Bukan Banci Biasa

By rachmatwilly

12.1K 851 23

Bekerja di sebuah salon rumahan di Surabaya, Imung ternyata bukan banci biasa. Dia memiliki serangkaian tekni... More

Bukan Salon Biasa
Hidup Untuk Mengabdi
Rojak Sang Penyamun
The Kamp
Tak Ada Yang Abadi
Semalam di Malaysia
Memorabilia
Dia Bukan Gufron
Lu Lagi Lu Lagi
The Kahayan's Incident
Syailendra Inc.
Bunaken Lekong Tulen
Ngantuka Tunggal Ika
Semua Tentang Sandra
Sandra ohh... Sandra
Robert Rempong
Semua Tentang Rinrin
Sigit Chan
Nakula dan Sadewa
Mimikri Mahfud
100% Lekong
Sang Administrator
Tentang Penulis

Kasihan Atau .....?

388 35 0
By rachmatwilly

Hari Jumat bagi setiap salon adalah puncaknya hari. Disebut begitu karena pada hari Jumat bisa terjadi dua hal. Pertama, puncak keramaian, dimana salon menjadi sangat ramai oleh kehadiran pelanggan yang punya acara untuk Sabtu keesokan harinya, atau sekedar persiapan week-end dan kedua, puncak kesepian, salon justru sangat sepi karena tidak ada acara penting di hari Sabtu dan pelanggan memutuskan untuk bersalon di hari Sabtu atau hari Minggunya sekedar untuk perawatan rutin.

Yang terjadi di Imel's Salon malam itu adalah yang kedua. Pelanggan sangat sepi. Hingga menjelang malam pekerjaan Mey hanya menonton televisi menyaksikan ragam acara pencarian bakat yang tayang hampir serempak di beberapa stasiun televisi swasta.

"Mas Imel.... Suara si Hasan ini bagusnya nek.... " Mey berteriak kegirangan saat jagoan kesukaannya tampil. Sambil nonton, tangannya tak berhenti memegang sebuah telepon selular keluaran Cina terbaru. Rupanya Mey sibuk meng-sms ke nomor yang diberikan oleh pembawa acara pencarian bakat itu. Imung sesekali melirik ke arah Mey, walau dia tahu Mey tak menginginkan jawaban.

"Mas Imel.... Transferin pulsa dong... pulsa Mey abis Mas... ntar potong dari gaji Mey aja Mas..." Mey berteriak lagi. Imung tersenyum. Geleng-geleng kepala dia. Setiap hari Jumat seperti sudah menjadi tradisi minta pulsa oleh Mey. Imung menyambar hapenya yang ditaruh di atas meja. Menekan beberapa digit nomor dan kemudian menaruh hapenya kembali.

"Udah ya nek... cekidot..." kata Imung.

"Makasih Mas Imel sayang...." Balas Mey senang. Imung kembali melanjutkan membaca. Kali ini dia berpindah ke suatu majalah fashion.

Hujan deras yang mengguyur Surabaya malam itu rupanya membuat orang-orang malas keluar rumah. Apalagi hanya untuk sekedar ke salon. Masih ada hari Sabtu. Mungkin begitu pikir mereka. Lebih enak tidur nyenyak berselimut diiringi suara rintik hujan.

"Mey, jangan lupa yeti kunci pagarena ya...." Imung nampaknya sudah malas membaca dan bergerak menuju tangga hendak ke kamarnya.

"Oke doke bosse..." Mey menjawab seenaknya sambil matanya tetap tak beralih dari layar kaca. Imung hanya bisa geleng kepala. Sejak salon itu berdiri Mey memang sudah bekerja dengannya. Mey bisa bekerja dengan Imung atas rekomendasi ibu Imung. Entah ibunya Mey itu saudara dari mana dengan ibunya, Imung tak tahu. Yang jelas waktu itu ibunya minta agar Mey bisa bekerja dengan Imung. Hitung-hitung membantu ibunya Mey yang bernasib kurang lebih sama dengan ibu Imung. Ibunya Mey juga tinggal sendiri. Hanya dia dan Mey yang tinggal. Bedanya, ayah Mey sudah meninggal sementara ayah Imung? Tak ingin Imung berlama-lama melamunkan perihal ayahnya. Hanya membuat sakit hati saja, pikirnya.

