Rumah Tanpa Pintu

By goresanlaraf

5.7K 729 151

"Aku yang bakal bawa, Dhega." "Kamu gila, Bayu? Kamu gak mikirin anak-anak? "Aku atau kamu yang gila? Aku ata... More

Lembar 1 | Tak seindah yang mereka kira
Lembar 2 | Sisi lain dirinya
Lembar 4 | dari Ayah untuk anaknya
Lembar 5 | Terhimpit lara

Lembar 3 | Utuh tapi hancur

1K 129 27
By goresanlaraf

♪ Lagu untuk di putar : Utopia - mencintaimu sampai mati ♪

“Enak, ya, punya keluarga lengkap. Iya enak banget. Tapi kalau sudah tidak satu rumah lagi, gimana?”

• Semesta Radhega

— 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐬𝐞𝐦𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 —

🍂

      Tanpa henti, tak ada raut kelelahan bahkan tak ada helaan napas yang terdengar berat. Jam terus berdetak, mengingat pagi sudah kembali menyapa. Sedangkan Bayu, lelaki itu terjaga sepanjang malam di kamar Dhega.

      Ia bisa saja mengesampingkan pekerjaannya. Akan tetapi, Bayu tak akan pernah bisa mengesampingkan anaknya. Keluarga serta anaknya adalah segala-galanya. Jika mereka terluka karenanya, itu akan menjadi penyesalan terbesar untuk Bayu.

      Seperti yang telah Bayu alami beberapa tahun silam saat dirinya masih bersama dengan Rosa, Bayu belajar dari sana—bahwasanya waktu bersama anak itu sangatlah berharga.

      Menatap salah satu tangan Dhega yang terbalut dengan pernah dan sedikit tertinggal bercak darah di sana, sorot mata Bayu begitu sendu. Seperti ada yang terkoyak jauh di dalam hatinya saat kejadian semalam terlintas.

      “Ayah?”

      Suara serak itu terdengar lirih memasuki gendang telinga Bayu, lekas mendongak dan menatap kedua mata yang terlihat begitu sayu. Setelah ini anaknya pasti akan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi.

      Bayu membantu Dhega untuk duduk, menyandarkan punggung anak itu pada kepala kasur. Bayu sengaja membiarkan anaknya mengumpulkan seluruh nyawanya.

      “Ini kenapa?” alis Dhega berkerut, anak itu tampak linglung saat tahu tangannya sudah terbalut dengan perban dan sedikit memperlihatkan bercak darah.

       Sekali lagi, demi memastikan apa yang sebenarnya terjadi—Dhega menatap Ayahnya. Lelaki itu hanya menatapnya sendu, sebelum pada akhirnya menariknya ke dalam pelukan.

      Dan dari situlah Dhega baru memahami satu hal, jika apa yang telah terjadi bukanlah karena dirinya—tapi Haga. Tahu akan hal itu, Dhega menunduk lesu—menenggelamkan wajahnya pada pundak sang Ayah.

      “Maafin Dhega, ya, Yah ... Dhega nyusahin Ayah lagi.”

      Di sana Bayu menggelengkan kepala kuat, ia mulai mengusap surai hitam Dhega lalu sembari berbisik, “Gak, gak, Dhega gak perlu minta maaf sama Ayah. Dan anak Ayah gak pernah nyusahin.”

      Dhega semakin menenggelamkan wajahnya pada pundak Bayu saat mendengar kalimat kesekian kali dari Ayahnya. Dhega merasa bersalah, karena hingga detik ini hanya Ayahnya-lah yang berjuang untuk dirinya serta melawan egonya yang lain.

      “Dhega sayang sama, Ayah,” gumamnya lirih.

      Bayu tersenyum, “Ayah juga sayang Dhega sama Haga.”

🍂

     “Minggu depan kamu udah mulai les fisika sama Bu Felisia, Sadhan.” dahinya berkerut, alisnya saling bertautan—Sadhan menatap Bundanya dengan pandangan yang seolah meminta penjelasan.

      Ketika ia telah usai mengunyah makanannya, Sadhan mulai berbicara, “Kan Sadhan udah les sama Bu Intan, Bun?”

