Girlfriend Or Boyfriend? (Lov...

By HikariAtsuko

56.9K 5.3K 787

Setelah merelakan cinta pertamanya untuk bersama dengan orang lain, Rifki Alvin Pratama berusaha untuk move o... More

► 1
►2
►3
►4
►5
►6
►7
►8
►10
►11
►12
►Dani-Dave Special Chapter
►13
►14
►15
►16
►17

►9

2.7K 294 23
By HikariAtsuko

Sebenarnya pagi ini Wika sangat malas untuk memulai harinya dengan bangun pagi dan berangkat sekolah. Ada satu alasan yang membuat dirinya hari ini malas untuk berangkat sekolah setelah kejadian kemarin di beranda rumahnya.

Rifki dan Ana...

Entah kenapa Wika mengingat kedua nama tersebut membut hatinya nyeri bukan main. Ia seperti terkhianati namun disisi lain, dikhianati dalam bentuk apa? Ariana adalah gadis yang Wika kenal dulu ketika dia masih kecil karena dulu rumah mereka berdekatan, dan bukan salah Ariana sekarang jadi dekat dengan laki-laki yang sedang ia sukai –Rifki. Toh, Ariana dulu yang mengenal Rifki daripadanya. Tapi .... entah kenapa, Wika sekarang terlihat kesal jika melihat Ana yang sedang berdekatan dengan Rifki. Terutama Rifki, Wika ingin sekali berteriak pada pemuda yang dicintainya itu bahwa ia mencintainya dan ingin terus bersamanya. Tapi apa daya, Wika tak seberani itu. Ia tak bisa menaikkan keberaniannya untuk mengungkapkan isi hatinya pada Rifki –anggap saja dirinya pengecut, tapi Wika telah memunculkan tanda-tanda rasa sayang pada Rifki sebagai gantinya –berharap Rifki menyadari perasaannya dan menyambut hatinya –sayang sekali, pemuda itu sampai sekarang seperti tidak mengetahuinya, ia mungkin menganggapnya hanya sebagai adik yang harus dilindungi.

"Gue lelah..." desis Wika saat ia berjalan memasuki gerbang sekolah. Sungguh, ia tidak berniat berangkat sekolah hari ini –terutama jika ia bertemu dan bertatap muka dengan Rifki atau Ariana. Tapi ada sesuatu yang harus ia selesaikan –urusan ekskul. Yah... Wika akan keluar sebagai manajer di ekskul sepak bola. Tak ada gunanya lagi ia disana. Semua yang ia lakukan semuanya sia-sia karena sekarang ia merasa hatinya retak –oh! Bahkan mungkin sebentar lagi hatinya patah atau hancur jika hari ini ia mendengar kabar kalau Rifki-Ana sudah menjadi sepasang kekasih.

(Wika's POV)

Rasanya gue emang udah gak niat berangkat sekolah hari ini. Lihat gue udah di depan kelas, bikin mood gue langsung drop. Entahlah. Bila kata pepatah si sekarang gue lagi ngerasain 'Hidup susah, Mati pun segan.' Tapi hari ini gue niat ngundurin diri jadi manajer di klub sepak bola dengan meminta bantuan Rizal yang nanti akan ngasih tahu ke kak Tyo. Sebenarnya gue gak enak, masuk dan keluar seenaknya saja. Tapi mau gimana lagi coba? Gue masuk ke klub kan emang ada tujuannya. Plis, jangan bikin aku buat cerita alasan kenapa gue ada di klub sepak bola, gue lagi sensitif dengan nama seseorang –oh! Atau mungkin dua.

"Yan, Rizal mana?" ngelihat tas Rizal di kelas tetapi orangnya gak ada, gue tanya ke salah satu temen gue di kelas.

"Tadi disuruh pak Bowo buat ambi bola voli di gudang olahraga."

Oh iya, sekarang kelas gue ada jam olahraga –dan gue lupa bawa baju olahraga. Ya gak papa sih, toh, entar gue mau ijin aja gak ikut dan mungkin UKS menjadi alternatif mudah buat gue nenangin diri.

