Contra Mundi II - Anak-anak M...

By JagatnataAdhipramana

27K 1.4K 163

Tan Ying Go, komandan peleton 3 Satuan Komando Wilwatikta, harus menghadapi bahwa dunia yang ia diami bukanla... More

Senandung Rajata
BAB I : KOMANDO WILWATIKTA
BAB II : PANGERAN CAHAYA
BAB III : YANG TERAKHIR
BAB IV : VAJIRA MUNI (The Unbeatable Sage)
BAB V : DI MANA KAKI KAMI BERPIJAK?
BAB VI : CHANDRADIMUKA
BAB VII : BUNDA-BUNDA
BAB VIII : BERGERAK!!!
BAB X : ANAK-ANAK BUMI
BAB XI : LAZARUS
BAB XII : NEGERI ORANG-ORANG MATI
BAB XIII : ANAK DUA DUNIA
BAB XIV : PRAHARA
BAB XV : MARA
BAB XVI : PALAGAN JAKARTA
BAB XVII : RANCASAN
BAB XVIII : RATU ADIL
BAB XIX : DYAUS PITA -Bapak Angkasa
BAB XX : SESUATU YANG BARU

BAB IX : PRIDE

1.1K 57 13
By JagatnataAdhipramana

 Sebuah tempat yang tidak diketahui

            Sebuah keramaian tengah terjadi. Sekumpulan makhluk-makhluk ganjil tengah berkumpul dengan duduk melingkar di tengah-tengah sebuah tempat yang tampaknya adalah arena pertarungan. Makhluk-makhluk itu bersorak-sorai atas sesuatu yang tengah terjadi di tengah-tengah arena.

            Seorang pria botak berbusana kemeja putih bergaris biru dan bercelana hitam masuk ke tengah-tengah arena. Ia melambai kepada segenap makhluk-makhluk ganjil yang ada di sana dan mereka pun membalasnya dengan bersorak makin keras. Tak berapa lama kemudian, masuklah ke dalam arena itu dua makhluk ganjil bertubuh manusia dan berkepala hewan. Seorang berkepala singa dan seorang berkepala banteng. Mereka menyeret seorang pemuda yang sekujur tubuhnya sudah berlumuran darah dan hanya mengenakan kain putih kumal sebagai penutup bagian pribadinya. Rambutnya pendek kusut dan wajahnya penuh dengan ruam biru-merah, memar.

            Kedua makhluk itu membanting sang pemuda di hadapan sang pria botak. Pemuda itu jatuh tersaruk seolah bersembah sujud di hadapan sang pria botak. Si pria botak tersenyum penuh arti lalu memandang ke arah tribun penonton di mana sesosok manusia – pria – berambut panjang yang diikat ekor kuda tampak duduk di sebuah kursi mirip singgasana dengan kaki diangkat ke sebuah meja berukir.

            “Harusnya kau beritahu aku – jika anak ini dalam genggamanmu – lebih cepat Abaddon,” ujar pria botak itu.

            “Maaf Calya, aku sedang sibuk sehingga aku alpa memberitahumu. Oke ... sekarang anak itu milikmu. Silakan perlakukan dia sesukamu,” ujar si rambut panjang yang dikuncir ekor kuda.

            Si pria botak berlutut di hadapan sang pemuda lalu dengan kasar menjambak rambut si pemuda dan memaksa si pemuda menatap wajahnya, “Halo Nandi.”

            “Calya ... mau apa kau kemari,” pemuda itu mendesah lirih.

            “Hmm ... jika aku ingat-ingat kurasa kau pernah bersumpah untuk membunuhku bukan?”

            “Jika aku bisa lakukan itu sekarang, maka akan kulakukan.”

            “Wow, aku tak menyangka tekadmu yang itu masih ada.”

            Bunuh dia! Cincang dia! Buat dia menjerit seperti anak perempuan! Sorak-sorai di tribun penonton semakin riuh.

            “Aku menawarkan sesuatu padamu Nandi, jika kau berhasil bertahan melawanku selama satu jam maka kau akan dikembalikan di negeri orang hidup. Bagaimana?”

            “Iblis takkan pernah menghormati perjanjian.”