      Rosa menaruh satu gelas susu air putih di hadapan anaknya bersamaan dengan sebuah botol obat yang berisikan vitamin yang kerap Sadhan minum—dan itu wajib. Setelahnya Rosa menarik kursi dan duduk di antara beberapa hidangan sarapan pagi yang Rosa masak sendiri untuk Sadhan.

      “Katanya les di Bu Felisia lebih bagus, dan banyak anak dari teman Bunda yang les di sana jadi orang sukses,” tukas Rosa sembari tersenyum. “Jadi, Bunda di rekomendasikan mereka buat masukin kamu kesana.”

      Sadhan kembali memicing, “Terus, les di Bu Intan gimana?”

      “Ya, kamu udah gak perlu lagi les di sana sayang.” Rosa menggantungkan ucapannya, mengambil satu buah telur rebus lalu meletakkannya di atas piring anaknya. “Dan banyak temen Bunda bilang juga, kalau kualitas di sana jauh lebih baik.”

      “Di sana menjamin bisa kuliah di universitas terbaik,” lanjutnya, sebelum akhirnya menyantap makanannya.

      Sadhan tak mampu mengelak apa yang telah Bundanya ucapkan. Karena pada dasarnya, Sadhan juga begitu ingin membahagiakan Bundanya, membuat wanita itu bangga akan dirinya. Maka dari itu Sadhan tidak pernah sedikitpun melawan Bundanya.

      Bagi Sadhan, arahan Bundanya adalah arahan terbaik yang harus ia ikuti. Ia yakin, Bundanya melakukan semua ini terhadapnya semata-mata ingin menjadikannya anak yang sukses.

      “Bun,” panggil Sadhan saat Rosa sedang menyantap sarapannya. Wanita itu mendongak, menatapnya seolah meminta penjelasan atas apa yang ingin dirinya katakan.

      “Kamu mau ngomong apa, Nak?” tanya Rosa.

      Menelan salivanya, Sadhan juga membasahi bibirnya sebelum berbicara, “Ayah kemarin tanya apa Bunda sama Dhega bertengkar?”

      Mendengar hal itu, Rosa membuang napas kasar. Seperti ada hal tak begitu ia sukai saat Sadhan membahas soal mantan suaminya dan juga anak bungsunya. Bahkan selera makan Rosa tiba-tiba saja hilang begitu saat. Ia merutuki Bayu yang bertanya begitu gamblangnya pada Sadhan.

       “Lanjutkan makan kamu, Sadhan ... Lekas berangkat ke sekolah.”

      Seperti apa yang telah Sadhan kira sebelumnya, jika Bundanya tidak akan pernah mau membahas Ayahnya juga adiknya. Harusnya Sadhan paham akan hal itu dan tidak membahasnya langsung.

      Tangan Sadhan bergerak, lalu menggenggam tangan Rosa erat. Melihat hal itu Rosa seketika mendongak.

      “Maafin Sadhan, ya, Bun ... Gak seharusnya Sadhan bahas itu,” ujarnya lirih dengan tatapan sendu, seolah mengungkapkan jika ia begitu menyesalinya.

      Rosa tersenyum tipis, ia membalas genggaman tangan anaknya. “Iya, gak apa-apa.”

🍂

      Di dalam mobil, Bayu yang lengkap dengan pakaian kantornya sedang menatap begitu intens sosok anak bungsunya yang kini duduk di samping kemudi.

      Dengan suasana di luar sana yang sudah begitu ramai anak-anak sekolah berlalu lalang memasuki gerbang sekolah.

       “Kamu bener udah gak apa-apa?” entah ini sudah kali keberapa Bayu menanyakan hal serupa kepada anaknya. “Kalau masih gak enak badan, biar Ayah yang masuk dan ijinin kamu.”

      Rasanya Dhega adalah anak yang begitu beruntung karena mendapatkan orang tua seperti Ayahnya. Ayahnya yang tak pernah menuntut apapun soal hidupnya, Ayahnya yang selalu mendukung apapun yang ia lakukan selagi itu baik untuknya.

      Dhega rasa, cintanya lebih besar kepada Ayahnya—melebihi ia mencintai dirinya sendiri.