"Kira-kira Rizal masih disana gak?"

"Ya gue kagak tahu juga, Wik. Lo cek aja kesana."

Tanpa Rian kasih tahu juga gue bakal nyusul Rizal kesana kok. Tanpa menaruh tas terebih dulu, gue langsung aja pergi menuju gudang penyimpanan alat olahraga. Gak terlalu jauh jaraknya dari kelas gue. Dan benar, saat gue mau belok, gue pas-pasan ma Rizal.

"Zal, gue mau ngomong!"

Rizal yang masih kaget dengan kehadiran gue yang tiba-tiba, diem aja waktu gue seret ia sampai di depan lab. komputer yang memang letaknya paling dekat engan gudang olahraga.

"Zal, gue mau keluar dari klub sepak bola."

Sejenak, Rizal hanya mengedipkan kedua matanya bingung, "Loh? Kok ngomongnya ke gue sih?"

"Kan lo sodaraan sama kak Tyo, bantu gue bilang ke dia."

"Eh, tunggu Wik. Bukannya minggu kemaren kak Tyo pensiun jadi kapten dan di gantiin sama anak kelas 11?"

Gue berdecak sebal, "Dalam sebulan ini kak Tyo sebagai mantan kapten masih ngawasin kok. Otomatis dia masih sedikit ada tanggung jawabnya lah."

Rizal terdiam, mungkin dia lagi mencerna omongan gue tadi.

"Alasan lo keluar apa? Apa karena –"

"Stop. Gue lagi males omongin dia. Dan dia menjadi alasan gue untuk keluar." Meskipun gue gak nyeritain msalahnya pun Rizal bakalan tahu, waktu gue lagi sempet ngehindari dia, Rizal lah yang pertama kali gue curhatin. Karena, yah, hanya Rizal yang tahu perasaan gue ke 'dia'.

"Wik, maafin gue ya, coba aja gue gak mencoba ngedeketin lo ke kak Rifki..." Rizal menunduk, wajahnya terlihat sangat menyesal. Melihat itu, gue jadi gak enak, karena selama ini gue sering nyusahin dia.

"Bukan salah lo kok Zal. Gue nya aja yang pengecut dan kurang beruntung."

Rizal tersenyum, lalu menepuk kedua bahu gue, "Tenang aja Wik, gue bakal bantu lo ngomong ke kak Tyo deh."

"Makasih. Lo emang sahabat terbaik gue –"

"Riz –"

Ucapan gue terpotong saat gue denger ada orang yang manggil Rizal dengan suara yang cukup keras. Dan betapa kagetnya gue saat yang gue lihat adalah kak Ana dan kak Rifki yang menyeret kak Ana dengan menarik rambutnya.

Kak Ana terlihat kaget waktu liat gue yang balik memandangnya, namun kak Rifki, tak melihat gue maupun Rizal karena ia terus saja berjalan lurus dengan wajah dinginnya dan berbelok ke gudang olahraga dengan masih menyeret kak Ana.

Ada apa dengan mereka? Kenapa kak Ana diseret kasar sama kak Rifki? Dan saat gue lihat ke sekeliling tempat gue berdiri, tampak siswa dan siswi terkikik geli setelah kak Ana dan kak Rifki melewati mereka.

"Ih, Ana seneng deh. dia kan cewek pertama yang dekat dengan si dingin Rifki."

"Iya... mereka tuh kayaknya bener-bener udah jadian deh, gue waktu itu lihat mereka jalan bareng di alun-alun."

"Tapi kenapa Rifki kasar gitu ke ana?"

"Ah, kayak gak tahu aja. Mungkin Rifki lagi gak dapet jatah dari Ana jadi –yah... gitu deh! hihihi~"

Beberapa siswi yang bergerombol sambil membicarakan kak Ana dan kak Rifki membuat semua sistem syaraf yang ada di tubuh gue seakan putus. Gue merasa kaki gue gak napak lagi di lantai ini.

"Wik, lo nangis?"

Seakan tersadar akan sesuatu, gue merasakan ada sesuatu yang turun melewati pipi gue. Dan saat pipi gue tersentuh, jari-jari gue basah.