Acara pencarian bakat itupun usai. Tidak ada pengumuman saat itu siapa yang harus keluar. Pengumumannya nanti dua jam lagi. Saat semua orang sudah terkantuk-kantuk. Tapi ya di situlah sisi menariknya tayangan sejenis ini di televisi. Jam tayang diperpanjang manakala rating sudah tinggi. Iklan yang diraup semakin banyak. Ujung-ujungnya untung yang diraih juga semakin besar.

Mey bergerak dengan malas. Hujan di luar belum berhenti. Dicari Mey kunci pagar berwarna hijau itu. Kuncinya biasanya tergabung dengan kunci rumah mulai dari pintu depan hingga pintu dapur. Untuk menambah aman, Mey mengusulkan penambahan rantai besar seperti rantai kapal yang kemudian digembok. Imung setuju-setuju saja. Lagian, Imung tak pernah repot memikirkan keamanan salon sekaligus rumahnya itu. Kalau sekiranya ada maling masuk ya disikat saja dengan Krav Maga yang dikuasainya.

Sambil mencari-cari kumpulan kunci itu, Mey melihat ke arah pagar depan. Dari ruang tengah memang sangat leluasa memandang langsung ke halaman hingga ke pagar depan. Tirai penutup jendela biasanya dibiarkan saja terbuka, terikat pada kedua sisinya. Tampak seorang perempuan muda sedang berjalan agak tertatih. Terdorong oleh rasa ingin tahu, Mey menjulurkan lehernya supaya agak lebih tinggi. Dilihatnya perempuan muda itu kehujanan di luar. Tak ada barang bawaan yang menyertai perempuan itu. Langkahnya gontai dan sedikit tak beraturan. Ngapain tuh cewek jalan hujan-hujan gindang, mabuhay kali ya? Pikir Mey menebak-nebak kenungkinan apakah perempuan itu sedang mabuk. Mey menggelengkan saja kepalanya. Di kota setengah metropolitan seperti Surabaya memang bukan musimnya lagi mengurusi orang lain. Nanti kalau diurusi dikira kepo lagi, pikir Mey sambil melanjutkan mencari tumpukan kunci itu. Ternyata tumpukan kunci-kunci rumah itu ada di dekat meja dimana Imung tadi membaca koran dan majalah. Tertutup oleh tumpukan koran-koran. Dasar Mas Imel, ngerjain aja, pikir Mey. Setelahnya Mey langsung berjalan menuju pintu pagar. Tak lupa disambarnya sebuah payung dari pinggir pintu.

Dilihatnya perempuan tadi duduk di pinggir dudukan yang menjadi batas antara salon kepunyaan Imung dengan rumah tetangganya. Biasanya dudukan jenis ini dibuat untuk sekedar duduk-duduk di pinggir jalan oleh si empunya rumah atau sekedar sarana bersosialisasi dengan tetangga di sore hari.

"Astaga....nek...kenapa yey nek...." Mey mempercepat langkahnya. Perempuan yang tadinya dalam posisi duduk itu tiba-tiba ambruk ke tanah. Mukanya rata dengan tanah.

"Mas Imel...." Teriak Mey. Suara hujan deras sepertinya masih kalah dengan suara teriakannya. Tetangga disebelah tampak menyingkapkan tirai jendela depan mereka, namun karena sulit melihat sesuatu karena terhalang mobil yang ada di garasi mereka urung keluar.

Mey sudah berada di samping perempuan itu. Berusaha mengangkat perempuan itu dengan menyanggakan tangan perempuan itu pada pundaknya. Namun usahanya kurang maksimal. Ketika ingin berteriak, dilihatnya sosok Imung sudah bergegas berjalan ke arahnya.

"Napa dia say?" tanya Imung.