            “Begitukah? Lalu bagaimana kau menjelaskan mengapa aku tak pernah membunuh kedua tuanku, Nandi? Aku Iblis tapi aku juga punya harga diri dan kehormatan.”

            Nandi terdiam selama beberapa saat sembari mencoba bangkit berdiri tegak kembali, sebuah hal yang tidak mudah karena ia tampak sekali habis dihajar habis-habisan.

            “Bagaimana Nandi?” tanya Calya sekali lagi.

            “Baiklah,” jawab Nandi.

            “Oke, pegang ini!” Calya melemparkan sebilah pedang yang sudah berkarat pada Nandi. Nandi menangkapnya dengan tangan gemetar.

            “Kalau kau lolos kau bebas, kalau kau kalah ...,” Calya tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menatap seluruh hadirin dan meminta mereka yang ada di sana memberitahu konsekuensi yang ia maksud.

            Seret dia dengan kereta kuda! Sesah dia! Remukkan tulang-tulangnya! sorak segenap hadirin.

            Nandi tidak mempedulikan kata-kata itu. Ia sadar menang atau kalah iblis-iblis ini tetap akan ingkar janji. Tapi di benaknya ia berpikir : jika ia punya kesempatan untuk bisa menghajar Calya sekali saja di sini, ia akan mengambil kesempatan itu, apapun resikonya.

            Calya mengambil posisi kuda-kuda, sementara Nandi mulai mengayun-ayunkan pedangnya dengan kelihaian yang sama dengan yang ia dapat semasa ia hidup dulu. Calya menerjang lebih dulu, ia melayangkan tinju tangan kanannya ke arah kepala Nandi, Nandi berkelit dan tinju itu menghantam lantai yang menjadi pijakan mereka. Lantai batu itu langsung hancur dan menimbulkan retakan berdiameter dua meter.

            Nandi terperangah untuk sesaat sebelum sadar bahwa Calya kembali menerjang ke arahnya. Nandi merunduk lalu mengayunkan pedangnya dan pedang itu menggores perut Calya kemudian ... pedang itu patah.

            “Hah?” Nandi terkejut ketika mendapati pedangnya sudah patah bilahnya. Belum sempat ia bereaksi lebih lanjut sebuah pukulan keras sudah mendarat di perut kirinya lalu menghempaskan dirinya ke salah satu sudut arena setelah sebelumnya dirinya sempat menghantam tembok arena.

            “Ugh!” Nandi mengerang ketika dirinya mencoba bangkit kembali.

            “Mengecewakan, beginikah dirimu tanpa kekuatan Contra Mundi?” tiba-tiba Calya sudah berdiri di hadapannya. Nandi bereaksi dengan langsung melayangkan pukulannya ke kaki Calya, berharap itu akan menyakiti iblis itu, tapi ia merasa dirinya habis memukul sebuah tiang baja yang keras sekali. Calya mencengkeram tangan Nandi lalu melemparkan pemuda itu ke sisi lain arena.

            Kembali tubuh pemuda itu menghantam dinding arena yang keras lalu terhempas di lantai batu yang kasar. Darah kembali mengucur dari seluruh luka di tubuhnya, mulai dari kaki, tangan, dan punggung, kepala dan perut. Pemuda itu mendesah putus asa, menyadari bahwa ia telah melakukan perlawanan yang sia-sia.

            Calya sendiri dengan kecepatan yang tak dapat ditangkap mata manusia sudah bergerak dan berdiri di hadapan Nandi. Ia kembali menatap sosok pemuda itu dengan tatapan mengejek sementara si pemuda menengadah dan membalasnya dengan tatapan penuh dendam.

            “Kau kalah Nandi.”

            “Masih belum,” Nandi mencoba berdiri kembali meski tubuhnya gemetaran akibat menahan rasa sakit.

            “Ayolah, menyerah sajalah dan terima nasibmu.”

            “Nasibku sebagai mainan bagi kau dan teman-temanmu? Kau sudah memberiku kesempatan untuk melawan, karena itu ... aku akan terus melawan.”

