[2] LUNAR

By alyandraaa07

613 82 17

ESTRELLA 2 Semakin berkembangnya teknologi membuat peradaban di bumi makin maju. Begitu pula dengan bakat spe... More

Intro
1. Berliant High School
2. When we meet again
3. I see you
4. Being a stranger
5. Cryokinesis
6. Manipulation
7. A class
8. They look the same
9. Forbidden place
10. An ancient book
11. Underrated light
12. Feelings unleashed
13. Life after death
14. Favorite character
15. Mysterious death
16. Looking at the past
17. The next case
PROFIL [1]
PROFIL [2]
18. Nightmare
19. Repeating old moments
20. The hidden truth
22. People change
23. Test
24. I love you

21. Burning fire

19 5 0
By alyandraaa07



***

Arjuan berjalan tergesa menuju ruangan rawat inap yang ditujukan resepsionis. Ia bahkan lupa melepas headphone di lehernya yang sebelumnya digunakannya di dalam mobil bersama Jayendra.

Lupakan soal itu. Saat ini Arjuan bisa melihat dari kaca pintu, Azura duduk meringkuk di ranjang. Di punggung tangannya terpasang sebuah selang infus. Setelah diam beberapa saat, Arjuan pun membuka pintunya.

Azura tampak terkejut ada yang memasuki ruangannya. Gadis itu mendongak sambil mengusap kedua matanya. Ekspresinya semakin terkejut saat mengetahui siapa orang tersebut.

"Lo kenapa di sini?" tanya Azura saat Arjuan duduk di kursi sebelah ranjang.

"Harusnya gue yang nanya. Kenapa lo bisa di sini? Udah tahu alergi seafood, tapi masih nekat makan. Kalau sampai fatal gimana?" omel Arjuan.

Azura menarik napas panjang, dan kembali menopang dagunya di kedua lutut. "Lo nggak paham."

Giliran Arjuan yang menghela napas. "Apa sih, yang gue paham? Sampai-sampai lo sekarat nggak ngabari gue. Gue nggak sepenting itu ya, Ra?"

"Ju, lo mau marah sama gue, silakan. Semuanya juga udah marah sama gue. Ricky bahkan nggak bisa redain marahnya sedikit pun dari gue. Lo benci gue juga nggak papa, jangankan kalian yang orang lain, gue aja benci sama diri sendiri."

"Lo ngomong apa sih, Ra?"

"Gue benci kenapa harus gue yang hidup? Kenapa bukan mama? Kalau gue yang pergi, Ricky nggak bakal benci sama gue, papa, nenek, dan semua orang nggak bakal ada yang nyalahin gue. Jantung yang masih berdetak ini, gue nggak layak nerimanya."

Arjuan prihatin melihat Azura menangis seperti sekarang. Ia paham apa yang dirasakan gadis itu. Tanpa disadari, kini Arjuan sudah memeluk tubuh gadis itu. Ia tidak menanya atau mengatakan apa pun, biarlah Azura melampiaskan semuanya.

Setelah tangis Azura mereda, Arjuan melepaskan pelukannya. Kini ia kembali duduk dengan satu tangan menghapus jejak air mata di pipi Azura.

"Ayo, mau cerita apa, gue dengarin."

"Kemarin gue ketemu dokter pindahan, dulu dia di Jogja, dia juga yang nanganin mama sama gue waktu kecelakaan. Gue tanyain apa yang sebenarnya terjadi. Dia bilang, yang sebenarnya paling parah itu gue, bukan mama. Gue kritis dan hampir meninggal, tapi mama donorin jantungnya ke gue, dan gue selamat. Sebaliknya mama nukar nyawanya dengan nyawa gue. Akhirnya gue tahu alasan kenapa Ricky, Papa, sama keluarga mama benci banget sama gue. Gara-gara gue mama meninggal."

Beberapa kali Azura hampir menangis di sela-sela ceritanya. Namun, genggaman Arjuan di tangannya berhasil menguatkannya saat goyah. Sama seperti yang pernah Arjuan katakan, Azura sendiri juga merasa tempat ternyaman dan teraman adalah di sisi Arjuan.