"Nggak tau cin... pas eik datang sudah begindang, tadi sempat sih dia duduk di situ abis itu ambruka deh.." Mey mencoba menjelaskan. Imung mengambil posisi hendak membantu Mey. Dikalungkan Imung tangan kiri perempuan itu ke bahunya sementara Mey melakukan hal yang sama dengan tangan kanan perempuan itu. Kemudian secara bersamaan mereka berdiri. Perempuan itu tampak setengah sadar namun tubuhnya terlihat sangat lemah. Pelan-pelan mereka menggotongnya ke ruang tengah.

Di ruang tengah, Imung mengaitkan kakinya pada sebuah kursi rotan yang biasa digunakan sebagai tempat menunggu oleh pelanggan.

"Buatkan teh manis hangat cin... cepat..." perintah Imung pada Mey. Mey melepas rangkulan si perempuan dan bergegas menuju dapur. Imung berusaha merebahkan tubuh perempuan itu di kursi rotan tadi. Bentuk kursi rotan itu memungkinkan tubuh si perempuan tersangga dalam posisi setengah duduk.

"Sandra....Sandra... dimana Sandra?" perempuan itu terlihat berusaha memanggil-manggil sebuah nama. Imung berusaha mendekatkan kepalanya. Ingin mendengar lebih jelas apa yang ingin diucapkan perempuan itu. Wajah perempuan itu tampak sangat pucat. Rambutnya ikal namun tidak keriting. Berwarna hitam kepirangan jika terkena cahaya. Melihat dari dekat barulah Imung melihat kalau di bagian atas telinga kanan perempuan itu tampak ada luka tergores. Imung tampak kaget melihat bekas luka itu. Sebagai seorang agent Pancanaka, dia tahu kalau luka itu akibat terserempet peluru. Rupanya derasnya hujan dan luka yang hanya terserempet membuat bekas darahnya tidak lagi terlihat. Namun kalau diperhatikan dengan jelas, pada bagian leher dan bahu kanan si perempuan tampak kumpulan bentuk titik kecil berwarna kecoklatan. Pasti itu bekas tetesan darah dari luka itu, pikir Imung.

Mey datang membawa segelas teh panas. Dibawanya juga sebuah sedotan untuk mempermudah perempuan itu meminumnya. Imung mengambil gelas berisi teh panas itu dari tangan Mey. Dipegangnya sedotan dengan dengan tangan kanan dan gelas itu dengan tangan kirinya. Didekatkannya sedotan pada ujung bibir perempuan itu. Perlahan-lahan perempuan itu meminum teh panas itu. Karena menggunakan sedotan rasa panasnya tidak terlalu terasa bagi perempuan itu. Mungkin juga karena tubuhnya sudah terlalu dingin. Perlahan-lahan wajah yang tadinya pucat itu tampak mulai terlihat agak segar. Perempuan itu menyeka keningnya dan mengernyit kesakitan sesaat. Dipandangnya sosok lelaki yang memberikannya minuman hangat itu.

"Terimakasih...." kata perempuan itu lirih. Imung tersenyum. Matanya masih memandang perempuan itu. Perempuan itu tidak bisa dibilang sangat cantik tapi jelas kalau dia sangat merawat tubuhnya. Imung bisa melihat kalau bentuk tubuh perempuan itu sangat proporsional. Di bagian-bagian dimana biasanya terdapat lemak berlebih tak tampak di tubuh perempuan itu. Malah pada beberapa bagian tubuhnya terlihat cukup padat berisi.

Imung kemudian mempersilahkan perempuan itu untuk mandi dan berganti pakaian. Dimintanya Mey untuk membantu perempuan itu.

"Ini mbak... baju ala kadarnya ya... kalau untuk dalaman kebetulan saya masih punya stok yang baru silahkan lho mbak..." Mey rupanya sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum diminta oleh Imung. Kalau untuk urusan berbuat baik, memang Mey lah orang yang paling pas. Tak punya rasa curiga dan selalu tulus membantu. Bahkan berulang kali dia kena tipu. Tapi tak juga kapok dan tetap ikhlas membantu orang yang dia bisa bantu.

