Holaa!
Supaya penulis makin happy♡ sebelum membaca tekan bintang dulu yukkk
(っ˘з(˘⌣˘ )
.
.
.
.
Isabel menatap jarum ditangannya dengan seringai puas. Dia cukup senang karena berhasil membuat Bonnie marah.
Sebenarnya ia hanya menebak jika bola itu amat berharga bagi Bonnie, karena Bonnie berusaha tidak meminjamkan bola pada dirinya.
Ditambah waktu Isabel mencoba mengambil bola, Bonnie terlihat sangat marah. Jadi diam-diam ia membawa jarum untuk ditusukan pada benda berbahan karet itu dengan dalih tarik-menarik hingga bolanya pecah, dengan itu tak akan ada yang menyalahkan Isabel. Padahal sejatinya Isabel benar-benar ingin menghancurkan semua milik bungsu Alexander.
"Seharusnya aku yang menjadi bungsu Alexander bukannya anak yang mirip dengan ba*i itu," Isabel berucap sinis bagaimana kata-kata seperti itu bisa keluar dari anak umur 6 tahun sepertinya, sungguh didikan yang benar-benar buruk.
Selama ini, ia berusaha menarik simpati dari keluarga Alexander terlebih keluarga itu mayoritasnya berisi laki-laki, Isabel bermimpi menjadi putri satu-satunya dimansion Alexander. Namun selama ini calon kakak-kakaknya amat sulit didekati ditambah dengan kehadiran balita itu mereka semakin menjahui Isabel.
Isabel memang mirip sekali dengan sang ibu ketika menginginkan sesuatu. Ah peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya memang amat benar adanya.
"Isabel bagaimana kau bisa pulang bukannya aku menyuruhmu untuk tetap disana." Miranda masuk ke dalam rumah sembari membawa tas-tas belanjaan bermerk.
"Aku bertengkar dengan anak itu dan kak Ace mengusirku." Adu Isabel pada sang ibu. Isabel memasang raut memelas hingga Miranda benar-benar percaya akan omong kosongnya.
"Bocah itu benar-benar. Kau tenang saja ibu akan memikirkan cara supaya dia menghilang dari sana." Miranda mengelus surai putrinya. Dia berusaha keras memikirkan rencana agar dirinya berhasil masuk ke dalam keluarga Alexander. Terlebih orang itu juga sudah sering mendesaknya
.
.
.
.
.
Malam hari yang seharusnya amat sunyi dan tenang bagi orang yang kelelahan beraktifitas, tidak berlaku dengan gadis berusia enam tahun itu.
Isabel menggeliat dalam tidurnya, ia merasakan badannya tidak bisa digerakkan seperti ada tali yang mengikat tubuh dan kain yang menutupi pandangan. Isabel ingin berteriak memanggil sang ibu namun suaranya seperti teredam, tercekat diujung tenggorokan.
Apakah ia diculik?
Bruk. Tubuhnya di banting ke tanah, Isabel merasakan telapak kakinya seperti ditusuk-tusuk sesuatu yang tajam. Gadis itupun menjerit kesakitan.
"Aaakkkhhhhhh." Air mata sudah mengalir di kedua pipi namun tak menurunkan niat si penculik untuk berhenti menyiksanya.
Kakinya terus ditusuk sampai darah menggenang di permukaan tanah begitu banyak.
"Akkhhh berhenti!" Isabel berteriak hingga suaranya tercekat ditenggorokan nyaris putus. Tak lama kemudian ia pingsan karena tak kuat menahan sakit yang menyerang syaraf-syaraf dikakinya.
"Berhenti!" pria yang sedang menghisap cerutu sambil menikmati siksaan yang dilakukan bawahannya itu, menyuruh untuk berhenti ketika melihat Isabel telah pingsan.
"..." Bawahan itu tak berkata apapun, namun gestur tubuhnya dengan cepat mematuhi sang atasan.
"Bawa ia pada jalang itu!"
"Yes, Master."
.
.
.
.
.
Bonnie tertidur karena lelah dan banyak menangis. Balita itu baru mau diam dan tertidur ketika Abel berkata tidak akan memaafkan Bonnie jika Bonnie tetap menangis. Abel juga berjanji akan mengganti bolanya dengan yang baru dan tidak perlu memikirkan bola yang lama.
Plester penurun panas juga masih tertempel dikeningnya. Wajah bulat itu memerah karena suhu tubuhnya yang sedang naik. Tapi papa Devan sudah memberi Bonnie paracetamol dan besok kemungkinan demamnya sudah menurun.
Abel dan Ace memilih untuk menemani balita imut kesayangan mereka karena takut suhu badan adiknya naik lagi.
Pintu kamar putra bungsunya terbuka, Dominic masuk setelah menyelesaikan urusannya. Pria paruh baya yang masih tampan dan gagah itu melihat ketiga putranya tidur dalam satu ranjang, sungguh pemandangan yang tak biasa. Memang sejak hadirnya balita super imut itu di dalam Alexander, Dominic kerap kali menemukan hal-hal manis dari sikap putra-putranya terhadap si bungsu.
"Sejak kapan mansion yang begitu dingin ini menjadi cukup hangat untuk ditinggali," Pria itu berguman. Dominic lalu mengarah ke jendela balkon dikamar sang putra. Netra hitamnya lagi-lagi menatap bintang.
