faster than a wedding

By andirananda

1.9M 61.5K 1.4K

Nalani Lituhayu, gadis yang baru saja memasuki masa SMA-nya harus kehilangan mimpinya karena hamil di luar ni... More

chapter 1
chapter 2
chapter 3
chapter 4
chapter 5
chapter 6
chapter 7
chapter 8
chapter 9
chapter 10
chapter 11
chapter 12
chapter 13
chapter 14
chapter 15
chapter 16
chapter 17
chapter 18
chapter 19
chapter 20
chapter 21
chapter 22
chapter 23
chapter 24
chapter 25
chapter 26

epilog

110K 2.9K 236
By andirananda

akhirnya setelah readers menunggu cukup lama, author persembahkan *jengjengjeng* akhir dari kisah yang panjang ini hehehehe.

makasih atas semua dukungannya selama ini, maaf karya ini gak sebagus karya author lain. makasih udah pada nyempetin baca :') I really try my best to write this story. berusaha ngelepas gaya tulisan seenaknya jadi lebih kaku dan (inginnya saya sih) enak dibaca. but it's sure hard yaaa. susah banget buat nulis ini, selalu aja ada godaan karena alur dan tokoh yang kurang kuat jadi bikin bingung buat nulis apa.

buat yang tanya kapan bikin karya baru hmmmm kapan ya? tadinya sih mau buat cerita Agung tapi saya sendiri paksa masukin beberapa hal yg saya pikiran tentang cerita si Agung ke sini karena gak punya ide mau ngapain lagi si Agung sama Vira ini. ada yang punya ide? mending tulis sendiri aja ya ceritanya sayang kalau idenya malah dikasih ke orang lain, siapa tau kalau kamu yang nulis justru jadi lebih baik ;)

karya ini adalah karya yang -asli- dibuat oleh saya sendiri. tapi gak ngerti kenapa banyak yang baca, padahal saya lebih suka tulisan saya yang satu lagi *jadi promosi* mungkin karena yg ini ada kata 'wedding' di judulnya kali ya haha. soalnya yg temanya wedding perasaan banyak yg bacanya deh *menurut riset asal a la saya* hehe

well, terima kasih juga buat yang udah follow account ini. pokoknya udah paling terharu berat, apalagi sama readers yg suka ngevote+ngomment, juga buat readers yg nyemangatin supaya cepet update tapi sayanya malah gak update-update *sigh. maaf atas semua kesalahan yang sudah saya perbuat :)

nah akhir kata, selamat membaca, semoga suka sama part terakhir ini daaaaan sekali lagi thank you very much

***

“Adnan, gak cium tangan Baba dulu sebelum pergi?” tanya Radina.

“Baba gak ikut?” Adnan balik bertanya.

“Nggak,” jawab Radina.

Adnan mencium tangan ayahnya lalu melambaikan tangan kecilnya dari gendongan Madina.

“Hati-hati yaaaa,” kata Radina.

“Dadah, Baba, dadaaaah!” seru Adnan dengan semangat.

Radina membalas lambaian tangan anaknya kemudian menutup pagar rumahnya. Ia memang tidak bisa ikut pergi dengan keluarganya karena pekerjaannya belum selesai meski kemarin sudah lembur.

Biar saja toh ia tidak bermain dengan Adnan hari ini karena nanti malam mereka akan bertemu lagi dan keesokan harinya bisa menghabiskan waktu berdua. Radina kembali ke kamarnya untuk melanjutkan pekerjaannya.

Cukup lama Radina bekerja sampai-sampai ia baru ingat kalau ia belum makan dan perutnya protes minta diisi. Radina menelepon delivery pizza. Setelah memesan pizza kesukaannya, Radina kembali mengerjakan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi.

“Ting tong!” bel rumah Radina berbunyi.

Radina buru-buru menyambar dompetnya kemudian berlari menuju pagar rumahnya.

“Tumben cepet banget, Mas, lagi gak ra.. me... ya?”

Suara Radina melambat seperti kaset butut. Entah kenapa khayalannya ini terlalu nyata.

“Iya, Mas, lagi gak rame,” jawab si petugas delivery yang ada di depan gerbang rumah Radina.

Radina menerima kotak pizza dari petugas delivery tersebut dan membayar pesanannya. Begitu si petugas delivery menerima uang dari Radina, petugas itu pergi meninggalkan Radina yang merasa dirinya ada di dunia khayal.

Radina menggelengkan kepalanya lalu kembali masuk ke rumahnya, begitu ia hendak menutup pintu pagar, ada yang menahannya.

“Aku gak boleh masuk ya, Mas?” tanya Nalani.

Radina terdiam. Entah mengapa otaknya mati mendadak seperti ini.

Nalani masuk ke pekarangan rumah Radina lalu menutup pagarnya sampai tertutup sempurna seperti sebelumnya. Radina masih tidak percaya ‘pemandangan’ yang ada di depannya ini.

“Na.. la... ni?” tanya Radina dengan ragu.

“Ya?” sahut Nalani.

“Ini kamu?” tanya Radina, memastikan bahwa dirinya tidak salah lihat.

Nalani tersenyum lalu mengangguk. Radina masih mengira kalau ia sedang berhalusinasi. Sampai Nalani meraih tangannya.

“Jangan di depan rumah, Mas, kalo ngelamun,” kata Nalani sambil menarik Radina masuk ke dalam rumah.

“Nal, kalau kamu kabur dari rumah mending jangan ke sini deh,” kata Radina ketika Nalani sudah menutup pintu rumahnya.

“Aku gak kabur kok,” kata Nalani dengan tenang, seperti biasa.

“Jadi?”

“Mending Mas makan dulu.”

Radina memandang kotak yang ia pegang lalu ia menarik Nalani dan menyimpan kotak itu di atas sofa sekenanya.

“Duduk, cerita selagi aku makan atau kamu mau makan juga?” tanya Radina, berusaha menghilangkan kegugupannya.

