Heartbeat⇝

By jealoucy

4.7M 92.7K 6.1K

[SUDAH TERBIT] Berbeda dari saudara kembarnya yang mendapat seluruh curahan perhatian dari keluarga, Seraphin... More

Heartbeat⇝
2ndBeats
3rdbeats
4thbeats
5thbeats
6thbeats
7thbeats
8thbeats
detak ke-31
detak ke-32
Pengumuman
Perubahan Harga PO

28thbeats

139K 6.9K 417
By jealoucy

Nih gue kasih update-an.

Juga Break The Wall tuh di mulmednya, silahkan baca, kalau bisa. Waha :P

Siapa yang mau datang ke afaid2015 di JiExpo sabtu ini?

Yasudlah ngoceh ngga pentingnya.

Silahkan baca.

Abaikan typonya. Otak kalian 'kan pintar ;)

Bon apetite

⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊Heart ✽ Beat✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

Tidak, aku tidak pulang bersama Elang. Sewaktu aku turun ke ruangan Mama, ia sedang merapikan barang-barangnya siap untuk pulang. Aku tetap bilang sih kalau aku ingin pulang sama teman, tapi tidak diijinkan walau aku sudah menyebut nama Elang. Aku bahkan sampai bilang Elang itu adiknya Kak Jonah, tapi Mama tetap tidak mengiyakan.

Sampai di rumah keadaan tidak lebih baik. Aku di marahin Ayah, tentu saja. Kemudian diculik Bang Adid, diikat di kursi lalu mata dan perutku di siksa sampai tahap aku hampir ngompol di celana. Aku dipaksa menonton mereka melakukan dance-cover Emergency dari Icona pop dengan hanya memakai boxer serta kaus singlet yang diikat di atas pusar menampilkan perut atletis mereka lalu ditambah topi kerucut jerami yang entah mereka dapat dari mana. Setelah selesai menyiksaku, mereka memasukan video itu ke YouTube. Wek, aku bahkan tidak tahu kalau kelakuan mereka di syuting.

Bleh. Tidak heran kadang aku gila, ternyata keturunan Bang AdId.

Kamar Fani gelap. Saat aku berusaha membukanya, pintu itu terkunci. "Fani kemana bang?" tanyaku pada Bang Adid yang kebetulan lewat.

Dia menghendikan bahu. "Katanya sih mau belajar kelompok," jawabnya tanpa mendongak dari kamera video di tangannya. "Kamu juga sonoh belajar," tambahnya, masih tidak mengalihkan perhatian dari kameranya lalu berlalu pergi.

Aku mencibir punggungnya sebelum masuk ke kamarku sendiri. Meletakan ransel di bawah tempat tidur, aku segera melemparkan diri di atas spring-bedku yang super empuk. Ah... Bodohnya aku tidur di hotel yang tempat tidurnya kaku sementara tempat tidurku yang super nyaman dianggurkan. Begitu memejamkan mata tidak lama bagiku untuk terlelap mengingat Mama menyekokiku dengan obat tidur sehabis aku dimarahin Ayah tadi. Tidurku sangat nyenyak, tidur yang tanpa mimpi.

Bangun jam empat paki berniat untuk belajar untuk ulangan hari ini, tapi penampakan PlayStation di bawah tivi sangat menggoda, aku juga sangat kangen pada benda itu. Jadi alih-alih belajar, aku malah main Mario Bros sementara buku-buku pelajaranku nganggur berserakan di lantai.

Entah ada angin apa, tiba-tiba Mama masuk ke kamarku dan langsung merebut PlayStation dari tanganku. "Mama sita ini sampai kamu selesai ulangan," ujarnya. Kemydian tivi juga di matikan, kabelnya di cabut langsung dari stop kontaknya.

"Ah Mamaaaa.... Kan mau naik level."

Kepalaku diketuk pelan dengan salah satu buku text yang diambilnya dari tempat tidur. "Belajar, bukan main game. Kamu seminggu ngga masuk sekolah pasti ketinggalan banyak." Masih memaskai baju tidur sutranya, Mama duduk menyilangkan kaki, meniru poseku, lalu duduk di depanku.

"Udah berusaha belajar dari tadi, Mama. Tapi ngga ada yang masuk. Nih otaku sampai mau meledak dan mulutku hampir berbusa disertai mual." Sometimes overacting was necessary to get what we want.

"Ngga usah lebay," ujarnya sembari mengumpulkan buku-bukuku dan menumpouknya diantara kami.

And often, overacting was failed to get sympthy from some people.

Gah.

"Ulangan apa aja hari ini?" tanya Mama.

"Indonesia sama Math," jawabku menggerutu.

