SILAM

Oleh tanindamey

90 21 1

Anaya menyadari semakin hari jumlah pasien Rumah Sakit Jiwa Surai Asa semakin berkurang. Banyak pasien yang m... Lebih Banyak

SILAM
Prolog
Chapter 1 - Sebuah Janji
Chapter 2 - Tumbang Satu
Chapter 3 - Menjadi Dekat
Chapter 4 - Terusik
Chapter 6 - Tak Terduga

Chapter 5 - Sebuah Pesan

8 3 0
Oleh tanindamey

Anaya percaya radar kepekaan laki-laki begitu minim. Sesuai pengalamannya sendiri, begitu juga cerita dari teman-temannya. Biasanya laki-laki akan sadar ketika perempuan menyatakannya secara gamblang ketika ada hal yang salah. Namun, sepertinya Saka berbeda.

"Ada apa? Kamu tidak enak badan?"

Gila, ya? Bener-bener peka banget ini orang. "Sedikit."

"Telat makan?"

"Sepertinya."

"Di kursi belakang itu ada paperbag, isinya ada air mineral dan roti, mungkin bisa mengganjal perut."

Anaya menoleh ke belakang, dan memang benar di sana ada paperbag. "Dokter sengaja membawanya?"

"Iya, saya tahu kamu pasti menunda makan. Kita di perjalanan jauh, jadi saya sengaja membawa itu."

"Wah!" Anaya berseru kagum. "Ternyata care juga."

"Karena kita partner. Dari pada menyusahkan saya."

Senyum lebar Anaya perlahan berubah masam. Ia tidak menanggapi, tangannya meraih paperbag yang ada di kursi belakang. "Wah, cromboloni cake?"

"Tidak suka?"

"Suka."

"Saya tanya roti apa yang best seller, katanya itu, yaudah saya pilih itu saja."

Anaya mengambil rasa stroberi. Membuka bungkus roti itu, sebelum ia melahapnya ia menatap Saka. Ia angsurkan pada Saka. "Dokter mau?"

Saka menoleh melihat Anaya, kemudian beralih pada roti. "Kamu makan saja."

"Coba dulu, Dok. Ini enak sekali."

"Tidak, kamu saja."

"Ayo sedikit saja. Saya makan, dokter juga makan, jadi saya tidak merasa makan sendirian."

Saka menghela napasnya. "Baiklah." Laki-laki itu sedikit memiringkan kepalanya untuk memakan roti yang ada di tangan Anaya. Perempuan itu tersenyum senang, hingga keadaan berubah menjadi kacau. Ada Ana yang datang tiba-tiba sambil berseru ramai sekali yang membuat Anaya tersentak. Sehingga selai stoberi yang ada di roti itu berantakan di mulut Saka.

Anaya melotot melihat mulut Saka yang belebotan itu. "Astaga, Dok. Aduh, maaf, ya Dok." Anaya menarik tisu dengan cepat, lalu ia usapkan ke mulut Saka tanpa persetujuan laki-laki itu.

"Tidak usah, Anaya. Saya bisa sendiri." Saka berusaha mengentikan tangan Anaya yang masih panik membersihkan. Jadi, Saka memegang tangan Anaya. Barulah Anaya menghentikan gerakannya.

"Ciee, dari suap-suapan menjadi pegang-pengangan." Ana Tertawa.

Anaya menjauhkan tangannya. "Maaf, ya, Dok."

"Kalau mau jahil nanti saja, ya. Saya sedang mengemudi."

Anaya terdiam. Anaya memilih diam selama perjalanan yang tersisa. Roti menggiurkan itu tidak jadi ia makan. Ana yang selalu mengoceh entah apa saja yang diucapkan itu. Anaya takut akan terpancing dan membuat Saka semakin ilfil dengan sikapnya, jadi ia memilih untuk diam.

Setelah tiga puluh menit lebih dari rumah Bu Arianti, saat ini mereka telah sampai di tempat kerja suami Bu Arianti. Sebuah proyek pembangunan dapat Anaya lihat. Langit cerah tadi sore telah berganti dengan kegelapan dengan lampu-lampunya. Saka berjalan di depan, Anaya mengikutinya.

Setelah sampai di pos satpam, Saka bertanya pada salah satu penjaga. "Permisi, Pak."

"Iya?" Bapak penjaga itu meneliti Saka dan Anaya.

"Saya sedang mencari Pak Zaki ada, Pak?"

"Pak Zaki siapa, ya? Banyak yang bernama Zaki."

"Saki Setiawan."

"Oh itu, dia sudah lama dipecat. Satu tahun yang lalu."

"Oh begitu. Bapak tahu alamat tempat tinggalnya sekarang, Pak?"

"Saya nggak tahu, sih. Tapi denger-denger dia udah minggat." Bapak penjaga itu meraih ponselnya yang berdering. "Ada lagi yang bisa saya bantu, Mas?"

"Sudah, Pak. Terima kasih, ya. Mari." Saka menunduk untuk memberi salam, ia berbalik ke belakang, ternyata Anaya sudah masuk mobil terlebih dahulu.