"Selama ini gue nggak tahu apa-apa. Gue cuma bisa nyalahin diri sendiri kenapa nggak ikut Mama aja."

"Mulai sekarang, lo harus belajar buat nggak nyalahin diri sendiri," ujar Arjuan.

Azura menggeleng kukuh. "Gimana bisa? Mama pergi karena gue, itu fakta."

"Tapi hidup dan mati seseorang sudah ditentukan sebelum dia lahir, Ra. Lo lahir dari rahim seorang wanita yang baik, sayang sama lo, bahkan rela berkorban demi lo, itu sebuah keberuntungan yang patut lo syukuri. Sebaliknya, Mama lo beruntung telah melahirkan dua orang anak yang sangat beliau sayangi. Ada pun dia nyelametin lo, bukannya itu kemauannya sendiri? Gue yakin, dia bahagia dan nggak menyesal telah ngasih jantungnya ke lo. Justru dia bakal sedih melihat lo terus-terusan terpuruk dan nyalahin diri sendiri, seolah lo nyalahin pengorbanan mama lo."

Azura terdiam merenungi perkataan Arjuan. Ia menatap selang infus yang terpasang di punggung tangan kirinya. Ini adalah bagian dari rencananya demi mencari jawaban atas tragedi kecelakaan tiga tahun lalu. Tidak menduga bahwa Satya akan muncul dan memperlancar rencananya.

"Gue pernah di posisi lo. Bahkan sampai sekarang gue nggak tahu gimana kabar Papa, Kakak Perempuan gue, dan keluarga gue lainnya. Pengalaman kita sama, sama-sama dituduh membunuh Mama kandung sendiri," ujar Arjuan kali ini menarik perhatian Azura.

Azura selama ini hanya tahu Arjuan tidak diinginkan oleh keluarganya. Kemudian sejak kecil Arjuan telah ikut Jayendra dan ayahnya, bahkan sudah seperti Putra Bungsu keluarga Athariz. Namun, darah lebih kental dari air, ia tetaplah Putra Bungsu keluarga Ravindra.

"Sekarang giliran, lo cerita, gue dengarin," ujar Azura sembari tersenyum. Mood-nya menjadi lebih cerah setelah berbicara dengan Arjuan tadi.

Arjuan tertawa kecil saat melihat senyum manis Azura. "Oke, tapi ini bukan adu nasib, ya?"

Azura tertawa dan menggeleng lucu. "Nasib bukan ayam yang bisa diadu."

"Potensi gue udah muncul sejak masih kecil. Waktu usia lima tahun, dari tangan gue bisa keluar api. Hal itu cuma Mama yang tahu dan dia rahasiakan. Soalnya nenek kakek gue masih percaya takhayul, dan katanya gue disebut sebagai pembawa kesialan. Awalnya Papa sama Mama nggak percaya, tapi setelah kejadian itu...."

Arjuan terdiam dalam lamunannya. Ia masih mengingat jelas saat gudang di belakang rumahnya dibungkus oleh kobaran api. Bahkan hatinya terasa seperti tersayat pisau mendengarkan jeritan ibunya yang terbakar di dalamnya.

"Kejadian apa?"

Suara Azura berhasil memecahkan lamunan Arjuan. "Lo beneran mau dengar?"

Azura mengangguk mantap.

"Jangan menyesal, ya?"

Azura mengangguk lagi.

"Waktu itu siang hari, Kakak gue ngajak main di halaman belakang di dekat gudang penyimpanan barang bekas. Usia kakak waktu itu sepuluh tahun, beda lima tahun sama gue. Sebelumnya dia sama kek nenek sama kakek, benci sama gue. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba dia baik ngajak main gue. Gue ingat yang di rumah cuma Mama, Papa lagi keluar kota, dan semua pekerja pada ngambil cuti. Siapa sangka kakak cuma pura-pura, dia ngunciin gue di gudang."