Pada akhirnya Mama menemaniku belajar, okeh kata yang salah, sebenarnya bukan menemani melainkan mengawasi. Tidak peduli alasan apa saja yang aku berikan untuk mengusirnya dari kamar, tapi ia bersikeras menemaniku. Walau sepanjang prosesku belajar ia selalu mejamkan mata bersender pada tempat tidur, ia selalu tahu kapan saat otakku sedang switch ke hal lain selain topik belajar pada buku. Mama lalu akan mengetuk kepalaku dengan penggaris yang dipegangnya.

Mama baru beranjak dari kamarku saat adzan subuh berkumandang. Aku sendiri juga segera membereskan apa-apa yang mau aku bawa ke sekolah kemudian pergi mandi.

***

Ponselku berdering ketika aku sudah dekat sekolah. Dari deringnya aku sudah tahu siapa yang menghubungiku.

"Morning," sapaku.

"Morning," balasnya. "Di mana?"

"Di sekolah."

Dia tertawa kecil. "Jam segini udah di sekolah? Rajinan amat."

Aku melirik arlojiku, 05.43. Sebenarmya aku berangkat sekitar pukul 05.16. Tidak mau Mama terus merecokiku belajar, akhirnya aku memutuskan berangkat sekolah lebih pagi, jauuuh lebih pagi. Jalan kaki, jadi aku punya banyak waktu untuk dibuang.

"Bukan rajin, tapi Mama ngga mau berhenti menggangguku untuk belajar jadi aku kabur." Terdengar suaranya yang sedang menguap. "Pasti baru bangun yah?"

"Lebih tepatnya belum tidur," jawabnya dengan suara serak.

"Bantuin anaknya Pak Komandan lagi?"

"Ngga juga." Terdengar suara motornya berderu.

Aku ingin bertanya apa yang dilakukannya semalaman kalau tidak membantu anaknya Pak Komandan, tapi aku tidak punya hak untuk menginteroaginya. Aku bukan pacarnya atau bagian dari keluarganya. Grrrr. Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menanggapi perasaanku terhadap kenyataan itu.

"Ngga aman 'kan mengendarai motor kalau tidak tidur semalaman?" Perhatian seperti ini biasa diberikan antar teman.

"I'm good. See you at school."

"See you."

Walau masih sangat pagi nyatanya bikan cuma aku yang sudah berada di sekolah. Saat aku meminta Pak Ujang untuk membuka pintu kelasku katanya kelasku sudah di buka, ada seseorang yang sudah di sana mendahuluiku. Hebat dan patut di contoh.

Aku tidak terburu-buru jalan ke kelas. Selain aku tidak ingin cepat-cepat belajar seandainya masuk kelas, kepalaku juga sedang sibuk memikirkan perubahan sikap Mama pagi ini. Dari pada menegurku hanya dengan kata-kata seperti biasa, today she's so touchy. Kalau biasanya ia hanya menyuruhku untuk menguncir rambut, hari ini Mama mengepangkannya. Aku memegang rambutku yang tertahan rapi oleh french-braid ala Mama. Kemudian hal bizare lain terjadi.

Aku memegang keningku dimana rasa geli bekas ciuman Mama masih terasa. Wah aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Mama mencium keningku seperti itu.

Aku sempat takut waktu mau keluar rumah, jangan-jangan matahari terbit dari barat.

Apa Mama baik-baik saja yah?

Langkahku terhenti di depan pintu kelas saat melihat seorang cowok sedang menghapus papan tulis. "Ohayou, Tamaki-kuuuun!!"

Yang disapa melirik dengan cepat dan melempariku dengan tatapan tajam yang menghujam. Aku memberinya senyum lebar dan lambaian sambil melangkah masuk kelas.

"Sumpah yah kalao lo tetep manggil gue gitu, gue bakal pastiin lo tau rasanya neraka dunia," ancamnya.

Aku memgangguk-angguk. "Hm dan sebagai gantinya lo sama Aiden bakal sangat terkenal, yah?" Aku memberinya senyum penuh arti.

Tama mengatupkan rahangnya dengan kuat sampai otot-otot di lehernya menyembul. Postur tubuhnya kaku namun juga waspada seperti predator yang siap menerjang mangsanya. Bedanya adalah bukan aku mangsanya, posisiku di sini justru lebih mengancam dari pada Tama sendiri. Sebuah foto dan Tama tidak akan bisa apa-apa tidak peduli seberapa menyebalkannya aku.

Pemerasanku pada Tama bukan karena membencinya atau apa, aku melakukannya semata-mata hanya untuk menjahilinya saja. Apalagi Aiden yang kalau digoda bisa membuat wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

Yeah, aku memang sadis seperti itu. Haha.

