Memories [ Zalesing ]

By RennMCS_

15.9K 1.6K 184

Memori artinya kenangan. Sesuatu yang akan membekas dalam ingatan, sebuah cerita yang selamanya tidak akan te... More

CAST | Main character
⏳ 01 | Welcome back
⏳ 02 | Old dream
⏳ 03 | New friends
⏳ 04 | With Zayyan
⏳ 05 | With Zayyan (2)
⏳ 06 | Good job Oyin-na
⏳ 07 | Miss you
⏳ 08 | Grand Opening
⏳ 09 | A quarter past two
⏳ 10 | Alexa
⏳ 11 | Trusted partner
Special chapter : Sing's day🐰🎉
⏳ 12 | Before: Leo
⏳ 13 | Leo
⏳ 14 | Leo (2)
info new project 🎮

⏳ 15 | Leo (3)

714 67 25
By RennMCS_






⚠️ Disarankan untuk membaca ulang tiga chapter sebelumnya...






.

.

.




Leo membekap mulutnya, tangisnya pecah detik itu juga. Kaca mobil hancur menampilkan kondisi jalanan di sekitarnya. Tubuh mungilnya bergetar hebat mendengar teriakan menggelora di luar sana.

Mengerikan, menakutkan, semuanya terbakar.

Sementara, di dalam pemandangannya tidak jauh berbeda. Percikan api mengkilat, kaca hancur berserakan hingga benda tajam itu melukai wajahnya.

Namun, bukan itu yang menyebabkan tangan kecilnya penuh akan lumuran darah. Leo meringis, perih dan panas terasa teramat kuat. Kakinya robek terkena kaca.

"Ouyin, putra ku... "

Leo termenung, menatap lurus pada sosok yang terbaring tak berdaya dengan luka diperutnya. Mata itu membola, terkejut bukan main. Suaranya tercekat kian berubah menjadi jeritan histeris.

"Ibu..."

"IBUUU..."

"TIDAK!!"

Air mata mengalir deras. Tubuh mungil itu kembali bergetar. Kakinya tidak bisa bergerak, mati rasa. Leo merangkak dengan kaca yang masih tertancap dikakinya. Memeluk tubuh lemah sang ibu yang bersimbah darah.

Bunyi sirine membelah jalan. Seiringan dengan seruan parau dari petugas keamanan, orang-orang menyingkir memberikan jalan. Mobil polisi berdatangan diikuti beberapa ambulans dibelakang.

"Jangan menangis ouyin anak laki-laki ibu tidak boleh menangis."

Leo mendekap tubuh lemah itu seerat mungkin. Berusaha mencegah darah yang keluar. Namun, tidak mendengarkan jantungnya yang terpompa cepat, darah itu dengan begitu kejam mengalir deras membasahi tangannya. Wajahnya pucat. Dadanya berdegup kencang. Ingin menjerit tetapi suara tak lagi tersisa, hanya air mata yang terus mengalir diluar kendalinya.

"M-maaf..." Anak itu terisak, suaranya serak, hampir tak terdengar.

Dadanya bagai dihantam ombak, luar biasa sesak. Bernapas saja rasanya begitu sulit apalagi tuk bicara. Linangan air mata tak berhenti keluar. Kelu, bibir hanya bisa bergerak tanpa suara.

"Maafkan aku, maafkan aku, ibu, maafkan aku..."

Napasnya menderu kencang. Sesaat sebelum cahaya melesak masuk ketika pintu mobil dibuka dari luar. Sesaat sebelum tubuhnya diangkat oleh petugas keamanan. Mata itu bagai membeku, bahkan air mata yang terus mengalir sejak tadi terhenti sejenak. Senyum hangat terlukis diwajah sayu ibunya.

Leo ingin melompat turun, memeluk sosok itu erat-erat tetapi tubuhnya tidak mengikuti keinginannya. Ia justru bersandar lemah pada petugas yang menggendongnya dengan deraian air mata dan tangisan tanpa suara. Kepalanya berputar, mual, pusing. Ia tidak sanggup lagi, matanya terasa berat. Pemandangan diluar sama mengenaskan. Dua mobil terbalik, beberapa diantaranya rusak parah dan mengeluarkan percikan api.