            “Tekad yang mengagumkan,” sebuah kabut hitam tiba-tiba menyelimuti Calya dan dalam sekejap ia berubah menjadi sosok iblis yang seluruh tubuhnya berwarna hitam kelabu setinggi 4 meter dan dari punggungnya dua buah sayap seperti sayap kelelawar mencuat dari punggungnya. Kepalanya sendiri berubah wujud menjadi sosok wajah manusia yang sudah rusak tanpa mata dan hidung-digantikan oleh sebuah lubang hitam yang seakan hendak menyerap jiwa siapapun yang menatapnya.

            Penonton kembali bersorak sementara Calya menjepit tubuh Nandi yang sudah tak berdaya itu dengan dua jari tangan kirinya.

            “Apa yang harus kulakukan pada anak ini?” Calya berseru.

            Patahkan kaki-tangannya, remukkan tulang-tulangnya, sayat dagingnya bagian demi bagian!

            “Lihat apa yang mereka ingin aku lakukan padamu, Nandi. Tampaknya ... tindakanmu selama hidup membuat para iblis sangat membencimu.”

            “Heh, kalian memang pantas untuk dibenci,” Nandi menyeringai.

            Calya tidak berbicara lebih lanjut lagi. Ia hempaskan tubuh pemuda yang sudah babak belur itu ke lantai batu lalu sebuah kepalan tinju tangan kanannya menghantam tubuh Nandi sehingga pemuda itu memekik tertahan.

            Hantaman pertama – mematahkan tulang-tulang rusuknya

            Hantaman kedua – menghancurkan isi perutnya.

            Hantaman ketiga – memecahkan organ hatinya

            Hantaman keempat –meremukkan tulang belakangnya

            Hantaman kelima –  dengan perlahan-lahan dan penuh rasa sakit ia meregang nyawanya.

            Seluruh hadirin bersorak ketika Calya mengangkat dan memamerkan tubuh tanpa nyawa itu.

            “Lihatlah manusia ini. Sungguh menyedihkan bukan?” ujar Calya.

            Benar! Benar! Sungguh menyedihkan!

            “Siapa yang punya ide lain untuk jadi ‘bahan permainan’ bagi anak ini ketika ia dihidupkan kembali?”

            Potong ia jadi seribu bagian! Letakkan beban berat di punggungnya dan paksa ia berjalan sejauh mungkin! Lalu paku dan gantung dia pada palang derita! Sebagaimana yang telah kita lakukan pada orang-orang benar pada masa lalu!

*****

Alam Semesta Arvanda, Hutan Sancang – Jawa Barat, 5 Januari 2013

            Sekumpulan prajurit berjumlah satu peleton tampak memasuki hutan Leuweung Sancang, sebuah hutan di selatan Kabupaten Garut. Mereka bergerak dengan cara mengendap-endap dalam senyap, hanya mengandalkan kode-kode berupa suara buatan yang mirip dengan suara burung semacam burung hantu, prenjak dan tekukur. Kode berupa suara burung hantu berarti kondisi sedang tidak aman dan pasukan harus diam di tempat, suara tekukur berarti kondisi aman dan pasukan boleh maju terus sementara, suara burung prenjak menandakan dimulainya serangan.

            Peleton itu semakin jauh masuk ke tengah hutan dan di sana mereka menemukan sebuah lubang hitam berdiameter satu meter yang mengepulkan asap berbau busuk. Tanah di sekitarnya panas membara sehingga tetumbuhan di sekitarnya mulai layu.

            “Let?” seorang prajurit menoleh kepada pemimpin kompi.

            “Rinto ambil sampel tanah, Gusti ambil foto, lalu Lukman pasang bom,” perintah Sang Letnan.

            “Siap!”

*****

            Dari atas langit tampak, dua sosok yang melayang-layang di udara. Salah seorang dari mereka mengamati gerak-gerik para prajurit TNI itu menggunakan teropong yang dilengkapi sinar inframerah.

            “Mereka hendak menghancurkan karyamu, Pranaja. Apa kau tidak hendak melakukan apa-apa?” tanya seorang dari mereka berdua yang ternyata seorang perempuan.

            “Aku sudah siapkan kejutan untuk mereka Mara. Tunggu saja.”

            “Oh sayangku, kau selalu saja membuatku penasaran.”