Dengan dengusan nafas kesal Tama kembali menghadap papan tulis yang sedang dibersihkannya, memilih terus mengabaikanku walau aku bicara tanpa henti dan melemparinya berbagai macam pertanyaan.

Aku sudah duduk di kursiku saat aku melihat sebuah kotak putih berpita biru di dalam laci mejaku. "Ya ampun Tamaki-kun, ngga usah repot-repot ngasih kado sambutan selamat datang segala. Aku jadi ngga enak nih."

Tama menoleh lalu mendemgus saat melihat kado itu sudah di atas mejaku. "Satu-satunya kado yang bakal gue kasih ke elo adalah tikus mati yang gue bayangin sebagai badsan lu waktu gue membunuhnya."

Seharusnya kata-kata Tama sudah cukup membuatku menyingkirkan kotak itu, apalagi mengingat aku pernah menerima kado yang isinya sangat tidak menyenangkan. Tapi tidak, aku mengabaikan semua bell peringatan dan malah membukan kotak itu dengan semangat.

Aku segera bangkit dari kursiku dan menjauh dari sana. "Tama? Tolong katakan ini kado dari lo," aku memohon. Setidaknya kalau itu memang Tama yang melakukannya aku tahu kalau ini hanya sebuah prank belaka dan aku tidak akan marah.

"Seperti yang gue bilang, satu-satunya kado gue buat lo ya tikus mati," bentak Tama. Mungkin karena raut wajahku atau postur kaku tubuhku yang menjauh dari mejaku sendiri, Tama akhirnya mendatangiku.

"What is it?" Tama menoleh dan langsung melihat isi kotak itu. "Motherfuckersonofabitch!" Dia kembali menoleh padaku. "Yang ini bukan gue Fin, sumpah. Gue tadi cuma bercanda ngomong gitu."

Aku diam mengabaikan Tama dan tetap menatap kado yang membuatku bertanya-tanya apa yang sudah aku lakukan sampai berhak mendapat hadiah macam itu sebagai sambutan berangkat kembali ke sekolah.

Tama berdiri di depanku, menghalangi pandanganku dari kotak yang walau isinya menjijikan aku tidak mengalihkan padanganku dari benda itu. Mungkin karena ada sebuah benda familiar yang terjulur keluar dari perut tikus itu bersama usus-usus hewan malang itu. Aku menyingkir dari hadapan Tama lalu mengulurkan tangan untuk mengambil benda itu tapi Tama menangkis tanganku.

"Jangan di sentuh. Jangan menyentuh apapun lagi selain yang sudah lo sentuh," ujarnya sembari mengambil tutup kotak yang ternyata masih dipegang oleh tangan kiriku yang bergetar. Tama kemudian mengeluarkan ponselnya.

"Mau ngapain?" tanyaku panik.

"Telpon polis-" Aku merebut ponselnya sebelum dia selesai bicara dan segera menjauh darinya. "Ngapain sih lo?"

"Lo yang ngapain?" aku melototi Tama, "ini bukan apa-apa. Ngapain juga pake mau lapor polisi segala?"

Sebenarnya aku tahu betul kenapa ini musti dilaporkan ke polisi, apalagi mengingat ini bukan pertama kalinya aku menerima 'hadiah' macam ini. Tapi aku tidak berniat memberi tahu Tamaki tentang hal itu. Lagipula memangnya aku mau bilang apa pada polisi sementara aku tidak tahu apa-apa.

Apa kira-kira aku tahu siapa orang yang mungkin akan melakukan hal ini? Tidak. Apa akhir-akhir ini aku membuat seseorang sangat marah? Tidak. Eh mungkin orang tuaku dan Bang Jake, tapi mereka tidak mungkin melakukannya. Apa aku punya musuh? Kayaknya terlalu banyak.

"Are you serious?" tanya Tama dengan nada bingung tapi marah. "Orang gila ini mengirimimu..." dia mengernyit saat melihat isi kotak itu, "tikus yang belum selesai operasi dan lo nganggep itu bukan apa-apa?"

Aku tertawa mendengar kata yang kata yang digunakannya untuk menyebut 'hadiah' itu.

"Ngga ada yang lucu, Fina," geramnya sambil melotor.

Aku berhenti tertawa lalu menyembunyikan ponselnya di belakang punggung. "Kalau lo lapor polisi, gue bakal ngasih foto itu ke Dawina." Dawina si ratu gosip yang bisa menyebarkan berita lebih cepat dari api yang membakar kertas, entah berita itu benar atau tidak.

Tama mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Tatapan matanya yang tajam disertai hidungnya yang kembang kempis membuatnya mirip banteng yang siap menyerang. Dia lalu memejamkan matanya dan mengatur nafasnya. Ketika matanya terbuka lagi, dia sudah nampak tenang.

