Kosan 210

Bởi diaaprilia_

1.7K 180 3

"Kan kita awalnya juga nggak saling kenal." -Farris. "Iya. Pas kenal ternyata di luar galaksi bimasakti alias... Xem Thêm

01 | Keputusan Yang Tepat
Para Penghuni Kosan
02 | Jajanan Klebengan
03 | Kawan Baru
04 | Ambyar Makpyar
05 | Seblak Kematian
06 | Semanis Langit Senja
07 | Siapa, tuh?
08 | Mantai, Gas Ngeng.
09 | Kok Bisa?
10 | Waduh
11 | Perempuan Berbaju Putih
12 | Sakit
13 | Jalan Kaliurang
14 | Hari-hari Hujan
15 | The Memories

16 | Hidup Kadang Kidding

41 6 0
Bởi diaaprilia_


Nothing stays the same and

Seasons keep on changin' as they do

And we're all still just

Stories above concrete

X amount of heartbeats

So, thank God for plot twists like u

—Niki, Plot Twist

***

Hari-hari terlewati, seluruh anak-anak kosan disibukkan dengan urusan masing-masing. Naufal dan Jazmi yang sebenarnya tidak janjian dalam merampungkan skripsi mereka, kebetulan pada waktu yang sama, skripsi yang mereka kerjakan telah selesai setelah melewati banyaknya perdramaan. Hanya perlu sedikit revisi saja, selebihnya mereka akan menyusul Aldo untuk melaksanakan wisuda.

Sementara yang lainnya masih bergelut dengan tugas-tugas perkuliahan. Farris sendiri mengambil pekerjaan paruh waktu di kafe milik Saki yang diberikan oleh orang tua cowok itu beberapa bulan yang lalu. Farris tentu saja senang bukan main. Selain dia belajar hal baru soal perkopian dan semacamnya, dia merasa keren. Memangnya cuma Hanan yang bisa jadi mas-mas barista?

Farris juga bisa! Alasan yang membuatnya begitu semangat untuk bekerja paruh waktu selain karena Saki yang menawarkan adalah cerita yang hampir setiap hari dibawakan oleh Letta. Farris hampir bosan mendengarkan Letta berceloteh tentang Hanan. Temannya itu begitu semangat saat menceritakan soal Hanan yang baru saja mengikuti kompetisi barista se-Jogjakarta atau Hanan yang mengajak Letta menikmati sore hari di Laguna pantai Depok pada pekan lalu.

Farris tidak iri karena dia jomblo. Hanya merasa aneh karena biasanya melihat Letta yang anti romantik dengan makhluk berbatang mendadak jadi bucin banget!

Seperti sekarang ini, keduanya sedang berada di salah satu kedai bubur yang belum lama dibuka. Ide Letta tentunya, karena Farris sendiri lebih suka makan di burjo. Akan tetapi, siang menjelang sore ini, Letta menarik paksa dirinya yang tengah asyik rebahan sembari menge-scroll tiktok di ruang tamu tadi.

"Tau tempat ini dari mana maneh teh, Ta?"

Keduanya duduk sambil menunggu pesanan mereka datang. Farris agak terkejut saat melihat pesanan Letta. Cewek itu tidak hanya memesan satu porsi bubur ayam saja. Letta juga memesan seporsi roti bakar ditambah dengan 2 gelas es kopi jelly.

"Dari temen gue. Katanya buburnya lumayan enak. Gue mau makan bubur tapi nggak mau pagi-pagi."

Reaksi Farris? Cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban dari Letta.

"Gue denger dari si Devan, lo sekarang part time?"

Farris mengangguk sambil mengecek notifikasi dari ponselnya. "Iya, di kafenya si Saki. Naha, kitu?"

"Aneh aja. Lo kan anaknya mageran banget? Kampus sama kosan aja bolak-balik makan waktu, sekarang pake part time segala?"

"Ah, biarin, atuh. Biar ada pengalaman aja urang mah. Kunaon sih, emangna?"

"Emang lo bisa?"

Tanpa meminta izin terlebih dahulu, tangan Farris terulur lalu menyentil pelan kening Letta, membuat cewek itu mengaduh kesakitan sambil berdecak sebal.

"Ngeremehin kitu maneh mah, Ta!"

Letta mengusap-usap keningnya akibat sentilan Farris barusan. "Lagian lo aneh banget, part time di semester tua begini. Orang mah fokus aja sama skripsi lo itu."

"Kalem, aman eta mah. Rencananya ge nanti kalo udah balik Bandung, urang mau bantu-bantu di kafenya Mamang. Biar tinggal kerja, nggak usah minta diajarin lagi."

"Oh, Mamang lo punya kafe juga?"

"Punya di daerah Dago. Baru setahunan bukanya."

"Gue ngerasa kayak baru kemarin tau, jadi anak baru di kosan. Apalagi pas awal-awal gue pindah pake salah masuk rumah lagi. Gue pikir yang cewek di kosan lo."

Letta yang kembali mengingatkan kejadian memalukan itu membuat Farris tertawa kencang. Bagaimana Farris bisa lupa kejadian itu?