*****

            Para prajurit itu telah selesai melakukan tugasnya masing-masing. Mereka bergegas bergerak keluar dari hutan itu. Sang Letnan berujar setengah berbisik pada walkie-talkienya, “Misi Netra berhasil. Peleton 5 dalam perjalanan kembali ke markas. Ganti!”

            “Diterima. Lanjutkan Letnan, pasukan pengintai menyatakan tidak ada satupun kunarpa di jalur kalian. Lekas dan bergegaslah, ganti!”

            “Roger!”

            Prajurit-prajurit itu semakin mempercepat langkah mereka hingga akhirnya mereka bertemu dengan sebuah pemandangan ganjil. Suara burung hantu dikumandangkan oleh prajurit yang menjadi pelopor[1] yang menyaksikan sebuah siluet hitam tengah melayang dari satu pohon ke pohon lainnya. Siluet itu melayang nyaris tanpa suara, hanya menimbulkan sedikit gemerisik di dedaunan. Tapi prajurit pelopor itu jelas-jelas tahu bahwa yang lewat barusan itu bukan bajing, bukan burung hantu, juga bukan ular.

            “Ujang, ada apa?” tanya Sang Letnan.

            “Ada sosok yang mencurigakan, Let.”

            “Macam?”

            Belum sempat prajurit itu menjawab, sudah terdengar pekikan panik dari belakang mereka. Seluruh prajurit segera berbalik dan berlari ke arah sumber suara dan di sana mereka menyaksikan pemandangan yang mengerikan.

            Empat sosok kepala tanpa tubuh dengan organ tubuh yang menggantung di bawah kepala mereka tampak tengah mengeroyok dan menggigiti seorang prajurit. Satu menggit bagian tangannya, satu di leher, satu di kaki, dan satu di dada.

            “Buset! Makhluk apa ini?” ujar seorang prajurit.

            “Jangan banyak tanya! Tembak!”

            Dan peluru-peluru pun bermuntahan dari laras-laras senapan prajurit-prajurit itu, menghancurkan kepala-kepala makhluk penghisap darah itu. Ketika keempat kepala itu sudah hancur, seorang dari mereka mendekat ke arah prajurit yang menjadi korban gigitan dan memeriksa denyut nadinya.

            “Bagaimana?” tanya Sang Letnan.

            Yang ditanya menjawabnya dengan gelengan kepala.

            “Kita tidak bisa menguburkannya sekarang, kita harus bergegas keluar dari sini,” ujar Sang Letnan yang diamini oleh para bawahannya.

            Belum juga mereka melangkah sudah terdengar suara raungan keras dari makhluk yang sudah mereka kenal baik harus dihindari.

            “Srabedan! Siapa bawa pelontar granat?”

            “Saya Let!”

            “Arahkan pada si Srabedan itu,” ujar Sang Letnan panik.

            “Jangan terburu-buru dahulu, Taufan,” tiba-tiba Letnan itu mendengar seorang memanggil namanya, “Kalau kau tembak makhluk itu sudah pasti kau mengundang kawan-kawannya yang lain untuk datang menghabisi dirimu.

            “Siapa kau?” para prajurit itu menodongkan senapan mereka ke arah pria itu.

            “Sebentar, turunkan senjata kalian,” perintah Sang Letnan bernama Taufan itu, “Suara itu ... Tan Ying Go?”

            “Kau benar sekali, Taufan,” Ying Go berjalan mendekat ke arah Taufan sementara mata-mata prajurit yang penuh curiga terus mengawasi gerak-geriknya.

            “Kalian sudah masuk ke dalam jebakan mereka. Sementara kau dan pasukanmu hendak meledakkan lubang sekecil itu, sebuah lubang lain telah muncul tidak jauh dari sini.”

            “Di mana?”

            “Satu kilometer ke barat laut dari lubang yang kalian ledakkan tadi. Dan yah ... kalian kini terkepung.”

            “Lalu ... kau punya saran bagaimana kami bisa keluar dari sini?”

            “Punya, tapi aku juga butuh bantuanmu kelak.”

            “Bantuan apa?”

            “Ayahmu seorang jendral bukan?”

            “Kau minta aku membantumu merestorasi pangkatmu?”