"Tahu ngga? Gue ngga peduli." Dia melirik ke arah pintu yang mana tak ada seorangpun di sana. "Gue ngga peduli semua orang tahu kalau gue gay," bisiknya, "dari pada harus menanggung rasa bersalah kalau orang gila ini mulai melukai elo."

Aku meletakan tanganku di atas jantungku yang berdetak. "Ah Tamaki-kun, ternyata lo sayang sama gue," aku menghepus air mata yang sebenarnya tak menetes di pipiku, "gue juga sayang sama lo kok, tapi kayaknya Aiden lebih cinta sama lo dan gue benci kalau harus merusak hubungan kalian."

Tama menatapku datar yang malah membuatku kembali tertawa.

"What's so funny?"

Aku berteriak kaget mendengar suara yang tiba-tiba muncul itu. Kali ini Tama yang berpuas diri menertawakan keterkejutanku.

Aku melototi si sumber suara yang sekarang berdiri di samping Tama. "Ngapain kamu di sini?" tanyaku kesal.

"Aku sekolah di sini, bukan?" jawabnya datar dengan tatapan terpaku pada bemda di atas mejaku.

Bagaimana dia sudah sampai di sekolah? Tadi kan waktu menelponku masih belum jalan, dan dari rumahnya ke sekolah tidak termasuk dekat. Ah iya, tentu saja, ngebut.

"Itu ngga menjawab pertanyaanku kenapa kamu ada di kelasku," gerutuku.

Dia melirik sekilas padaku dengan ekspresi datar tak bisa ku baca lalu beralih memandang Tama. "Siapa yang melakukan ini?" tanyanya serius.

Tama mundur satu langkah. "Bukan gue!" elaknya dengan sikap defensif. "Dari tadi datang gue ngga dekat-dekat mejanya Fina, suer."

Tama memamg tinggi, tapi Elang lebih tinggi jadi Tama masih perlu mendongak saat bertatap muka dengan Elang. Aku bisa tau Tama merasa terintimidasi terhadap postur dan sikap Elang yang memandang ke bawah ke arahnya. Ditambah cowok ini sedang mengeluarkan aura serius dan nampak berbahaya, jadi tidak mengherankan kalau Tama nampak ketakutan begitu.

Dan situasi ini membuatku ingin tertawa. Belum lebih dari lima menit yang lalu Tamalah yang nampak sangat marah dan berbahaya, tapi sekarang dia berubah sikap jadi kalem dan penurut.

"Bohong dink," selaku. Pasti asik ngerjain Tama lagi. "Tadi Tamaki bilang satu-satunya hadiah yang bakal dia kasih ke aku ya tikus mati."

Tatapan Elang semakin tajam tertuju pada ketua kelasku semantara Tama melototiku sebelum kembali menghadap Elang. "Itu gue cuma bercanda. Soalnya anak ini rese banget dari sejak muncul di pintu gangguin gue. Sumpah."

Elang menoleh padaku dengan satu alisnya terangkat, itu memicu tawaku untuk lepas dan aku tertawa terpingkal-pingkal.

"Lo lagi ngga high 'kan, Fin?" tanya Tama, menatapku seolah aku gila.

"I always say no to drugs," jawabku mantap, lalu tertawa lagi.

Berbeda dengan Tama yang menatapku seperti aku gila, Elang justru mengabaikanku sepenuhnya. Tatapannya tak teralihkan tetap tertuju pada benda di atas mejaku. Tapi saat ini aku tidak peduli. Aku sedang dalam periode dimana saat aku mulai tertawa, aku tidak bisa berhenti. Padahal aku sudah lupa apa yang tadi membuatku tertawa.

"Eh. Hey, apa lo pikir Fina baik-baik aja?" Tama bertanya pada Elang namun pandangannya ngeri masih tertuju padaku.

Entah kenapa itu membuatku kembali tertawa lagi. Akhirnya Elang mendongak menatapku.

"Biasanya orang normal itu kalau menerima kiriman macam ini dia akan histeris dan ketakutan serta panik, mungkin," lanjut Tama.

Elang menatapku intens, lalu mengerutkan alisnya. Ketika aku semakin terkekeh dia memutar bola matanya. "Abaikan dia. Itu caranya menangani kepanikan dan ketakutan."

Aku langsung berhenti tertawa. "Aku ngga takut dan aku ngga panik."

"Wah hebat. Mulut lo ada remnya yah bisa berhenti tertawa mendadak gitu."

Aku mengabaikan Tama. Perhatianku tertuju pada Elang yang sekarang sedang mengeluarkan ponselnya dari saku jaket. Aku langsung berlari ke arahnya. Tapi berbeda dengan Tama yang kurang tanggap, Elang sangatlah cekatan. Dia langsung mengangkat ponselnya ke udara.

