Enthralling Lunatic

By bobasu

950 50 1

[ENG/IND] Alresca successfully escaped from her crumbling kingdom. Nothing was left for her. Status, home, w... More

[IND] ch. 1
[ENG] ch. 1
[IND] ch. 2
[ENG] ch. 2
[IND] ch. 3
[ENG] ch. 3
[ENG] ch. 4

[IND] ch. 4

79 4 0
By bobasu

Alresca terduduk di bangku panjang dekat jendela. Malam itu, bulan tampak sedang tersenyum kepadanya, dan Alresca seketika merasa tenang.

Sendirian menunggu di ruang utama paviliun sang putra mahkota, ia merasa bebas dan tenang. Ternyata tidak seburuk itu tinggal disini. Tenang, dan anehnya Alresca merasa nyaman. Berbeda dengan rumahnya dulu.

Ia kembali bersyukur.

"Menikmati apa yang kau lihat?"

Suara yang dalam dan tenang itu mengagetkan Alresca. Sang pangeran datang, sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya.

"Yang mulia," Alresca menyapa, berdiri dari tempat duduknya dan menundukkan tubuhnya sedikit.

Di dalam hati, seketika ketenangan yang diberikan bulan seketika sirna. Ia kembali merasa terganggu oleh beruang satu ini. Namun ia masih menunjukkan sikap sopan dan tahu diri.

Cadius menatapnya dari jauh, memperhatikan ekspresi terganggu Alresca ketika ia menunjukkan wajahnya. Tanpa sadar, senyum tersungging di bibirnya, terkesan bahwa gadis tawanan di depannya ini sepertinya sedikit tidak menyukainya.

Ia duduk di sofa tidak jauh dari bangku panjang yang tadi di duduki Alresca, merebahkan bahunya yang lebar ke sofa dan mengehela napas pelan, menikmati dirinya bersantai. Matanya kembali menangkap sosok Alresca yang masih berdiri, tampaknya menunggunya berbicara atau memintanya duduk kembali.

"Duduklah, tidak perlu menungguku menyuruhmu."

Ragu-ragu, Alresca kembali duduk, menundukkan pandangannya.

Tanpa ada yang berbicara, hanya suara air dari sungai di sebrang paviliun samar-samar terdengar. Suara jam berdetak. Bahkan nafas sang putra mahkota.

Ia tertidur?

Alresca mencuri pandang pangeran yang sedang memejamkan mata. Ia mengernyitkan dahi, bertanya-tanya fungsi keberadaannya disini jika ia hanya diminta untuk hadir lalu menontonnya tidur?

"Terimakasih."

Satu kata itu mengejutkannya lagi. Sepertinya setiap ia berbicara, Alresca selalu akan terkejut.

Alresca merapikan gaunnya dan duduk sedikit lebih nyaman, "Untuk apa, yang mulia?"

"Kemarin."

Jawabnya singkat, sebelum matanya terbuka dan menatap sosok gadis itu. Astaga, wajahnya bisa tampak sepolos itu ketika bertanya "untuk apa". Itu membuat Cadius terkekeh pelan.

"Aku berperilaku tidak sopan kemarin, seharusnya aku berterimakasih lebih dahulu setelah kamu membantuku mengatasi bencana itu."

Cadius mencoba untuk membayar apa yang sudah dia terima, meskipun sedikit terlambat. Ia sangat terbantu kemarin.

Alresca terdiam sejenak sebelum mengangguk, "Itu bukan apa-apa, yang mulia."

Ia mulai berpikir sepertinya sang beruang tidak seburuk itu, ia masih memiliki sopan santun. Pikirnya. Alresca tersenyum, lega dengan konflik pribadinya yang terangkat perlahan setelah Cadius berterimakasih.

"Lalu, aku ingin kau menjadi selirku."

Alresca masih tersenyum dan mengangguk.

"Apa?"

Matanya terbuka lebar, terkejut dengan apa yang dilontarkan putra mahkota barusan. Otaknya seketika berhenti berpikir.

Cadius menghela napas, mengatur kerahnya dan menyilangkan kakinya. Mencoba membuat dirinya lebih santai.

"Aku bilang jadilah selirku," Cadius mengulang ucapannya.

Mata mereka bertatapan. Yang satu masih membelalak karena terkejut, yang lainnya santai dan tampak dingin seakan tidak terganggu sama sekali dengan apa yang telah di katakan oleh dirinya.

"Tapi, yang mulia... Anda belum memiliki istri sah..."

Cadius menyipitkan mata, tidak menyangka bahwa gadis desa yang dia pungut ini tahu tentang etika pernikahan di kerajaan. Ia sejenak meragukan Alresca adalah gadis desa yang tidak tahu apa-apa.

"Lalu? Apakah aku harus memiliki istri sah terlebih dahulu sebelum aku memilikimu?" Jawabnya sedikit acuh tak acuh.