“Aku tunggu Mas makan aja,” jawab Nalani.

“Kamu jadi keras kepala gini yaaaaa,” kata Radina.

Nalani hanya tersenyum dan ia meninggalkan Radina untuk mengambilkan minum.

“Kamu masih inget rumah ini? Masih inget gelas yang biasa aku pake disimpen di mana?” tanya Radina.

“Memangnya Mas pikir aku pikun banget?” Nalani menjawab dengan sebuah pertanyaan.

“Karena ngeliat kamu di sini masih berasa mimpi buat aku!” kata Radina emosi.

Nalani mencubit kedua pipi Radina. “Kalau makan, makan aja,” kata Nalani.

Radina menatap Nalani dalam-dalam lalu menelan pizzanya dengan kesal. Nalani membelai kepala Radina dengan lembut sambil tersenyum. Radina menahan napas saat Nalani melakukan hal tersebut. Perlahan ia menarik Nalani ke dalam pelukannya.

I'm still alive but I'm barely breathing

Just prayed to a God that I don't believe in

'Cause I got time while she got freedom

'Cause when a heart breaks, no, it don't break...

No, it don't break

No, it don't break even, no

Lirik lagu tersebut terngiang di telinga Radina. Lagu yang setia menemani Radina saat ia teringat dengan Nalani. Betapa sakitnya ia melihat Nalani bersama dengan lelaki lain, bukan dirinya terlebih ketika ia mendengar cerita dari anaknya sendiri kalau Nalani dijemput oleh Iyan. Tidak hanya sekali Radina mencari pelampiasan, tapi semuanya gagal bahkan terkadang Agung yang menghalangi usahanya.

Radina merasa dadanya basah. Nalani menangis di dalam pelukannya.

“Nal...” panggil Radina.

Nalani mengeratkan pelukannya, justru ini membuat Radina menjadi semakin bingung dan sulit menerima kenyataan. Ia menepuk punggung Nalani tanpa bicara, berusaha menenangkan Nalani dengan caranya sendiri. Semakin lama dadanya semakin basah.

Radina merasa sesak. Ia ingin menyuruh Nalani berhenti menangis, tapi ia tidak tega melakukannya. Entah mengapa ia justru merasa sangat dibutuhkan oleh Nalani dan itu membuatnya senang.

Nalani melepaskan pelukannya dan ketika ia mau mengusap air matanya sendiri, justru tangan Radina yang mengusapnya terlebih dulu.

“Udah puas nangisnya?” tanya Radina.

Nalani mengangguk malu. Radina mengusap pipi Nalani. Nalani menjadi semakin cantik saja, wajahnya sudah terlihat dewasa. Selama ini Radina hanya bisa melihat Nalani dari jauh dan seringnya ketika Nalani bersama Iyan. Tapi kali ini Radina bisa meneliti setiap detil wajah Nalani.

“Apa kabar?” tanya Radina.

“Nggak pernah sebaik ini,” jawab Nalani.

Radina menangkup wajah Nalani lalu menempelkan keningnya ke kening Nalani.

“Aku kangen,” kata Radina, tulus dari dalam hatinya.

“Aku juga,” kata Nalani.

Radina kembali memeluk Nalani dengan erat. Nanti saja bicaranya, asal ia bisa berdekatan dengan Nalani seperti ini. Sudah terlalu lama mereka tidak sedekat ini.

Lama mereka berpelukan sampai akhirnya Radina tersadar kalau Nalani tertidur. Perlahan Radina mengubah setelan sofa bed yang mereka duduki agar menjadi kasur. Tidur Nalani sempat terusik namun ia kembali tertidur. Radina yang sebenarnya tidak kuat menahan gemas jadi menggigit kepalan tangannya sendiri lalu menjadikan Nalani guling. Ia memang tidak pernah bisa menahan diri jika Nalani ada di sisinya, apalagi seperti ini.

***

Hari itu menjadi hari bersejarah bagi Nalani dan Radina. Mereka kembali bersatu dan mengejutkan orang-orang yang baru pulang saat malam hari. Bi Muas sampai menitikkan air matanya.

Sejak hari itu pula Radina bertekad untuk menemui nenek Nalani, meminta restu atas hubungan mereka dan membuat hubungan mereka tidak bisa terpisah lagi. Tapi Radina perlu menunggu saat yang tepat. Biar saja mereka menikmati saat-saat seperti ini, saat-saat yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Apa lagi selain pacaran?!

Radina yang cemburuan setengah mati selalu kesal ketika melihat Nalani berbincang dengan teman-teman laki-lakinya. Andai dulu ia kuliah manajemen, Nalani sudah dilarang berhubungan dengan teman-temannya itu. Sialnya Radina selalu menemukan Nalani diajak bicara dengan lawan jenis ketika ia menjemput Nalani kuliah saat Nalani kuliah sampai sore  atau malam.

“Nggak bisa ya kamu tuh kalau pulang langsung nyamperin aku di mobil?” tanya Radina.

“Ya ampun, Mas, mereka cuma temen aku,” jawab Nalani.

“Tapi cowok semua.”

“Lah tadi dua orang yang sama aku pakai rok itu masa cowok sih?”

“Ya tapi kan maksudnya...”

“Mas, udah deh berhenti marah-marah terus. Setiap pulang sore pasti gini.”

“Aku bukan Iyan, Nalani.”

“Aku kan gak ngomongin Iyan.”

Radina semakin merasa kesal. Ia selalu marah kalau ingat apa saja yang Nalani dan Iyan lakukan. Apalagi kebiasaan Nalani yang suka ketiduran di pelukan Iyan karena menganggap Iyan adalah Radina. Bukan hanya itu, entah berapa kali Iyan mencium perempuan yang paling ia cintai itu sampai-sampai Nalani jadi pintar berciuman. Radina selalu mendengus kalau ingat itu. Kalau ada orang yang melakukan itu harusnya hanya Radina. Belum lagi Nalani yang jujur mengatakan apa yang sudah terjadi di antara dirinya dan Iyan dengan tenang di hadapan Radina seakan lupa sifat Radina yang pencemburu.