"Jangan lapor polisi," aku memohon padanya. "Atau kakakmu," tambahku saat melihat layar ponselnya menampakan nama Moreno. Dia menatapku datar. "This is nothing, really."

Dia mendengus. "Dua kali kamu mendapat kiriman seperti ini dan kamu bilang ini bukan apa-apa?"

"Dua kali?!" pekik Tama.

"Ini semua bukan apa-apa. Ngga perlu bawa-bawa polisi segala. Orang ini cuma mencari perhatian. Kalau aku mengabaikannya dia akan bosan dan berhenti sendiri." Setidaknya itu teori yang aku harapkan, dan semoga memang itu. "Buktinya aku masih baik-baik saja." Aku memutar badanku, menunjukan pada mareka keutuhan angota tubuhku.

"Dan gaimana kamu bisa yakin tentang itu?" tantangnya.

"Tunggu, apa lo tau siapa pelakunya?" tanya Tama antusias.

Aku memandang mereka yang balik memandangku menunggu jawabanku. Aku menghendikan bahu. "Well, aku ngga yakin dan ngga tahu sih."

"Kalau begitu berdasarkan apa teorimu tadi?"

"Erm..." aku garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal, "well, di Criminal Minds 'kan biasanya begitu." Aku segera menjauh saat Tama menggeram gemas dan mengangkat tangannya hendak memukulku. "Emang bener kok. Itu M.O-nya UnSub with self-centered personality."

"Ini nyata, bukan salah satu kasus di Criminal Minds," kata Elang sambil mengetik sesuatu di layar ponselnya.

"Elang! Kan aku bilang jangan lapor polisi."

"I didn't." Dia memasukan ponselnya kembali ke saku jaket.

"Tck. Terserah deh mau lo apaan. Tapi kita harus menyingkirkan ini dulu sebelum ramai," usul Tama. Elang mengangguk dan tidak ada yang lebih aku setujui lagi selain menyingkirkan benda menjijikan itu.

"Jangan dipegang!" seruku saat Tama hendak mengambil kotak itu. Tamaki memandangku penuh tanya. "Jijik," jawabku membuatnya memutar bola mata.

"She's right. Don't touch it." See? Bahkan Elang setuju.

"Gimana gue mau buang ini barang kalau gue ngga pegang, hodob."

"Disihir gitu. 'Kan praktis." Sekarang bukan cuma Tama yang memutar bola matanya, tapi Elang juga.

"Gue emang gay tapi bukan penyihir. Gay dan penyihir itu Dumbledore. Dumbledore itu udah mati. Jadi ngga usah ngaco deh," oceh Tama. Kemudian sepertinya dia baru sadar mengakui dirinya gay di depan Elang. Dia menoleh ke arah Elang dengan cepat. "Kalau yang gue katakan di sini sampai tersebar keluar, I will hurt you," ancamnya pada Elang.

Elang memutar bola matanya. "Kalau lo mau hal itu sangat dirahasiakan, mungkin lo harus mikir ulang menggunakan gudang belakang sebagai temat 'main' lo sama Aiden."

Elang melenggang pergi ke meja guru meninggalkan Tama yang matanya terbelalak lebar dan mulutnya megap-megap mirip ikan kurang oksigen. Dan kali ini wajahnya ikut memejah seperti halnya Aiden kalau aku goda. Padahal biasanya susah banget membuat Tama merasa malu. Aku sendiri kembali tertawa.

Perhatian Tama beralih padaku, matanya memicing. "Lo udah janji ngga bakal bilang siapa-siapa," desisnya seperti ular.

Bleh. Tadi bilangnya tidak apa-apa kalau orang lain tahu soal orientasi sexualnya yang berbeda, tapi sekarang dia terlihat begitu ketakutan. Aku tertawa lagi.

"Gue emang ngga bilang siapa-siapa. Elang pasti dengar waktu kalian sedang 'main-main'." Aku tertawa lagi. Mengangkat kedua tangan ke udara saat Tama melototi. "Sumpah! Gue bahkan ngga tahu kalau tempat 'main' kalian itu di gudang belakang," aku membela diri.

Elang kembali sambil membawa koran yang diambil di laci meja guru. Dia lalu membungkut kotak itu, berhati-hati agar tidak menyentuhnya. Setelah terbungkus sepenuhnya, Elang membawanya keluar. Sebelum keluar dia berhenti di ambang pintu dan berbalik.

Dia menatapku sekilas sebelum mengalihkan matanya pada Tama. "Jangan lepaskan dia dari pandangan lo," ujarnya menganghuk ke arahku, "atau setiap kata yang keluar dari mulut lo bakal tersebar keluar."

