SILAM

By tanindamey

90 21 1

Anaya menyadari semakin hari jumlah pasien Rumah Sakit Jiwa Surai Asa semakin berkurang. Banyak pasien yang m... More

SILAM
Prolog
Chapter 1 - Sebuah Janji
Chapter 2 - Tumbang Satu
Chapter 3 - Menjadi Dekat
Chapter 4 - Terusik
Chapter 5 - Sebuah Pesan

Chapter 6 - Tak Terduga

14 3 1
By tanindamey


Pagi ini benar-benar cerah. Bertepatan dengan kegiatan Rumah Sakit Jiwa Surai Asa yang baru saja melakukan senam pagi. Saat ini semua pasien diberikan jam bebas di luar ruangan untuk berkomunikasi dengan perawat. Saka baru saja melangkahkan kakinya di halaman rumah sakit. Ia duduk di kursi putih. Memendarkan tatapnya. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering.

"Halo!" ucap Saka. "Sudah ketemu keberadaannya?"

Tatap Saka menerawang ke depan. Hingga ia menemukan Anaya yang berbicara dengan salah satu pasien. Perempuan itu seperti menjelaskan sesuatu. Sepanjang biacaranya perempuan itu terus tersenyum.

"Terima kasih, hubungi saya lagi nanti." Saka mengakhiri pembicaraan di ponselnya. Matanya masih tertuju pada Anaya. Perempuan yang akhir-akhir ini banyak berkomunikasi dengannya. Saka tidak pernah memperhatikan Anaya selama ini. Yang ia tahu Anaya adalah salah satu dokter yang memiliki kinerja cukup baik.

Anaya begitu fokus berbicara dengan pasiennya. Pandangan Saka bergeser pada salah satu pasien laki-laki di belakang Anaya. Ia melemparkan batu pada genangan air. Laki-laki itu tampak senang karena cipratan air yang dihasilkan karena lemparan batunya. Hingga batu itu ia lemparkan ke beberapa perawat yang sedang berbicara dengan pasien yang lain.

Saka hanya melihat saja karena merasa masih cukup terkendali. Namun, tubuh Saka mulai menegak ketika pasien laki-laki itu mulai mengambi batu yang cukup besar dan ia seperti mencari target untuk di lempar. Pasien itu tertawa sambil menatap Anaya. Jarak Saka dan Anaya luamyan jauh. Baru saja Saka bangkit dari duduknya, sudah ada sosok Gian yang menghentikan aksi pasien laki-laki itu. Saka menghentikan gerakannya dan menghela napas lega.

Anaya menoleh dan cukup terkejut. Pasien laki-laki itu memberontak karena tidak terima. Beberapa perawat kemudian datang untuk mengamankannya. Saka melihat Anaya kini sedang berbicara dengan Gian. Entah membicarakan apa, mereka malah duduk berdua. Saka kembali duduk di posisi semula.

"Saya boleh duduk di sini, Dok?" tanya seseorang yang mengenakan baju pasien.

"Vla, duduklah!" Saka tersenyum.

"Terima kasih."

Saka memperhatikan pasiennya. Ia menjadi salah satu dokter yang bertanggung jawab atas Stevlanka. Saka sering berbicara dengannya. Ia sudah menganggap seperti adiknya sendiri. Saka melihat tangan Stevlanka. Masih ada beberapa goresan luka di sana.

Saka meraih tangan Stevlanka. Ia tersenyum pada gadis itu ketika ia menoleh. "Ketika goresan-goresan luka di tangan kamu ini menghilang, itu tandanya kamu sudah bisa menguasai diri kamu tanpa menyakiti diri kamu."

"Masih ada lukanya, Dok, saya masih berusaha," jawab Stevlanka.

"Iya, itu harus."

"Entah kapan saya bisa keluar dari sini." Stevlanka menunduk.

"Jangan pernah merasa buruk karena berada di sini. Di sini kamu untuk sembuh, kan?" Saka kembali berbicara ketika Stevlanka menoleh. "Kamu bisa melalui semuanya ketika kamu bisa menerima diri kamu."