Gue nangis? Sejak kapan? Gue gak ngerasa saat penglihatan gue memburam dengan adanya air mata.

"Wik, sudahlah, sia-sia lo nangisin cowok yang gak peka sama lo."

Iya, gue emang bego! Nangisin cowok yang memang gak peduli ke gue. Gue emang tolol karena masih ngarepin dia buat gue. Dan gue lebih idiot lagi, karena ternyata kak Ana yang juga deket dengan gue bisa menjadi senjata terampuh buat gue agar hancur.

Gue gak lagi denger omongan Rizal karena saat itu juga gue lari ninggalin dia. Dan gue udah gak ada niat untuk masuk ke kelas.

.

.

.

.

(Rifki's POV)

"Ada orang yang suka sama lo."

"Siapa?"

"Wika."

Gue terdiam waktu Ana bilang bahwa orang yang suka ke gue itu Wika. Ini... lelucon ya? Aish.. mana mungkin Wika suka ke gue. Emang dia gay?

Dengan tawa yang gue denger ketawa gue amatlah kaku, gue membalas ucapannya, "Ngarang lo! Tahu dari mana, hah?!"

Cewek sarap yang ada di depan gue bersedekap, petatang-peteteng layaknya orang ngajak tawuran, "Elo nya aja yang bego –"

"Lo ngatain gue bego?!"

"Iya! Mau apa hah?!"

Bener-bener mimpi gue waktu itu mungkin pertanda bahwa gue kalau nikah sama ni cewek kagak mungkin damai hidup gue. Lihatlah sekarang, dia udah nggulung lengan seragamnya sambil mengangkat roknya dan membuat gerakan kuda-kuda –seperti mau ngajak berantem.

Amit-amit deh ni cewek, tapi... kenapa gue bisa nyimpulin gue suka sama dia? Tapi dia kalo lagi pasang wajah sangar gitu –dilihat-lihat ternyata manis juga –ASTAGA RIFKI! SADAR WOII!

"Yaelah ni clurut malah diem. Ayo ngomong, heh!"

"Apaan sih? Gue lagi mikir juga!"

"Mikir apa?"

"Mikir, kenapa gue bisa nyimpulin kalo gue suka sama elo!" ucap gue jujur. Dan Ana langsung kembali berdiri dengan kalem tapi wajahnya masih terlihat marah.

"Mana gue tahu! Yang jelas, Wika itu sedang marah ke gue karena akhir-akhir ini kita jadi deket."

Ini cewek mikir apaan sih?

"Na, lo ngomong kayak gitu, bukan karena elo nolak buat ngelahirin anak-anak gue kan?"

"HAH?!"

"Elo kagak mau jadi bini gue kan, karena entar gue minta jatah terus ke lo, jadi lo ngomong gitu?"

"Ih, Rif! Lo ngomong apa sih?! Gue gagal paham sumpah!"

Gue menghela napas, pasti tu cewek Cuma cari-cari alasan deh karena udah gak mau deket-deket ma gue dengan bilang kalo Wika suka ke gue. Gue berjalan ngedeketin Ana, dan sukses membuat tu cewek mundur sambil menyilangkan kedua tangannya untuk menutupi dadanya.

"Lo jangan deket-deket! Pasti elo horny kan liat badan semok gue? Hayo ngaku! Jangan-jangan lo mimpi basahnya bayangin gue sama elo –ARGGHHHH MESUM LO RIF!"

Dengan pandangan aneh, gue menempeleng kepala Ana supaya sadar dengan monolognya yang histeris dan lebay itu.

"Pede banget lo! Yang ada gue mimpiin jadi suami teraniaya kalo nikah sama lo."

"Halah! Bohong! Elo pasti mimpi yang enggak-enggak. Plis, Rif, gue bukannya jahat ke lo. Tapi gue kasihan ke Wika."

Alis gue terangkat bingung, "Loh, kok Wika?"

"Rif, apa lo sama sekali gak sadar kalo dia naksir sama lo?"