Elang pergi begitu saja diiringi geraman frustasi Tama.

Δ°Δ°Δ

Ketika akhirnya jam sekolah berakhir, rumor bahwa aku dan Elang pacaran menjadi hot topic. Vee sampai menatapku bingung dan Rally menanyakan mantra apa yang aku gunakan untuk memelet Elang sampai dia ngekor kemanapun aku pergi. Sebenarnya kata ngekor tidak tepat karena kesannya dia mengikutiku ketika kenyataannya dia selalu berjalan di sampingku. Dia tidak pernah membiarkanku sendirian kecuali waktu ke toilet, itupun dia menunggu di depan pintu bersandar pada pilar dengan santai sambil membaca buku.

Seandainya situasinya sedang berbeda aku pasti akan sangat senang dan berbunga-bunga karena dia tidak mau jauh-jauh dariku, tapi gara-gara peristiwa tadi pagi aku jadi merasa dia menempatkan dirinya sebagai bodyguard-ku. Dan aku tidak mau dia jadi bodyguardku, karena bodyguard itu seperti sebuah pekerjaan yang harus dilaksanakan tidak peduli dia suka atau tidak. Aku tidak mau dia di dekatku kareana terpaksa.

"Aku bukan bayi. Kamu ngga perlu manjadi babysitterku segala," ujar sembari menuruni tangga. Bell pulang baru berbunyi lima menit tapi aku sudah kabur dari kelas. Padahal biasanya masih leha-lehe dan ngisengin orang.

"Aku tidak menempatkan diri sebagai babysittermu juga." Dia memandangku dari kepala sampai kaki. "Sulit membayangkanmu sebagai bayi." Seringaian yang terukir di sudut bibirnya membuatku mengayunkan kaki untuk menendang tulang betisnya, tapi dia berhasil menghindar. Senyumnya semakin lebar.

Dengan kesal aku berjalan mendahuluinya. "Mengesampingkan semua pikiran mesummu, kamu ngga perlu berada di sampingku sepanjang waktu."

Dia melangkah mendahuluiku dan kini dia berjalan mundur gar tetap berhadapan denganku. "Why? Didn't you enjoy my company?"

Aku memutar bola mata. "When you act like a bodyguard, you're annoying and I didn't enjoy it at all."

Yeah, well, aku akui aku masih tetap merasa senang serta perutku terasa geli setiap dia berjalan di dekatku dan sesekali tangan kami bersentuhan tiba-tiba. Tapi perasaan kesalku membuat rasa-rasa itu terkesampingkan.

Dia malah tertawa dan membuat dirinya kembali berjalan di sampingku. "Too bad the feeling isn't mutual. I myself very enjoying your company."

Aku kembali memutar bola mata. "You're enjoying Vee, Rally and Aya's company." Karena sementara aku bersungut-sungut malas meladeninya, dia mengobrol dan ikut bercanda bersama sahabat-sahabatku. Aku tidak cemburu, hanya heran bagaimana dia menaklukan dua sahabatku yang biasanya sangat selektif terhadap cowok yang dekat denganku.

Ponselnya berbunyi. Mengeluarkan benda itu dari saku, dia kemudian membaca sebentar pesan yang masuk sebelum kembali memaasukannya ke dalam saku jaket hitamnya. "Kita harus ke kantor polisi," ucapnya.

Aku mematung di tempat. "Ngapain kita ke kantor polisi?"

"Untuk mencocokan sidik jarimu yang menempel pada kotak itu. Ada lebih darti tiga macam sidik jari di sana."

Aku hanya bisa melongo menatapnya. Benda itu sudah ada di kantor polisi dan diperiksa sidik jarinya? Kapan orang ini membawanya ke sana? Karena aku yakin tadi pagi dia pergi membawa kotak itu dan kembali tidak lebih dari sepuluh menit dengan tangan kosong. Tapi keherananku kemudian digantikan dengan rasa marah.

"Kan sudah aku bilang jangan bawa-bawa mereka!" bentakku, mengundang bebarapa pasang mata ke arah kami. Aku menghentakan kaki kesal berjalan melewatinya.

Elang menahan lenganku. Wajahnya terlihat kesal menyamai emosiku."Aku ngga tau apa masalahmu dengan kita bawa-bawa polisi, tapi biar aku katakan ini ; sekali memang bisa kamu abaikan hanya sebagai prank, tapi kalau sampai dua atau tiga kali? It's serius problem."

Aku memandangnya curiga. "Apa maksudmu tiga kali? Perasaan aku cuma menerima kiriman yang semacam itu dua kali."

