Putus berbayar

By Lulathana

31K 5K 703

Bermula ketika pacar temannya diam-diam nge-chat atau cowok yang PDKT-in temannya berujung nembak ke dia, Bia... More

Perhatian!
Putus Berbayar
1. Mission Accomplished
2. Beauty Privilege
3. Say Sorry
4. Two Brothers
5. New Teacher
6. Notebook
7. Introvert
8. Amnesia?
9. Interogasi
11. Yang Sebenarnya Terjadi
12. Pelarian
13. Hukuman
14. Intimidasi
15. Benci
16. Janji

10. Target

964 192 38
By Lulathana

Bia melambai penuh semangat lalu melakukan kiss bye begitu dirinya harus berpisah dengan Nean karena arah kelas yang berbeda. Nean hanya mengangguk-angguk kecil. Bia pun tersenyum lebar. Memang tidak bisa mengharapkan respon heboh dari Nean. Cowok itu tipe yang suka langsung melakukan tindakan, daripada menghambur-hamburkan suara. Bodo amat, yang penting dia selalu berpihak pada Bia.

"Eh!" Bia seketika menahan kakinya. Dirinya hampir saja menabrak seseorang. Karena fokus melihat Nean, sampai tidak melihat ke arah depan.

"Maaf, Pak." Bia menampilkan senyuman lebar lagi. Di depannya Zyan berdiri dengan raut tanpa ekspresi. Bia terpikir, kenapa orang-orang di sekitarnya banyak yang punya sifat begitu ya? Padahal saat tidak di publik mereka itu tidak kaku malah suka heboh juga.

Eh?

Zyan gitu 'kan?

Atau tidak?

Mendadak Bia merasa bingung dengan hal yang bahkan dia sendiri tidak tahu apa. Perasaannya tiba-tiba hanya merasa begitu.

"Lain kali jalan sambil dilihat, bahaya."

"Tenang Pak, saya bukan Mama saya kok."

Zyan mengangkat alis tidak mengerti.

"Maksudnya, makasih buat nasehatnya, Pak. Hehe ...."

Zyan memperhatikan wajah Bia. Tidak ada yang dikatakan hingga Bia perlahan menghentikan tawanya. Bia mengerjap bingung. Dirinya pun mulai terpikir apakah mungkin ada sesuatu yang aneh di wajahnya.

"Pak?"

Zyan mengerjap, dia pun membuang pandangan. "Hati-hati," ucapnya kemudian berlalu melewati Bia.

Bia pun berbalik dan mengamati punggungnya yang menjauh. Setelahnya Bia terbingung kenapa dia harus mengamati kepergian pria itu.

oOo

Bia duduk di bangkunya. Rupanya Kintan tengah asyik mengobrol. Dua cewek yang duduk di depan mereka menghadap belakang. Di meja Bia bahkan ada beberapa snack yang terbuka.

"Pokoknya setelah ada Pak Zyan, tipe gue jadi berubah," ucap Yena yang disertai wajah mendambanya.

"Karena Pak Zyan, gue jadi tau pesona orang pinter itu dahsyat banget," tambah Vita dengan ekspresi yang tidak jauh berbeda.

Bia hanya menggeleng-geleng. Dirinya tidak tertarik akan obrolan. Bia juga bukan tipe yang rajin-rajin amat, jadi ia tidak akan membuka buku untuk menunggu bell. Lebih baik dirinya merebahkan kepala pada meja saja.

"Eh, Bi!" Vita cepat-cepat menahan Bia yang hendak membaringkan kepala itu.

"Pak Zyan 'kan temen Kakak lo, lo tau nggak kalo di luar Pak Zyan tuh gimana?" tanyanya. Namun, ada banyak pasang mata yang kini menatap Bia. Bahkan sampai berkerumun mendekat untuk bisa mendengar apa jawaban Bia.

"Gue nggak tau."

Mereka langsung menghela napas kecewa. Tatapannya terlihat tidak suka.

"Masa nggak tau sih, Bi? Jangan-jangan lo bohong deh soal temen kakak lo itu?"

Bia mendesis. "Ngapain gue bohong deh? Lagian kenapa gue juga harus tau? 'Kan yang temenan bukan gue."

Mata Vita memicing. "Atau lo mau deketin Pak Zyan sendirian? Curang, Bi. Kita bersaing yang adil dong. Siapa pun yang menang, minimal start-nya sama."

"Emangnya Pak Zyan tropi?" Bia mendengkus. Dirinya tidak suka jika anak-anak cewek sudah bersikap seperti itu.

Yena memegang tangan Bia dan sedikit mengguncang-guncangnya. "Ayo, jangan pelit informasi, Bi."

"Gue beneran nggak tau. Kakang cuma pernah bilang dia nggak mungkin temenan sama orang yang punya pengaruh buruk."