Perempuan itu mengucapkan terimakasih pada Mey. Sebenarnya Mey masih ingin bertanya sesuatu tapi Imung memberikan isyarat dengan kode telunjuk di tangan agar Mey tidak terlalu banyak bertanya dulu.

Si perempuan kemudian menuju kamar mandi yang berada di sebelah dapur. Kamar mandi itu biasanya digunakan oleh para pelanggan. Mey sendiri menghuni kamar yang ada kamar mandi dalamnya demikian pula Imung di lantai dua. Lantai dua hanya ada dua kamar namun hanya satu kamar yang dilengkapi kamar mandi. Sedangkan di lantai bawah ada dua kamar. Dua-duanya dilengkapi dengan kamar mandi pula. Rumah yang menjadi salon milik Imung ini masih dicicil selama kurang lebih sepuluh tahun lagi, Cukup panjang perjuangan Imung untuk memiliki rumah ini. Dan memang harus dia akui tanpa Pancanaka tak mungkin dia dapat membeli rumah sebesar ini yang masih masuk dalam kategori kota dan bukan pinggiran kota.

Selesai mandi, perempuan muda tadi kembali bergabung dengan Imung dan Mey di ruang tengah. Walau masih tampak lemah, wajahnya sudah jauh berbeda dengan saat ditemukan oleh Mey tadi. Rambutnya mulai terlihat menawan, warna hitam yang berpendar pirang jika terkena cahaya. Wajahnya ternyata boleh dikatakan cantik, pikir Imung. Untuk beberapa saat Imung tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah perempuan itu.

"Mari mbak... silahkan ya...nggak usah sungkan..." Imung mempersilahkan perempuan itu untuk makan. Mey sudah mempersiapkannya saat perempuan itu mandi tadi, Memang tak ada lauk yang spesial. Hanya ikan laut digoreng sambal dan sayur bening saja. Di rumah yang juga berfungsi sebagai salon itu, Imung berusaha hidup sederhana. Apa yang dimasak oleh Mey itu yang dia makan. Tak ada perbedaan antara bos dan anak buah.

Perempuan itu tanpa ragu mengambil piring dan mengisinya dengan nasi beserta lauk dan sayurnya. Rupanya rasa lapar yang amat sangat membuatnya menghilangkan segenap rasa sungkan. Dia makan dengan lahapnya bahkan tanpa menunggu Mey dan Imung mempersilahkannya untuk kedua kalinya.

Imung dan Mey biasa makan di sore hari. Kalau ada banyak pelanggan makan biasanya mereka makan bergantian. Rinrin juga hampir setiap hari makan di rumah itu. Maklumlah, perjalanan dari salon ke rumahnya cukup jauh menurut Rinrin sehingga sampai di rumah biasanya sudah terlambat baginya untuk makan. Jadilah Rinrin hampir setiap hari ikut menikmati masakan Mey. Imung tak pernah keberatan dengan semuanya itu, baginya Mey dan Rinrin sudah seperti saudara. Tak pernah Imung mempermasalahkannya apalagi sampai membawa-bawa hal itu dalam omongan sehari-hari. Paling-paling hanya Mey yang masih suka sedikit-sedikit menyindir Rinrin karena tidak ikut urunan. Tapi Rinrin yang pendiam lebih banyak tak peduli dan tak pernah membalas satupun sindiran Mey.

Masih ada satu ikan goreng sambal yang tersisa. Perempuan itu sejenak melirik ke arah Imung. Yang dilirik sepertinya sadar apa maksud lirikan itu.