      Dhega menatap Ayahnya dengan senyuman manis. “Kalau Dhega bolos terus, kapan Dhega bisa buat Ayah bangga sama nilai Dhega?”

        “Hei,” Bayu menampilkan raut wajah sangat tidak setuju atas apa yang baru saja anaknya katakan. Bayu meraih kedua tangan Dhega dan menggenggamnya erat seolah memberikan sumber energi pada anak itu.

       Akhirnya Bayu memantapkan diri untuk kembali berkata, “Ayah gak pernah nuntut apapun sama kamu ataupun sama Abangmu.”

      “Nilai bukanlah segalanya, Nak. Melihat anak-anak Ayah tersenyum bahagia dan tampak sehat, itu sudah lebih dari cukup bagi Ayah.”

      Tangan Bayu beralih memegang bahu Dhega, lantas membawa anak itu ke dalam pelukannya dan menepuk-nepuknya pelan. Sembari berkata kepada Dhega, bahwasanya dirinya akan terus mencoba menjadi Ayah yang baik.

      “Udah mau bel masuk ‘kan?” Bayu merenggangkan pelukannya. “Nanti Ayah jemput.”

      Dhega mengangguk, ia meraih tangan kanan sang Ayah dan lekas menyalaminya. Setelahnya ia keluar dari mobil milik Ayahnya dan bergegas memasuki aula sekolah yang mulai sepi.

      Sepeninggalan Dhega, ponsel Bayu berdering hebat. Ia menatap benda pipih itu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya, “Halo?”

      “Pak Bayu, sekarang posisi Bapak dimana, ya?”

      “Saya habis mengantar anak saya sekolah. Kenapa, Lisa?” Bayu sedikit was-was karena nada wanita di seberang sedikit ketakutan.

      “Bisa ke kantor sekarang, Pak? Pak pimpinan marah besar.”

      Bayu mematikan ponselnya, menyandarkan punggungnya di kursi kemudi—ia mengusap wajahnya sejenak. Tanpa orang-orang sadari bahwa raut wajah Bayu mengisyaratkan kelelahan yang memang sengaja lelaki itu sembunyikan.

      Sebelum Bayu memilih menyalakan mesin mobil dan melaju pergi meninggalkan pekarangan sekolah.

🍂

      Kaki panjangnya lekas berlari—menabrak beberapa siswa-siswi yang berlalu lalang, menyisakan tatapan aneh dari sorot mata mereka kepadanya. Dhega tak mengindahkan tatapan itu, jelas. Ia hanya ingin lekas memasuki bilik kamar mandi lelaki yang tampak kosong.

       Pintu itu ia kunci dari dalam, tubuhnya seketika merosot. Jari-jari tangannya lekas mencengkeram sisi kloset, kepalanya menunduk—Dhega mencengkeram kepalanya erat. Rasa sakit yang tiba-tiba saja datang seolah ingin memecahkan kepalanya saat itu juga.

      Lama bergelut dengan rasa sakit yang menjalar di kepalanya, Dhega lekas bangkit. Kepalanya yang menunduk, begitu terlihat jelas bulir-bulir peluh keringat yang menetes.

       Cklek! Kunci pada pintu kamar mandi terlepas dan pintu pun terbuka lebar. Bunyi langkah kaki mendekat ke arah wastafel kamar mandi. Dhega mendongakkan kepalanya, menatap lekat dirinya yang terpantul melalui kaca.

      Tak ada raut wajah yang memancarkan senyuman lebarnya, hanya wajah yang begitu datar bahkan seolah tak pernah menyunggingkan senyum. Tangannya yang kosong lekas bergerak merapikan seragam yang sedikit tampak lusuh dan berantakan.

      Decakan serta hembusan napas lirih terdengar. Samar-samar mulut itu bergerak dan bergumam, “Gak bisa rapi, bodoh.”

      Seragam yang tadinya tampak sedikit berantakan, kini terlihat begitu rapi. Kakinya lanjut berbalik, selangkah demi selangkah ia mulai meninggalkan kamar mandi. Akan tetapi, telat di ambang pintu, tubuh itu kembali berbalik dengan kepala yang sedikit mendongak—menatap pantulan kaca.