            “Tidak, tidak, bukan untuk itu.”

            Suara geraman itu semakin mendekat. Taufan tampak panik dan akhirnya menatap tajam pada Ying Go.

            “Oke ... apapun bantuan yang kau minta akan kuusahakan memenuhinya.”

            “Baiklah!” Ying Go mengibaskan tangannya dan memunculkan pusaran cahaya berwarna kebiruan. Seluruh hadirin di sana menatap dengan penuh tatapan takjub.

            “Masuklah kalian kemari. Gerbang ini akan membawa kalian kembali ke pusat komando.”

            “Kau yakin?”

            “Percayalah.”

            Merasa tak punya pilihan lain Taufan beserta anak-anak buahnya segera memasuki gerbang itu. Di dalamnya mereka merasakan guncangan yang luar biasa, lebih parah daripada yang mereka rasakan saat menumpang pesawat angkut Hercules tua yang tengah menerjang hujan badai. Guncangan itu berlangsung selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka terlempar ke sebuah lapangan rumput.

            Masing-masing dari mereka tak ada yang tidak memuntahkan isi perutnya. Taufan segera bangkit berdiri dan mendapati di kejauhan telah tampak markas yang menjadi tujuan mereka.

            “Ahoi! Markas di depan! Ayo bangun!”

*****

            Pranaja tak habis pikir ketika melihat dari teropongnya bahwa prajurit-prajurit yang sejatinya hampir menjadi sasaran para kunarpa itu ternyata menghilang di sebuah area yang telah ia pasangi jebakan.

            “Ada yang tidak beres di sini, Mara,” ujar Pranaja.

            “Aku ... juga merasakannya, Tuanku.”

            “Ada apa ini sebenarnya?”

            Mara hendak menanggapi pertanyaan Tuannya itu namun di udara secara tiba-tiba ia merasakan sebuah tekanan yang amat berat. Seakan seluruh udara memadat dan hendak menjepitnya.

            “Mara, kenapa? Ada apa?”

            “Vajira Muni ada di sini, Mara,” tiba-tiba sosok bernama Hekaloth itu muncul di belakang mereka, “Lekas pergi dari sini sebelum ... .”

            “Tidak secepat itu,” tiba-tiba Ying Go muncul di hadapan ketiga sosok yang melayang-layang di udara itu. Tombak hitamnya terhunus di tangan kanannya.

            “Sial!” umpat Hekaloth sementara Pranaja membelalak menyaksikan sosok yang disebut-sebut Vajira Muni itu.

            “Ying Go?”

            “Pranaja?” Ying Go tak kalah terkejutnya ketika menyaksikan sosok yang selama ini tidak pernah ia sangka akan berada di samping iblis yang ia cari-cari selama ini.

*****

Alam Semesta Arvanda, Jakarta, dua tahun sebelumnya.

            Sejumlah prajurit berbaris rapi dalam upacara pagi itu. Angin semilir berhembus sejuk di pagi itu, kontras dengan suhu Jakarta yang biasanya panas. Seorang prajurit yang tengah diapit erat oleh dua prajurit lainnya maju dengan derap langkah teratur menghadap seorang komandan upacara. Komandan itu memulai upacara dengan sedikit pidato lalu turun dan berdiri berhadapan dengan prajurit yang diapit oleh dua kawannya itu.

            Komandan itu mendekatkan kepalanya ke telinga prajurit itu, “Maafkan aku Pranaja. Bukan keinginanku untuk melakukan ini,” setelah itu ia mencobot tanda pangkat perwira kapten pada bahu Pranaja, disusul segala atribut keprajuritannya. Setelah itu sehelai baju batik dikenakan pada Pranaja – sebuah tanda bahwa ia bukan lagi prajurit TNI, ia sudah diberhentikan dengan tidak hormat.

*****

Alam Semesta Arvanda, saat ini

            “Pranaja! Jadi kau yang mendatangkan kunarpa-kunarpa ke dunia ini?”

            “Benar, lalu kenapa?”

            “Astaga, lupakah kau akan janjimu dahulu? Akan idealisme yang sejak dulu kau junjung? Bahwa kau akan tetap menjaga Indonesia meski sudah bukan bagian dari TNI?”

