Blossom Effect

By captcheese

225K 16K 280

Awalnya niat Bunga untuk mendekati Ray--anak badung di sekolahnya--hanya karena persyaratan agar dia bisa men... More

1. Buttercup
2. Primrose
3. Oleander
4. Morning Glory
5. Ice Plant
6. Blue Violet
7. Musk Cluster Roses
8. Forget Me Not
9. Peony
10. Marigold & Cyclamen
11. Love in Mist
12. Blue Salvia
13. Yellow Rose
14. Yew
15. Hydrangea
16. Mistletoe
17. Edelweiss
18. Tamarisk
19. Achillea Milefolia
20. Black Rose
21. Red Rose [END]
22. [Special Chapter] : Eucharis Lily
23. [Special Chapter] : Yellow Hyacinth
25. [Special Chapter] : Bouquet of Withered Flowers
26. [Special Chapter] : Wallflower
27. [Special Chapter] : Judas Tree.
28. [Special Chapter] : Yellow Chysanthemum

24. [Special Chapter] : Purple Carnation

6.7K 386 8
By captcheese

Purple Carnation -Act up
**
Holaaa. Wah, di part sebelumnya ternyata aa' Ray bisa juga cemburu. Aku terharu jadinya, aih
Part ini kalau ada yg ga ngerti artinya, oke... Act up itu bertingkah.
Enjoy it gaisssss
*
Sepanjang perjalanan pulang, hening melanda. Kadang diinterupsi bunyi klakson mobil maupun motor di sekitar mereka. Motor milik Ray membelah jalan raya di sore itu. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Bunga memutar otaknya mencari pembicaraan yang tak memancing kemarahan Ray. Ray menatap jalanan dan tak habis pikir dengan lelaki tadi yang beraninya mendekati Bunga bahkan mengajukan syarat pulang bersama agar sepatu Bunga kembali. Gila, pikir Ray.

Kendaraan beroda dua itu memasuk gang rumah Bunga dan berhenti di depan rumah yang penuh dengan aneka macam Bunga. Memang baru-baru ini rumah mungil yang sering Ray kunjungi makin banyak bunga di perkarangan karena mamanya Bunga membuka toko bunga.

Bunga turun dan menyerahkan helm pada Ray. "Makasih."

Ray mengangguk dan menerima helm itu. Matanya menatap Bunga yang diam di dekat motornya. "Gak ada penjelasan?"

"Penjelasan?" ulang Bunga. "Aku kan gak ngelakuin apa-apa. Jangan ngelihat aku seolah kamu nangkap basah aku selingkuh. Aku kan gak selingkuh."

Ray terkekeh melihat Bunga mengerucutkan bibirnya. Tangannya terulur untuk mencubit pelan pipi gadis itu. "Bercanda. Lagian kenapa bisa sepatu kamu sama cowok aneh itu?"

"Mana aku tau," jawab Bunga sembari mengedikkan bahu. "Andi tuh tadi nyumputin sepatu aku. Kayak biasa. Tapi ternyata sepatu aku diambil sama Harri."

Ray mengangkat sebelah alisnya. "Oh. Jadi cowok aneh itu punya nama. Harri?"

"Iya. Harriandi Narendra. Sekelas tuh sama kamu."

Kening Ray berkerut. "Kamu tahu nama lengkapnya? Juga tahu kalau dia sekelas sama aku?"

"Kan tadi aku yang ngantar dia ke kelas. Lagipula dia teman SMP aku dan juga... dan juga... err...."

"Apa?" Ray menyipitkan matanya melihat Bunga mendadak resah.

Bunga tersenyum kikuk. "Dia mantan pacarku pas SMP."

Alis Ray terangkat. Terkejut, pasti. Pantas aja cowok tadi berani deketin Bunga, pikir Ray. Ternyata dia mantan Bunga. "Kenapa dia pindah ke sekolah kita?"

"Gak tau. Aku juga baru tau tadi pagi kok," jawab Bunga polos.

"Apa dia tau kamu sekolah di sana dan dia pindah ke sana?"

Bunga terdiam sejenak. "Maksud kamu?"

"Mungkin dia mau ngejar kamu," jawab Ray asal, tapi sangat terlihat jelas di lelaki aneh tadi.