      Senyuman yang tadi sama sekali tak terlihat, kini muncul dengan sendirinya. Akan tetapi jika di perhatikan dengan seksama, senyuman itu melainkan bukan senyuman manis.

      Lebih tepatnya sebuah senyuman kecut seolah meremehkan sesuatu. Dan mulut itu kembali terbuka untuk berbicara, “Kalau nyari Dhega, orangnya gak ada.”

      Aneh, tapi itulah kenyataan yang sedang terjadi saat ini.

🍂

      “Pak Bayu, saya benar-benar kecewa kali ini dengan Bapak ... Jadi, keputusan yang sudah saya buat. Bahkan dengan sangat berat hati, Pak Bayu saya pecat.”

      Bayu menyandarkan kepalanya di kursi kemudi mobil, menutup kedua matanya dan menutupinya dengan satu lengan tangannya. Bayu benar-benar tidak tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini.

      Bahkan setelah dirinya di nyatakan terkena PHK, perasaannya jadi tak menentu. Ada perasaan sakit, sedih dan kecewa—semua tercampur menjadi satu. Bahkan sudah lebih dari delapan tahun dirinya bekerja di perusahaan itu, dan selama itu Bayu sebisa mungkin tidak melakukan kesalahan.

      Namun, kemarin adalah hal terceroboh yang ia lakukan sehingga membuat atasannya begitu marah bahkan kecewa. Sulit bagi Bayu menerima semua kenyataan ini, akan tetapi kini semua telah terjadi. Dan Bayu harus kembali bangkit dan mencari pekerjaan lain, demi keluarganya—terutama demi Dhega.

      Ponsel Bayu tiba-tiba saja berdering, sebuah pesan masuk tertera di layar ponselnya. Bayu lekas bangkit dan merogoh ponselnya—membuka pesan itu yang entah dari siapa karena nomornya tidak terdaftar dalam kontaknya.

      Mengesampingkan hal itu, pesan yang dikirim orang tidak dikenal itu adalah pesan berupa sebuah video. Memiliki rasa penasaran yang tinggi, Bayu lekas membukanya.

      Kedua matanya melotot, rahangnya mengeras saat tahu video apa yang tertera di dalam sana hingga membuat Bayu tampak begitu menahan amarahnya.

      Dengan gerakan tergesa, Bayu men-dial sebuah nomor wanita.

      “Halo, Rosa.” ya, Bayu lekas mengubungi mantan istrinya, Rosa. Dan di sana tampak wanita itu berdecak kesal yang mana tentu ditujukan kepadanya.

      “Aku lagi kerja, ken—

      “Aku gak peduli, temui aku di kafe dekat kantor kerjaku.” Bayu buru-buru memotong perkataan Rosa yang jelas-jelas belum terselesaikan.

       Sungguh, emosinya meluap-luap sekarang.

      “Ada apa, Bayu? Aku lagi melayani cus—

      Brak! Bayu memukul setir mobilnya, rahangnya pun mengeras. “Perkataanku sama sekali tidak bisa di bantah, Rosa. Cepat temui aku.”

      Pip!

      Bayu mematikan sambungan teleponnya secara sepihak, lalu langsung meremat benda canggih itu erat-erat. Jadi kemarin Dhega kambuh karena satu hal pemicunya.

      Ya, Bayu menyadari hal itu dari sebuah video yang di kirim oleh seseorang yang tak dikenalnya. Bahwasanya, Rosa menampar Dhega terang-terangan di aula sekolah.

     Fatalnya, kembali membuat anak bungsunya dalam trauma. Kenangan-kenangan buruk saat masih bersama Rosa, kbalk terekam dalam memori otak anak itu.

      “Kamu benar-benar keterlaluan, Rosa.”

🍂

     Bruk! Hal yang sama sekali tidak ia inginkan terjadi. Di saat langkah kakinya mengitari area koridor sekolah, tiba-tiba saja seorang cewek menabraknya begitu keras. Dan naasnya, seragam yang tadinya begitu rapi bahkan tak ada noda sedikitpun yang menempel, mau tak mau terlihat menyedihkan.

     Wajah cewek itu mendongak dengan kedua mata yang melotot—tertuju pada seragam milik lelaki di hadapannya yang kotor karena minuman yang ia pegang tumpah.

