Life After Break Up | taesoo...

By hippoyeaa

5.7K 1.1K 235

"Aku minta break, kok kamu minta putus?" ©2024 by hippoyeaa More

✂....life after break up-chapter 01
✂....life after break up-chapter 02
✂....life after break up-chapter 03
✂.... life after break up-chapter 04
✂.... life after break up-chapter 05
✂....life after break up-chapter 07
✂.... life after break up-chapter 08
✂....epilogue

✂.... life after break up-chapter 06

521 113 18
By hippoyeaa

Bisa-bisanya penyakitnya kambuh sewaktu lagi di dalam bioskop. Niatan mau nonton jadi gagal total. Alih-alih menikmati film, dia justru berlari keluar saat dirasa mau mau efek asam lambung naik. Ah, rese banget! Niat hati ingin quality time malah berakhir sakit. Jisoo mau mengumpat, tapi yang keluar justru mual-mual.

Kalau sudah begini dia cuma bisa duduk pasrah di lantai toilet, menunggu sampai fase mual-mualnya ketika asam lambung naik mereda. Dia tak berkenan beranjak dari tempatnya. Dipakai bergerak sedikit pasti bawaannya mau mual. Lalu ketimbang bikin repot mual-mual di jalan dan repot lagi harus bolak-balik ke toilet, maka sementara dia bertahan di toilet umum di bioskop.

Salahnya, sok-sokan quality time padahal kondisi lagi kurang baik.

Dia sudah berada di dalam toilet nyaris satu setengah jam. Fase mual ketika asam lambung naik itu cukup lama, bahkan bisa terjadi seharian. Awalnya Jisoo enggak kepikiran kalau asam lambungnya bakalan naik, maka itu dia nekat nonton.

Beberapa orang masuk ke toilet sempat mengintip ke bilik toiletnya karena memang tidak sempat dia kunci saat berlari masuk. Orang-orang jadi mendengar suara mual-mualnya. Mereka bahkan secara terang-terangan membicarakan dirinya yang mereka kira mual gara-gara hamil.

Hah! Orang-orang itu ... yang benar saja!

Sebetulnya Jisoo sangat malu, tapi mau bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur. Jisoo benar-benar tak berdaya sehingga tak punya kekuatan untuk membela diri atas kekeliruan orang-orang terhadapnya. Dia sangat lemas dan penderitaannya semakin lengkap saat kepalanya dibuat pusing mendengar suara orang-orang di luar bilik toiletnya yang sedang membicarakan dirinya. Meski begitu, dia membiarkan orang-orang membicarakannya sesukanya selagi mereka tak mengambil foto atau video dirinya demi sebuah konten belaka.

Rupanya di antara orang-orang tersebut, ada juga sosok perempuan yang benar-benar tulus mengkhawatirkan kondisinya. Meski awalnya dia sempat takut karena mengira Jisoo makhluk ghaib yang bersuara di dalam toilet, terlebih waktu perempuan itu masuk toilet dalam keadaan sepi dan hanya Jisoo seorang di dalam. Untung saja dia tidak sampai lari ketakutan; untungnya pintu bilik toilet Jisoo terbuka jadi perempuan itu dapat melihatnya sedang terkapar lesu di lantai.

“Airnya jangan lupa diminum, Mbak.” Dia juga berbaik hati membelikannya sebotol minuman. “Seriusan, Mbak, sendirian? Gak sama temannya? Atau pacar, mungkin?”

Raut wajahnya jelas dengan tulus mengkhawatirkan dirinya karena terlihat kesakitan sendirian di toilet tanpa seorang kawan.

“Mau saya temenin? Kasihan kalau Mbak menderita sendirian di toilet. Atau mau saya anter pulang?”

Jisoo memberinya senyuman tulus atas kepeduliannya. “Nggak usah repot-repot, Mbak. Saya baik-baik saja kok. Lagian Mbak mau nonton film bareng pacarnya, kan?”

“Eh, iya, sih.”

“Nah ...,” Jisoo tersenyum lagi, “saya baik-baik saja. Saya jamin.”

“Beneran?” Perempuan itu meragukannya. “Saya juga punya asam lambung kok. Pas lagi naik gitu nggak enak banget!”

Betul enggak enak. Namun, tetap dia enggan merepotkan orang sebaik dirinya yang mau menolongnya meski mereka tidak saling kenal.

Jisoo menekankan lagi kalau dia baik-baik saja sampai perempuan itu menyerah lalu keluar meninggalkannya di toilet sendiri. Betapa leganya dirinya saat perempuan itu pergi. Untung saja toilet sekarang sepi. Kelihatannya belum ada film yang selesai. Maka untuk sementara Jisoo akan sendirian lagi.

Dia mual lagi seiring getar ponselnya yang menyala di dalam saku hoodienya. Panggilan video masuk berasal dari ayahnya.

Jisoo mengusap wajahnya yang berkeringat. Baru kemudian dia menerima panggilan tersebut. “Hai, Pah.”

Hallo, Sayang—lho, kamu di toilet?” Ayahnya tertegun saat melihat background di belakangnya. “Itu bukan toilet kamar kos kamu.”

“Memang buka—” Jisoo mendadak mual lagi dan sang ayah menyaksikan itu secara langsung. “Maaf, Pah. Jadi ngelihatin muntahnya kakak.”

Demi Tuhan, Nak. Kamu di toilet umum di mana? Sharelock sekarang biar papa minta teman buat jemput kamu.”

Ayahnya jelas sangat mengkhawatirkannya. Bagaimana tidak saat mengetahui putri sulungnya kesakitan di toilet umum di sebuah mall dan sendirian.

“Papa nggak usah telpon teman segala. I’m fine, okay?”

Di kos-kosan ada yang ngerawat kamu?”

Dia menggeleng lesu. Kalau dulu ada, sekarang sudah enggak ada.

Teman kamu?” tanya beliau.

“Masa ngerepotin teman. Nggak mau, ah!” Ayahnya tahu dulu dia punya pacar dan ayahnya juga sudah tahu kalau sekarang dia tidak punya pacar. Maka sebab itu, ayah tidak menyinggung soal laki-laki itu lagi.

Habis dari situ pergi ke rumah sakit biar dirawat sama suster. Papah nggak mau kamu kesakitan sendirian di kos-kosan. Biar papa hubungin teman papa. Biar dia merawat kamu.”

Teman ayahnya itu seorang dokter, kebetulan bertugas di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di kota setempat. Beliau seseorang yang seringkali direpotkan oleh ayahnya supaya menggantikan dirinya untuk merawat putrinya kalau lagi sakit.

Papa sudah sering nasehatin lho, jangan pernah telat makan dan jangan mudah stress. Kamu tuh, bandel seperti almarhum mama kamu.”

“Iya kan, aku anak mama.”

Ayah menggerutu namun matanya tak bisa membohongi putrinya betapa khawatirnya beliau saat ini. Di saat putrinya lagi sakit begini, dia tidak ada di sana untuk merawatnya.

“Iya, iya. Habis ini aku ke rumah sakit dan minta teman papa buat dijagain. Jadi Papa nggak usah khawatir dan sedih begitu.”

Ayahnya mungkin masih menyesal karena dulu tidak ada di samping istrinya saat jatuh sakit. Sebab itu, beliau selalu terlihat sedih dan merasa bersalah ketika anak-anaknya sakit dan beliau tidak ada di sisinya. Mamanya sudah lama meninggal, dua bulan setelah melahirkan adik perempuannya. Sementara sekarang adiknya sudah kelas empat SD.

Janji ya, ke rumah sakit kalau di kos nggak ada yang merawat kamu.” Misal Jisoo menolak, teman papanya itu pasti bakal muncul di kos-kosannya demi menyeretnya pergi ke rumah sakit supaya ada yang merawatnya. “Oh ya, urusan papa sudah selesai. Lusa papa udah pulang ke rumah. Papa udah telpon adik kamu tadi.”

“Papa udah dapat izin? Berarti tinggal berangkat? Wah, adik pasti senang denger Papa pulang.” Ah, dia jadi merindukan adiknya lucu dan menggemaskan.

Iya. Syukurnya suratnya cepat keluar. Dan masalah di sana juga udah dibantu urus sama teman-teman papa jadi kita tinggal berangkat dan tinggal terima beresnya saja. Enak kan?” Ayahnya tertawa dan kelegaan terlihat jelas di serautnya.

“Syukurlah.” Dengan begini ayahnya tidak perlu bolak-balik terbang untuk pulang dan kerja.

Sekarang ke rumah sakit. Papa mau telpon Tante Hez dulu.”

Setelah panggilan videonya selesai, Jisoo merenung. Jadi sekarang dia harus ke rumah sakit? Dia benci rumah sakit. Tempat itu selalu memberinya perasaan tidak menyenangkan dan setiap kali mau ke sana, dia selalu mau muntah di jalan dan kepalanya suka mendadak pusing.

Rumah sakit selalu memberinya kesan yang buruk terutama semenjak malam ketika ibunya meninggal.

Saat tiba di rumah sakit, dia langsung menemui Dokter Heize—teman kedua orang tuanya. Beliau sendiri juga yang langsung mengantarkan ke ruangannya dan merawatnya bersama satu perawatnya.

Dulu ketika pertama kali dirawat oleh Dokter Heize—atau dia biasa memanggilnya Tante Hez—Jisoo sempat heran, kenapa seorang dokter spesialis seperti beliau mau repot-repot merawat putri dari temannya. Di saat beliau bisa saja meminta bantuan seorang perawat untuk menggantikan dirinya guna merawat putri temannya.

“Nanti ayahmu marah kalau tante nolak merawat kamu.” Dokter Heize selalu memberinya jawaban bercanda. Tapi pada akhirnya, dia dapat mengetahui kebenaran di balik sikap baik dan kepedulian Dokter Heize selama merawatnya.

Dokter Heize ternyata belum menikah di usianya yang sudah kepala empat. Dari sang ayah Jisoo jadi mengetahui status Dokter Heize yang masih lajang belum menikah, dan alasan beliau mau direpotkan ayahnya berulang kali demi untuk membalas budi atas bantuan ibu Jisoo dulu sewaktu mereka muda saat sama-sama berkuliah di kedokteran.

Ayah bilang berkat bantuan ibunya Dokter Heize jadi mampu melanjutkan lagi studinya. Dulu mereka kuliah saat ekonomi negera sedang tidak baik-baik saja dan kebetulan ibunya berasal dari keluarga mampu. Berkat itu, ibu dapat membantu membiayai kuliah Dokter Heize sampai temannya itu menjadi seorang dokter. Sementara ibu karena beberapa alasan beliau tidak sampai menjadi seorang dokter.

Ibu berhenti sampai di gelar sarjana kedokteran saja, tidak sampai melanjutkan studimya, karena setelah lulus ibu bertemu ayah dan mereka jatuh cinta. Kalau tidak pernah mendengar keseluruhan ceritanya, Jisoo pasti menganggap ayahnya jadi penyebab ibunya gagal meneruskan gelarnya.

“Mamamu nggak suka jadi dokter. Dia memilih untuk gagal, tapi sebagai gantinya dia mau temannya berhasil.”

Ternyata ketidaksukaannya terhadap dunia kedokteran menurun dari ibunya. Dulu sewaktu masih anak-anak, nenek dari pihak ibu selalu menyuruhnya masuk kedokteran sampai-sampai Jisoo bosan dan benci mendengarnya.

Usai meminum obat dan mendengarkan nasehat Dokter Heize, dia kemudian tertidur. Efek obat itu cukup ajaib karena mampu membuat Jisoo tertidur lama hingga esok paginya dia baru terbangun. Rencananya Jisoo mau pulang pagi itu saat dirasa kondisinya sudah membaik, tapi Dokter Heize melarang dan memintanya satu hari lagi menginap.

“Aku udah baikan, Tante.” Kalau sudah berdua begini, Jisoo mulai memanggilnya tante.

“Perasaanmu kamu saja.” Satu hal yang tidak disukai Jisoo dari Dokter Heize itu; dia sangat ketat. “Besok juga hari Minggu, kamu libur kuliah.”

“Tapi—”

“Di sini aja. Tunggu sampai besok baru boleh pulang.”

Yang benar saja dia tidak boleh pulang. Jisoo tidak suka diatur-atur begini, tapi dia juga tak terbiasa melawan orang tua. Pada akhirnya, dia pun menginap lagi.

Selama menginap di rumah sakit, Dokter Heize sering datang menjenguknya, memberinya makan-makanan sehat menurut standar seorang dokter dan obat. Beliau benar kalau Jisoo belum sepenuhnya sehat karena nyatanya dia masih sering sakit kepala meski asam lambungnya sudah agak membaik.

Lalu esok paginya di hari Minggu, saat Jisoo bangun tidur dia dikagetkan oleh kehadiran seseorang yang kemunculannya sama sekali tidak dibayangkan.