Suara sirene terdengar memekakkan telinga. Kepul asap melambung ke udara. Orang-orang berkerumun untuk menonton. Petugas tampak mulai berkerja, mengangkat para penumpang yang sudah lemah tak berdaya, beberapa tergeletak di tepi jalan dengan lebam dan kepala terluka.

Sementara, para petugas kesehatan berlari menghampirinya, Leo hanya diam memperhatikan. Menatap nanar area sekitar, hingga sebuah memori mengenaskan terputar memenuhi kepalanya. Memori itu melintas bagaikan rekaman film yang memuat rangkaian peristiwa mengerikan di dalamnya.

Mengapa semua ini terjadi? Mengapa? Sungguh, ia masih ingat dengan jelas. Beberapa menit yang lalu ia masih merengek pada ibunya.

Ingatannya mengulir lebih jauh. Berhenti tepat ketika momen saat ia baru saja pulang sekolah sore ini. Disana ia melihat ibunya menunggu didepan gerbang seperti biasa. Ya, seperti biasa. Ia memang selalu dijemput hanya oleh sang ibu tetapi, hari itu terasa berbeda. Perasaan kecewa terbesit menyelimuti dirinya. Leo berjalan lesu. Berdiam diri sepanjang perjalanan hingga ibunya heran dan bertanya.

"Ada apa ouyin?"

Leo menunduk, menggeleng pelan. Sekilas ia sempat memandang singkat pada sang ibu yang tengah menyetir. Suara wanita itu terdengar serak. Bahkan sesekali Leo bisa mendengarnya terbatuk.

"Hari ini ulang tahun Ouyin."

Lenggang sejenak.

"Ayah tidak pulang?"

"Hm... Ayah ya? Maafkan ibu, sayang. Siang tadi ayah mengabari masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan jadi ayah belum bisa datang. Tolong bersabar sebentar ya, tiga hari lagi ayah akan pulang. Kita akan merayakan ulang tahun Ouyin saat ayah pulang nanti."

"Tiga hari? Tapi tiga hari lagi sudah bukan hari ulang tahun Ouyin."

Sang ibu berusaha tersenyum, fokusnya tidak teralih dari jalanan di depan sana. Sejak tadi wanita cantik itu terus menahan sakit dikepala nya, berusaha mempertahankan pandangan yang semakin lama semakin memburam.

"Ibu, sebenarnya ayah sayang tidak pada Ouyin?"

"Apa maksudmu sayang? Tentu saja ayah sangat sayang pada Ouyin."

"Kalau ayah memang sayang kenapa sampai sesulit itu hanya untuk meluangkan waktu satu hari? Padahal ini hari istimewa." Kilatan sedih memancar, matanya berkaca-kaca.

"Teman-teman selalu dijemput oleh kedua orangtuanya, ayah mereka juga sibuk tapi tetap bisa menjemput setiap hari. Hari ini Wain dijemput ayah dan ibunya padahal dia tidak berulang tahun lalu kenapa Ouyin yang berulang tahun malah hanya dijemput oleh ibu? Tahun lalu juga begitu, sekarang juga begitu, ibu kan sudah berjanji akan datang bersama ayah." Diam sejenak, Leo tampak mulai terisak membuat ibunya lantas khawatir.

"Kalau tidak bisa menepati lebih baik jangan berjanji."

Usai mengatakan itu, Leo menangis. Tangisan pertama dihari istimewanya.

"Kenapa ayah selalu jahat pada Ouyin? Memangnya Ouyin tidak punya hati? Ouyin juga bisa sedih bu, Ouyin sudah bercerita pada semua teman-teman. Memamerkannya, bilang hari ini Ouyin akan dijemput oleh ayah dan ibu. Ouyin menunggu sepanjang hari. Ibu tidak tau betapa senangnya Ouyin ketika bel pulang berbunyi karna berpikir ayah akan datang. Ouyin yang pertama berlari keluar bahkan ketika bu guru masih di dalam, Ouyin juga mengajak teman-teman, mereka terlihat sangat antusias sama seperti Ouyin, tapi apa yang terjadi? sesampainya digerbang Ouyin hanya melihat ibu, hanya ibu seorang."

Leo menaikan kedua kakinya, memeluk lutut dan menenggelamkan wajahnya disana.