"Kamu apaan sih? Aku kan udah sama kamu," gerutu Bunga cemberut. "Aneh."

"Aku nebak aja. Siapa tau dia masih ada perasaan sama kamu," ujar Ray berusaha tenang, tapi dia malah emosi sendiri.

"Ih, udah deh. Lagian ngapain juga dia ngejar aku. Dia juga yang mutusin dan pergi."

Ray tersenyum geli melihat Bunga. "Masa lalu yang buruk, hm?"

"Tempe!" Nah, kalau sudah keluar satu kata ini dari mulut Bunga, Ray jamin Bunga ngambek entah sampai kapan. Dan dia harus mengeluarkan sogokan, lagi.

"Yang penting, kamu jangan dekat-dekat sama dia." Ray memperingati.

"Deket-deket gimana? Aku kan deketnya sama kamu," sahut Bunga tak mengerti.

"Aku bisa aja patahin kaki dia kalau dia berani dekat-dekat kamu," kata Ray membuat Bunga merinding mendadak.

Bunga menghela napas. "Udah deh. Kamu pulang gih."

"Ya udah," ucap Ray seraya menghidupkan mesin motor. "Hati-hati, ya."

"Kamu tuh yang hati-hati," protes Bunga tersenyum. Dia melambaikan tangan pada Ray yang telah menacap gas motor. Bunga masih di tempat, menatap Ray yang makin menjauh bersama motornya.

Tiba-tiba dia tersadar. Apa tadi Ray cemburu?

*

Bunga bangkit dari tempat duduknya dan hendak menuju kantin. Tapi seseorang mendorong bahunya hingga dia terduduk lagi di kursi. Bunga menatap tiga orang yang berdiri di sisi mejanya.

"Jadi... gimana kemaren?" tanya Andi seraya duduk di meja depan Bunga.

"Kemaren apanya?" tanya Bunga heran. "Sepatuku, ya? Ketemu kok."

"Bukan. Bukan sepatu. Tapi menyangkut sepatu juga sih," kata Mika. "Ray gimana?"

"Apanya gimana?" tanya Bunga tak mengerti.

"Ini anak," gerutu Jimmy menepuk dahinya. "Gimana Ray dan anak baru itu? Berantem gak?"

Bunga menatap ketiga temannya. "Kalian nguping kemaren, ya?"

"Nggak nguping kok," bantah Mika. "Ngintip doang. Lagian kan kita lagi bantuin nyari sepatu lo. Eh ada kalian, ya jadi ngintip deh."

Bunga mendengus. "Gak ngapa-ngapain. Ray cuma ngancem Harri aja."

"Oh. Namanya Harri." Ketiganya manggut-manggut.

"Ngancem gimana?" tanya Mika.

"Hah? Ya semacam 'jangan ganggu cewek gue' gitu," jawab Bunga enteng.

"Mantap!" ucap Andi terkekeh.

"Emang ada apaan?" tanya Bunga memicingkan matanya.

"Nggak. Kita gak mau hubungan lo dan Ray diganggu sama anak baru itu. Baru masuk hari pertama udah cari masalah. Mau mati ya tuh anak. Kita ngedukung lo dan Ray. Karena kami pendukung Bung-Ray," jelas Mika tersenyum lebar.

Kening Bunga mengerut. "Bung-Ray? Apaan tuh?"

"Bunga dan Ray. Nama fans club kalian. Jangan bilang lo gak tau," ujar Jimmy tertawa. Lalu tawanya terhenti melihat wajah polos Bunga. "Sumpah demi apa lo gak tau? Kenapa gue kaget kalau lo gak tau?"

"Biasa aja kali," ucap Andi menoyot kepala Jimmy. "Gini, Nga, pas kalian pacaran, anak satu sekolah bikin klub Bung-Ray buat mendukung hubungan kalian. Kebanyakan sih pendukung kalian, ya anak kelas X."

Bung-Ray? Nama macam apa itu? Aneh banget, pikir Bunga.

Bunga bangkit. "Aku mau ke kantin," ucapnya seraya melenggang keluar dari kelas dan menuju kantin.