Kumpulan cewek-cewek itu langsung memekik.

"Ya Ampun, ternyata Pak Zyan good boy. Wah, makin tinggi aja nih harapan gue."

Bia hanya menggeleng-geleng. "Orang dia punya pacar juga," gumamnya. Yang langsung Bia sesali karena Vita ternyata punya pendengaran yang begitu tajam.

"Pak Zyan punya pacar, Bi?!"

Semua mata kembali menatap Bia dengan penuh tuntutan.

"Katanya lo nggak tau apa-apa? Terus itu lo tau Pak Zyan punya pacar." Yena menatap Bia dengan mata yang menyipit.

"Iya, Bi. Lo beneran nyembunyiin sesuatu dari kita."

"Bi, lo itu cantik. Guru magang terlalu biasa, lo pasti bisa gaet yang jauh-jauh lebih baik dari dia di luaran sana. Yang kaya, bahkan artis, semua pasti mau sama lo kok."

Tangan Bia di bawah sana diam-diam meremas. Bia sudah lama tidak mendengar kata-kata kasar itu. Ternyata rasanya masih sama.

Entah bagaimana orang lain memaknai kalimat seperti itu, tapi bagi Bia, itu seperti merendahkan dirinya. Seolah dirinya hanya produk, bukan manusia. Yang seenaknya orang inginkan lalu bisa dimiliki dengan mudah karena tak punya perasaan.

Mengapa Bia harus dengan orang kaya? Mengapa Bia harus dengan orang terkenal? Mengapa mereka menentukan sendiri atas keinginan Bia?

Kenapa memangnya kalau Bia mau dengan Zyan?

Maksudnya! Siapa pun yang Bia mau, itu hak Bia. Bukan, urusan mereka.

BRAK!

Semua orang terkaget, lalu menatap Kintan yang baru saja menggebrak meja. Cewek itu segera mengeluarkan ponsel lalu menunjukkan sebuah foto. Yang lain tentu bertanya-tanya karena tidak mengenalnya.

"Ini pacar Pak Zyan," ucap Kintan.

"Loh, lo kok bisa tau, Tan?"

Kintan hanya menghela napas. "Kalo gue aja sampe tau, harusnya lo ngerti apa maksudnya dong?"

"Pacarnya Pak Zyan ... Say Sorry?"

Kintan tak menjawab. Dia hanya meraih tangan Bia dan membawanya berdiri. "Anterin gue ke toilet, Bi."

Mereka pun melenggang pergi meninggalkan cewek-cewek itu yang masih membentuk spekulasinya.

"Tan, kenapa harus bocorin klien?" tanya Bia begitu mereka sudak berjalan di koridor. Bia tidak marah pada Kintan, dirinya hanya heran saja.

"Merekanya resek! Gemes gue, Bi. Seenaknya aja kalo ngomong." Kintan terlihat menghentak-hentak kakinya.

"Gimana kalo mulut mereka ember, terus kedengeran sama Pak Zyan?"

Kintan terkekeh sinis. "Gue jamin 100% yang ada mereka malah bantu lo, Bi. Liat Pak Zyan putus mereka makin girang lah."

"Gedek banget gue sama orang-orang kayak mereka. Padahal yang insecure mereka sendiri, bukannya tobat, malah makin nurunin nilai dengan nginjak orang.

"Emangnya kenapa kalo orang yang mereka suka milih cewek lain? Toh yang naksir baru sebatas mereka sendiri, nggak pacaran tuh sama cowoknya. Bahkan cowoknya aja mungkin nggak tau soal mereka. Gampang banget ngatain pelakor. Padahal nyatanya mereka yang doyan ngeharepin milik orang."

Bia berhenti, dia menatap Kintan. "Tan, lo emang sahabat terbaik gue." Bia mengedip-ngedipkan matanya dengan bibir yang mengerucut lucu.

"Keep strong, Bosku." Kintan mengusap-usap lengan Bia.

"Gue akan selalu strong, Karyawanku."

Kintan tertawa kemudian memeluk Bia sembari lanjut berjalan.

"Cuma lo yang nggak takut cowoknya lirik gue."

"Karena otak gue waras."

"Kalo suatu hari cowok lo nembak gue, lo bakal gimana?"

"Bagus lah. Artinya gue bisa cepet-cepet lepas dari ampas."

"Lo emang lebih cantik dari gue, dan gue cuma kalah dalam hal itu doang. Kalo pacar gue milih lo, berarti dia cuma liat fisik. Sorry, gue nggak butuh cowok model gitu."

Bia terkekeh. "Gue nggak tau mau sedih apa seneng denger kata-kata lo."

"Sedih jangan, tapi kalo lo mau gue insecure-in, ya minimal lo tingkatin 3 skill di atas gue."