"Ibu tidak mengerti perasaanku. Tidak hanya Ouyin bu, teman-teman ada di sana. Ouyin sudah berkata dengan bangga pada mereka, ayah ku akan datang, Ouyin mengatakan itu, lalu sekarang apa yang harus Ouyin katakan saat mereka bertanya dimana ayah?"

Leo menghirup udara kuat-kuat, mencoba meredam tangisannya. Dadanya sesak, tidak sanggup bicara lagi.

Keheningan melanda, menyisakan Isakan dan air mata yang terus diusak setiap kali butirannya menetes. Ibu Leo terdiam seribu bahasa, menatap sendu pada kaca mobil yang memperlihatkan putra semata wayangnya menangis dibelakang sana. Hati nya terasa sakit menyaksikan tangisan menyakitkan itu, kepalanya pening.



Sebelumnya...



"Teman-teman! Hei teman-teman, dengarkan, aku punya berita bagus."

"Huh, apalagi kali ini, Leo? Pagi-pagi sudah membuat keributan. Setidaknya simpan dulu tas mu sebelum mengumpulkan kami semua."

"Hehe.. begini, kalian bilang penasaran dengan ayah ku kan? Nah, aku punya kabar baik. Hari ini ayah akan datang. Ayah dan ibu akan menjemput ku bersama untuk pertama kalinya. Kalian pasti penasaran kan? Tenang saja, kalian bisa melihatnya nanti sore, ayah ku laki-laki yang sangat keren, dia selalu memakai jas dimana-mana, hahaha..."

"Benarkah ayah mu akan datang?"

"Tentu saja! Ibu yang bilang. Aku tidak berbohong."

"Oh, baiklah, mari kita lihat sekeren apa ayah mu yang selalu kau puji-puji itu."

"Oke saja!"

Leo tersenyum amat lebar, pagi ini anak itu benar-benar tampak sumringah dan bersemangat.

"Ah senangnya~"  ia terus bersenandung. Mengeluarkan beberapa buku dari tasnya sembari terus menggoyangkan kepala bahagia.

"Kau benar-benar senang sekali ya?"

"Tentu saja. Wain juga tidak sabar kan? Aku sih lebih dari itu, aku SENANG SEKALI," teriak Leo diakhir kalimat.

"Sttt, jangan teriak."

"Hehe, maaf." Ia menyengir.

"Habisnya aku senang sekali, akhirnya mimpi ku akan terwujud. Selama ini aku hanya bisa iri melihat kedekatan mu dengan ayah mu, kalian bercanda, tertawa, bercerita dan bahkan bergandengan, terlihat sangat mengasikan. Ayah tidak pernah begitu padaku, karena itu aku selalu membayangkan, suatu hari ayah dan ibu akan menjemput ku di sekolah, ibu memeluk ku dan ayah mengandeng tanganku setelah itu aku akan menceritakan semua kegiatan menyenangkan yang kulalui di sekolah, kami bercanda dan tertawa. Kedengarannya menyenangkan bukan? Hari ini aku akan melakukannya, sekarang itu bukan hanya khayalan saja, aku akan mewujudkan nya hari ini juga! hihihi."

Wain ikut tertawa mengikuti Leo yang terkikik. "Syukurlah ya, Leo."

"Heum." Leo mengangguk mantap kemudian menarik ujung bibirnya jail.

"Lihat saja, kami akan lebih mesra dari pada kau dan ayahmu."

"Hei apa itu? Sekarang kau mengejek ku?"

"Hahaha, ouh.." Leo berjingkat. "Bel nya bunyi, waktunya pulang~"

"Itu bel pelajaran pertama, bodoh!"



Leo mengigit bibirnya, sekilas ingatan penuh antusias pagi itu kembali terlintas dibenaknya. Sore ini, detik ini, untuk pertama kalinya Leo benar-benar meluapkan isi hatinya. Semua yang berusaha ia tahan. Perasaan yang baru pertama kali diungkapkan, Leo mencurahkan segalanya, hingga tanpa sadar ibunya ikut menangis dalam diam.