Kantin sangat ramai. Mata Bunga menyapu kantin, mencari seseorang. Ketika sudah menemukan, dia tersenyum dan melangkah menuju meja yang ditempati orang itu. Ray menyambut Bunga dengan senyuman.

"Tumben mau makan bareng pas istirahat," kata Bunga setelah dia duduk di hadapan Ray.

"Pengin aja," jawab Ray mengedikkan bahu. Dia mendorong mangkuk bakso. "Suka bakso, 'kan?"

Bunga mengangguk. "Suka. Kamu gak makan?" tanya Bunga melihat tak ada piring atau pun mangkuk di dekat Ray. Hanya ada segelas es teh.

"Kenyang." Jawaban itu membuat Bunga manggut-manggut dan melahap pelan baksonya.

Ketika mereka sibuk mengobrol, seseorang menghampiri meja mereka. "Boleh gak duduk di sini?" Orang itu sudah duduk di sebuah kursi sebelum menyelesaikan pertanyaannya.

Ray mengatupkan rahangnya. "Gue belum jawab."

Harri hanya tersenyum ringan. "Mau lo jawab iya atau nggak, gue juga bakalan duduk di sini. Hai, Bunga."

Bunga mengangguk kikuk. Selera makannya tiba-tiba lenyap kemana. Dia meraih es jeruk yang telah dipesan Ray dan menyeruput sedikit.

Ray mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Memperhatikan Harri melahap batagor. Dari pandangannya terlihat jelas jika Ray tak menyukai Harri.

"Ngapain lo di sini?" tanya Ray berusaha meredam emosi.

Harri berhenti mengunyah dan mendongak. "Makan. Lo kira gue ngapain?"

"Maksud gue, lo ngapain makan di sini? Ada banyak meja kosong," sahut Ray melirik beberapa meja kosong di sana.

"Pengin di sini," jawab Harri santai.

"Gak lihat kalau meja ini udah ditempati?"

"Lihat kok. Memangnya kenapa?"

Ray menahan amarahnya karena Bunga menggenggam tangannya. "Gue mau berdua aja di sini. Ngerti?" Ray mengusir Harri secara tak langsung.

Harri tak menggubris perkataan Ray. Dia malah lanjut makan dan menyambar es jeruk Bunga. Dia meminum lewat sedotan yang dipakai Bunga. Melihat itu, Ray menggeram marah. Emosinya memuncak tatkala melihat Harri berwajah tak berdosa menyeruput es jeruk Bunga.

Bunga dengan cepat meremas tangan Ray, menyuruhnya tenang. Ray menatapnya dan Bunga menggeleng seraya menyuruh agar tak mencari keributan di sini. Karena semua mata siswa sudah tertuju pada mereka bertiga. Bisik-bisik juga terdengar di sana sini.

Ray tiba-tiba bangkit. Dia menarik Bunga agar ikut bangkit. Tahu-tahu Harri malah menarik Bunga duduk kembali di kursi. Membuat Ray mengepalkan tangan kanannya perlahan.

"Udah mau pergi? Makanan lo belum habis, Nga. Gak boleh buang makanan. Kalau kata nyokap sih mubazir," kata Harri kalem, lalu lanjut makan dan bersikap seolah-olah dia tak melakukan apa-apa.

Bunga kebingungan. Dia melirik Ray yang menatap tajam Harri. Bunga tahu Ray mati-matian menahan amarah. "Aku mau ke kelas," ucap Bunga seraya bangkit.

Memang mungkin mencari perkara, Harri menarik tangan gadis itu agar Bunga duduk. "Gue belum selesai makan. Lagian kita udah lama gak makan bareng."

"Bunga, ayo kita pergi," kata Ray. Suara Ray membuat Bunga merasakan bulu kuduknya meremang. Bunga pun dengan cepat bangkit dan berdiri di belakang Ray.

Harri meringis melihat itu. "Apa salahnya nungguin gue selesai makan. Lo ngebuat gue gak selera makan," kata Harri pada Ray seraya mendorong piring yang masih berisi batagor.

"Lo lupa dengan ancaman gue kemaren? Gue gak main-main," kata Ray.

"Wah, gue takut," ucap Harri datar. "Lagipula gue cuma mau makan bareng sekaligus reuni bareng Bunga. Apa salahnya?"