     “Maaf banget, ya, maaf ... Aku gak sengaja, sumpah!” kakinya lekas bergerak maju, niatnya mendekat ke arah lelaki itu dan mencoba membersihkannya.

      Namun kejadian tak mengenakan kembali terjadi. Bukannya menerima permohonan maafnya, laki di hadapannya malah bertindak kasar.

      “Ck, minggir lo!” tangan itu lekas mendorong tubuh cewek tersebut yang hendak membersihkan bajunya. Di lihatnya sekali lagi baju seragamnya yang kotor. Ia menggeram kesal.

      “Gak bisa kalau gak kasar sama cewek, ha?” ada suara lelaki lain dan tentu ia begitu kenal siapa pemilik suara tersebut. “Lo gak apa-apa?”

      Lantas ia tersenyum sinis saat melihat siapa yang yang kini sedang membantu cewek yang tadi sudah menumpahkan minuman pada seragam sekolahnya.

      “Ah, gak apa-apa, kak ... Aku gak apa-apa. Lagian aku yang salah, kak,” tukasnya seraya berdiri dengan kepala sedikit menunduk.

      “Lo liat ‘kan siapa yang salah?”

      Sadhan menatap tajam lelaki di hadapannya yang tentunya tak lain dan tak bukan adalah Dhega, adiknya. “Gak usah dorong juga bisa, kan?”

      Bahkan tanpa Sadhan sadari dan tahu sendiri bahwasanya yang kini ada di hadapannya bukanlah Dhega adikanya.

      “Cuma ketumpahan minuman dan lo bisa bersihin pakai air, susah?” Sadhan terus menyudutkan adiknya. Sedangkan cewek di sampingnya menatap mereka tak enak.

      “Eum, kak Sadhan aku gak apa-apa kok beneran. Yang salah aku di sini karena tadi lari gak lihat jalan.” sungguh ia tidak enak.

      “Meski begitu, dia gak pantes pakai dorong-dorong kamu kayak tadi.”

      Mendengar hal itu Haga tertawa keras. “Mau jadi pahlawan kepagian lo?”

      Sadhan menggeram, ia mengepalkan tangannya. “Minta maaf lo sama dia.”

      Haga menarik ujung bibirnya hingga menampilkan senyum piciknya. Ia sama sekali tak setuju dengan apa yang kini sedang Sadhan ucapkan. Dan ia juga tak suka Sadhan yang seolah-olah menjadi lelaki sok jagoan di hadapannya.

      “Apa lo pernah minta maaf ... selama bertahun-tahun kebahagiaan gua lo rebut atas Bunda?” tukas Haga yang berbicara seolah-olah dirinya adalah Dhega. “Gak ‘kan?”

      Haga mendekati Sadhan, lalu berdiri di samping kiri lelaki itu dan kembali berbisik, “Gak usah sok paling bener. Lo itu bajingan kecil yang bahkan lebih licik dari seekor kancil.”

      Sadhan tertegun, ia terdiam beberapa saat atas apa yang baru saja adiknya ucapakan kepadanya.

🍂

      Suasana hati Haga sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan sedari tadi Guru menerangkan pelajaran di depan ia hanya diam tak memperhatikan. Ia hanya terdiam sembari mendengarkan musik melalui kaca headphone juga memainkan pena di atas kertas putih—mencoret-coretnya tak karuan.

      “Dhega, bisa kamu coba jelaskan apa yang sedari tadi Ibu terangkan?”

       Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Haga sedikit terkejut saat namanya terpanggil oleh Gurunya. Ia mendongak, ia melepas headphone yang terpasang di telinganya, lalu mengedar—menatap sekeliling kelas yang ternyata semua tertuju padanya.

      “Gak bisa ‘kan? Terus kenapa gak perhatikan penjela—

      Haga berdiri, ia mendorong kursinya kebelakang hingga menimbulkan bunyi yang sedikit menekan telinga—menatap Papan tulis dan Guru itu bergantian.

      “Ibu belum kasih saya kesempatan mencoba udah membuat kesimpulan sendiri.”