Gue menggeleng ragu, setahu gue, dia itu ngefans ke gue karena permainan sepak bola gue yang bagus. Bener kan? Kalian juga ingat kan waktu pertama kali gue ketemu sama Wika?

"Lo inget waktu Wika seperti ngehindari lo? Itu bukannya setelah lo ngajak gue jalan, dan lo jarang ikutan ekskul dan milih main sama gue?"

Seketika gue terkesiap dengan ucapan Ana. Iya, gue emang pernah terlintas pikiran seperti itu saat Wika ngejauhin gue. Dan seketika, wajah Wika yang bersemu merah jika gue berada di dekatnya berseliweran di otak gue bagai slide yang bergerak cepat. Gue selalu mengira, wajah bersemu kemerahan dari wajah Wika yang membuatnya manis, itu karena Wika anaknya pemalu. Iya gue ngira begitu. Bukankah Wika seorang pemuda yang normal, bukan gay?

"Nah, diem kan elo Rif, pasti lo baru nyadar itu semua kan?"

Gue mendongak dan memandang Ana dengan wajah –yang gue yakini –bingung. "Na, tapi Wika bukan gay...kan?"

"Gue gak tahu! Tapi jelas dia suka ke lo. Dia pernah ngirim pesan ke gue seakan-akan pesan itu sindiran buat gue sejak lo sama gue sering main bareng."

"Na, lo jangan bercanda deh! gue jadi ngerasa bersalah sekarang!"

"Iya! Lo emang BERSALAH! Banget! Elo salah karena jadi cowok, kepekaannya gak ada! Sementara ada orang lain yang sakit hati atas sikap lo."

Gue gak tahu, sekarang tiba-tiba gue dirundung rasa bersalah dan rasa sakit hati sekaligus, benarkah Wika sudah menahannya sejak lama? Apa alasan dia jadi manajer di klub karena gue? Berarti... Tyo sejak awal sudah tahu?

"Rif, gue pindah duduk aja sama lo. Lama-lama gue jadi ikutan stres. Udah cukup gue dulu ikutan terlibat antara lo, Dani dan Dave. Awas ya kalo lo mau duduk lagi sama gue."

Ana pergi ninggalin gue yang masih berdiri mematung disini. Gue gak tahu sekarang perasaan gue bagaimana.

"Gue harus nemuin Tyo!"

Dan gue berlari dengan cepat menuju kelasnya Tyo.

.

.

.

"Yo, lo udah tahu Wika suka ke gue dari awal kan?"

"Astaga Ki! Muka lo serem banget sumpah. Gue jadi kayak sedang di tagih utang sama renternir."

"Jangan basa-basi deh, Yo. Gue butuh jawaban yang jelas sekarang."

Wajah Tyo yang semula ceria, langsung terlihat murung waktu gue menakannya untuk menjawab. Gue yakin, Tyo pasti udah tahu semuanya.

"Sori Ki. Gue emang sejak awal tahu. Lo tahu Rizal kan, sahabatnya Wika, dia itu sepupu gue. Dan gue diceritain semuanya sama dia."

Rahang gue mengeras. Gue kesel! Banget! Tyo yang jadi kapten yang terkenal wibawa saat di lapangan alih-alih memang wataknya rada miring, sudah tega bohongin gue.

"Ki, sekali lagi gue minta maaf. Gue juga disuruh sama Wika dan sepupu gue buat bungkam."

"Udah lah Yo. Toh, sekarang gue udah tahu semuanya."

Gue berbalik, hendak pergi dari hadapan Tyo, namun tangan Tyo memegang bahu gue hingga gue terpaksa berhenti tapi tanpa membalikkan badan.

"Gue ada satu info untuk lo."

"Apa?"

"Rizal tadi ngirimin gue pesan, dan katanya Wika keluar dari klub."

Tanpa gue tanya alasannya mengenai keluarnya Wika dari klub, aku sudah tahu. Alasannya karena gue.

.

.

.

(Author's POV)

Saat bel pulang berbunyi, Rifki segera memasukkan semua buku dan alat tulisnya ke dalam tas dengan gerakkan cepat. Ia hendak berdiri dari kursinya saat Ana –yang sekarang duduk jauh darinya memanggilnya sambil berjalan menuju bangkunya.