Ray tak menyahut. Dia menggertakkan giginya.

"Ah, dasar pacar posesif," ledek Harri lalu dia mendecakkan lidahnya.

Ray menghela napas. "Gue gak main-main dengan ancaman gue. Lo ngerti bahasa Indonesia, 'kan?"

Setelah berbicara itu, Ray menarik Bunga keluar dari kantin. Semua mata mengikuti kemana Ray dan Bunga pergi. Harri tersenyum miring melihat itu.

"Well, bukan lawan yang sepadan," gumamnya dan kembali melahap batagor.

*

Dalam hati, Ray sedikit bersyukur karena Harri sekelas dengannya daripada harus sekelas dengan Bunga. Ray tak habis pikir kemana jalan pikir Harri. Lelaki itu aneh dan memang suka mencari masalah. Tapi Harri yang baru tiga hari masuk sekolah, langsung mendapat jabatan sebagai anak emas guru karena lelaki itu ramah, pintar dan yang terpenting dapat mengambil hati guru.

Asal jangan sampai mengambil hati Bunga atau gak gue copot jantungnya, batin Ray saat dia di kelas dan mengikuti pelajaran sosiologi yang tengah berlangsung.

Melihat gerak-gerik Harri, Ray sangat yakin jika cowok satu itu berniat mengejar Bunga dan mengajak balikan. Dan itu pasti tidak akan terjadi.

Bel berbunyi menandakan jam pelajaran saat itu habis dan akan terganti dengan pelajaran berikutnya yakni olahraga. Para siswa laki-laki langsung membuka seragam mereka karena sudah memakai kaos dalam. Mereka tinggal mengganti celana olahraga dan pergi ke lapangan. Sementara para siswa perempuan paling ribet. Mereka harus berjalan menuju WC wanita untuk berganti pakaian.

Ray berjalan menuruni tangga menuju lapangan basket bersama Radit yang menceritakan aksi ngambek Adel, pacar Radit yang ternyata juga suka menerima sogokan saat ngambek, persis Bunga.

"By the way, apa hubungan lo dengan anak baru itu?" tanya Radit ketika mereka sudah tiba di pinggir lapangan basket.

Ray mengedikkan bahu. "Dia yang cari masalah. Lo bisa lihat, 'kan?"

Radit memang berada di kantin kemarin dan melihat kejadian mereka bertiga--Ray, Harri dan Bunga. Dan Radit tak habis pikir kenapa Harri melakukan itu dan berani sekali.

Guru olahraga--Pak Arsil meniupkan peluit dan menyuruh semuanya berkumpul di tengah lapangan. Beliau mengoceh karena para siswi belum tiba di lapangan. Kemudian beliau menyuruh para siswa berlari mengitari lapangan basket sebanyak tiga kali dan melakukan pemanasan.

"Menurut gue, itu aneh. Kenapa dia tiba-tiba dekatin Bunga?" tanya Radit keheranan sambil melirik Harri yang berlari jauh di depan mereka.

"Karena dia masih punya rasa? Entahlah," jawab Ray tak yakin.

Radit menoleh. "Maksud lo?"

"Fakta yang harus lo ketahui, dia adalah mantan Bunga. Mereka satu SMP."

"Sudah gue duga." Radit menghela napas. "Kenapa dia bersikap berengsek sekaligus bersikap ramah hingga menjadi anak emas guru? Entah gue harus bangga atau jijik."

"Well, dia berengsek. Karena lelaki sejati gak pernah merebut cewek orang," ujar Ray enteng.

"Membicarakan orang di belakang, ya? Gue boleh join?" Tahu-tahu yang sedang dibicarakan ada di belakang Ray dan Radit. Ternyata Harri berlari kencang hingga mendekati posisi Ray dan Radit.

Ray hanya berlari saja, tak menyahut. Melihat itu, Radit berlari dalam diam. Tiba-tiba Ray berbicara, "Merasa dibicarakan, hm?" Langkah Ray berhenti.

Mau tak mau Radit dan Harri berhenti berlari. Ray menghadap Harri dan menatapnya tajam.

"Setahu gue, gak baik membicarakan orang di belakang," ujar Harri.