            “Itulah yang sedang kulakukan, Ying Go. Negeri ini butuh seorang yang disebut ‘Ratu Adil’, seorang yang akan memimpin negeri ini keluar dari keterpurukan dan menjadikan negeri ini berjaya di atas negeri-negeri lainnya. Tapi untuk mewujudkannya negeri ini butuh seorang diktator, Ying Go! Seorang diktator yang tahu ke mana negeri ini harus berjalan! Demokrasi hanya melahirkan sekumpulan politisi-politisi busuk yang tidak tahu harus berjalan ke mana, yang bisanya cuma berkicau sementara rakyat-rakyat mereka sekarat. Demokrasi hanya melahirkan sekumpulan orang-orang yang gemar bertikai atas nama demokrasi. Kau tahu, Ying Go? Terlalu banyak kepala yang merasa mereka bisa mengontrol negeri ini. Masing-masing menyokong idealisme tersendiri, masing-masing saling menghancurkan satu sama lain. Akulah Sang Ratu Adil itu! Seorang yang beroleh kekuatan adikodrati! Seorang yang akan memurnikan Nusantara, tidak, bukan hanya Nusantara tapi dunia!”

            “Aku rasa motifmu melakukan ini bukan hanya itu, Pranaja. Motifmu tak lain adalah sakit hati bukan? Sakit hati ketika kawan-kawan sangkur-emasmu[2] melejit menjadi perwira tinggi sementara dirimu harus diberhentikan dengan tidak hormat saat pangkatmu masih kapten. Kau merasa melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang prajurit, menjaga keutuhan NKRI dengan segala cara. Tapi begitu kau tempuh ‘cara itu’ kau dipersalahkan dan dihujat. Kau dicecar dan dicopot dari jabatanmu. Apa yang kau alami memang ketidakadilan, tapi layakkah seluruh dunia merasakan balas dendammu?”

            “Balas dendam? Bukan Ying Go, ini bukan balas dendam. Ini adalah perjuanganku! Perjuanganku untuk Indonesia dan untuk dunia! Beban yang harus aku tanggung sebagai seorang ‘Ratu Adil’!

            “Kau sudah sinting, Pranaja!” Ying Go mengayunkan tombaknya dan terbang ke arah Pranaja ketika sebuah ledakan terjadi tepat delapan langkah di hadapannya. Ia mundur sejenak dan mengamati bahwa sekumpulan makhluk-makhluk bersayap perak telah menghalangi jalannya.

            “Malaikat?” Ying Go terperangah.

            “Serang dia!” seru seorang malaikat yang langsung menyerang Ying Go bersama keenam kawannya.

            Ying Go menyabetkan tombaknya ke udara kosong dan terbentuklah sebuah pancaran energi berbentuk bulan sabit berwarna hitam berpinggir perak yang langsung menerjang ketujuh malaikat itu.  Ketujuhnya terhempas ke bumi dan Ying Go mendapati Pranaja sudah tak ada lagi di tempatnya semula.

[1]Prajurit yang berjalan paling depan. Biasanya bertugas untuk memata-matai medan.

[2]Dalam pendidikan komando ada 3 jenis sangkur yang diberikan pada ‘alumnus’. Lulusan terbaik diberi sangkur emas, nomor dua diberi sangkur perak, sementara yang lain diberi sangkur hitam.

Continue Reading

You'll Also Like

111K 9.2K 29
this story is NOT mine
11.9K 915 17
[Pemenang The Wattys 2018 Kategori The Heroes] [MASUK DALAM DAFTAR PENDEK (SHORTLIST) WATTYS 2018 (15/08/18)] Highest Rank: #1 di Wiaindonesia (15/07...
84.9K 4.5K 55
Meracik deru menjadi reda Mendekap hangat dalam gigil __________ Cover Design : sacessahci Image : Clach __________ #892 in Poetry (11/11/17) #861 in...
43K 5.7K 11
Punya kakak yang tengilnya sampai ke tulang tulang? Gimana rasanya? Tanya ke (name)! ⚠️ Hati-hati, katanya ini mengandung banyak gula. Start: 30 Mare...