“Mas, Mas, aku ketemu temen sekelas aja udah marah. Apalagi kalau ketemu Iyan,” kata Nalani.

“Nggak boleh pokoknya nggak kalau ketemu sama Iyan!” seru Radina.

Nalani tertawa saja. Memang ‘pacarnya’ ini memiliki fantasi yang berlebihan. Mana mungkin Nalani menemui Iyan toh Iyan juga tidak pernah mengabarinya lagi.

“Pokoknya jangan bahas Iyan-Iyan lagi,” kata Radina.

“Iya,” kata Nalani, paling nanti Radina sendiri yang menyebutkan nama terlarang itu.

Radina menyetir mobilnya lagi. Kali ini ia sedikit lebih tenang. Ia benar-benar tidak mau dipisahkan lagi dengan Nalani.

“Nah, udah sampe,” kata Radina.

“Makasih,” kata Nalani lalu mengecup bibir Radina, kalau tidak bisa-bisa Radina rewel minta dicium.

“Aku balik lagi ke kantor ya, masih ada kerjaan,” kata Radina.

“Hati-hati di jalan,” kata Nalani lalu turun dari mobil Radina.

Bohong kalu Radina kembali ke kantor. Ia sudah punya janji untuk menemui Agung di sebuah restoran.

“Ngeri banget muke lo, Bos,” kata Agung.

Radina jadi tersadar kalau mukanya menunjukkan muka sedang kesal. “Sori, tadi biasa gue kesel,” kata Radina lalu mengambil buku menu dan memesan makanan.

“Jadi ada apa lo minta ketemu sama gue? Tumben banget,” kata Agung lalu menyesap kopinya.

“Gue mau ketemu nenek lo.”

“Waaaaw, udah punya nyali ya lo ternyata!”

“Sialan!”

Agung cengengesan.

I need your help,” kata Radina.

“Ya iyalah you need my help. Jadi lo punya apa sampe nekat mau ngelamar cucunya nenek gue itu?” tanya Agung.

Radina menghela napas. Ia masih belum punya bekal yang cukup untuk menikah dengan Nalani. Jika dibandingkan dengan Agung yang memang punya bakat berbisnis yang hebat, dirinya hanya sebuah kutu loncat.

“Bercanda kali gue. Umur lo juga berapa. Gak usah gitu,” kata Agung.

“Gue emang gak punya apa-apa, Gung, makanya gue bingung mau ngapain,” kata Radina.

“Kenapa lo mikirnya gitu?”

“Ya harusnya mikirnya gimana? Keluarga gue gak ada apa-apanya dibandingkan keluarga lo. Masalahnya gue laki-laki.”

“Ya lo memang laki-laki, gue juga tau. Nalani pernah bilang gak sih kenapa dia dijodohin sama Iyan?”

“Pernah.”

“Lo masih inget alasannya kenapa?”

“Karena masalah orang tua kalian?”

“Ding dong. Ada masalah sama urusan wealth?”

Radina terdiam. Memang sih ia tidak mendengar permasalahan tentang kekayaan keluarga.

“Ibu Nalani berasal dari keluarga yang lebih terpandang daripada keluarga bokapnya, maksudnya keluarga gue, dan gue yakin Nenek gak berkeberatan nerima lo,” kata Agung.

Radina terdiam lagi.

“Lo itu orang yang dicintai sama cucunya, bapak dari cicitnya. Setidaknya lo udah punya modal itu untuk dipamerin di depan Nenek. Nenek kan gak punya itu.”

Radina menatap Agung yang langsung nyengir. Entah sejak kapan mereka bersahabat seperti ini tapi Radina bersyukur karena ada Agung.

***

Jantung Radina tidak bisa berhenti berdegup kencang. Ia berusaha menenangkan diri tapi gagal. Tidak pernah ia jantungan seperti ini ketika menjemput Nalani ke kampus. Ia juga tidak marah ketika menemukan Nalani sedang berbincang dengan teman laki-lakinya.

“Sakit, Mas? Kok keringetan?” tanya Nalani.

“Oooh ini tadi capek di kantor. Biasa ada meeting,” jawab Radina.

Meeting darimana! Keringat dingin yang bercucuran di wajahnya dan ia mengusap keringatnya sendiri ketika menyetir.

“Nanti mau makan apa? Belanja di supermarket di bawah apartemen dulu ya. Terakhir kali aku ke apartemen Mas kan bahan makanannya udah abis,” kata Nalani.

“Mmmm aku kayaknya gak niat makan berat, Nal. Kamu bisa bikin spring roll?”

Spring roll?”

“Iya. Lumpia gitu atau apa kek.”

“Pangsit aja ya, gimana?”

“Iya deh boleh.”

“Aku belanja sendiri aja. Nanti Mas langsung ke atas, mandi terus istirahat. Kalau mau tidur ya tidur aja dulu nanti aku bangunin.”

“Nggg, iya deh. Maaf ya, Nal, aku capek banget.”

“Iya, nggak apa-apa.”

Radina menurunkan Nalani di lobby supermarket sementara ia langsung memarkir mobil dan ke apartemennya. Semenjak empat bulan bekerja ia pindah ke apartemen, hanya setiap week end ia pulang ke rumah orang tuanya agar Adnan bisa bermain dengan kakek-nenek dan tantenya. Kini terkadang Nalani datang ke apartemennya saat week day sekedar untuk menghabiskan quality time berdua toh Adnan sudah sekolah dan bisa ditinggal-tinggal.

Radina sebenarnya sudah menyulap apartemennya untuk menjadi tempat lamaran. Apartemen Radina hanya apartemen studio yang dimiliki oleh ayahnya. Sebenarnya ayah Radina punya dua apartemen lain yang ukurannya lebih besar tapi kedua apartemen tersebut sudah disewakan jadi Radina menempati apartemen ini.