Alresca sedikit khawatir, ia merasa bahwa sang putra mahkota mungkin memiliki tujuan tersembunyi. Pasti.

"Saya hanya gadis desa, yang mulia—"

"Aku tahu."

Alresca terdiam.

"Saya tidak bisa membantu anda terkait urusan kerajaan—"

"Ya, aku tahu."

"Yang mulia—"

Cadius mengerutkan kening, mendekatkan wajahnya ke arah Alresca sebelum ia memotong kembali kalimat gadis ini.

"Jadilah selirku."

Ia hanya bisa terdiam lagi, tidak tahu harus mengelak bagaimana lagi. Tatapan mata pria itu semakin lama semakin dalam dan dingin, seakan akan memakan hidup-hidup jiwa Alresca.

"Jadilah selirku... Pikiranku tidak pernah terganggu sama sekali oleh siapapun kecuali dirimu setelah kejadian itu."

Tidak, sejak awal melihatnya dihutan, Cadius sudah terganggu, hingga sekarang. Pikirannya sangat terganggu oleh kehadiran Alresca dimanapun ia berada dan akan membawanya kembali ke istana para selir lagi dan lagi.

Namun pertama kali terganggu oleh seseorang memang membuatnya tidak terlalu peka oleh gangguan itu, dan merasa bahwa mengklaim orang yang mengganggu pikirannya sebagai aset nya itu lah solusi yang ia butuhkan. Itu yang selalu Cadius lakukan sebagai putra mahkota.

Dan ia selalu melakukannya dengan baik.

Kali ini juga. Pasti.

----

Alresca kembali ke kamarnya di istana para selir dengan expresi bingung, kepalanya masih berusaha mencerna lamaran sang putra mahkota yang tiba-tiba.

Tidak.

Itu bahkan tidak terdengar seperti lamaran. Bukankah lamaran seharusnya romantis?

Alresca menghela napas, merebahkan tubuhnya di ranjang. Itu membuat ranjang berdecit sedikit. Matanya menatap langit-langit kamar saat ia memikirkan lagi tentang tawaran putra mahkota.

"Aku akan menunggu hingga pertengahan bulan."

Itu yang dikatakan oleh Cadius, beruang pirang itu bahkan hanya memberinya waktu 3 hari sebelum pertengahan bulan.

"Selir? Selir... Astaga... Untuk apa dia butuh selir jika bukan untuk menambah dukungan sebagai putra mahkota? Apakah dia membutuhkanku untuk...."

Seketika pipi Alresca merona.

Normalnya para pangeran meminang wanita dari kalangan bangsawan kelas atas untuk menambah dukungan naik ke tahta. Namun Cadius sudah diberikan gelar putra mahkota dan ia sendiri memiliki posisi yang sangat kuat, tidak tergantikan. Lagipula, gadis desa sepertinya tidak bisa membantu apa-apa selain untuk hal itu.

"Astaga pikiranku..."

Alresca menepuk-nepuk pipinya yang merona dan berusaha untuk mencubit kulit tangan dan wajahnya, membuatnya nyeri untuk memaksanya berhenti tersenyum seperti orang gila.

Setampan apapun pria itu, tetap harus memilih pria baik. Itu yang dikatakan mendiang ibunda Alresca.

"Lagipula, realita selalu tidak lebih baik dari imajinasiku."

Gadis itu menghela napas, memeluk bantalnya dan berusaha berpikir realistis lagi. Ia harus benar-benar memikirkan hal ini sebelum pertengahan bulan.

-----

Mentari menyapa Valvhanra. Semburat kehangatan pagi memasuki kamar Alresca dari sela-sela ukiran kaca jendela membentuk spektrum warna lembut. Mewarnai kamarnya yang hampir kosong, hanya diisi ranjang, beberapa lemari, meja rias, cermin, dan sisanya adalah hiasan ruangan.

Alresca menghela napas, membuka matanya perlahan dan meratapi nasibnya.

Tidak buruk.

"Mari kita mulai hari ini kembali dan lupakan sejenak tawaran beruang pirang itu."

Pagi itu Alresca memulai kegiatannya seperti biasa yaitu bersih-bersih. Benar. Bahkan seorang mantan tuan putri juga belajar menyapu dan mengelap perabotan. Itu sudah biasa Alresca lakukan sejak ibunya meninggal. Tidak ada pelayan yang bersedia pergi ke kediamannya karena hampir semua pelayan adalah orang milik selir raja yang lain.

Kehidupannya tidak jauh berbeda dengan orang biasa, hanya status kosong yang lahir bersamaan dengan tanda lahir di tubuhnya.

Selagi bebersih, seseorang mengetuk pintu kamar Alresca dan masuk. Alresca menoleh dan mendapati temannya, Faye, selir raja termuda memasuki kamarnya. Alresca berhenti mengelap meja dan tersenyum, memberi salam.

"Yang mulia, selamat pagi."