Alih-alih menjawabku, dia malah menarik tanganku untuk mengikutinya berjalan. Aku segera melingkarkan satu tanganku yang lain saat kami melewati sebuat pilar.

"I'm not going anywhere with you. I'm fine. No need to go to the police," ujarku keras kepala.

Dia menghela nafas tidak sabar. " Hanya karena dia belum melukaimu bukan berarti dia tidak akan melakukannya," geramnya mulai kesal.

"Biarin. Aku justru akan menunggunya. Aku ingin tahu siapa orang yang berani mengganggu hidupku. Walau itu berarti aku harus mengumpankan diri sendiri," ujarku dengan berapi-api.

"Are you stupid!!" bentaknya kasar, mengejutkanku. Dan sepertinya dia juga terkejut atas kekasarannya sendiri. Aku bahakan tidak perlu melirik ke sekelilingku kalau kami cukup menarik perhatian orang-orang.

Kata-kata kasarnya tidak akan berpengaruh padaku seandainya aku tidak mengenal orang ini dan menghabiskan banyak waktu dengannya untuk tahu dia tidaklah sejahat yang dikatakan orang-orang. Terbiasa dengan sikap playful dan terkadang manis tanpa dia berusaha untuk mencoba tentu saja membuatku terkejut, dan jujur saja aku agak sedikit terluka dikatai stupid olehnya.

"Thank's!" sindirku sebelum menghentakan kaki pergi meninggalkannya dengan wajah cemberut.

Mungkin aku memang bodoh, tapi 'kan tidak perlu mengumumkannya pada dunia dengan berteriak begitu. Itu membuatku terlihat menyedihkan mengingat rumor tentang kami yang masih dibisikan sesama gosipers.

Tidak perlu waktu lama untuknya menyamai langkahku dan berdiri di depanku, menghadangku. "I'm sorry. It was uncalled for."

Mengabaikan nada tulus yang ku dengar dari suaranya, aku tetap diam dan terus berjalan menghindarinya. Aku mendengarnya menghela nafas dan kembali menyamai langkahku.

"Kalau kamu memang ingin mengetahui siapa orang itu, kita bisa mencari tahu dengan cara yang aman. Biarkan polisi mencari tahu dengan cara profesional mereka.

Kendati masih kesal, hatiku tetap merasa hangat atas kata 'kita' yang dia sebutkan. Dia mengikutsertakan dirinya dalam masalah yang sebenarnya bisa dia tinggalkan dan tidak perlu melirik ke belakang lagi. Itu menyadarkanku atas sesuatu.

Aku berhenti dan memutar badanku menghadapnya, memandang wajah tampannya yang terlihat khawatir. Aku ingin dia tidak ikut dalam terror yang mengikutiku dan mungkin akan celaka kalau orang gila yang melakukan ini memang benar-benar gila.

"Kamu ngga perlu melakukan ini," ujarku, menatapnya dengan semua yang aku rasakan padanya. "You can walkaway, you know. This is not your problem."

Dia menatap mataku seperti mencari sesuatu di sana. Akupun juga menatap kedua matanya langsung membuatku tidak suka. Dia memakai kontak lens warna hitam pekat, membuat kedua matanya nampak tak bernyawa.

Dia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi Dawina mengalahkannya. "Hai guys," sapa Wina dengan senyum lebar yang membuatnya justru nampak menakutkan. Dia menatap kami dengan keantusiasan yang menyeramkan. "Jadi, apa kalian benar pacaran?"

Satu hal lain tentang Dawina, jika dia ingin mengetahui sesuatu dia akan langsung menanyakannya tepat sasaran dan tidak berputar-putar. Biasanya aku akan merasa terhibur dengan cara kerjanya ketika melihat reaksi orang yang ditanya olehnya, tapi rasanya kali ini tidak.

"Ngga," jawabku bersamaan dengan Elang yang menjawab 'Iya'.

Nyatanya jawabanku dan Elang yang berbeda tidak mempengaruhi Dawina. Dia masih nampak antusias. "Aw. That's Great." Dawina lalu pergi menghampiri gengnya, tidak salah kagi untuk menyampaikan penemuannya.

Aku melotot pada Elang yang tersenyum geli sambil memandangi Dawina dan teman-teman gosipnya yang sekarang cekikikan mirip kuntilanak nyasar. Aku pergi dari sana. Entah berita apa yang ratu gosip itu sampaikan tapi aku tidak mau tahu dan mempermalukan diri sendiri.

Di luar gerbang aku belok kanan untuk pulang ke rumah, tapi Elang menarik tanganku ke arah yang berlawanan.

•×•×•×

"Kita ngga pacaran," katakku saat sudah nangkring duduk di belakangnya.

"Benarkah?" tanyanya tak acuh sambil menyerahkan helm padaku lewat bahunya.