Radina melihat dekorasi kamarnya lagi. Ia sudah mengambil cuti hanya demi menyiapkan lamaran ini. Ia kembali melihat kondisi ‘rumahnya’ tersebut dan ia mengangguk puas. Tadinya ia memilih tempat lain yang lebih mewah, tapi ia sendiri ingin membuat suasana yang lebih intim. Matanya menyisir sekeliling ruangan itu, ingin melihat apa ada yang salah namun matanya berujung ke kue yang ada di atas meja makan. Kue itu kurang cantik karena Radina yang membuatnya sendiri, hasil kursus pada ibunya dan mendapat omelan setiap belajar.

“Mahasiswa Mama aja lebih pinter dari kamu!” kata ibu Radina karena kesal Radina benar-benar payah dalam memasak.

Radina sudah mencoba kue itu sebelumnya, rasanya lumayan bisa diterima di lidahnya. Entah apa yang akan dikatakan Nalani nanti yang jelas rasa kue buatan Radina itu jauh sekali dari rasa kue yang biasa Nalani buat, apalagi tekstur kuenya karena kue yang dibuat Radina tidak selembut kue buatan Nalani dan hiasannya tidak semanis yang Nalani buat.

Radina kemudian mandi untuk menyegarkan tubuhnya dan memakai pakaian yang pantas digunakan seorang pria untuk melamar wanita yang dicintainya. Radina menata rambutnya sedemikian rupa agar terlihat tampan tapi keringat dingin lagi-lagi mengucur. Ia kembali gugup.

Terdengar bunyi bel, Nalani ternyata sudah selesai berbelanja.

“Mas, kok pintunya dikunci dari dalem sih? Aku gak bisa buka,” kata Nalani.

Radina menghembuskan napasnya dan membuka kunci yang ada di dalam apartemennya lalu berlari ke meja makan.

“Kok remang-remang gini sih, Mas?” tanya Nalani kemudian masuk ke dalam apartemen Radina lalu menutup pintunya.

Nalani melihat ada kue di atas meja makan dan Radina yang memegang sebuket bunga mawar putih yang sederhana sambil menundukkan wajahnya.

“Maaaaas?” panggil Nalani.

“Nggg, iya,” sahut Radina.

“Bunganya buat aku?” tanya Nalani.

“Iya,” jawab Radina.

Nalani yang tidak bisa melihat Radina dengan jelas menyimpan belanjaannya di dekat kulkas.

“Aku gak ulang taun hari ini kok,” kata Nalani.

“Ini bukan untuk ulang taun kamu, Sayang...” kata Radina sambil menyerahkan buket bunga itu pada Nalani.

“Jadi untuk apa?” tanya Nalani.

“Ingin ngerasain malem spesial aja sama kamu,” jawab Radina.

Nalani tersenyum lalu menghirup wangi bunga yang ada di tangannya.

“Wangi banget,” kata Nalani lalu duduk di hadapan Radina.

“Nggg, Nal,” Radina gugup memanggil nama Nalani.

“Ya?”

“Aku sayang kamu.”

“Aku juga sayang sama Mas.”

“Makan kuenya yuk.”

“Ayo. Beli di mana kuenya?”

“Aku yang buat. Maaf ya kuenya jelek.”

“Mas yang buat?! Waaah aku harus foto dulu ini.”

Nalani mengeluarkan ponsel dari tasnya dan memotret kue buatan Radina kemudian menatapanya sambil tersenyum penuh makna.

“Makasih yaaaa,” kata Nalani.

Radina mengangguk dengan cepat. Harap-harap cemas sebenarnya manusia yang satu ini.

 “Makan yuk kuenya,” kata Radina, berusaha menghilangkan kecemasannya sendiri.

Nalani mengangguk lalu memotong kue untuk Radina dan dirinya. Radina sudah memperkirakan bagian kue yang bercincin akan berada di Nalani. Hasilnya rencananya sukses, mungkin Nalani akan sadar setelah beberapa suapan.

Mereka berdua berbincang dan Radina semakin gugup. Sudah dua potong kue buatannya sendiri ia makan sementara Nalani  baru makan setengah kuenya. Sesuap lagi saja Nalani makan kuenya maka ia akan menemukan cincin di dalam kue tersebut.

“Mas yakin gak apa-apa?” tanya Nalani setelah ia melihat gelagat Radina.

“Kue buatan aku gak enak ya? Sama kamu sampe gak diabisin gitu. Maaf ya, aku gak bisa masak,” jawab Radina, kali ini nadanya lebih tenang.

“Aku lucu aja liat Mas. Aku cerita Mas malah gelisah,” kata Nalani lalu memotong kuenya sendiri.

Sedikit lagi, Sayang, sedikiiiiit lagi, batin Radina.

Akhirnya Nalani menyadari kalau ada yang aneh dengan kuenya.

“Kok keras, sih?” Nalani bertanya pada dirinya sendiri. Begitu ia memotong kuenya lagi, akhirnya ia melihat sebuah benda bundar berwana perak.

Radina langsung menahan napas, apalagi saat Nalani mengambil cincin dengan tangannya sendiri. Nalani sendiri terkejut dengan apa yang ditemukannya. Sebuah cincin dengan sebuah batu kecil di tengahnya. Tidak ada yang berbicara. Radina menikmati pemandangan di hadapannya, Nalani yang terkejut dengan cincin yang ada di kuenya.

“Cincinnya harus dicuci dulu, baru bisa dipake,” kata Radina.

Nalani yang sama sekali tidak menyangka kalau Radina akan bertindak seperti ini. Ia kehabisan kata-kata dan tidak bisa bicara sama sekali. Radina mengambil napas panjang lalu ia duduk dengan lututnya, di hadapan Nalani yang duduk di kursi. Dengan erat dan penuh kasih sayang Radina menggenggam tangan Nalani.

I love you,” begitu kata Radina, singkat memang tapi sukses membuat Nalani menitikkan air mata.

Radina mengusap air mata Nalani kemudian kembali bicara.