Faye terkikik dan berjalan mendekati Alresca, memeluk lengannya seperti anak kecil.

"Ada berita baik?" Tanya Alresca, ikut terkikik pelan melihat selir kecil ini begitu bersemangat.

Faye mengangguk, "Katanya para selir diijinkan untuk pergi bermain ke luar istana!"

Faye tampak sangat gembira dengan informasi ini. Ia tidak bisa tidak menggoyangkan bahunya karena terlalu bersemangat.

Hari ini adalah hari ke-3 perayaan ulang tahun Permaisuri Valvhanra. Orang-orang istana biasanya hanya menggelar pesta selama sehari semalam untuk merayakan hari istimewa tersebut, namun tahun ini berbeda. Perayaan berlangsung selama lima hari.

"Raja biasanya tidak memperbolehkan para wanita pergi keluar, jadi kami hanya bisa menunggu hari-hari besar saja untuk pergi bersenang-senang. Tapi aku dengar tadi dari pelayan nona Rurina bahwa Raja mengizinkan semua orang di istana pergi keluar sampai 2 hari kedepan!"

Faye sangat bersemangat menceritakan hal tersebut kepada Alresca, itu membuatnya tidak bisa menahan senyuman.

----

"Kau yakin ingin menjadikan gadis dari antah berantah itu sebagai selirmu?"

Cadius hanya terdiam, berkutat dengan tumpukan dokumen yang memenuhi meja kerjanya. Putra mahkota Valvhanra sungguh sangat sibuk dan tenang. Tidak tergoyahkan.

Pria itu menyeringai kesal, menyandar di ujung meja Cadius dan membuatnya berdecit sedikit. Suara itu berhasil membuat alis putra mahkota berkerut, namun tidak berhasil membuatnya berhenti menulis seperti robot. Lalu melanjutkan dengan membaca kertas dokumen selanjutnya.

"Kakak."

"Diamlah, aku sibuk," Sela Cadius, mengernyitkan dahi, "Dan aku bukan kakakmu. Gunakan otakmu untuk mengingatnya dengan baik."

Ia terkekeh jahil, tidak mendengarkan lagi.

"Baik, kak."

Membuat Cadius menghela napas dan melanjutkan melakukan tugasnya, tidak menghiraukan gangguan di depannya.

Setiap pertanyaan yang dilontarkan si gangguan ini tidak pernah ia hiraukan, atau ia ingat. Itu karena Cadius bukan seseorang yang memedulikan hal kecil tidak penting yang membuat orang-orang penasaran. Ia tidak peduli.

Tapi ia tiba-tiba berhenti menyapu tinta di kertas dokumen ke-6. Tintanya sedikit menyebar tanpa ia sadari ketika Cadius termenung, memikirkan pertanyaan awal si gangguan ini.

Pria itu tertawa lagi.

"Diamlah."

"Hahaha! Lihat, kertas itu menjadi korbanmu," Ledek si gangguan itu dengan wajah penuh rasa puas.

"Lebih baik kau pergi dan belajar. Jangan mempermalukan raja di kemudian hari."

"Ayah bilang bahwa aku sama sekali tidak memalukan. Lagipula aku memiliki bisnis sendiri, tidak perlu bersusah payah menjadi sempurna sepertimu, kak."

Gangguan kecil itu menyeringai, menantang Cadius dengan tatapan jahil.

Cadius tidak ingin menghiraukannya dan memilih untuk meletakkan kertas lain diatas dokumen itu untuk membuat sisa tinta yang menyebar terserap, meninggalkan sebuah bunga hitam kecil yang terbentuk didekat tanda tangannya. Ini adalah dokumen penting dari mentri kerajaan. Namun sepertinya Cadius harus meminta yang baru karena yang ini sudah rusak.

Titik kecil itu merusak pemandangan.

Sebuah gangguan yang membuat hidupnya tidak sempurna. Sama seperti gadis darah suci itu.

"Jadilah selirku."

Cadius menghela napas, tangan kanannya menopang dahinya ketika ia merasa kepalanya berat karena terganggu oleh keraguannya. Pikirannya sekali lagi meragukan apakah pilihan yang ia ambil adalah jalan terbaik baginya.

Bunga kecil sialan.

Sulit sekali membuatnya pergi dari pikiranku.

Continue Reading

You'll Also Like

9.5K 682 34
~ အချစ်ကိုဥပက္ခာပြု၍ ဦးနောက်နဲ့ ရွေးချယ်ရမည်ဆိုရင်တောင် မင်းကရွေးချယ်ဖို့ ထိုက်သင့်တဲ့သူ ~
209K 9.2K 76
A fire incident at his(Kim Jae-soo) husband's home while he (Baek Ji-Hu )was away made Kim Jae-soo return to his third year of university (he was reb...
694K 2K 50
🔞🔞🔞 warning sex!! you can cancel if you don't like it.This is only for the guys who have sensitive desire in sex.🔞🔞