Ya Tuhan. Sejak kapan dia di sini?

Seolah laki-laki itu dapat membaca isi kepalanya, dia menimpali, “Semalam. Jam tiga.”

“Kenapa?” tanyanya sungguh tak mengerti. “Tahu dari mana kamu?”

Taeyong mengusap wajahnya yang terlihat lelah. Seolah dia belum pernah tidur selama satu malam.

“Kenapa kamu nggak bilang?” Laki-laki itu bertanya balik padanya.

Jisoo masih tak mengerti. “Bilang soal apa?”

“Di rumah sakit!” tandasnya.

“Aku nggak sakit! Aku cuma—buat apa aku bilang sama kamu. Lagipula kita sudah putus!”

Ekspresinya terdistraksi saat mendengar kata-katanya. Laki-laki itu terlihat sangat marah sekarang. “Demi Tuhan, Jisoo. Jangan begini lagi! Aku benar-benar khawatir saat tahu kamu nggak ada di kos-kosan, saat teman kamu bilang kamu lagi nggak bareng mereka, dan saat Pak Asan bilang kamu nggak pulang semalaman! Menurut kamu, aku harus diam saja menunggu kabar, hah? Kamu saja di telpon sama dichat nggak pernah balas. Kalau aku nggak melacak ponselmu, aku nggak bakalan nemuin kamu di sini.”

Itu karena dia enggak pegang ponselnya selama di rumah sakit. Ponselnya masih ada di dalam tas, di dalam laci nakas samping tempat tidurnya.

Jisoo menatap lurus ke matanya, sebelum membuang muka dan mengepalkan kedua tangannya di balik selimut.

“Tetap saja, kita nggak bisa seperti dulu,” ucapnya setelah diam selama beberapa detik.

Taeyong bergerak cepat mendekatinya. “Kenapa? Aku yakin kamu masih suka aku. Aku juga yakin kamu belum ada cowok lain. Tapi kenapa nggak bisa?”

“Kamu belum pernah diputusin sama cewek, ya? Kenapa kamu maksa-maksa banget buat balikan.”

Hal ini tidak ada hubungannya dengan siapa yang duluan memutuskan hubungan ini. Semua ini masalah perasaan. Dia masih mencintainya. Mau hari ini, besok, ataupun di masa depan.

Jisoo sudah mau mengusirnya dari ruangannya ketika tiba-tiba Taeyong berlutut di lantai. Dia tercengang langsung memprotes dan memintanya supaya berdiri.

“Percuma kamu begini. Aku tetap enggak bisa. Jangan maksa terus,” ujarnya disela-sela keputusannya melihat sikap Taeyong.

“Nggak. Aku bakal terus maksa sampai besok dan besok, sampai aku yakin kamu nggak cinta aku lagi.”

“Kamu gila.”

“Kamu buat aku gila,” ucapnya membuat Jisoo tersentak hingga mengumpat dan memalingkan muka. “Demi Tuhan, Jisoo. Aku bersumpah enggak akan lagi bersikap baik sama cewek lain selain kamu. Aku juga nggak bakal ngelupain semua hal-hal tentang kamu. Aku benar-benar enggak bisa putus.”

“Nggak bisa, Taeyong.” Jisoo semakin kuat meremas tangannya dan menahan getar suaranya. “Kita benar-benar nggak bisa balikan.”

Mau ingetin lagi, kalau ini tuh cerita pendek 🏃🏻‍♀️

Aku pernah di posisi jisoo, asam lambung tiba-tiba naik pas lagi jalan di luar—beuh rasanya, luar biasa lemes pokoknya 😭👍🏻

Continue Reading

You'll Also Like

4.8K 1.1K 7
Tentang keseharian Jisoo Alesshya saat menjadi peserta MasterChef. |Baku-Non Baku ©2021
1K 77 4
Kumpulan cerpen AU Sol.4ce. Kemungkinan besar, ada beberapa vtuber lain juga. Kalau kalian suka, cukup simpan di list perpustakaan kalian untuk menun...
76.3K 11.7K 16
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
1.6K 271 4
[ HUNSOO - JENKAI ] "Jean capek, cari sugar daddy aja yuk!" Jisyana dan Jeanne merupakan mahasiswi yang baru saja lulus dari jenjang perkuliahan mere...