“Aku gak tau harus ngomong apa lagi, Nal. Aku... aku gak bisa ngungkapin segimana sayangnya aku sama kamu, cintanya aku sama kamu. Mudah-mudahan kamu bisa ngerasain itu meski aku gak bilang.”

Nalani mengangguk kemudian Radina kembali menggenggam tangannya.

“Menurut aku, kamu paling gak ahli soal kata-kata, gak ahli soal affection, gak ahli soal nunjukin apa yang ada di hati kamu. Mudah-mudahan aku gak salah ngartiin sikap kamu selama ini sampai aku berani nekat sejauh ini. Kamu mau kan jadi istri aku?” tanya Radina.

Hati Nalani langsung mencelos. Ia bukanlah seorang perangkai kata yang baik, maka dari itu ia lebih banyak diam tapi di saat otaknya berpikir keras untuk mengatakan apa yang ia inginkan, justru tubuhnya yang bergerak sendiri. Kepalanya mengangguk di saat otak Nalani masih berpikir apa yang akan dikatakannya. Radina segera memeluknya dan mengecup puncak kepala Nalani.

“Dulu kita sempet nikah, tapi karena terpaksa. Kali ini kita akan nikah beneran dan mudah-mudahan kita gak bakal kepisah kayak dulu lagi. Aku gak yakin bisa jadi suami yang bener-bener baik, aku cuma bisa berusaha yang terbaik untuk jadi pemimpin bagi kamu dan Adnan,” kata Radina sambil menumpukan dagunya di kepala Nalani.

I do love you,” kata Nalani.

I do love you more,” kata Radina.

“Mas...”

“Hmmm?”

“Cincinnya buat dipajang atau buat dipake?”

Radina jadi teringat kalau cincin yang diberikannya itu kotor akibat kue dan krim. Dengan segera Radina mencuci cincin tersebut dan mengelapnya.

“Ini gak mahal dan sederhana, aku yakin cincin yang dikasih nenek kamu harganya berkali lipat dari yang ini. Mudah-mudahan nanti, setelah aku sama kamu jadi suami-istri, aku bisa beliin yang lebih bagus,” kata Radina sambil memakaikan cincin tersebut pada jari manis Nalani.

“Amin,” kata Nalani.

Mereka berdua berpandangan lalu tersenyum satu sama lain.

“Aku anter kamu ke rumah Nenek yuk, aku kangen sama Adnan,” kata Radina.

Nalani menjawab dengan sebuah anggukan pasti.

***

Pernikahan Nalani dan Radina dilangsungkan di kediaman keluarga Nalani. Nalani tidak ingin menikah di hotel atau gedung, ia justru memilih menikah di rumah neneknya yang besar dan cukup untuk menampung tamu yang diundang oleh kedua keluarga.

Radina berhasil menaklukan hati nenek Nalani. Sulit memang bagi Radina yang bermodalkan ‘seseorang yang dicintai Nalani’ dan ‘ayah dari anak Nalani’, tapi lama kelamaan hati nenek Nalani luruh juga.

Radina juga mendengar alasan mengapa Iyan memutuskan untuk meninggalkan Nalani daripada menikahinya dari nenek Nalani sendiri. Awalnya Iyan memang berniat merebut hati Nalani, tapi karena sadar usahanya akan gagal maka dari itu ia membina hubungan ‘ceritanya pacar tapi kelewat mesra’ dengan Nalani. Alasannya sederhana saja, satu karena sudah terlanjur, dua karena si ‘ceritanya pacar tapi kelewat mesra’ itu Nalani. Mungkin kalau si ‘ceritanya pacar tapi kelewat mesra’ itu adalah Omas, Iyan sudah kabur lebih dulu tanpa peduli keluarganya akan menghukumnya sampai mati.

Kenapa ‘ceritanya pacar’? Bahkan Iyan tidak pernah ‘menembak’ Nalani secara resmi. Mereka berhubungan dekat setelah Nalani diproklamirkan akan dijodohkan dengan Iyan oleh neneknya. Justru itu membuat Radina marah dan sensitif. Kalau bukan pacaran apalagi tunangan, kenapa Nalani bertindak semesra itu dengan Iyan?! Radina hendak mencecar Iyan dengan alasan tersebut tapi batal karena ia menyadari dosanya sendiri. Ia juga sempat beberapa kali bermesraan dengan perempuan lain meski tidak sampai ke ranjang. Well, karena Nalani juga demikian jadi paling-paling Radina merasa sesak sendiri kalau membayangkan apa yang Nalani dan Iyan lakukan dulu.

Tiga tahun kemudian...

“Bubuuuu!” panggil seorang anak perempuan berusia 3 tahun.

“Iya, Natia,” sahut Nalani sambil menggendong seorang bayi mungil yang baru berusia 4 bulan.

“Kak Adnan kapan pulang sekolah?” tanya Natia.

“Sebentar lagi,” jawab Nalani.

“Tapi Natia mau main sama Kak Adnan.”

“Sabar ya, Sayang. Natia makan dulu sama Bubu yuk.”

“Nggak ah, Natia tadi udah makan sama Bunda.”

Nalani menggelengkan kepalanya lalu membelai kepala anak itu dengan lembut.

“Kenapa Natia gak main sama De Sasha?” tanya Nalani.

“Abis Sasha kan gak bisa diajak main kayak Kak Adnan,” jawab Natia dengan lucunya. Anak ini memang terlalu pintar di usianya yang masih kecil, bicara saja sudah lancar sekali.

“Natia gak sabaran banget sih,” kata Vira.

“Bunda, Natia mau main tapi mau mainnya sama Kak Adnan gak mau sama De Sasha,” kata Natia pada ibunya.

“Tapi Kak Adnan sekolah, Natia. Natia kan juga sekolah tadi pagi,” kata Vira.

Natia menunduk kesal kemudian terdengar suara adiknya menangis.

“Ini mau makan ya, Vir,” kata Nalani.