"Dan setahu gue, nguping itu juga gak baik," balas Ray. "Jadi lo dengar dengan jelas apa yang gue dan Radit bicarain, benar?"

Kepala Harri mengangguk. "Yap. Mengenai lelaki sejati yang harusnya gak merebut cewek orang. Benar?"

Ray tersenyum sinis. "Ternyata telinga lo berfungsi juga. Dan lo ngerti maksud perkataan gue itu?"

"Hm? Merebut cewek orang? Gue gak bermaksud. Gue hanya mendekati Bunga. Simple," jelas Harri mengedikkan bahu.

Ray tertawa sumbang. Dia menoleh pada Radit. "Mendekati? Lalu merebut. Apa gue salah?"

"No at all," jawab Radit.

"Gue kira lo belajar bahasa Indonesia. Atau perlu gue belikan KBBI biar lo cari sendiri definisi antara mendekati dan merebut," kata Harri.

Ray berdecak. "Bukan masalah definisi. Hubungan antara mendekati dan merebut, itu tipis. Setipis debu. Lo mendekati dan ketika berhasil, lo merebut. Did I make my self clear?"

"Wah, penjelasan yang menarik. Gue kagum," ucap Harri sarkastik.

"Ada apa ini?" Pak Arsil datang menengahi lalu meniupkan peluit. "Bentuk barisan!"

Radit menarik Ray menuju barisan. Dikarenakan para siswi akan diajarkan bermain voli di lapangan voli, para siswa pun diberi kesempatan untuk bermain basket. Ray dan Harri berada di tim yang berbeda. Semua orang di sekolah tahu, jika Ray adalah master basket walau pun lelaki itu selalu menolak ajakan untuk bergabung di tim basket sekolah dengan alasan jika dia hanya bermain basket demi kesenangan. Memang sangat disayangkan.

Radit berdiri di pinggir lapangan. Dia memilih untuk tak ikut bermain basket karena perintah dari dokter. Matanya menatap tajam Ray di sisi kiri lapangan sambil melakukan peregangan kecil. Radit bisa melihat jelas jika mata Ray tertuju pada sosok di lapangan sisi kanan. Tak lain tak bukan adalah Harri.

Peluit ditiup. Bola basket melambung tinggi ke udara dan terjatuh menuju tengah lapangan. Sebelum terjatuh, Ray sudah menyambar bola dan mendribble menuju kawasan lawan lalu dia mengoper bola pada Alif yang satu tim dengannya.

Permainan basket kelas XI IIS-3 tak pernah menarik perhatian. Tapi baru kali ini beberapa siswa dari kelas lain menyelinap keluar dari kelas dan menonton pertandingan kecil yang seru itu. Karena mereka tahu pertandingan itu akan heboh, mengingat ada dua orang--Ray dan Harri--yang dari awal saja tak pernah saling ramah.

Ray mencetak poin untuk timnya. Dengan bangga, dia berjalan melewati Harri menuju posisi awalnya. Para penonton bersorak riuh.

Quarter kedua dimulai. Tim Ray menggiring bola mendekati ring lawan. Ray berlari mencari posisi di dekat tengahnya lapangan. Dua orang lawan berusaha menghadang. Alif kini mendribble bola. Dia sempat melihat Ray melambai padanya, kode meminta bola dioper. Alif memutar tubuhnya untuk mengelabui lawan dan lompat kemudian melempar bola pada Ray.

Dari awal Ray sudah memasang posisi siap. Nyatanya kini dia menangkap bola dengan baik. Matanya menatap ring lawan.

Radit tahu apa yang akan dilakukan Ray saat itu. Dia menahan napas memandang Ray dan ring secara bergantian.

Three-points! Itulah yang akan Ray lakukan. Ray mengangkat bola dan bersiap melempar dengan kuat. Namun tiba-tiba dia mendapati tubuhnya terbaring di lapangan. Bola basket sudah di luar lapangan.

Terdengar teriakan tak terima dari penonton. Pasalnya, Ray berbaring di lapangan, meringis kesakitan. Seperti ada pisau yang menancap di bahunya. Peluit ditiup berkali-kali. Beberapa orang mengerubungi Ray.

"Ray! Lo gak apa?" tanya Alif.