"Kakak lo bisa sebenci itu?" tanya Azura dengan raut prihatin.

"Dia benci gue karena gue adiknya. Dia nggak pengen gue ada. Dia nggak mau perhatian Mama Papa kebagi. Ditambah doktrin dari nenek kakek kalo gue pembawa sial, dia jadi makin nggak suka," jawab Arjuan.

"Terus yang lo dikunci di gudang tadi gimana?"

"Gue nggak tahu harus gimana. Udah teriak manggil orang, tapi nggak ada yang dengar. Akhirnya gue cuma bisa nangis. Gue nangis lama banget, sampai nggak tahu gue pingsan atau gimana, tiba-tiba sekeliling gue udah ada api dan Mama meluk gue erat banget. Di situ gue antara sadar dengan enggak, kata-kata terakhir mama bilang, gue harus mematahkan takdir buruk dan jangan mudah terpengaruh orang lain. Setelah itu mama dorong gue keluar dari gudang dan mama terkurung di sana. Para tetangga udah hubungi damkar, tapi terlambat, mama udah nggak ketolong."

Suasana hening setelah Arjuan menyelesaikan ceritanya. Azura sendiri sampai dibuat tak bisa berkata-kata mengetahui betapa kelamnya masa kecil Arjuan. Tangan kecilnya meraih tangan Arjuan dan menggenggamnya. Saat pemuda itu memandangnya, ia mengulas sebuah senyum tipis.

"Mama lo benar, kita harus bisa mematahkan takdir buruk. Jangan mudah terpengaruh orang lain yang jelas-jelas tidak memahami siapa kita, dan apa yang udah kita alami. Hwaiting untuk kita!" seru Azura bersemangat, sangat berbeda dengannya di awal tadi.

Arjuan tersenyum berhasil membuat Azura tidak lagi bersedih. Ia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan kotak beludru merah berbentuk hati dari sana. Ia membuka kotak itu di depan Azura.

"Untuk lo."

Azura kebingungan menatap kalung berliontin bunga matahari di hadapannya. "Lah, bukannya buat Azalea?"

"Dia nggak mau. Buat lo aja," ujar Arjuan.

"Tapi ...."

Arjuan berdecak. Ia mengambil kalung tersebut dan memberikan kotaknya pada Azura. Arjuan lantas berdiri dan memasangkan kalung tersebut di leher Azura.

"Azalea bakal marah sama gue, Ju," ujar Azura.

"Dia 'kan nggak tahu, kenapa marah? Tapi kalo lo mau kasih tahu juga nggak papa. Terserah, pokoknya gue ngasih lo," balas Arjuan dengan ekspresi songongnya.

"Dasar."

***

"Saira mana?" tanya Jayendra saat menyadari teman-teman di kelasnya kurang. Untuk Azura dan Arjuan ia tidak perlu bertanya lagi, karena sudah tahu.

"Dia demam dari kemarin. Sekarang di asrama," jawab Abrian. "Bagiannya titip ke gue nggak papa, nanti gue anter ke asramanya."

"Nggak, gue mau antar sendiri sekalian jenguk. Kalian semua have fun, ya?" ujar Jayendra beranjak sembari menenteng beberapa bingkisan. Jika dilihat memang lebih banyak dari yang lain.

Jayendra berjalan sendirian menuju asrama kelas H. Cukup jauh, tapi pemuda itu terlihat bersemangat. Sampai di depan pintu yang diyakini sebagai bilik Saira, Jayendra mengetuknya perlahan. Tidak menunggu lama untuk sang empu membukakan pintu.

Saira muncul dari balik pintu dengan wajah kusut dan rambut berantakan. Gadis itu agak terkejut tatkala yang mendatanginya adalah Jayendra. Ia pikir Anggi atau Iqbal dan teman lainnya yang memaksanya untuk makan dan minum obat.

"Eh, ini oleh-oleh sama titipan dari mama lo," ujar Jayendra saat melihat Saira yang kebingungan. Mereka memang sangat jarang berkomunikasi, tidak mengherankan Saira terlihat canggung.