“Oh iya. Laper ini anakku. Sini, Lan,” kata Vira.

Nalani menyerahkan bayi yang digendongnya kepada Vira. Membiarkan Vira memberi makanan terbaik untuk buah cintanya yang kedua, ASI.

“Non Natia, mau main sama Mbah Putri ngga?” tanya Ima yang ditugaskan untuk memanggil Natia.

“Mauuuu!” seru Natia lalu berlari ke arah Ima yang menjulurkan tangannya.

“Natia, jangan teriak-teriak ya kalo cerita sama Mbah,” kata Vira.

“Iya, Bunda! Dadah Bunda, Dadah Bubu!” seru Natia sambil melambaikan tangannya yang tidak digenggam oleh Ima. Setelah anaknya pergi, Vira berbincang dengan Nalani.

 “Kamu masih belum ngisi juga, Lan?” tanya Vira.

“Belum. Tuhan belum kasih sepertinya,” jawab Nalani sambil mengelus kepala Sasha yang sedang ‘makan’.

“Kamu pake kontrasepsi nggak?”

“Nggak pernah. Mas Radina juga gitu. Kata dokter sih belum dikasih aja sama Tuhan.”

“Sabar ya, Tuhan punya rencana.”

Nalani mengangguk. Ia ingin menimang anaknya sendiri, tapi ia harus bersabar.

***

Radina baru pulang dari kantor ketika melihat istrinya sedang melamun di atas kursi sambil membuka buku. Terlihat sekali kalau Nalani sedang memikirkan sesuatu.

“Nal,” panggil Radina.

“Eh, Mas, aku gak sadar Mas udah pulang,” sahut Nalani yang benar-benar terkejut atas kedatangan suaminya. Ia segera menghampiri Radina untuk membukakan dasinya.

“Kamu lagi mikirin apa sih?” tanya Radina.

Nalani tersenyum lalu berkata, “Aku lagi mikirin apa yang ada ditulis di buku.”

“Kamu tuh udah paling gak pinter soal boong, Sayang...” kata Radina sambil mencubit hidung Nalani.

“Aku cuma inget waktu hamil Adnan,” Nalani akhirnya memilih jujur.

Radina terdiam. Ia punya banyak dosa pada Nalani saat Nalani hamil dulu. Perlahan ia menarik Nalani ke dalam pelukannya. Entah kenapa Nalani baru membahas hal ini sekarang, padahal sebelumnya tidak pernah.

“Kamu susah ya waktu hamil dulu? Maaf, aku bener-bener khilaf waktu itu,” kata Radina.

“Bukan itu yang aku inget, Mas. Tapi perasaan aku sebagai seorang ibu.”

Radina kehabisan kata-kata. Ia memilih untuk mencium kening Nalani.

“Aku mandi dulu ya, gak enak bau asem gini,” kata Radina.

Nalani mengangguk dan membiarkan Radina mandi. Kepalanya pusing karena terlalu banyak berpikir. Ia memilih untuk berbaring di tempat tidur dan nyaris tertidur ketika Radina selesai mandi.

“Jangan tidur sendiri gitu, kan ada aku gulingnya,” kata Radina.

Nalani tersenyum lalu memeluk Radina yang segera duduk di tempat tidur setelah mandi, tanpa peduli rambutnya masih sedikit basah setelah mandi.

“Kamu ingin punya anak lagi ya?” tanya Radina.

Nalani mengangguk.

“Aku sumpah, kalau kamu hamil anak kita nanti, aku gak akan ngebiarin kamu berjuang sendirian sama seperti kamu hamil Adnan,” kata Radina.

“Mas, apa Mas inget kali pertama Mas nyium aku waktu aku hamil?” tanya Nalani.

Radina mengerutkan keningnya. Rasanya ia tidak pernah melakukan hal tersebut.

“Waktu itu Mas pulang dalam keadaan mabuk. Aku lagi gak bisa tidur karena pusing. Tiba-tiba ada yang buka pintu kamar aku dengan kasar dan itu Mas. Mas limbung dan aku berusaha mapah Mas ke kamar Mas sendiri, tapi Mas malah nyium aku dan manggil ‘Nes, Nes’. Entah kenapa aku ngerasa kecewa dan badanku rasanya semakin sakit. Aku gak ngejaga diri dengan baik, seakan lupa kalau aku lagi hamil sampai-sampai aku harus dirawat di rumah sakit. Di rumah sakit pula aku harus ngehadapin kenyataan kalau Mas sama sekali gak pernah liat aku. Aku cuma seorang perempuan yang membawa bayi di perutnya, tanpa ada suami yang mendampingi. Terlebih Mas sampai bermesraan di kamar aku saat itu,” kata Nalani.

Radina tercengang. Astaga, jadi saat itu Nalani tidak tidur?! Pikirnya.

“Dari situ aku bertekad untuk ngelupain Mas, bertekad untuk berjuang sendiri. Tapi aku gak bisa. Semakin aku coba untuk berusaha sendiri, rasa sakit itu makin menjadi sampai aku gak kuat lagi dan harus berjuang antara hidup dan mati demi Adnan. Dan perasaan itu yang selalu aku ingat. Perasaan sebagai seorang ibu, perjuangan demi menyelamatkan seorang yang tanpa dosa yang tumbuh di perutnya. Aku gak bisa memungkiri kalau aku jatuh cinta sama Mas waktu aku hamil, karena selalu ada dorongan dari dalam diriku sendiri untuk selalu mencintai Mas meski aku belum tentu dapet balasan yang sama,” tambah Nalani.

Radina langsung mencium kening, kelopak mata, hidung, kemudian bibir Nalani.

“Biar aku tebus kesalahan aku yang dulu, Nal,” kata Radina sungguh-sungguh.

Nalani lagi-lagi tersenyum, “Mungkin sekarang bukan saat yang tepat untuk Mas menebus kesalahan yang dulu. Kita sama-sama sedang diuji oleh Tuhan. Ujian kesabaran. Mungkin kalau dulu aku lebih sabar, Adnan bisa tumbuh lebih baik dari yang sekarang dan gak punya fisik yang lemah seperti sekarang.”