Ray menggertakkan gigi menahan sakit. Dia berusaha bangkit dengan bantuan dari teman-temannya. Ray berdiri sambil menutupi bahunya yang sakit dengan tangannya. Matanya yang tajam menatap Harri yang berdiri tak jauh darinya. Semua mata mengikuti arah pandang Ray. Lalu mereka tahu, siapa yang membuat Ray sampai begitu.

"Masalah lo apa?" tanya Ray menahan emosi dan rasa sakit.

Harri memiringkan kepala. "Gue gak sengaja."

"Gue dan yang lain gak buta. Kita ngelihat dengan jelas kalau lo datang dari arah lain dan berlari buat nabrak Ray yang lagi mau shoot bola," bantah Radit dan disetujui yang lainnya.

"Lo emang suka cari masalah, ya? Ckck. Lo salah cari lawan," ujar Ray mengulas senyum miring.

Sebelum Harri berkata lagi, Ray dibantu Radit berjalan menuju UKS. Semua orang yang membentuk kerumunan langsung bubar mengikuti perginya Ray. Tinggallah Harri di tengah lapangan. Sendiri.

Ah, tidak sendiri. Seseorang berdeham. Harri menoleh dan mengernyitkan dahinya melihat di belakangnya berdirilah seorang cewek berambut pendek.

Harri mengingat-ingat. Ah, ya. Cewek ini sekelas dengannya. Kalau tidak salah dialah yang duduk di dekat Ray.

"Gue teman sekelas lo," kata cewek itu. "Gue Zia."

Harri mengangkat alisnya. "So?"

Zia mengulum senyum. "Kayaknya lo dan Ray musuhan, ya?"

Harri mengedikkan bahunya. Dia sibuk berpikir ada apa gerangan gadis ini berbicara padanya. Membela Ray?

"Oke, gue langsung to the point. Lo suka sama Bunga?"

"Hah?" Harri tak percaya cewek di depannya langsung blak-blakan tanpa ragu. Sangat berani. Seperti menantang.

"Lo suka gak sama Bunga?" ulang Zia tak sabar.

"Kelihatannya gimana?" tanya balik Harri acuh tak acuh.

"Kalau iya, gue mau mengajak kerja sama," sahut Zia dengan senyum penuh arti.

"Maksud lo?" tanya Harri tak mengerti.

Zia memutar bolamata. "Harus dijelasin spesifik, ya? Bunga dan Ray pacaran. Kita tahu itu. Semua orang juga tahu itu. Lo suka sama Bunga. Dan... gue suka sama Ray. Kita sama-sama mengejar dan merebut. Lebih baik kita bekerja sama, 'kan? Saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme, kalau gak salah."

Senyum muncul di bibir Harri mendengar penjelasan Zia. "Ternyata sebagai anak IPS, lo ngerti juga masalah simbiosis. Hm. Menarik juga usulan lo. Gak ada pihak yang dirugikan. Sama-sama menguntungkan. Lo dapatin Ray. Gue dapatin Bunga. Bagus."

"Jadi, lo setuju gak?" tanya Zia.

Harri menatap Zia sejenak. Dia menarik napas dalam-dalam. "Oke. Gue setuju."

Zia tersenyum lebar. Dia mengulurkan tangannya. "Senang berbisnis," ucapnya dan disambut dengan jabatan hangat dari Harri.

Continue Reading

You'll Also Like

226K 13.6K 47
☠️ PLAGIAT DILARANG KERAS☠️ FOLLOW SEBELUM BACA!!! Menceritakan tentang seorang gadis bernama Ayla Humairah Al-janah, yang dijodohkan oleh kedua oran...
251K 17.4K 58
PERINGATAN ⚠ sekali baca gabisa berhenti loh wkwkwk Arkan yang masih Setia menunggu rasanya terbalas. Riri yang selalu menemani Arkan ke kantin, bahk...
26.2K 2.2K 34
Start: 3 Juni 2019 End: 23 November 2020 [Buku kedua Bad Boyz] hanya sepenggal kisah tentang "mereka" yang menghadapi dunia setelah masa abu abu ber...
568K 2.8K 18
Cerita ini bagian dari @fantasibersama