Tidak pernah terbayang oleh wanita cantik itu, anak yang selalu ceria seperti Leo, putranya, memendam rasa sakit yang tidak pernah diketahui oleh siapapun. Hatinya teriris, sebagai seorang ibu, ia merasa gagal. Bagaimana bisa putra manisnya itu merasakan kesedihan yang begitu dalam sementara ia yang merupakan ibunya sama sekali tidak tau? Bagiamana bisa ia yang selalu berada disisi anak itu sama sekali tidak menyadari rasa sakitnya?

Bagaimana bisa anak sekecil itu memendam semuanya sendirian?

"Ayah tidak sayang Ouyin kan?"

Leo beranjak dari duduknya, berjalan mendekati sang ibu. Menanyakan segala pertanyaan yang selalu tertahan di kepalanya.

"Ayah hanya sayang ibu. Ayah tidak pernah peduli pada Ouyin."

"Ibu, kenapa ayah begitu? Memangnya Ouyin nakal?"

"Ayah tidak sayang Ouyin kan? benar kan?"

"Apa Ouyin menggangu? Karena itu ayah marah pada Ouyin?"

"Ayah tidak suka Ouyin lahir sebagai anak ibu, benar begitu? Lalu kenapa Ouyin dilahirkan kalau ayah tidak suka?"

"Apa Ouyin pernah memintanya? Kenapa ayah terus bersikap seolah itu adalah sebuah kesalahan dan mengapa Ouyin yang disalahkan?"

"Ibu, ibu jangan menangis, katakan sesuatu. Kalau ibu diam seperti ini Ouyin akan berpikir bahwa semua itu benar."

"Ibu, katakan sesuatu. Jawab aku, ibu, jawab aku!"

Leo terdiam sejenak, masih terisak. Tangannya bergerak meraih setir, membuat wanita cantik itu seketika terkejut.

"Apa yang kau lakukan Ouyin?" Teriak ibunya panik. Saat itu juga terjadi keributan didalam mobil. Leo tetap tidak mau melepas pegangannya apapun yang ibunya katakan.

"Lepaskan, Ouyin!"

"Tidak mau, kenapa ibu tidak menjawab pertanyaan ku?"

"Ouyin!"

"Katakan ibu, sebenarnya Ouyin salah apa? Kenapa ayah jahat sekali?"

"Ouyin, kumohon dengarkan ibu!"

"Ibu..."

"OOUYIN!!"





Deg!






Saat itu...





Semuanya terjadi...






Sebuah peristiwa...





Peristiwa yang membawa Leo pada skenario kehidupan. Peristiwa yang mendatangkan penyesalan teramat dalam, dan tanpa disadari kemarahan mulai membuncah, mengikatnya dalam cakrawala rindu diantara jurang kebencian.

Mobil bergerak tak tentu arah, rem dipijak secara paksa. Suara mendecit membuat ngilu dada. Percikan api menyembur dari rodanya. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, mobil yang mereka tumpangi membanting setir dan berakhir menghantam pembatas jalan. Tersentak, tidak mampu menahan keseimbangan Leo terpelanting kebelakang. Enam mobil dibelakang saling bertabrakan, terbanting dan terguling, keluar dari jalurnya.

Sepersekian detik, lampu mobil padam. Asap mengepul berserta kobaran api disekelilingnya. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa tragis itu berseru-seru panik, berteriak ngeri.

Hujan gerimis membungkus kota. Leo tersengal, terbaring di atas brankar. Wajahnya pucat. Ia baru saja melewati kengerian yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Ibu...." Anak itu merintih. "Ibu...."

Tatapannya kosong menatap ke atas langit. Gerimis mulai menderas, seolah ikut menangis bersamanya. Hari itu, 15 juni, tepat di hari ulang tahun yang begitu ia tunggu-tunggu, Leo kehilangan seseorang yang paling berharga dihidupnya.



••••



Tiga hari telah berlalu sejak insiden kecelakaan beruntun itu terjadi. Ibunya meninggal, ayahnya pulang dan pemakaman dilaksanakan pagi hari usai jasadnya diantar ke mansion. Leo hanya diam sepanjang prosesi pemakaman. Dia hanya diam ketika melihat ayahnya menangis meringkuk di depan raga ibunya yang telah tak bernyawa.