Radina mendesah, bukan Nalani yang bersalah atas hal itu, melainkan dirinya sendiri! Radina brengsek, batinnya mengatai diri sendiri. Mungkin kalau ia lebih memerhatikan kandungan Nalani, Adnan bisa berolahraga sepuasnya tapi faktanya Adnan hanya bisa berolahraga ringan karena kalau tidak maka ia akan sesak napas.

“Kita bisa kok memperbaiki yang lalu, Nal,” kata Radina yang air matanya sudah berada di ujung mata.

Nalani mengangguk lalu mengerjapkan matanya yang sedari tadi sudah basah.

“Pusing,” kata Nalani matanya terasa berkunang-kunang.

“Nal? Nalani? Kamu liat aku?” tanya Radina.

Nalani mengangguk tapi pandangannya semakin buram.

“Sebentar, Sayang, ini minum,” kata Radina sambil mengambil gelas di atas nakas tapi terlambat karena Nalani terlanjur terkulai lemas di pelukannya.

Radina yang terkejut segera memanggil orang-orang yang ada di rumah Nenek. Salah seorang pembantu justru menelepon dokter langganan untuk memeriksa Nalani secepatnya. Nalani pingsan dan belum sadarkan diri sampai si dokter datang. Nenek memangku Natia di kursi roda dan Adnan memegangi tangan ibunya begitu dokter memeriksa Nalani.

“Istri saya kenapa, Dok?” tanya Radina yang cemas.

“Kelelahan biasa,” jawab dokter itu sambil menuliskan resep.

Nenek dan Radina bisa menghembuskan napas lega.

“Suruh istirahat yang banyak ya, sekarang istri Anda ini sedang tidur dan... sebulan lagi bisa datang ke dokter kandungan?” tanya si dokter.

“Apa? Kenapa harus ke dokter kandungan?” tanya Radina yang merasa ngeri begitu dokter mengatakan demikian.

“Saya belum yakin karena saya bukan dokter kandungan. Tapi ada tanda kalau istri Anda ini sedang hamil. Cobalah di tes dulu pakai test pack untuk membuktikan dan kalau tidak yakin bisa ke dokter kandungan,” jawab dokter.

Radina menatap Nenek penuh arti. Semoga ini pertanda baik.

***

Dua minggu setelah kejadian Nalani pingsan, Radina menyuruh Nalani untuk menggunakan test pack. Tapi apa yang diramalkan dokter meleset, hasilnya negatif. Baik Nalani maupun Radina tidak merasa kecewa. Mungkin Tuhan masih belum memberikan apa yang mereka inginkan.

“Kita cek ke dokter kandungan yuk, setidaknya cek kesehatan kamu. Dulu kamu sempet dioperasi kan, siapa tau itu penyebab rasa sakit yang sering kamu rasain akhir-akhir ini,” kata Radina.

Nalani mengangguk pasrah. Ia sudah tidak banyak berharap lagi. Dua hari kemudian Radina mengantar Nalani ke rumah sakit untuk bertemu dengan dokter Samuel. Nalani hanya bisa menatap iri wanita lain yang sedang mengandung.

“Nyonya Nalani,” panggil suster.

Nalani dan Radina segera masuk ke ruang periksa dokter dan dokter memeriksa keadaan Nalani. Kemudian dokter itu tersenyum kepada Nalani, membuat Nalani kebingungan sendiri.

“Perutnya sering kram?” tanya dokter Samuel.

“Iya, Dok,” jawab Nalani.

“Sebelumnya sudah menstruasi?”

“Sudah, Dok. Tapi cuma bercak darah.”

“USG ya?”

“Boleh.”

Dokter Samuel dan dokternya menyiapkan alat USG dan Radina menggenggam tangan Nalani. Cemas, jangan-jangan Nalani menderita penyakit parah. Begitu dokter Samuel siap dengan persiapannya, ia menempelkan alat tersebut pada perut Nalani.

“Tuuuh, ada isinya di dalem, masih terlalu lemah. Kemungkinan ada kelainan kalau dibiarkan begini,” kata dokter Samuel.

Nalani dan Radina segera bertatapan.

“Isinya apa, Dok?” tanya Radina.

“Menurut Bapak, apa? Tuh gerak-gerak begitu,” jawab dokter Samuel.

Mungkinkah itu???

“Selamat atas kehamilannya,” kata dokter Samuel, menegaskan apa maksudnya.

Nalani langsung menitikkan air matanya sementara Radina tidak bisa menutup matanya.

“Tapi... test pack bilang negatif...” kata Radina.

“Yaaah, terus ini di dalem perutnya apa dong?” tanya dokter Samuel.

Radina merasa terharu. Tuhan berpihak padanya. Jadi... ini adalah hadiah dari Tuhan untuknya dan Nalani, juga Adnan dan keluarganya yang lain.

Radina segera tertawa lalu memeluk Nalani erat-erat.

“Yak, kalau mau merayakan hal ini jangan di sini ya... Nanti aja kalau di rumah. Ibu muda ini jangan terlalu banyak pikiran ya, banyak istirahat juga. Saya akan pantau terus kemajuan janin di dalam, semoga bisa kita tanggulangi sebelum jadi cacat bawaan,” kata dokter Samuel.

Radina mengangguk semangat. Tuhan punya kado terindah untuknya, meski itu tidak datang dengan serempak dalam waktu yang bersamaan.

***

Sembilan bulan kemudian, lahirlah Ladini Mulawarman. Nalani bisa melahirkan putri tercintanya secara normal. Selama hamil, Radina melimpahkan kasih sayang seutuhnya, berusaha tidak melakukan kesalahan yang sama, meninggalkan Nalani berjuang sendirian untuk menebus kesalahan yang pernah ia lakukan.