     Semua kelas terdiam, begitupun Guru wanita itu. Mereka membiarkan Haga berjalan melintasi beberapa bangku. Mereka seolah baru mengenal dirinya. Apakah ia akan memalukan dirinya sendiri di depan teman-temannya?

      Haga menatap papan tulis di hadapannya selama beberapa detik. Lalu lekas berbalik dan menatap teman-temannya yang kini sedang menatapnya intens.

      Lantas, Haga mulai menjelaskan apa yang sedari tadi Gurunya terangkan secara jelas dan ringkas. Tak ada kesalahan satupun dalam penjelasan Haga. Saat Haga telah usai menjelaskan persis yang Gurunya terangkan, semua melongo menatapnya.

     Tak hanya mereka, bahkan Guru wanita itupun tampak serupa.

      Haga tersenyum kecut, lalu lekas berjalan menghampiri Gurunya. “Ibu jangan sering-sering membuat kesimpulan sendiri, ya, Bu. Gak baik.”

      Guru itu tertegun, ia mengerjapkan mata beberapa saat sebelum akhirnya memberi instrupsi kepada anak-anak didiknya untuk lekas bertepuk tangan.

      Guru itu menatap muridnya itu sekali lagi, ini tampak aneh sungguh sangatlah aneh. Bahkan ia begitu mengenal Dhega. Nilainya selalu buruk dan bahkan tak pernah bisa menyerap pelajaran yang sering ia terangkan.

      Namun kini seperti seorang yang begitu jenius, bahkan ia melihat dengan jelas bagaimana anak itu tadi sama sekali tidak memperhatikan penjelasannya di depan kelas.

      Haga mendengus, “Dasar manusia-manusia berisik.”

🍂

      “Ayah?”

      Sadhan berdiri di gerbang sekolah yang mulai terlihat sepi karena beberapa murid sudah mulai kembali pulang kerumah masing-masing. Pandangan mereka bertabrakan, saling menatap dalam.

      Sebelum akhirnya Sadhan berjalan maju—mendekati Ayahnya dan hal itu langsung di sambut oleh Bayu—memeluk anak sulungnya erat. Sadhan menenggelamkan wajahnya di bahu Bayu, seolah menumpahkan segala kerinduannya pada sang Ayah.

      Mengapa? Karena Bundanya tak pernah mengijinkan dirinya untuk menemui Ayahnya. Maka dari itu Sadhan terbilang jarang sekali menemui Ayahnya. Selain karena dirinya juga tidak di perbolehkan menaiki motor.

       Sadhan tahu jika Bundanya begitu over protektif kepadanya.

      “Gimana sekolahnya tadi?” Bayu melontarkan pertanyaan sembari merenggangkan pelukannya dan memegang bahu Sadhan.

      Sadhan tersenyum lebar, “Tadi Ulangan Sadhan dapet seratus, Yah.”

      Bayu tersenyum lebar, ia menepuk-nepuk pundak Sadhan sebagai bukti nyata bahwa dirinya begitu bangga pada anak sulungnya. Tapi lain sisi Bayu juga merasa begitu buruk karena telah memberikan kenangan buruk pada anak-anaknya dengan memilih berpisah dengan Rosa—Ibu dari anak-anaknya.

      “Pinter anak Ayah,” ucap Bayu dengan beralih mengusap surai hitam anaknya. “Kamu udah makan? Makan sama Ayah yang kali ini. Kita jarang makan bareng ‘kan?”

      Sadhan terdiam, ia bukannya ingin menolak sang Ayah. Akan tetapi ia hanya tidak mau melihat Bundanya marah besar karena menemui Ayahnya. Saat melihat ada keraguan dalam raut Sadhan, Bayu sadar jika anak itu sangatlah dilema. Karena Bahu tahu jika Rosa membatasi dirinya untuk bertemu Sadhan.

      “Gak usah takut sama Bunda kamu. Ayah tadi ketemu Bunda dan bilang kalau kamu biar Ayah yang jemput,” tukas Bayu yang mencoba membuat Sadhan tenang.

      Bagaimana tidak bahagia, Sadhan baru saja mendengar jika ia di perbolehkan ikut dengan Ayahnya. Dan saat itu juga Sadhan langsung kembali memeluk Ayahnya.

      “Makasih Ayah.”