Stevlanka tersenyum.

"Dok, boleh saya memberi tahu satu hal?"

"Apa?"

"Selamatkan Dokter Anaya."

***

Anaya sedari tadi tidak berhenti tertawa karena ulah pasiennya. Ia sedang duduk dengan pasien laki-laki yang sudah berumur. Mungkin sudah seumuran kakeknya. Rambutnya yang sudah memutih. Pasien itu benar-benar antusias bercerita.

"Pak, Bapak sepertinya benar-benar disayang sama cucu cucu Bapak." Anaya mengatakannya sambil tersenyum.

"Iya, kami selalu bercerita banyak hal. Dulu semuanya terasa begitu sempurna. Setelah istri saya meninggalkan saya, dunia saya juga terasa hilang. Saya tidak mempunyai arah, tidak bisa mengontrol diri, dan berakhir di sini." Tatapan psien itu kini berubah sendu.

"Hidup memang penuh dengan kejutan, ya, Pak?" Anaya yang duduk di kursi panjang itu menyandarkan punggungnya, menatap ke depan. "Semua yang terasa indah tiba-tiba menjadi sesuatu yang mengerikan."

Pasien itu kini mentap Anaya. "Dokter juga memiliki pengalaman seperti itu?"

Anaya tertawa. "Tentu saja. Saya juga manusia biasa, Pak."

"Semuanya terlihat baik-baik saja."

"Karena hidup adalah tentang memilih. Memilih untuk terus larut dalam ketidakberdayaan atau bangkit dan memulai hidup yang baru." Anaya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Semua orang mampu melakukan apa yang saya lakulakan. Termasuk Bapak."

"Tidak ada yang berbicara semenenangkan ini dengan saya, Dok."

Anaya menunggu kalimat selanjutnya yang ingin diucapkan oleh pasien.

"Semua orang terlalu meremehkan manusia tua seperti saya. Saya dianggap orang yang paling menyusahkan. Itu yang saya rasakan. Saya seperti tidak terlihat."

"Itu tidak benar, Pak. Kita semua adalah orang yang berharga."

"Anaya!" Suara laki-laki yang tiba-tiba muncul di belakang Anaya sambil menahan pasien yang membawa batu cukup besar. Anaya berbalik, ia melihat Gian dengan wajah paniknya.

Tubuh Anaya terpaku. Ia hanya menatap pasien yang membawa batu itu. Perasaan aneh itu kembali muncul. Gelisah dan rasa sakit yang menyerang tiba-tiba. Anaya seperti tenggelam pada hampa yang membawanya jauh.

"Dok," pasien yang berbicara dengan Anaya tadi sedikit menarik tubuh Anaya. Anaya mulai tersadar dan mengendalikan dirinya. Ternyata pasien yang membawa batu itu sudah diamankan oleh perawat. Anaya juga tersenyum pada pasien paruh baya tadi.

"Kamu tidak apa-apa, Anaya?" tanya Gian.

Anaya menggeleng. "Terima kasih, Dok."

"Lain kali lebih hati-hati." Gian mengingatkan. "Kita tidak tahu bagaimana perubahan mood mereka."

Anaya duduk sambil menyunggar rambutnya. Gian juga ikut duduk di sampingnya. Anaya menoleh, ternyata Gian sedang menatapnya.

"Saya baik-baik saja, Dok." Anaya tertawa.

Gian mengangguk.

"Lalu?" tanya Anaya kerena Gian terus meneliti wajahnya.

"Tidak." Gian mengalihkan pandangannya. "Saya duluan, Dokter Anaya. Ada yang harus saya urus."

"Iya, Dok. Silakan. Sekali lagi terima kasih."

Itu menjadi percakapan terakhir mereka. Anaya kembali berpikir. Apa pun yang dikatakan oleh Gian adalah mencurigakan baginya. Jadi, Anaya mengikuti langkah Gian. Ternyata laki-laki itu menuju ke ruang kerjanya.