Saira melirik bawaan Jayendra, dan itu cukup banyak dan terlihat berat. "Ouh, taruh aja di dalam," sahutnya sembari membukakan pintu lebih lebar.

Jayendra mengangguk dan berjalan masuk. "Ini titipan lo yang pesan ke Arjuan," ucapnya sembari menunjuk sebuah bingkisan. Sebenarnya isinya tidak lebih dari jajanan. "Ini titipan mama lo," lanjut Jayendra menunjuk bingkisan yang lain.

Saira mengerut heran. "Mama? Kalian kok bisa ketemu?"

"Nggak sengaja. Gue ikut Papa gue ke Bina Nusantara dan nggak sengaja ketemu Mama lo. Tahu gue satu sekolahan sama lo, jadi dia titip ini," jawab Jayendra.

"Thanks, ya, maaf repotin," ujar Saira.

Jayendra menggeleng. "Anytime." Sementara ia menunjukkan sebuah paper bag yang masih berada di tangannya, tidak diletakkan di meja seperti yang lain. Ia menyerahkannya pada Saira. "Gue nggak tahu ini bakal cocok sesuai selera lo atau enggak. Semoga berkenan."

Saira menerima paper bag tersebut sambil tertawa geli. "Apa ini? Baku amat bahasanya."

Jayendra terlihat gugup. "Gue nggak sengaja liat pas jalan-jalan sama Arjuan. Pengen beli tapi gue nggak ada saudara cewek. Gue perhatiin kayanya sesuai sama gaya lo biasanya, jadi gue putusin beli."

Saira menatap takjub dress, outer, dan sendal serba hitam. Bahkan di dalamnya Saira mendapatkan tas berwarna krim dari brand ternama. Meski Saira jarang berbelanja barang mahal karena dilarang orang tuanya, tapi ia tahu betul mana barang mahal dan barang biasa saja.

"Jay, ini, serius?" Saira masih tidak percaya.

"Iya, buat lo."

"Tapi ini mahal banget, Jay, gue nggak bisa nerima." Saira malah jadi panik sendiri. Ia kembali memasukkan semuanya ke dalam paper bag dan menyerahkannya pada Jayendra.

Namun, Jayendra menolak dan mendorong paper bag itu kembali ke Saira. "Udah dibeli juga. Nggak mungkin gue balikin, kan? Di gue juga nggak bakal berguna, masa mau gue pake?"

Saira menggeleng, ia masih syok. "Tapi gue ngerasa nggak enak sama lo."

Jayendra malah tertawa mendengar ucapan Saira. "Apanya yang nggak enak? Orang gue yang niat beliin, kok. Anggap aja gue abang lo, deh. Lo nggak punya abang, gue nggak punya adek cewek, jadi impas. Besoknya lagi jangan sungkan gitu sama gue. Ingat, anggap gue abang lo sendiri."

Saira mengeratkan genggamannya pada pegangan paper bag. Ia menatap Jayendra yang memandangnya dengan tulus. "Thank you," lirihnya.

"Gue dengar lo demam. Istirahat aja, ya? Makan yang banyak, obatnya juga jangan lupa diminum. Besok kalo udah sembuh, gue janji ajak jalan-jalan keluar," ujar Jayendra.

Saira tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya mengangguk. Perhatian Jayendra kali ini sudah cukup membuatnya syok.

"Oh iya, lo ada teman namanya Carina? Carina Kaylee Jenova?"

Pertanyaan Jayendra itu berhasil menarik perhatian Saira. Gadis itu tampak penasaran kenapa Jayendra tiba-tiba menanyainya hal tersebut. "Dari Bina Nusantara? Iya, ada. Teman sekelas waktu itu."

"Besok dia bergabung di sekolahan ini. Dia sama seperti Geisha, terlambat muncul potensinya. Untuk penempatan kelasnya gue belum tahu, tapi yang pasti dia nggak bakal di kelas A karena udah full. Lebih lengkapnya tanya sama Belva aja, dia ketua OSIS."