"Monggo mbak, dihabisi aja...ndak apa..." Imung mempersilahkan perempuan itu untuk menyantap potongan terakhir. Yang dipersilahkan tanpa basa-basi menambah dua sendok nasi ke piringnya dan kemudian menandaskan ikan sambal yang tersisa berikut dengan sayur beningnya. Mey setengah ternganga menyaksikan pemandangan itu. Tapi dilihatnya Imung hanya diam sehingga tak berani Mey berbicara satu patah katapun.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Imung tak bisa lagi menahan rasa kantuknya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin Imung ajukan pada perempuan itu namun melihat kondisi perempuan itu, Imung memilih menunggu esok hari. Imung pun pamit meninggalkan Mey dan perempuan itu. Keduanya tampak saling membantu membereskan meja makan dan bersiap-siap untuk beristirahat. Mey sempat mencoba bertanya siapa nama perempuan itu. namun si perempuan mendadak terbengong dan tak bisa menjawab. Kemudian perempuan itu menangis. Dia bilang kalau dia sudah lupa segalanya. Mey tak berani memaksa. Dipersilahkannya perempuan itu untuk beristirahat di kamar yang biasa digunakan Rinrin untuk berganti pakaian dengan pakaian kerja salon. Mey kemudian memeriksa kembali kunci-kunci pintu dan kemudian masuk ke kamarnya. Masih banyak pertanyaan di benaknya namun biarlah esok baru ditanyakan, begitu pikir Mey.

Keesokan harinya perempuan itu mengatakan kalau dia lupa semua tentang dirinya. Perempuan itu hanya menangis sejak bangun subuh-subuh. Ketika ditanyakan soal nama Sandra yang pernah disebutnya waktu ditemukan kemarin, itupun tak diingatnya. Konsentrasi Mey pagi itu sempat buyar karena tangisan perempuan itu. Demikian pula Imung yang ikut bergabung bersama Mey. Mencoba menanyakan asal-usul perempuan itu. Perempuan itu mencoba mengingat dengan menekan-nekan keningnya namun dia menggeleng dan menangis lagi. Imung merasa kasihan, demikian pula Mey. Akhirnya mereka sepakat kalau untuk sementara perempuan itu mereka panggil dengan nama Sandra sesuai dengan nama yang pernah disebutnya saat ditemukan oleh Mey kemarin.

Sampai sekarang Imung dan Mey tidak tahu pasti apakah Sandra adalah nama asli gadis itu ataukah ada Sandra yang lain. Tapi mereka berdua tak mau memaksa Sandra bercerita. Jadilah nama Sandra tetap dipakai sehari-hari. Sandra juga dipersilahkan Imung untuk tinggal bersama mereka. Memang ada banyak kamar yang masih kosong. Mey sempat kaget dengan putusan Imung untuk mempersilahkan Sandra tinggal bersama mereka, tapi Mey tak mau mempertanyakan keputusan bosnya itu. Bagi Mey sudah cukup banyak kebaikan Imung bagi dirinya.

Imung sendiri heran dengan keputusan yang dia ambil. Apakah sebuah keputusan yang baik mempersilahkan orang tak dikenal tinggal bersama mereka? Bukankah bisa saja sebenarnya perempuan itu hanya berpura-pura? Terus, bagaimana dengan luka sayat terserempet peluru itu? Bagaimana penjelasannya? Imung tak habis pikir tapi sebagian hatinya hendak mengatakan bahwa dia telah mengambil keputusan yang tepat. Ada sesuatu tentang Sandra yang menarik hatinya. Rasanya ingin mengenal perempuan itu lebih jauh. Hanya mengenal? Tak sadar Imung menggeleng-geleng sendiri. Bingung dengan perasaannya. Inikah rasa kasihan? Atau rasa apa sebenarnya ini?

Continue Reading

You'll Also Like

79.3K 10.7K 54
"Cowok kalau cuman chat sama satu cewek, air asin gua tabur gula biar manis." Krystal Jung "Oke, kalau gitu siapin gulanya. Karena gue cuman chat sam...
Ambang Senja By Indra Wibawa

Historical Fiction

479 149 27
Kisah fiksi yang mengadopsi beberapa alur sejarah, tempat dan tokoh nyata pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia di wilayah Kesultanan Melayu Sum...
163K 12.5K 23
"GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu semakin kencang dan membuat kesadaran Anessa kepada jalanan yang sekarang dia lewati hilang...
43.4K 3.6K 33
Zee seorang anak ke 4 dari 5 bersaudara, ia dibenci oleh tiga kakaknya karena kesalahan pahaman, tetapi berbeda dengan adiknya, adiknya percaya kalau...