Oke, mungkin Anaya terlalu berpikir negatif. Tetapi masih ada hal yang belum ia cari tahu kebenarannya tentang Gian. Gudang itu. Anaya masih belum mengetahui mengapa Gian masuk ke dalam gudang itu. Dan saat ini, Anaya berniat akan mencari tahu gudang itu. Ia tidak bisa menundanya lagi.

"Anaya."

"Ana, jangan ganggu aku dulu."

"Kamu mau masuk gudang itu lagi?"

"Iya."

"Memangnya kamu bisa masuk kalau tidak punya kuncinya?"

Anaya menghentikan langkahnya untuk menatap Ana. "Ana, kamu bisa bawa aku masuk ke dalam?"

Ana menggeleng lemah.

"Oke, kalau gitu biarin aku masuk sendiri."

Anaya sudah tidak menghiraukan Ana. Ia tetap melangkah hingga ia berada di depan gudang. Anaya mengerutkan keningnya ketika melihat gembok yang tergantung itu sudah terbuka.

Apa ada yang baru saja masuk?

Anaya menoleh di sekelilingnya. Lalu, ia mencoba membuka pintu itu dan masuk ke dalam. Hal yang pertama kali Anaya lihat adalah keadaan gudang seperti pada umumnya. Banyak alat-alat rumah sakit yang tidak terpakai. Anaya meneliti dari sudut ruangan ke sudut ruangan yang lainnya.

Beberapa peralatan yang Anaya pegang meninggalkan sisa-sisa debu di tangannya. Anaya bergeser pada sisi yang lain. Ia menemukan satu pintu. Rasa ingin tahunya yang besar membuatnya ia membuka pintu itu. Anaya berhasil membukanya. Ia masuk ke ruangan itu. Gelap, benar-benar gelap. Sampai Anaya mengeluarkan ponselnya untuk menambah cahaya.

Hanyalah ruang kosong yang Anaya lihat. Deritan suara pintu yang menutup tiba-tiba membuat Anaya menoleh. Pintu itu menutup. Anaya menggelengkan kepalanya, berlari ke arah pintu. Namun, langkah Anaya terhenti karena suara langkah sepatu yang berada di belakangnya. Ponselnya ia cengkram kuat. Nyali Anaya ciut untuk hanya sekadar menoleh ke belakang.

Suara langkah sepatu itu kembali terdengar satu langkah hingga lima langkah. Kemudian, tidak lagi terdengar. Dan Anaya mencoba memutar badannya. Anaya bisa melihat dia adalah sosok laki-laki yang memakai jas dokter sama seperti yang Anaya kenakan. Tangan Anaya yang memegang ponsel itu terangkat hingga memunculkan cahaya pada sosok di depannya.

Anaya memundurkan langkahnya ketika melihat siapa yang ada di depannya itu. Laki-laki yang akhir-akhir ini sering berkomunikasi dengannya. Memecahkan teka-teki bersamanya. Dan saat ini Anaya melihatnya berada di rungan ini. Berdiri di tengah ruangan dengan tatapannya yang mengerikan.

"Saka," gumam Anaya.

Saka kembali melangkah mendekati Anaya. Kini, laki-laki itu berada di depannya. Anaya menatapnya benci. Matanya mulai berair. Kemudian, Anaya berucap, "berengsek!"

*** 

Terima kasih sudah membaca.

Tanindamey
Senin, 15 April 2024

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 17.3K 3
*Wattys 2018 Winner / Hidden Gems* CREATE YOUR OWN MR. RIGHT Weeks before Valentine's, seventeen-year-old Kate Lapuz goes through her first ever br...
9.9M 500K 199
In the future, everyone who's bitten by a zombie turns into one... until Diane doesn't. Seven days later, she's facing consequences she never imagine...
117K 12.2K 32
Athulya Singhania has spent her entire life in solitude, yearning for the love of a family. Over the years, she mastered the art of concealing her em...
66.3K 1.6K 10
مافيا - حب - قسوه - غيره renad231_5 مرت سنه والقلب ذابحهه الهجر ومرت سنه والهجر عيا يستحي الروايه موجوده في انستا : renad2315