Setelah masuk ke dalam mobil, Saka hanya melirik Anaya. Laki-laki itu bisa merasakan diamnya Anaya. Saka merasa suasana perasaan perempuan itu bukan menjadi urusannya. Jadi, Saka hanya diam saja sampai mereka tiba di tujuan terakhir mereka, yaitu rumah orang tua Bu Arianti.

Rumahnya tidak besar. Dari lampu-lampu yang menyala, seperti ada harapan jika rumah itu masih ada pemiliknya. "Sepertinya ada harapan, Dok," ucap Anaya.

Mereka mendekati teras rumah. Mengetuk pintu beberapa kali. Hingga, seseorang dari dalam membuka pintu. "Iya, sedang mencari siapa?"

"Permisi, Nek." Saka tersenyum. "Benar ini alamat wali dari Almarhumah Bu Arianti?"

Anaya melirik Saka yang berbicara dengan formal. Namun, ia lebih memperhatikan raut wajah nenek yang ada di depannya. Nenek tampak terkejut dan menjadi gugup. "Kalian siapa?"

Anaya cepat menyahut. "Wah, ternyata Nenek memang benar-benar cantik seperti yang diceritakan Bu Arianti."

"Kalian berkomunikasi dengan Anti?"

"Iya, Nek. Ada yang perlu kami sampaikan." Anaya kembali menjawab.

"Masuklah!" Nenek mempersilakan Saka dan Anaya masuk. Mereka duduk di ruang tamu. Kursinya terbuat dari kayu yang memiliki bau khas. Nenek masuk ke dalam. Anaya dan Saka sibuk mengamati rumah sederhana itu.

"Apa yang akan kamu sampaikan?" bisik Saka.

"Pesan Bu Arianti."

"Memangnya kamu pernah bicara?"

"Belum."

"Kamu gila?" Saka melotot. "Bagaimana kalau semakin curiga?"

"Tenang saja, Dok."

"Anaya, dengar—" Saka menghela napasnya ketika nenek keluar sambil membawa dua gelas minuman. Meletakkan minumannya di depan Anaya dan Saka.

"Terima kasih, Nek." Anaya tersenyum.

"Jadi, ada apa sebenarnya?"

"Bu Arianti sudah sembuh, Nek. Lama sekali. Bu Arianti begitu merindukan Nenek. Tapi tidak pernah ada kesempatan untuk bertemu, ya? Bu Arianti terlalu malu untuk bertatap muka." Anaya mulai berbicara. "Bu Arianti memang memiliki kesalahan yang tidak pernah bisa termaafkan, apa pun alasannya, ia tetap bersalah. Tetapi, orang yang bersalah juga bisa mendapatkan pengampunan, bukan? Bu Arianti tidak pernah merasakan ampunan itu. Bu Arianti menderita setelah kejadian menyakitkan dulu."

"Kamu siapa?" Nenek bertanya dengan suara bergetar, menahan tangisnya.

Anaya mendekati Nenek. Ia duduk berlutut di depan Nenek. Ia genggam tangannya dengan tulus. "Nenek tidak perlu takut. Saya bisa berkomunikasi dengan Bu Arianti."

Nenek menangis.

"Nek, selama di rumah sakit jiwa satu tahun terakhir, Bu Arianti sudah merasakan dirinya lebih baik. Kejiwaannya sudah membaik. Tapi, entah kenapa dia masih terkurung di sana. Bu Arianti menerima semuanya. Ia menganggap apa yang dialaminya adalah hukuman dari Tuhan."

"Bu Arianti selalu bertanya-tanya, jika Tuhan sudah memaafkannya, menyembuhkannya, kenapa orang-orang begitu jahat mengurungnya di sana?" Anaya meneteskan air matanya.

Nenek menghela napasnya. "Nenek tidak begitu, bilang pada Anti. Nenek selalu menunggu kepulangannya. Nenek merindukannya."

Anaya cukup terkejut.

"Suaminya itu penyebab kenapa Anti menderita di sana." Nenek menangis lagi.

Saka yang hanya terdiam menyaksikan segalanya cukup terkejut dengan ucapan Nenek. Saka tidak tahu kenapa Anaya bisa berbicara panjang dengan luwesnya. Namun, pembicaraan mereka masih berjalan dangan baik, jadi Saka membiarkannya.

"Apa maksud Nenek?" Anaya bertanya.

"Zaki memaksa nenek untuk menandatangani surat perjanjian entah apa. Dia bilang Anti semakin memburuk dan menggila. Zaki tidak pernah mengizinkan nenek untuk menjenguk. Nenek merasa memang ada yang aneh, tapi nenek bisa apa?" Nenek menghela napas berat. "Setelah mendengar cerita kamu, nenek semakin percaya kalau Zaki memang sudah merencanakan semuanya. Dia membuat Anti menderita di rumah sakit jiwa."

Anaya menoleh pada Saka setelah mendengar cerita Nenek. Kemudian, saka bersuara, "kami bisa bantu nenek untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Di mana Pak Zaki, Nek?"

"Dia minggat dari sini sejak Anti dikabarkan meninggal, dia membawa banyak uang."

"Kira-kira ke mana, Nek? Nenek tidak tahu?" Saka berbicara lagi.

"Nenek tidak tahu, tapi dia sering ke kota untuk minum-minuman di tempat apa itu?"

"Kami akan bantu nenek." Anaya mengusap tangan yang telah keriput itu. "Bu Arianti tidak pernah meninggalkan nenek, Bu Arianti akan selalu ada di sini." Anaya mengangkat angannya hingga berada di dada nenek. Kemudian, Anaya memeluk nenek hingga tangis nenek semakin pecah. Anaya hanya mengusap punggungnya yang terlihat rapuh. Namun, Anaya bisa tersenyum karena ia bisa melihat sosok Bu Arianti berada di sudut ruangan.

"Anaya, energiku sudah habis untuk memanggil Bu Arianti datang ke sini," ucap Ana yang berada di belakang Anaya.

"Nenek bisa istirahat, kami izin pamit, ya?" Anaya menguraikan pelukannya.

"Terima kasih sudah datang ke sini." Nenek tersenyum meskipun matanya masih basah. "Siapa namamu?"

"Anaya, Nek."

"Dan suamimu?"

Mulut Anaya menganga, kemudian ia berucap, "Dia tidak suami saya, Nek. Dia Saka, teman saya."

"Astaga, maaf, nenek kira kalian pasangan." Nenek tertawa kecil.

***

Saka masih belum berbicara setelah keluar dari rumah nenek. Bahkan mereka masih diam selama di perjalanan. Saka sesekali menoleh ke Anaya yang terlihat tampak lemas. Saka beberapa kali melihat Anaya menghela napas berat sambil memijat pelipisnya. Ketika mobil mereka keluar dari pedesaan, Saka berniat untuk mampir di restoran untuk makan malam. Anaya menyadari.

"Kita makan dulu, Dok?" tanya Anaya sambil menegakkan tubuh.

"Iya."

Mereka mencari tempat duduk dan memesan makanan. Ketika pelayan sudah masuk ke dalam sambil membawa daftar pesanan, mereka kembali saling diam. Anaya mengerti, pasti begitu banyak pertanyaan yang ada di kepala Saka. Tentang diriya yang berbicara panjang dengan nenek.

"Apa itu tadi, Anaya?" Saka bertanya pada akhirnya.

Anaya mendongak. "Apa, Dok?"

"Saya tahu kamu tahu makasud saya?" ucap Saka bersungguh-sungguh. "Kamu tadi hanya bersandiwara?"

Anaya diam.

"Kamu bisa bersandiwara selihai tadi?"

"Saya memang menyampaikan pesan Bu Arianti, Dok."

Saka tampak kehilangan kata-kata. "Tapi, kamu bilang tidak pernah berbicara dengan Bu Arianti?"

Haruskah aku bilang?

"Anaya?"

Anaya memajukan tubuhnya. Tanngannya meminta untuk Saka mendekat. Laki-laki itu melakukannya. Kemudian, Anaya berbisik, "kekuatan super."

Saka menoleh, menatap mata Anaya. Mata mereka bertemu. Beberpa detik, tatap itu mengunci pergerakan mereka. Anaya tidak menyadari bahwa dirinya mengakui jika Saka begitu menarik. Kemudian, semunya berantakan karena saka mengangkat telunjuknya. Ia arahkan ke dahi Anaya, lalu mendorongnya menjauh.

"Tidak usah bercanda," ucapnya kesal.

Anaya tertawa saja. Tepat setelah itu, pelayan datang sambil membawa makanan. Fokus Anaya teralihkan. Ia menatap makanan yang baru saja disajikan dengan antusias.

"Selamat makan, Dokter Aji Saka."

*** 

Terima kasih sudah membaca.

Tanindamey
Senin, 15 April 2024

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

6.5M 179K 55
⭐️ ᴛʜᴇ ᴍᴏꜱᴛ ʀᴇᴀᴅ ꜱᴛᴀʀ ᴡᴀʀꜱ ꜰᴀɴꜰɪᴄᴛɪᴏɴ ᴏɴ ᴡᴀᴛᴛᴘᴀᴅ ⭐️ ʜɪɢʜᴇꜱᴛ ʀᴀɴᴋɪɴɢꜱ ꜱᴏ ꜰᴀʀ: #1 ɪɴ ꜱᴛᴀʀ ᴡᴀʀꜱ (2017) #1 ɪɴ ᴋʏʟᴏ (2021) #1 IN KYLOREN (2015-2022) #13...
64.3K 1.6K 10
مافيا - حب - قسوه - غيره renad231_5 مرت سنه والقلب ذابحهه الهجر ومرت سنه والهجر عيا يستحي الروايه موجوده في انستا : renad2315
90.1M 2.9M 134
He was so close, his breath hit my lips. His eyes darted from my eyes to my lips. I stared intently, awaiting his next move. His lips fell near my ea...
9.9M 500K 199
In the future, everyone who's bitten by a zombie turns into one... until Diane doesn't. Seven days later, she's facing consequences she never imagine...