Seingatnya itu adalah terakhir kali ia melihat kehadiran sang ayah. Karena setelah itu, lelaki dewasa itu pergi entah kemana. Saat kembali, Leo tidak masuk ke dalam. Ia berhenti di depan pintu. Berdiri, dibantu tongkat sebagai penyangga kakinya yang terluka. Leo menunggu kepulangan ayahnya di sana.

Hari mulai malam. Namun, sosok yang ditunggu belum juga datang. Leo tetap berada diposisinya, tidak bergeser sedikitpun. Berdiri dengan tatapan kosong diantara pintu besar yang setengah terbuka.

"Tuan muda, ini sudah malam. Sebaiknya anda segera masuk ke dalam. Saya akan memberitahu anda jika tuan besar sudah pulang."

Satu hari, dua hari, tiga hari. Leo terus menunggu. Anak itu berdiri di depan pintu sepanjang waktu dan ketika malam tiba ia akan kembali ke kamarnya.

Begitulah, kisah seorang anak berusia sebelas tahun yang baru saja kehilangan salah satu dari kedua orang tuanya. Anak yang menjadi bagian dari tragedi itu, anak yang seharusnya tengah mendapat pelukan hangat dan kalimat penenangan itu kini justru meringkuk sendirian di dalam kamar. Maniknya meredup, menatap kosong dinding dingin di hadapannya. Trauma. Anak itu menderita, ia terus memimpikan peristiwa naas sore itu setiap malam. Dalam hati ia masih berharap ayahnya akan datang dan menenangkan dirinya, tetapi nihil. Setiap kali Paman Hu datang untuk memastikan kondisinya, satu hal yang selalu Leo tanyakan. 'apakah ayah sudah datang?'

Tidak, dia tidak datang. Alih-alih pulang, menanyakan kabarnya saja ia rasa tidak. Hari ini pun Leo tidur sendirian bersama mimpi buruk yang merenggut kewarasan. Anak laki-laki yang dulu selalu tertawa ceria sekarang telah kehilangan keceriaannya.

Perih, luka di kakinya kembali kambuh karena berdiri sepanjang hari. Badannya panas, keringat dingin mengalir di setiap inci tubuhnya. Rambut hitam itu basah oleh keringat. Meringkuk, memeluk dirinya sendiri. Mata yang telah kehilangan binar nya itu memandang ke arah jendela yang terbuka. Tirai melayang menerima hembusan angin malam. Tubuhnya menggigil teramat hebat, nafasnya berderu.

Leo memandangi seluruh bintang yang tertangkap korneanya. Menelisik satu persatu cahaya terang itu.

"Ibu, ibu dimana? Ouyin kedinginan..."



••••



Hari ini Leo sudah kembali bersekolah. Diantar oleh paman Hu sebagai kepala pelayan. Ayahnya masih belum menemuinya. Murid-murid berkerumun, mendesak dan mendorong, menanyakan segala hal. Kericuhan menyambut hari pertamanya bersekolah setelah sekian lama.

Leo tidak merespon, ia tertatih menuju bangkunya. Anak itu tampak masih kesulitan berjalan tanpa alat bantu. Anak-anak semakin heboh. Mereka mulai membuat spekulasi sendiri dan bicara apa saja hingga sebuah celetukan terlontar menghentikan langkah Leo.

"Bukankah itu berarti dia yang membunuh ibunya?"

"Apa maksudmu? Kata ibuku Itu kecelakaan."

"Tapi kan kecelakaan itu terjadi karena Leo mengganggu ibunya berkendara."

"Aku dengar ibunya memang sedang sakit saat itu jadi menurut ku itu bukan salah Leo."

"Ya tetap saja lah. Kalau dia tidak menggangu mungkin saja ibunya tidak akan meninggal. Tapi, yah... Leo kan anak manja, dia memang suka merengek. Itulah akibat nya kalau dia terus dimanjakan, lihat sekarang dia membunuh ibunya."

"Berisik!" Teriak Wain marah. "Tidak kah kalian tau Leo sedang berduka?"

Wain berlari menghampiri Leo.

"Kau baik-baik saja?"



••••



"Bravo! Peringkat ku naik lagi." Wain berseru senang.

"Bagimana dengan mu Leo? Apa peringkatmu juga naik?"

Leo mengamati papan pengumuman di depan nya. Meneliti satu-persatu, mencari namanya.