"Yes." Aku mengambil helm dari tanganhya. "Kamu sepenuhnya delusional."

Dia meliriku sesaat dengan alis berkerut namun ekspresi wajahnya geli. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

Jangan salah sangka dulu. Aku mengatakan dia delusiaonal bukan bermaksud untuk merendahkannya, dan aku juga bukannya tidak senang atau apa. Tetapi sesenang-senangnya aku mendengar dia mengaku bahwa kami berpacaran, aku lebih senang kalau tidak menjadi orang bodoh nantinya kerena berharap terlalu tinggi sementara dia mengatakan itu hanya bermaksud agar Dawina cepat-cepat menyingkir dari kami.

"Pertama, kamu ngga pernah memintaku menjadi pacaramu." Dan ini adalah kenyataan yang sangat menyedihkan bagi perasaanku. "Kedua, do you even like me in romantic way? Seandainya iya, Apa kamu yakin ngga salah orang? Mungkin orang yang kamu maksud itu adalah seseorang yang mirip denganku dan berada satu kelas denganmu."

Dia mengangkat jari telunjuknya. "Yang pertama, aku sudah pertanya padamu. Dan yang kedua," jari tengahnya menyusul jari telunjuknya, "aku udah pernah bilang bukan kalau aku ngga buta. Dan yang lebih pasti lagi adalah aku ngga tuli." Dia menyalakan mesin motornya.

Kepalaku berputar-putar pada poin yang pertama. "Kapan?" tanyaku bingung.

"Kapan apanya?"

"Kapan kamu bertanya padaku?"

"Semalam 'kan?"

Semalam? "Di mana?" tanyaku lagi.

"Di rumah sakit."

Aku mengulang kembali pertemuan singkatku dengannya di rumah sakit semalam. Tetapi tidak peduli berapa kali aku memutar kejadian itu di dalam kepalaku aku tetap tidak ingat dia pernah bertanya atau mengungkit soal hubungan kami. Bahkan SMS yang kita saling tukar sama sekali tidak membahas ke arah situ. Akupun mulai yakin dia berdelusional atau dia sedang mempermainkanku. Karena aku tidak mungkin lupa seandainya diamelrnah melakukan itu.

"No, you've never asked."

"Yes, I have," dia memutar badanya menghadapku, "pakai helmmu." Ketika aku tetap diam menatapnya curiga dia merebut helm dari tanganku dan memasangkannya ke kapalaku. "We sealed it with a kiss, remember?"

Bagaimana mungkin aku tidak ingat sementara dia sudah dengan baik hatinya mengingatkanku kembali. "You mean a kiss that you took it from me without any warning?" sindirku. Dia tersenyum sembari mengeluarkan motornya ke jalan.

Nah, mari kesampingkan efek dari ingatan soal dia yang menciumku dan fokus pada detail sebelum dia menciumku.

"Hm... Apakah waktu itu?" gumamku berpikir, "waktu kamu ngomong sesuatu tapi aku sedang memakai headphonemu?"

Senyum dari matanya yang dia lemparkan padaku melalui kaca spionnya adalah jawaban dari pertanyaanku. Aku siap mengeluarkan argumen bahwa itu tidak masuk hitungan karna itu pembicaraan satu arah, tapi semua argumen itu berubah menjadi pekikan kaget saat tiba-tiba dia mempercepat laju motornya. Otomastis aku memeluk pinggangnya.

"Slow down! You're not Rossi and we're in the midle of noon traffic!" seruku sembari memukul punggungnya. "I don't wanna go to jail!!"

Dia tidak peduli.

###

How to end this story?

Salam,
Penulis yang sedang banyak PR nulis tapi males nulis,

Jealoucy.

2209'15

Continue Reading

You'll Also Like

512K 55.9K 25
(PART TIDAK DIHAPUS) Glacie : Aku pernah mencintainya. Sekarang, mungkin aku masih mencintainya. Aku menikahinya bukan karena kesepian. Dia laki-laki...
132K 2.8K 11
SERIAL PAHLAWAN NUSANTARA #1 [TAMAT] Highest rank: 8 in Action Sebagai putri salah satu pebisnis terkaya di Indonesia, Tiara Suryajati tak pernah ped...
193K 24.4K 35
"Met malam, Sayang." "Sayang? Drew, kita kan...udah putus. Dari kapan tau." "Eh, sorry. Kepencet. Eh, BTW, like foto baru gue di Instagram, dong...
1.2M 61.8K 13
"Abang kapan mau menikah? Kayaknya Bunda belum pernah liat abang lagi deket sama cewek? Masa kalah sama adiknya Bang?" -Bunda Nia (Edgar's Mom) "Bang...