'Perasaan familiar itu datang lagi.'
.
.
.
.
"Daddy Bonbon mau cocic." Bonnie bergerak tidak nyaman dipangkuan Dominic. Balita bulat itu berusaha mengambil sosis walau berujung sia-sia, karena tangan gembul pendeknya tidak sampai meraih sosis yang terlihat lezat di depannya.
Meja makan keluarganya terlalu besar tangan gembulnya tidak sampai, uh!
Abel memakan nasi gorengnya dengan tenang berbeda dengan Ace dan Devan yang berada diujung sana. Keponakan dan paman itu berebut memangku Bonnie sedari tadi hingga duduknya agak dijauhkan oleh Dominic.
"Jangan makan sosis kau belum sepenuhnya sembuh makanlah bubur daging ini saja." Dominic mengarahkan sendok ke depan mulut mungil putranya
Bonnie dengan muka cemberutnya yang lucu perlahan membuka mulut. Inilah kelebihan balita itu walau sakit dengan kondisi mulut yang pahit Bonnie masih tetap bisa memakan makanannya tanpa mual atau muntah. Tipikal anak yang benar-benar suka makan walau sakit sekalipun.
Bonnie menelan bubur daging sebelum berucap, "Tapi panacna cudah tulun daddy, jadi tidak apa-apa makan cocic cedikit caja yah yah. Plicc! ( Please)." Bonnie mengeluarkan pupy eyesnya sambil menatap Dominic dengan pandangan memelas.
Devan dan Ace menggigit bibir diujung sana melihat tingkah Bonnie yang amat menggemaskan dalam merayu sang ayah. Ah Devan jadi ingin punya anak juga, tolong!
Dominic menghela nafas, kemudian mengambil satu sosis bakar untuk putra imutnya itu.
"Yeyy telimakacih daddy yang telbaik." Bonnie mencium pipi Dominic sebagai ucapan terimakasih.
Dominic mengangguk menanggapi. "Makanlah dengan tenang." Dominic kembali menyuapi sang putra tak lupa dengan memberi potongan sosis di atas bubur daging milik putranya.
"Kak Abel nanti jangan lupa beliin Bonbon bola balu yah."
Abel tersenyum. "Oke tapi janji tidak menangis dan sakit lagi. Kau mengerti." Abel mengelus kepala adiknya lembut.
"Um Bonbon janji..." Balita itu menautkan jari kelingking gembulnya ke jari kelingking Abel yang lebih besar. "Janji kelingking hehe."
Mereka akhirnya selesai makan, Bonnie merengek pada sang ayah untuk mengantarkan kakak-kakaknya ke depan pintu. Dominic pun menyetujui lalu pria itupun menggendong Bonnie dan membawanya ke pintu depan.
Abel dan Ace bergantian mencium pipi bulat beraroma bayi itu tak lupa juga dengan Devan walau diakhiri dengan plototan dari sang kakak namun dokter tampan itu memilih acuh tak acuh.
"Kami berangkat!" Ace berteriak dan lekas menuju motor besarnya diikuti dengan Abel yang menuju mobil bersama dengan Devan.
"Hati-hati cemua! jangan lupa oleh-oleh buat Bonbon yah." Bonbon melambaikan tangan gembulnya. Dominic hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan lucu putra bungsunya itu.
Dominic kemudian membawa putranya masuk kedalam. Dominic memutuskan untuk mengerjakan document penting kantornya dirumah, sembari memantau kesehatan Bonnie.
Biarlah Deon yang mengerjakan tugas-tugasnya diperusahaan lagi pula juga ada putra keduanya Abeliano, Dominic ingin bersantai sejenak sambil memanjakan si bungsu yang sedang sakit.
"Daddy Bonbon mau main cama mictel katak," Bonnie tiba-tiba berceletuk.
"Tidak ada katak hari ini kau masih sakit atau daddy buang semua katak-katak itu. Mari istirahat sambil menonton kartun di ruang kerja daddy saja agar daddy bisa memantaumu."
"Daddy gak acik huh." Dominic tetap membawa Bonnie ke ruang kerjanya tanpa menghiraukan gerutuan bocah gembil itu.
"Eh mictel katak cudah calapan kan daddy?" Tanya si gembul yang masih menghawatirkan bayi-bayinya.
"Diam, atau daddy berikan pada piranha katak-katak itu..."
"Humpphh."
.
.
.
.
.
"Aaaaaaa!." Bruk. Miranda jatuh kelantai ketika melihat putrinya yang penuh darah di atas tempat tidur.
"Cepat-cepat siapkan mobil kita pergi kerumahh sakittt." ujarnya kepada bawahannya.
"Ke-kenapa bisaa begini? Apa yang sebenarnya terjadi?!" Miranda menggigiti kuku-kukunya karena rasa cemas yang melanda.
Sampai tubuh kecil putrinya dimasukan dalam mobil pun pikiran wanita itu amat kalut.
.
.
.
.
TBC.
Bonbon: (Mengarahkan mic mainan ke depan mulutnya) Tinggalkan jejak yah Onty, Uncle tapi jangan jejak kaki, haluc jejak komental atau Bonbon nangic!
⸜(。˃ ᵕ ˂ )⸝♡