Adnan lahir bukan karena kesalahan, melainkan anugrah dari Tuhan untuk menyatukan Nalani dan Radina. Hidup mereka justru lebih baik dengan adanya kehadiran Adnan sebagai putra pertama mereka. Menjadi orang tua yang berjuang demi anak pertama mereka yang memiliki fisik yang lemah, hingga menunggu datangnya buah hati kedua untuk menambah kebahagiaan hidup keluarga kecil tersebut.

Nenek bahagia bisa bertemu dengan keempat cicitnya, seakan lupa bahwa penyakitnya semakin parah. Ia menghabiskan sisa hidupnya bersama keluarganya, cucu dan cicitnya. Melihat cicitnya bertengkar satu sama lain karena hal-hal remeh adalah nikmat Tuhan yang paling ia syukuri sebelum Tuhan memanggilnya untuk berpulang setelah Ladini berusia tiga tahun.

“Ayah, Mbah Putri lagi apa ya sekarang? Biasanya kan Mbah Putri nyuapin Ladini kalau hari Minggu gini,” tanya Sasha pada Agung.

“Mungkin Mbah Putri lagi minum teh sama Oma-Opa,” jawab Agung.

“Iya, ya? Sasha gak sabar deh pengen ketemu Mbah Putri lagi. Oh ya, Sasha kan gak pernah ketemu Oma sama Opa,” kata Sasha.

Agung tersenyum lalu membelai kepala putrinya.

“Ayah, Ladina juga mau ikut ke Mbah Putri,” kata Ladini dengan polosnya.

“Nanti kita pasti ketemu,” kata Nalani sambil membawa nampan berisi kue buatannya.

“Asiiiiik! Kue buatan Bubu!” seru Adnan dan Natia secara bersamaan.

Agung tersenyum kepada Nalani yang segera dikerubungi oleh Ladini, Natia, dan Sasha. Sementara itu Adnan duduk di taman bersama Radina.

"Baba, Adnan ini laki-laki tapi masa tes lari aja gak boleh?" tanya Adnan.

"Adnan kan tau sendiri kalau Adnan gak bisa capek atau Adnan yang sakit, Bubu nangis lagi," jawab Radina sambil mengusap kepala anaknya.

Adnan menunduk. Pernah ia nekat untuk bermain bersama temannya dan ketika ia mencapai titik kelelahan, ia tidak sadarkan diri setelah sesak napas. Begitu sadar, ia menemukan Nalani sedang menangis tersedu-sedu.

"Baba, Adnan nakal tadi. Karena Adnan nakal, Bubu jadi nangis gini. Maaf ya, Bu," kata Adnan dengan penuh penyesalan.

"Adnan, Baba sama Bubu, sayang Adnan bukan karena Adnan sehat atau nggak kan, tapi karena Adnan anak kami, titipan Tuhan yang harus dijaga dengan baik. Baba gak mau liat Adnan sakit karena memaksakan diri, Baba juga gak mau liat Bubu nangis. Karena itu meski Adnan punya kekurangan, Adnan jangan minder. Adnan gak perlu jadi seperti anak lain, karena apapun yang terjadi, Adnan tetap jadi anak Baba dan Bubu," kata Radina.

Adnan tersenyum lalu memeluk ayahnya. Ayahnya selalu berkata demikian. Meski Adnan hanya bisa duduk manis ketika adik-adiknya berlari ke sana-sini, ada ibunya yang selalu mendampingi. Belum lagi dukungan dari Agung dan Vira, yang selalu ada untuk menyokongnya.

"Baba, ini kue dari Bubu. Ini kue buat Kak Adnan," kata Ladini sambil membawa piring plastik ke hadapan ayah dan kakaknya.

"Sini, Sayang, hup!" Radina mengangkat Ladini agar duduk di pangkuannya.

Adnan mengambil piring yang dipegang Ladini lalu memakan salah satu kuenya dan membiarkan sang adik 'disiksa' oleh ayahnya hingga menjerit-jerit kegirangan ketika ayahnya menggelitiki tubuhunya

"Udah, Mas, jangan kerjain lagi nanti susah tidur," kata Nalani, menghampiri suami dan anaknya sambil membawa nampan teh.

Radina menghentikan aktivitasnya untuk menyesap teh yang disiapkan oleh Nalani dan Vira. Sementara itu keluarga Agung justru betah di meja taman.

"I love you all my beloved," kata Radina lalu mengecup kening istri dan anak-anaknya.

"We love you too, Baba," kata Adnan sambil memeluk ayahnya.

Nalani dan Radina.

Agung dan Vira.

Mereka punya kebahagiaan yang nyata, bukan hanya dalam mimpi mereka seperti waktu dulu. Mereka kini hidup layaknya keluarga yang tidak bisa berdiri sendiri. Meski Agung dan Vira memilih pindah dari kediaman Nenek setelah Nenek meninggal, tidak lupa setiap akhir minggu mereka mendatangi kediaman Nenek untuk membiarkan anak-anak mereka bermain bersama.

Kebahagiaan itu datang dengan sendirinya, meski harus ada proses jatuh bangun, terperosok ke dalam lubang yang dalam serta harus bangun sendiri sampai akhirnya menemukan sesama yang saling menolong untuk menggapai dan mempertahankan kebahagiaan tersebut.

Continue Reading

You'll Also Like

87.7K 8.8K 21
"It was You, Jeon Wonwoo. From the beginning, Only You" - Kim Mingyu βœ…COMPLETE β›” bxb area β›” Highest rank #1 Wonu Highest rank #1 Wonwoo Highest rank...
1.2M 55.3K 51
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
6.4K 605 6
Ada banyak kata yang tak terucap di dunia ini. Karena di saat yang bersamaan, kita menyadari itu akan jadi hal terbodoh yang pernah kita ucapkan. Kam...
19.7K 811 59
[ DARK CHICKLIT ] πŸ”ž Dara, bersembunyi di balik nama Nadia. Gadis usia remaja akhir yang penuh ambisi ingin melihat dunia dengan sudut pandang lain...