Ketemu.

"Sama saja," jawabnya datar.

"Peringkat tiga lagi? Itu bagus kan. Mudah untuk mendapatkan tapi sulit untuk mempertahankan. Kalau itu aku, aku akan memamerkan nya pada kakak ku."

"Itu hanya angka, untuk apa dipamerkan."

"Itu bukan hanya angka! Ayah ku sangat senang saat aku memberitahu nya tentang itu. Dia memuji ku seperti aku orang terjenius di dunia, hahaha.."

Leo menghentikan langkahnya membuat Wain refleks ikut berhenti.

"Ada apa?"

Leo menggeleng. "Tidak ada."



••••



"Jika hanya itu yang ingin kau katakan, kau boleh pergi. Ayah masih memiliki banyak pekerjaan."

Meski tidak sulit membayangkan respon dingin itu tapi tetap saja hatinya terasa tersayat. Leo mengepalkan tangannya, menggengam erat selembar kertas itu hingga kusut. Kini ia telah berusia 15 tahun.

"Kenapa masih disini?" Suara tegas mendobrak diantara keheningan.

Leo sedikit tersentak. Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya. Mencoba memberanikan diri untuk menatap lelaki berkemeja di hadapannya.

"Katanya mempertahankan itu lebih sulit dari mendapatkan."

Hening.

"Ini, ini kedua kalinya aku mendapat peringkat tiga."

Leo kembali menunduk, tidak sanggup menatap lebih lama.

Telepon berdering, bunyi nyaring nya berhasil menyita kedua atensi ayah dan anak di dalam ruangan bernuansa putih itu secara bersamaan.

"Pulang lah.. "

Tidak perlu disuruh dua kali. Leo segera melangkah pergi. Membuang kertas berisi hasil nilai nya tadi dan pergi dari sana. Bukan sekali dua kali ia merasa ke kecewa. Kali ini pun begitu, ia sudah mengatakannya dengan jelas, meski ucapannya terpotong tetapi mustahil lelaki itu tidak mengerti maksud kehadiran nya.

Saat itu seharusnya ia menyadari dan berhenti. Namun, bagaimana pun Leo masih memiliki secercah harapan di hatinya. Mengabaikan rasa pedih di dada, Leo terus berusaha. Berusaha menjadi lebih baik, mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai, mungkin pencapaian nya hari ini belum cukup. Oleh karena itu ayah nya tidak bisa memberikan pelukan atau setidaknya sedikit pujian. Tidak masalah, ia akan berusaha lebih keras.

Sekiranya begitulah yang ia pikirkan sebelum akhirnya memilih untuk menyerah. Perjuangan berat dan melelahkan tak terelakan, belajar giat menjadi rutinitas yang ia lewati setiap hari. Tetapi, sekarang ia baru menyadari bahwa semua itu tidak ada gunanya. Karena pada kenyataannya walaupun ia menjadi peringkat pertama berturut-turut, mengikuti berbagai olimpiade dan mendapatkan juara. Dengan prestasinya yang menggunung itu keinginan kecilnya masih sulit untuk terkabul.

Apakah Wain berbohong?

Bukan kah seharusnya ia mendapatkan pujian apabila peringkat nya naik? Lalu kenapa? Peringkat nya sudah naik bahkan lebih dari itu. Tetapi mengapa ia belum juga mendapatkan?

Sejak terakhir kali Leo mengunjungi perusahaan ayahnya, sekitar 3 bulan yang lalu. Ini adalah pertama dan terakhir kalinya Leo kembali datang berkunjung. Tepat 15 juni, hari ini merupakan hari ulang tahun nya yang ke 20. Dengan membawa beberapa potong kue beras, ia sengaja datang disaat jam istirahat bertujuan untuk meminta sedikit waktu guna dihabiskan bersama.

15 menit, 30 menit, 60 menit. Sudah 2 jam ia menunggu tetapi ruangan itu masih sepi, lenggang, hanya ada ia disana. Sendirian.

Leo tersenyum miris. Memandangi kue beras yang tersaji rapi diatas piring. Leo tidak pintar dalam hal itu tetapi ia sudah menghias sebisanya.

"Ini bagian ayah."