      Bayu mengangguk. Dan detik itu juga netranya merekam Dhega—anak bungsunya yang sudah berdiri di belakang sana dengan tatapan datar.

     Bayu merenggangkan pelukannya, ia tersenyum pada Dhega. “Dhega, ayo pulang bareng abang kamu. Kita makan bareng hari ini.”

     Tak hanya Dhega, bahkan Sadhan pun langsung merubah raut mimiknya setelah bertemu sang adik. Suasana hati Shadan seketika berubah. Bayu yang melihat itu mencoba mencarikan suasana.

     Namun Dhega buru-buru berjalan meninggalkan mereka dan berkata, “Aku pulang duluan. Kalian makan bareng aja.”

      Bayu terdiam, dari cara bicaranya Bayu paham kini siapa yang menempati tubuh anak bungsunya. Bayu buru-buru mencekal tangan anak bungsunya.

      “Gak, kita makan bareng, ya, Nak,” pinta Bayu yang seketika tangannya di hempaskan oleh Haga.

      “Aku gak suka di paksa.”

     Detik itu Harga pergi meninggalkan Bayu juga Sadhan dengan suasana hati yang sangatlah buruk. Bahkan Bayu membiarkan dirinya pergi begitu saja.

      Haga tidak ada niat untuk berbalik ataupun meminta maaf kepada Bayu perihal sikapnya, ia terus melangkahkan kakinya pergi dari sana.

     Bayang-bayang tubuh Haga sudah tak lagi terlihat, Bayu menatap Sadhan dengan senyuman. “Adik kamu cuma dalam suasana buruk, Sadhan. Jangan di ambil hati, nanti dia reda sendiri.”

      Sadhan, sebenarnya dirinya sama sekali tidak ambil pusing. Ia lebih memilih menganggukkan kepala dan masuk ke dalam mobil Ayahnya dari pada berpikir dan bertanya lebih atas Dhega—bagaimana anak itu pulang.

      Sedangkan Bayu, berkali-kali ia menatap keluar spion mobil dan merasa begitu was-was akan anak bungsunya yang memilih pulang sendiri.

       “Ayah hari ini Sadhan mau makan di warung Bibi yang dulu Ayah pernah bawa Sadhan kesana.”

      Senantiasa Bayu mengangguk dan mengusap surai hitam anak sulungnya. “Iya kita makan di sana.”

🍂

      Langit sudah mulai gelap, Bayu saja memulangkan Sadhan kerumah Rosa. Bahkan saat dirinya menginjak rumah yang kenyataannya ia bangun bersama Rosa—wanita itu sama sekali tak berbicara sepatah katapun kepadanya. Setelah pertemuan mereka beberapa jam lalu yang sedikit sengit.

      Nyatanya tak hanya langit yang mulai gelap, rumahnya pun juga tampak begitu gelap saat kedua kakinya berpijak pada ruang tamu yang tersambung dengan dapur. Bayu menghela napas panjang, ia menyalakan lampu lalu berjalan ke arah kulkas—membuka lemari pendingin itu.

      Terdiam dalam beberapa saat, makanan yang sudah Bayu siapkan pun ternyata masih utuh di dalam kulkas. Anak bungsunya lagi-lagi tidak menyentuh makanannya. Selalu seperti itu jika itu adalah Haga.

      Prank!

      Betapa terkejutnya Bayu saat suara sebuah pecahan dari benda yang terbuat dari kaca itu terdengar. Kepala Bayu menoleh, menatap ke atas kamar Dhega.

     “Haga,” gumamnya sebelum akhirnya menutup kulkas itu sedikit keras dan berlari menaiki tangga menuju lantai atas tempat di mana kamar anaknya berada.

      Bayu mencoba membuat pintu kamar anaknya, akan tetapi hasilnya nihil. Pintu itu tertutup rapat bahkan terkunci dari dalam dan Bayu sama sekali tidak bisa membukanya.

      “Haga? Buka pintunya, Nak! Haga!” sekeras mungkin Bayu mengetuk pintu pintu kamar anaknya, bahkan mencoba untuk mendobraknya—sama sekali tak ada jawaban dari dalam seolah semuanya sunyi.