"Nggak ah, gue males."

Mereka pun tertawa. Hingga bunyi dari ponsel Bia membuat cewek itu harus memberikan perhatian ke sana.

"Leon ngajak ketemuan," ucap Bia seraya menatap pada Kintan. Ada sedikit kaget. Tidak menyangka Leon membuat inisiatif seperti ini.

Kintan mengernyit lalu melihat jam yang melingkar di pergelangannya. "5 menit lagi bel," ungkapnya.

"Jadi, gue tolak aja?"

Kintan menggeleng keras. "No! Ini kesempatan. Lo harus ambil banyak perhatian Leon. Semakin Leon tertarik sama lo, semakin baik.

"Oke, gue terima." Bia pun mengetik balasan untuk Leon.

"Sip. Berarti gue tinggal siapin SS Kak April. Besok soal Firly udah tamat. Horray ... gaji di depan mata."

"Izinin kalo gue telat."

"Iya-iya, sana."

Bia pun bergegas menuju tempat yang Leon tetapkan. Lahan kosong di belakang gedung lab. Tempatnya tidak terlalu terawat, rumputnya begitu subur dengan tinggi sekitar sebetis. Bia harus hati-hati memilih pijakan, salah-salah bisa menginjak benda tajam atau bahkan hewan.

"Sorry ya, udah nyuruh lo ke sini," ucap Leon yang sudah berada di lokasi lebih dulu.

"Nggak papa kok." Bia tersenyum. "Lo mau ngomong apa?" tanyanya dengan mimik wajah yang ceria.

"Soal besok nggak jadi aja."

Kelopak mata Bia sedikit melebar. "Ke-kenapa?" Bia tidak memperkirakan jika pertemuan ini untuk membatalkan janji mereka.

Kalau besok tidak jadi artinya Bia harus memikirkan solusi lain, artinya juga Bia harus memakan waktu lagi. Sungguh, Bia tidak nyaman harus flirting dengan teman seperti ini.

Leon terlihat menghela napas. "Sebenernya dari awal gue udah tau, Bi."

Bia mengerjap polos. "Tau apa?"

"Lo bisa panggil Firly sekarang."

Perasaan Bia langsung tidak enak. Isi kepalanya tentu langsung menggambarkan hal buruk. "Fi-firly? Buat apa?" Bia menjaga intonasinya agar tetap terlihat lugu, tidak tahu apa-apa.

Leon menghela napas berat. Bibirnya mencoba menyunggingkan senyum, tapi sorot matanya tidak terlihat begitu. Marah, sedih, kecewa. Bia rasa emosi-emosi seperti itu yang bersarang di sana.

"Firly minta bantuan lo buat putus dari gue 'kan?"

Bibir Bia terbuka tidak menyangka. Leon benar-benar mengetahuinya.

"Nggak papa, sekarang aja, Bi. Karena ngulur waktu pun, gue nggak akan pernah nemu waktu buat siap." Leon sedikit menunduk tatapannya terlihat begitu sedih.

"Panggil dia sekarang, Bi."

Pikiran Bia berkecamuk. Dengan tangan yang cukup bergetar, Bia mengeluarkan ponselnya. Dia pun mengirim pesan agar Firly datang ke sana.

"Makasih, gue jadinya ngerepotin lo."

Bia menggigit bibirnya dan menunduk. "Maaf ...," ungkapnya dengan sungguh-sungguh.

Konsep yang Bia gunakan selama ini adalah orang ketiga. Hingga hasilnya tak terlalu memberatkan semua pihak. Ceweknya senang karena putus, dan cowoknya hanya merasa bersalah karena dia berpikir dia yang sudah berkhianat.

Namun, jika cowoknya tahu ceweknya membayar orang untuk bisa putus, cowok itu pasti sakit hati. Sakit hati ditinggalkan, sakit hati juga karena tahu si cewek berusaha membuat image-nya buruk.

"Gue juga minta maaf karena sebenernya gue juga nyelidikin lo."

Kelopak mata Bia kembali melebar.

"Awalnya gue ngerasa aneh, lo tiba-tiba lebih deket ke gue. Di samping itu Firly mendadak jaga jarak juga. Gue nyari tau, dan ya, gue bener-bener kaget setelah tau lo buka jasa buat bantu orang putus."

Leon mencoba tersenyum lagi dengan tatapan yang kosong. "Dunia gue rasanya berubah jadi kosong. Gue kebingungan. Kenapa Firly mau pisah sama gue? Apa salah yang gue lakuin?"

Leon menengadah, menatap langit dengan kosong.

"Tapi ... kalo itu yang dia pengen. Gue bisa apa? Gue ikutin rencana kalian, berharap kalo saat itu tiba, gue bisa baik-baik aja. Gue bisa rela."