"Buru-buru bener. Mau kemana?"

Rifki mendengus keras, ia berpikir, bahwa Ana masih sempat-sempatnya kepo saat dia dengan tega membiarkan dirinya duduk dengan Bimo yang notabene memiliki tubuh besar yang sering menguasai meja hingga dirinya kesempitan.

"Bukan urusan lo!"

"Lo marah sama gue?"

"Gue bilang marah pun, lo bakal gak ngerasa bersalah. Udahlah. Gue ada urusan penting."

Sebelum Ana kembali membuka suara, Rifki langsung melesat pergi keluar kelas dan berlari ke arah timur –dimana kelas sebelas ada di sana.

Ya. Rifki berniat untuk menemui Wika dan menjelaskan semuanya. Ia sudah bertekad, bahwa ia akan berusaha membayar semua kesalahannya dengan menyambut perasaan Wika padanya. Tak apa kan? Toh, dirinya juga senang jika berada di dekat Wika. Meski ia belum sepenuhnya mencintai Wika, tapi seiring jalannya waktu, ia akan bisa mencintai pemuda manis itu.

Rifki sampai tepat di depan kelas Wika yang gurunya baru saja keluar kelas diikuti dengan siswa yang lainnya. Namun saat hampir kelas itu kosong, tak ada sosok Wika keluar dari kelas. Tepat saat itu, Rizal –yang Rifki ketahui teman dari Wika berjalan keluar. Segera saja ia tarik lengan pemuda itu.

"Kak Rifki?"

"Ehm, maaf gue tarik lo. Tapi –"

"Kak Rifki cari Wika?"

Memang itu tidak sopan memotong ucapan seorang yang lebih tua. Tapi mood Rizal langsung jatuh saat melihat Wika. Seorang pemuda yang sudah menyakiti hati sahabatnya.

Rifki mengangguk, ia tersenyum. "Iya. Dimana dia?"

Rizal memasang wajah kesal, kedua tangannya ia lipat di depan dada, "Kak, sebelumnya maaf kalo gue gak sopan. Tapi, kak Rifki jangan deketin sahabat gue lagi, Wika."

"Maksud lo? Aku tanya, dimana Wika, kok jawaban lo gak nyambung sih?" Rifki mulai naik pitam, sudah tak dikasih jawaban yang jelas, ia malah di remehkan sama adik kelasnya karena tak sopan.

"Wika di rumah. Dia sakit. Dan sakitnya itu karena lo, kak. Permisi. Gue ada urusan lain!"

Rifki hanya menganga dan memandang nanar saat Rizal pergi meninggalkannya.

"Gue kok jadi keliatan brengsek gini sih?"

.

.

Tbc

A/N : ini gak lama kan yak? Niatnya sih saya updatenya dua minggu lagi hahaha #ditabokss

Saya sebenarnya kalau libur gini, males ngapa-ngapain. Saat lagi pengin nulis, eh diajak main sama temen, pas lagi nganggur, gak ada mood buat nulis. pikiran saya juga penginnya nulis cerita saya yang judulnya RESET. Entah mengapa -_-

Yah... itulah saya~ maklum. Moody writer sih -_- tapi kalau banyak readers yang komen dan nge-vote, saya bakal semangat kok. Ayo... ayoo.. voment. Jangan silent reader lhoh~ ntar saya cubitin perutnya satu-satu (ini saya lagi ngigo) Yo... meski chap ini ancur, sehancur hati saya~ tetep harus voment ya~

Arigatchu~ :*

Continue Reading

You'll Also Like

456K 23.6K 72
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
5.2M 383K 54
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
1.4M 67.7K 24
semua part pendek. "JIKA MENCINTAI TAK HARUS MEMILIKI, MAKA BOLEHKAN SAYA MENGHAMILIMU TANPA MENIKAH" Bimanuel Dirgantara. "GUE BUKAN HOMO BANGSAT"...
8.9M 949K 65
[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yang rela membakar jari-jari tanga...