"Serius? Carina di sini?!"

Jayendra mengangguk. "Makanya, cepat sembuh. Mau ikut nyambut dia besok? Gue bisa atur."

***

"Lo dari mana aja?!"

Azalea tersentak saat baru saja masuk ke dalam kelas, Shaka sudah menyambutnya dengan pertanyaan. Apalagi pemuda itu tiba-tiba saja timbul dari balik pintu.

"Toilet. Ngapa?"

"Aduh, judes amat, Neng. Galau, ya?"

Azalea mengerling malas karena Shaka malah meledeknya. Ia sedang tidak mood sekarang. Daripada meladeni Shaka dan emosinya terbakar, lebih baik ia duduk di bangkunya.

Namun, bukannya menjadi tenang. Azalea malah makin kesal melihat bangku depan dan sampingnya kosong. Yup, tempat itu milik Jayendra dan Arjuan. Azalea tahu Jayendra berbohong padanya tentang Arjuan, tapi ia tidak tahu ke mana Arjuan sebenarnya pergi.

"Azalea, lo nggak mau ikut yang lain main di luar? Tuh yang lain pada duduk di depan kelas sambil foto-foto," ucap Haura yang kebetulan melintas di sisi tempat duduknya.

"Nggak. Kalian aja, gue di sini."

Haura yang agaknya cukup segan dengan Azalea itu, tidak berkata-kata lagi. Ia tersenyum ramah sebelum beranjak ke luar kelas.

Azalea melihat ke luar dan mendapati teman sekelasnya bercanda ria di depan kelas. Shaka, Kenzo, Satya, Hesa juga tergabung di sana. Ia menyadari setelah pindah ke Berliant High School, semuanya perlahan berubah. Ia merasa semakin jauh dan tidak mengenali teman-temannya sendiri.

Apalagi semenjak mengenal anak Bina Nusantara, Azalea sering dibuat kebingungan. Ia merasa ada yang janggal. Namun, setiap kali ia ingin bertanya, ia tidak tahu harus memulai dari mana.

'Hesa, Azalea teman gue. Lo nggak tahu rasanya teman yang paling dekat, dan paling ngertiin lo, tiba-tiba jadi asing. Lo nggak tahu gimana rasanya ngulang perkenalan yang sebelumnya udah pernah terjadi. Lo dan anak-anak Tirta Pusaka itu nggak bakal tahu seberapa sakitnya perasaan itu.'

'Jelas-jelas lo tahu lo lagi bohong. Lo tahu, hal yang kalian lakuin ke Azalea tuh jahat banget! Gue nggak tahu apa rencana kalian nyembunyiin dari Azalea, tapi gue nggak bakal tinggal diam kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk.'

'Azalea, lo teman gue. Kita teman dekat di Bina Nusantara. Lo dulu sekolah di sana, Azalea. Iqbal, lo harus ingat dia. Raffa, kita butuh Raffa sekarang. Gue harus pulihin ingatan lo.'

"Iqbal? Raffa? Bina Nusantara? Gue dengan Saira? Teman dekat?"

Perkataan Saira malam itu sangat mengganggu pikiran Azalea. Dia terus terbayang dan teringat. Ia penasaran, tapi tak satu pun temannya yang berniat menjawabnya.

"Raffa?" Azalea memandang ke luar dan melihat pemilik nama itu asik menjahili Shaka yang sedang bercerita. "Sepertinya dia tahu sesuatu."



---tbc---

Spil dong karakter favoritnya siapa? Terus alasan suka sama dia kenapa? Hehehe.

Continue Reading

You'll Also Like

537K 22.8K 46
-TERBIT- Bagaimana perasaan lo ketika hidup lo di korbankan demi amanat yang udah di kasih oleh orang terkasih lo? Apakah lo akan melakukan amanat...
2.4M 129K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
75.7K 2.1K 19
Semua yang dirinya perlihatkan hanyalah kebohongan, kehidupannya tidak sebaik yang dirinya perlihatkan. BEBERAPA PART DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENU...
6.4M 272K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...