      Bahkan bodohnya, Bayu lupa meletakkan kunci cadangan milik kamar anaknya dimana. Bayu terus berusaha mengetuk pintu kamar anaknya—sekencang mungkin.

      “Haga! Ayah mohon buka pintunya!”

      Prak! Prank!

      Bayu kembali terkejut, hampir saja ia terjengkang kebelakang tepat saat sebuah benda terlempar mengenai pintu kamar yang tertutup. Lagi dan lagi, Bayu melakukan kesalahan.

      “Pergi! Pergi! Semua sama aja! Gak pernah mau ngertiin perasaan gua! Gak ada yang sayang sama gua!”

      Teriakan itu terdengar begitu jelas, Bayu terdiam di tempatnya. Bayangan kejadian tadi saat ia bersama anak sulungnya terlintas dan menyadarkan Bayu—bahwasanya kini Haga sangat marah karena ia lebih memilih Sadhan.

      Bayu mencoba mendekatkan diri, menempelkan dahinya pada pintu itu, memejamkan matanya. Perlahan-lahan ia pun berbicara, “Haga, Ayah ngertiin Haga. Ayah bahkan sayang banget sama kamu. Buka pintunya, Haga ... Kita bicara baik-baik.”

      Haga menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Tapi saat Bayu berbicara di balik pintu kamarnya yang tertutup, Haga masih mampu mendengarnya. Ia tidak terkecoh ataupun hatinya terketuk untuk lekas membukakan pintu untuk Bayu.

      Tubuhnya ia biarkan bersembunyi di pojok kamar yang begitu gelap, hanya ada pantulan sinar dari sang rembulan yang samar-samar dari celah tirai yang melayang-layang tersapu oleh angin.

      “Haga, kalau kamu gak buka pintunya Ayah akan dobrak dari luar!”

      Bayu masih berteriak dan Haga sama sekali tak bergerak dari tempatnya. Kedua matanya mengedar kesana-kemari, seperti sedang mencari sesuatu yang begitu ingin ia miliki. Saat benda yang ia maksud ada, Haga lekas meraihnya.

     Serpihan kaca yang sangatlah tajam begitu menarik perhatiannya. Haga menggenggam kaca itu erat-erat lalu mulai memberi ukiran pada tangannya. Darah yang semakin lama semakin merembas keluar, Haga sama sekali tidak merintih kesakitan.

      Raut wajahnya yang sama sekali tak berekspresi, ia terus menekan serpihan kaca tajam itu pada kulit tangannya. Sayatan demi sayatan terlihat.

      “Bahkan selama ini kehadiran gua gak pernah berharga ‘kan?” ungkap Haga begitu lirih disertai dengan kekehan kecil dari bibirnya yang menyunggingkan senyum.

       Brak!

      “Berhenti, Haga!”

      Teriakan itu membangunkan Haga dari halusinasinya menikmati karya terindah yang kerap ia torehkan pada tubuh Dhega. Haga mendongak dengan pelupuh yang berjatuhan, lantas ia terkekeh geli saat melihat tatapan Bayu yang sudah basah karena air mata.

      Rasanya sungguh menyenangkan saat ia melukai tubuhnya sendiri. Ah, tidak ... tubuh milik Dhega tentunya.

      Hayolo kalian tim Sadhan, Haga atau Dhega?
Coba komen

— 𝐎𝐫𝐢𝐠𝐢𝐧𝐚𝐥 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐛𝐲 𝐠𝐨𝐫𝐞𝐬𝐚𝐧𝐥𝐚𝐫𝐚𝐟 —

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 64 9
Revan dan Arfan comeback
4.2K 426 32
[ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA ] " Ra, ayo ucapan selamat untuk dirimu." " Selamat ?" " Selamat Ra, telah dicintai hebat oleh diriku." *** " Cantiknya...
1.7K 320 5
Aku ingin bertanya, apa kau seorang anak? Jika iya, kau ada di urutan ke berapa? Apa kau iri dengan kakak mu atau adik mu? Apakah ada Ketidakadilan d...
864 144 7
______________________________________ Ini kisah tentang 7 pemuda dengan latar belakang dan garis takdir yang berbeda-beda. Terdiri dari 6 pemuda lok...