Leon menggeleng. "Yah, seperti yang tadi gue bilang. Ternyata gue nggak siap buat pisah sama Firly, tapi gue juga tau nggak mungkin sama-sama lagi."

"Gue bener-bener minta maaf, Le."

Leon kembali menatap Bia. "Nggak papa, lo nggak salah, Bi. Tapi, tolong jangan bilang Firly kalo gue tau ya. Makasih juga karena mau dengerin curhatan gue."

Bia bisa mendengar samar-samar ketukan langkah atas kedatangan Firly.

"Maaf, Bi."

Bia hanya bisa terkaget begitu Leon tiba-tiba memeluknya.

"Jadi begini kamu di belakang aku?" Suara Firly terdengar.

Leon mengurai pelukannya, mereka sama-sama melihat ke arah Firly. Awalnya Firly terlihat biasa-biasa saja, tapi saat dia hendak berkata, air matanya tiba-tiba terjatuh begitu saja. Dia telihat menepis-nepis air mata dengan cepat kemudian mencoba bersuara lagi.

"Kita putus," ucapnya tidak terlalu lantang dengan tangis yang tidak bisa dibendung.

Bia sudah banyak menyaksikan berakhirnya hubungan. Bia bisa tahu jika tangis Firly sekarang bukan sekedar air mata palsu. Dia benar-benar terluka.

Bia melirik Leon, tatapannya pun tak jauh berbeda.

Dari semua kasus yang Bia tangani, baru sekarang Bia benar-benar ikut sedih seperti mereka. Dari semua kemalangan kisah percintaan yang Bia temui, menurut Bia perbedaan agama menjadi yang paling menyedihkan.

Bia pun memutuskan untuk beranjak dari sana. Keberadaannya tidak penting, biarkan mereka menuntaskannya sendiri.

Bia mengeluarkan ponselnya lalu menelepon Kintan.

"Firly dan Leon udah putus."

"Loh? Leon duluan putusin dia?" Kintan terdengar kaget.

"Nggak, nanti gue ceritain."

"Oke, buruan balik, mumpung Bu Azizah belum masuk."

Bia bergumam mengiyakan. "Oh iya, nanti suruh Firly transfer ke rekening lo aja. Gue nggak tega makan air mata Leon."

"Owh, apa sedramatis itu?"

Bia menghentikan langkah begitu matanya menangkap sepasang kaki yang terbungkus celana berwarna hitam. Karena sedari tadi Bia menunduk untuk memilih pijakan di antara rumput-rumput itu, Bia sampai tidak menyadari keberadaannya. Celana hitam, sudah jelas itu bukan siswa.

Bia membelalak begitu mendongak dan melihat siapa pemilik kaki itu.

"Pa-pak Zyan."

Sekujur tubuh Bia terasa panas dengan jantung berdebar cepat diserang rasa panik. Dari jarak ini, obrolan dirinya dengan Leon tadi bisa terdengar. Bagaimana ini? Bagaimana jika Zyan melaporkannya pada Kean? Bagaimana jika--

"Oh iya Bi! Pak Zyan itu ternyata Kak Aru. Pantes nggak asing ternyata pernah jadi target kita."

Lupakan tentang kekhawatiran atas Kean! Bia sekarang merasa dijatuhi bom sebesar-besarnya. Seluruh tubuhnya terasa kesemutan. Bia tidak bisa bergerak maupun mengalihkan pandangan dari Zyan yang juga menatapnya.

"K-kak A-aru." Setelah Bia menggumamkan itu, sederet bayangan berjejal tampil di kepalanya. Segala sesuatu yang pernah Bia lalui dengan pria di hadapannya ini.

"Wow, akhirnya aku denger panggilan itu lagi." Zyan tersenyum satu sudut.

"Aku pikir kamu pura-pura lupa karena nggak mau ngerasa bersalah. Ternyata beneran lupa ya." Zyan tertawa kecil. Tangannya dimasukkan ke dalam saku dengan santai.

"Ternyata aku cuma target buat ngasilin uang. Aku nggak pernah jadi sesuatu yang spesial di hidup kamu. Nggak pantes buat diinget ya, Bi?"

oOo

20 April 2024

Continue Reading

You'll Also Like

289 110 30
Karya pertama berupa cerpen yang berkolaborasi dengan @Exazxiarte. TIDAK UNTUK DIPLAGIAT!!! KUmpulan CERpen
6.7M 284K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
23.2K 2.7K 43
Bersinar terang, namun kesepian Park Jisung ⚠️ Mental Health ⚠️ Bully ⚠️ Age Gap anak_ayambiru 2021
5.3K 2.2K 43
Holly Moon mengidolakan Nicholas Dirgantara, kapten klub basket di sekolahnya. Tapi karena terlalu sering menonton pertandingan basket Nicholas, Hol...