Leo meninggalkan sepotong kue diatas meja kemudian memasukkan kembali dua lainnya kedalam bungkusan, beranjak dari sana.

Menjelang sore, tujuan selanjutnya adalah tempat peristirahatan ibunya. Sebab selain ulang tahunnya hari ini juga merupakan hari peringatan kematian ibunya.

Leo menatap sendu sebingkai foto yang menyimpan foto ia dan ibunya. Seingatnya itu adalah foto yang diambil saat pertama kali ia masuk ke sekolah dasar. Disana mereka terlihat begitu bahagia. Rasa sesak lagi-lagi berkelakar, membakar hatinya. Dadanya berdenyut sakit. Entah bagaimana, rasanya semakin hari rasa perih itu terasa semakin menyiksa.

Ia pikir semua akan menghilang dan kedamaian akan datang ke dalam hatinya seiring berjalannya waktu. Tetapi, mengapa gelora rasa sakit itu justru terasa semakin pekat, ia lelah, ia lelah terjerat dalam bayang-bayang kengerian di masa lalu, lelah pada penyesalan yang menjarah, lelah pada kebencian serta kemarahan di dalam hatinya yang tak kunjung surut.

Leo memeluk figura yang mengabadikan kenangan berharganya erat-erat, menatap ke atas langit dimana bintang berdendang penuh cahaya.

"Ibu, Ouyin rindu..."

Matanya berlinang. Leo menyandarkan punggungnya pada bingkai jendela. Meluluhkan tubuh yang terasa berat itu dibawah keheningan rembulan.

"Ouyin lelah bu, ayah tidak berubah. Ouyin sudah tidak kuat lagi, sekarang apa yang harus Ouyin lakukan? Ouyin mulai takut bu, Ouyin takut jika terus berada disini Ouyin akan mulai membenci ayah."

"Boleh kah Ouyin pergi, ibu? Akan kah ibu mengizinkan putramu yang pengecut ini untuk melarikan diri?"

"Ouyin akan meninggalkan semuanya."

Leo meraih bungkusan diatas meja kemudian tersenyum kecil. Kue berasnya sudah dingin. Itupun hanya tersisa satu karena ia hanya membeli tiga potong. Untuk ayah, ibu, dan dirinya. Usai dari tempat sang ayah Leo sempat mampir untuk mempersembahkan sepotong kue ditempat persinggahan ibunya sejenak sebelum akhirnya kembali ke mansion dan duduk disini, di jendela kamarnya.

"Ibu ingat mimpi itu? Ku pikir Ouyin sudah menguburnya dalam-dalam. Bagimana jika Ouyin mulai menggali lagi sekarang?"

Leo tersenyum lagi. "Maafkan aku, mungkin ini terdengar egois tetapi Ouyin benar-benar menginginkan kedamaian. Ouyin akan pergi bu, jika Ouyin tidak bisa mendapatkan nya disini Ouyin akan mencari nya ditempat lain. Tolong maaf kan Ouyin, bu."

Beranjak dari sana. Leo turun mengambil lilin, memasangnya diatas kue beras miliknya lalu menyalakan api kecil dan kemudian meniup cahaya jingga itu hingga padam.

"Selamat ulang tahun, Lee Ou Yin."





.

.

.





TBC.








⏱️

Sampe lumutan. Masih adakah yg nungguin??

Seperti yg ku bilang di awal tadi biar dapet feel nya kalian bisa reread chp 12,13,14 dulu yaa.. btw sekalian reread kalian bisa lebih cermat lagi karna 3 chp diatas itu isinya spoiler semua, terutama dialog nya Zayyan, kalo kalian ngeh bahkan ada spoiler ending juga disana

Habis hibernasi butuh energi nih, jangan lupa berikan vote biar semangat lagi ^^

Continue Reading

You'll Also Like

302K 26.6K 51
Tidak pandai buat deskripsi. Intinya ini cerita tentang Sunoo yang punya enam abang yang jahil. Tapi care banget, apalagi kalo si adek udah kenapa-ke...
47.9K 6.5K 30
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
87.9K 9.7K 29
"Tunggu perang selesai, maka semuanya akan kembali ketempat semula". . "Tak akan kubiarkan kalian terluka sekalipun aku harus bermandikan darah, kali...
412K 30.6K 40
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG