di sini. Kamu aman," bisiknya menenangkan sambil mengusap-usap punggungku.

Entah berapa lama kami dalam posisi itu, aku menyembunyikan wajahku di dadanya sambil terisak. Bagian depan t-shirtnya yang sudah kotor menjadi basah oleh air mataku, namun aku tidak peduli begitu pula dengan dia sepertinya.

"Everything's gonna be alright," bisiknya.

Aku merasakan kecupannya pada puncak kepalaku, membuatku semakin menenggelamkan diri dalam pelukannya. Aku berharap dia benar, tapi aku tahu itu tidak mungkin. Tidak ada yang akan baik-baik saja setelah ingatanku kembali. Aku tidak bisa menghilangkan kembali ingatanku tentang kejadian-kejadian buruk yang aku saksikan, tidak peduli seberapa keras aku berusaha.

~  ~

Entah jam berapa saat aku tiba-tiba bangun dengan terkejut. Mimpi burukku seperti pemutaran film flashback sore tadi, namun kali ini dengan scenes yang berpindah-pindah dan hal-hal kecil yang aku lupakan. Salah satunya saat Kak Jonah mengancam Fani kalau dia akan membunuhnya dengan tangannya sendiri kalau Fani berani menyakitiku sekali lagi. Itu terjadi saat Fani mendorongku dari tangga dulu.

Aku tidak ingin kembali tidur, tidak bisa. Aku takut kalau memejamkan mata gambaran-gambaran buruk itu akan melintas dibalik pelupuk mataku. Aku lebih dari senang saat ponselku menyala. SMS dari Elang.

Mau kentang bakar?

Aku tersenyum sebelum membalasnya. Banyak ngga?

Cukup untuk mempertahankan nickname-mu.

Belum sempat aku membalasnya, sms lain datang.

Ada marsmallow juga nih.

Aku langsung bangun lalu memakai sepatu dan jaket sebelum menurunkan resleting pintu tenda. Aku menemukan Elang duduk sendirian menghadap api yang mulai mengecil membakar kayu dan  hanya ditemani gitar, satu kantong marshmallow dan beberapa kentang berbalut aluminium foil. Dia sedang mengupas salah satunya saat aku duduk di batangan kayu di sebelahnya lalu menyerahkannya padaku begitu kulitnya habis dikelupas. Aku menerimanya dengan senang hati.

"Sing for me," pintaku di sela-sela menggigit kentang manis gurih yang menghangatkan itu.

"No," jawabnya seketika, tanpa berpikir.

"Ayolah, dari tadi kamu cuma main gitar ngiringin orang nyanyi." Aku mengambil bebrapa marshmallow lalu menusukannya ke sebuah tusuk sate kemudian mendekatkannya ke api. "I wanted to hear your singing voice."

Dia mengorek-ngorek tanah di bawah api di mana dia menemukan sisa kentangnya. "What is it for me?"

Aku mendecakan lidah. "Sama pacar jangan pamrih."

"Justru karena sama pacar harus pamrih," dia melirikku dengan sorot mata usil, "mumpung ada kesempatan gitu."

Aku menodongkan sate marshmallowku tepat di depan wajahnya. Dia menjauhkan diri dariku sambil tertawa. "Sing. Or I will make you cry."

Dia mendengus. "And how would you do that?"

"I'll poke your eyes out."

Dia mendekatkan wajahnya dan matanya yang berkilat indah itu menatap tajam mataku. "Really?" bisiknya. "Bukankah mataku sangat indah? Sayang kalau di congkel keluar."

Dia selalu pintar memanfaatkan kelemahanku dan aku terlalu tersihir sampai tidak mengeluarkan sepatah katapun. Kini hidungnya sudah bersentuhan dengan hidungku membuat jantungku mulai meronta.  Berbagi oksigen dari celah sempit di antara mulut kami sama sekali tidak membantu, paru-paruku rasanya kekurangan udara menjadikanku harus membuka mulut untuk bernafas karena hidungku berhenti berfungsi.

Dia semakin mendekat sampai aku bisa merasakan mulutnya walau belum bersentuhan dengan mulutku, tatapan matanya pun semakin intens. Aku menjilat bibirku, mengantisipasi dengan jantung berdetak dengan gilanya akan sentuhan bibirnya pada bibirku, tapi bukannya menciumku dia malah membenturkan dahinya pada dahiku.

"Gotcha." Dan dia menjauh.

Kalau dia tidak segara menahan tanganku yang sudah teracung, aku mungkin sudah menusuknya dengan tusuk sate. Melihatnya tertawa tidak memadamkan kekesalanku, justru menyulutnya. Tanganku yang bebaspun mengambil benda terdekat yang kebetukan sebuah kentang berbalut aluminium foil, tapi karena aku ternyata mengambil yang baru dia gali dari bawah api aku langsung melepaskannya lagi.

"Aw-aw-aw, panas," pekikku sambil mengibas-ngibaskan tangan.

Dia melepaskan tanganku yang memegang tusuk sate dan memusatkan perhatiannya pada tanganku yang kepanasan lalu meniupinya. "Ngga ada yang pernah bilang padamu yah kalau kentang yang baru matang itu panas."

Orang ini sangat menyebalkan dari tadi malam. Kerjaannya mengganggu dan memancing emosi serta reaksiku. Memang berkat tingkahnya yang menggangu aku bisa tetap berada pada waktu sekarang dan tidak tenggelam dalam lamunanku yang selalu membawaku ke dalam kegelapan masa lalu, aku mungkin akan berterimakasih padanya kalau saja cara dia menjagaku tetap berada di sini tidaklah sangat menjengkelkan.

Aku menggigit bahunya yang kebetulan berada dekat dan setara dengan mulutku. Dia mengernyit. "Pulang-pulang  bakal tinggal separo nih," gumamnya sebelum melepaskan tanganku.

Kini giliran aku yang menjauhinya dan memilih mengabaikannya serta lebih berkonsentrasi makan kentang dan marshmallow bakar. Dia bicara dan terus membujukku untuk mendekat, tapi aku malah semakin menjauh dan tetap diam seribu bahasa. It didn't last long though, karena dia mulai memetik gitarnya lalu bait pertama sebuah lagu terlantun dari mulutnya.

Kiss me on the mouth and set me free
Sing me like a choir
I can be the subject of your dreams
Your sickening desire

Aku aku memicingkan mataku memandangnya. Ini orang ngejek atau menggoda?

Don't you want to see a man up close?
A  phoenix in the fire
So kiss me on the mouth and set me free.

Dia menyeringai, memandang geli padaku.

But please don't bite.

Aku langsung melempar sisa gigitan kentangku ke arahnya, tapi dia berhasil menangkapnya lalu mamakannya sebelum kentang itu berhasil mengenai tubuhnya.

"Ngapain masih di situ? Sini dong. Udah dinyanyiin lagu juga." Dia menepuk tempat duduk di sampingnya.

"Lagu alien," gerutuku.

Karena aku orangnya sangat pemaaf dan dia terlihat sangat menyebalkan dan keren saat sedang menyanyi aku akhirnya duduk kembali di sampingnya.

Δ~Δ~Δ

Elang menarikku ke arah hutan saat giliran jaga malam digantikan oleh Bang Dirga, anak pertama Pak Komandan. Aku mengikutinya tanpa ragu ataupun bertanya dia mau mengajakku kemana. Berdasarkan perasaanku,  sepertinya pada tahap ini aku akan mengikutinya walau dia mengajakku ke neraka sekalipun. I'm pathetic that way.

Lima menit kemudian kami tiba di sebuah tebing yang menghadap kota. Kita bisa melihat kelap-kelip lampu dari perumahan dan jalan raya yang sudah ramai kendati masih terlalu pagi untuk orang mulai bekerja. Aku bersender pada pagar besi yang dijadiakan pembatas lalu menghirup dalam-dalam udara segar pegunungan. Aroma pinus menyerbu indra penciumanku.

"Apa kamu juga punya penciuman super?" tanyaku tiba-tiba mengingat Kak Jonah.

"Ngga super, cuma lumayan peka," jawab Elang tanpa menoleh padaku. Dia sedang  membuat api pada sebuah tong besi.

"Apa keluarga kalian keturunan super human?" tanyaku penasaran. Kemarin aku diperkenalkan dengan sepupu Elang, Faye, yang bisa melihat hantu. Aku tidak mau ketemu dia lagi, sampai kapanpun kalau bisa.

Dia melirikku. "Could you please stop using  'power' word?" protesnya. "It's so exaggerated."

Aku tidak menjawabnya, hanya menatapnya menunggu. Akhirnya dia menghela nafas. "Nenek, nyokapnya Mama seorang psychic," lanjutnya kemudian. "Ngga, beliau ngga bisa melihat masa depan atau membaca pikiran orang," sambungnya saat melihatku hendak berbicara.

Aku cemberut. "Katanya ngga bisa baca pikiran orang, tapi kamu selalu menjawab lebih dulu pertanyaan yang belum keluar dari mulutku."

"It's getting easier reading your face and guessing what were you thinking."

"Apa semua keturunan nenekmu mewarisi kemampuan psychicnya?"

"Ngga juga. Mama malah ngga mewarisi apapun kecuali kemampuan  nenek dalam memasak." Dia mendatangiku dan berdiri di sampingku.

"Wah? Enak yah?" tanyaku antusias.

"Coba tanya Disty bagaimana rasanya ketika seorang dokter memompa isi perutnya keluar." Aku mengernyit ngeri sementara dia tertawa. "Bagaimana denganmu?

"Apanya?"

"Kembar identik biasanya punya ability, apa gitu?"

"Bang Adid bisa telepati satu-sama lain."

"Bukan urusanku," dia memutar bola mata, "aku cuma pengen tahu mengenaimu.''

"Fani bisa merasakan perasaanku." Dia menatapku bingung, jadi aku jelaskan. "Ingat aku pernah bilang bahwa orang yang aku suka biasanya disukai dia juga?" Elang menyeringai -pasti mengingat waktu aku mempermalukan diri itu- lalu mengangguk. "Ya semacam itu."

"Jadi kalau kamu sedih Ketua OSIS ikut sedih juga?"

Yang ini aku menggeleng. "Dia memang merasakannya, tapi dia bisa memilih; mau ikut tenggelam dalam kesedihanku atau mengabaikannya."

"Kamu juga begitu? Bisa memilih untuk mengabaikan bagaimana perasaannya?"

Aku menggeleng. "Kemampuanku berbeda."

"Beda gimana?"

Aku menimang-niman jawabanku. "Terkadang ingatannya mampir ke kepalaku dan aku ngga tau mana yang punya dia dan mana yang punyaku" jawabku pada akhirnya.

Dia menatapku dengan dahi berkerut bingung sementara aku garuk-garuk kepala tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. "Aku ngga tau cara menerangkannya," ujarku putus asa.

"Kasih contohnya, mungkin aku bisa ngerti."

Aku mencari contoh yang sederhanya dan tidak menakutkan. "Misalnya, dia menampar seseorang," ujarku mengingat saat Fani putus sama pacarnya yang selingkuh itu, "nanti suatu saat kejadian itu akan muncul di kepalaku. Namun bukan Fani yang menampar orang itu melainkan aku. Aku melihat kejadian itu di kepalaku melalui matanya, bukan sebagai orang ketiga yang menyaksikan  Fani menampar seseorang." (a/n: nah loh bingung ngga?)

Dia diam mencerna penjelasanku. "So... It's like you're in her?"

Aku memikirkannya. "Mungkin?" jawabku masih bingung sendiri. "Oh! And it seemed so real. Aku bisa merasakan sakit di telapak tangan kananku."

Mengira semua ingatan yang muncul di kepalaku adalah milikku dan bagaimana perasaanku setelah melihatnya membuatku merasa bodoh sendiri. Kenapa aku tidak ingat dari dulu bahwa aku punya kemampuan seperti itu yah?

Kami diam menikmati pemandangan di depan mata. Tidak lama kemudian orang lain datang, tiga cewek dan  empat  cowok. Salah satu cowok itu menyapa Elang namun tidak mendatangi kami dan memilih tempat di sisi ujung berlawanan dari tempatku dan Elang berdiri.

Saat melihat salah satu pasangan itu berciuman dalam gelap, aku segera mengalihkan perhatianku kembali ke pemandangan indah kota di bawah sana. Sial banget. Baru saja ditolak minta cium, eh malah menyaksikan adegannya langsung. Ada yang mendidih dan frustasi nih.

Aku melirik Elang dengan sebal dan menemukannya sudah menatapku dengan serius. Dia nampak sedang memikirkan sesuatu. Apa dia memikirkan hal yang sama denganku?

"Apa lihat-lihat?" tanyaku ketus.

Dia memutar badan sampai tubuhnya  mengahadapku sepenuhnya. "Apa itu juga berlaku saat ketua OSIS sedang berciuman dengan seseorang?"

Okay, fix. Gue benci Fani, banget. Dan Elang juga yang tidak peka. Dia tadi menolak menciumku dan sekarang malah bertanya hal semacam itu tentang Fani? Ckck. Kalau aku mendorongnya dari sini kebawah sana, apa polisi akan percaya kalau Elang kepleset? Aku membuang muka, menolak untuk menjawab atau melihat wajahnya dari mataku yang mulai berkaca-kaca.

"Eh kok diem. Ayo jawab," dia mulai tidak sabar.

"Aku ngga ngerti kamu ngomong apaan."

"Saat ketua OSIS sedang mencium seseorang,  apa gambaran itu juga sering 'mampir' ke kepalamu?" tanyanya dengan menggeram.

"Oh  maksdunya tentang itu?" Ada kelegaan yang sangat di dadaku.

Dia mengerutkan dahi. "Emang kamu pikir tentang apa?"

Aku menggeleng. Ternyata jalan otakku  berbeda jalur dengannya. Jadi malu. "Ya kadang-kadang."

"Seberapa kadang?"

Aku mendeteksi nada curiga dalam suaranya. "Uhm... Sering," jawabku, mulai cemas melihat ekspresi dan nada suaranya yang sudah berubah menjadi tidak ramah.

Dia melangkah mendekat, menginfasi ruang renggang di antara kami dan berdiri mmenjualang di depanku. "Dan kamu bisa merasakannya juga?"

"Itu..." kali ini aku tidak melanjutkan kata-kataku, mengetahui kearah mana jalan pikirannya sekarang. Ku menelan ludah. "Ngga seperti itu. Kamu musti tahu kalau itu bukan nyata," ujarku berusaha menenangkannya.

"Yeah. But for you 'it seemed so real', isn't it?" kini dia sepenuhnya melototiku.

"It's not-" Omonganku terpototong oleh munculnya gambaran lain. Sialnya itu adalah kejadian saat Fani sedang melakukan 'itu' dengan Kak Kevin.

"You're blushing," geramnya.

Aku membuka mulutku namun tidak ada kata yang keluar. Dari semua ingatan, kenapa yang muncul malah adegan yang R-rated itu? Ditambah  mengingat bagaimana reaksiku dulu waktu menghindari Kak Kevin karena mengira aku bermimpi mesum dengannya semakin membuatku salah tingkah. Dan itu sama sekali tidak membantuku dalam situasi sekarang, apalagi melihat wajah Elang.

"So, in  other words you're cheating on me. Indirectly."

Aku menggeleng dengan cepat dan tetap tidak bisa mengatakan apapun. Karena kalau dipikir-pikir tuduhannya ada benernya juga. Eh loh? Kok aku malah mendukung teori yang  merugikanku sih.

Dia menggeram, melototiku sekali lagi sebelum pergi ke arah tadi kami datang.

"Mau ke mana?"

Dia tidak berhenti berjalan, hanya melirikku sambil melemparkan tatapan tajam lalu menghilang di telan kegelapan.

"Elang!" keluhku.

Aku segera menyusulnya. Semoga dia belum jauh atau aku akan tersesat dan tinggal di sini selamat. Tapi kalau dilihat situasinya sekarang sepertinya tersesat akan lebih baik, setidaknya aku tidak perlu bersembunyi kalau dilempari tatapan itu lagi.

Mereka bilang beberapa ingatan  tidak layak untuk diingat kembali. Dan mereka benar.

Can we turn back time, please?

###

Giliran Elang yang cemburu ^^"

Mulmed adalah  Bite dari Troye Sivan, lagu yang dinyanyikan Elang.

Maap yah nee-ku sayang. Aku ngeshare kesayangannya nee :*

Sorry for typos, errors and mistakes.

Wassalam.

051215

       

Continue Reading

You'll Also Like

86.4K 13.2K 25
[COMPLETED] Pt. 1 - 7 : PUBLIC Pt. 8 - END : PRIVATE =========================================== ET DILECTIO [Bittersweet Stories #1...
18K 2.5K 56
Alex : Si adonis dengan tatapan tajam. Keinginannya untuk membalas dendam pada akhirnya kalah oleh rasa cinta. Hana : Si pemikat dan pemberani. T...
7.9K 2.8K 37
Romance & Thriller/action [18+] Description: Seorang pria terpaksa melibatkan seorang gadis magang untuk mendapatkan informasi rahasia, dan memb...
Candy By Keys-sama

Teen Fiction

133K 28.1K 13
"Lo tahu, Di? Gue nggak pernah suka sama yang manis-manis, sebelum akhirnya gue ketemu sama lo, sumpah deh." Sekuel MY PET GIRLFRIEND