Pada hari itu di tahun kedua Farris sebagai mahasiswa yang juga masih baru sebagai penghuni kosan, hanya beda beberapa bulan saja Farris dan Letta menghuni kosan Bu Nanik. Dia dikejutkan oleh seorang cewek dengan rambut sebahu yang dipenuhi oleh jepitan berwarna-warni tengah rebahan santai di atas sofa ruang tamu.

Farris baru saja selesai mandi dan hanya memakai handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya terkejut. Tidak, lebih tepatnya keduanya sama-sama terkejut.

Letta terkejut melihat Farris yang bertelanjang dada sementara Farris terkejut melihat ada cewek asing masuk ke dalam kosan cowok.

"Lagian maneh kenapa nggak nanya dulu, atuh? Emang Bu Nanik nggak ngejelasin, gitu? Kan, kudunya mah nggeus dikasih tau."

"Gue mana ngerti bahasa Jawa, anjir! Lagian lo juga ngapain abis mandi malah ke ruang tamu? Orang tuh, di mana-mana abis mandi masuk kamar pake baju! Bukannya malah ke mana-mana!"

"Mau ngambil hairdryer-nya si Depan, anjaayy urang mah, Ta. Ceuk si Depan aya di ruang tamu, ya udah weh, urang ka ditu malah aya maneh!"

Obrolan keduanya terjeda saat pesanan mereka diantar oleh pelayan. Setelah Farris mengucapkan terima kasih, pelayan tersebut berlalu meninggalkan keduanya.

"Yakin habis itu semua?" Farris melihat dua piring pesanan Letta.

"Kalo nggak habis kan ada lo, lagian."

"He'euh, udah urang duga yang begini mah."

Letta cuma tertawa, lalu mengaduk bubur tersebut, dia menyuapnya perlahan sambil mengangguk-anggukan kepala. "Lumayan enak. Bisa masuk di lidah gue."

"Dih, psikopat maneh mah, Ta! Ulah diaduk anjirr eta buburna!"

Letta berdecak sebal karena dirinya termasuk ke dalam tim bubur diaduk. "Apa, sih? Nggak diaduk mana enak rasanya!"

"JIGA MUNTAHAN, ANJIRLAH!"

"SEMBARANGAN BANGET CONGOR LO, YE!"

"ANEH, IH, ATUHLAH ULAH DIADUK. ETA ENDOGNA JADI PECAH!"

"YA, KAN MAU GUE MAKAN!"

Syukurnya kedai bubur tersebut tidak begitu ramai sebab bukan jam makan siang. Kalau saja ramai, bisa-bisa mereka diusir karena keduanya ribut hanya karena bubur milik Letta dia aduk sebelum dimakan.

"Aneh pokokna mah, asli!"

Letta hanya memutar bola matanya malas, dis tidak peduli dengan reaksi yang Farris berikan.

"Oy! Terus rencana lo bakal mau lulus kapan?"

Ditanya seperti itu membuat Farris tertegun sebab dia sendiri juga tidak tahu. Tugas-tugas akhir yang menjadi tanggung jawabnya sudah dia kerjakan atas kewajibannya sebagai mahasiswa. Mungkin ritmenya agak sedikit lebih lama dibanding Aldo, Naufal atau pun Jazmi. Tapi, bukan berarti Farris hanya diam dan membiarkan teman-temannya bergelut di masa-masa terakhir mereka sebagai seorang mahasiswa. Farris mengerjakannya secara perlahan, tidak terburu-buru agar dia bisa mengimbangi antara skripsi yang dia pegang juga masa-masa yang dilalui untuk mencari pengalaman untuk dirinya sendiri.

Seperti yang banyak orang katakan, apa yang terlihat di luar tidak sama dengan apa yang ada di dalamnya.

"Tahun ini insyaa Allah. Naha? Mau dateng maneh ke wisuda urang?"

Letta tertawa. "Dateng tapi nanti minta temenin Hanan."

Farris mencebik sebal. "Terus weh, terus. Hanan deui Hanan deui."

"Dih? Hanan ada masalah sama lo emangnya? Sewot mulu deh, tiap gue nyebut nama dia."

"Emang geus jadian?"

Pertanyaan itu membuat Letta mencubit lengan milik Farris.

"Ya, tungguin aja kalo gitu!"

Farris mengangguk mantap sambil memberikan raut wajah meledek. "He'euh. Urang tunggu, mun teu jadi ka manehna, urang nu paling awal ngetawain, ya?"

"Aletta?"

Keduanya kompak menoleh ke arah sumber suara tersebut. Hanan tengah menatap ke arah mereka berdua. Letta terkejut panik, namun kepanikannya terganti oleh rasa penasaran sebab melihat seorang cewek berdiri di sebelah Hanan sambil mengapit lengan cowok di sebelahnya.

Bukan Letta namanya jika dia tidak membalas dengan cepat.

"Sorry? Siapa, ya?" Letta bertanya santai dengan nada bicara yang dibuat seolah-olah dia tidak mengenali Hanan.

Farris yang mendengar pertanyaan itu menganga sementara Hanan menampilkan wajah penuh tanya. Cewek yang di berdiri di sebelah Hanan hanya diam tidak mengerti apa-apa.

Berani bersumpah, Farris akan menertawakan kejadian ini lagi nanti ketika mereka pulang ke kosan. Apalagi melihat wajah Hanan yang terkejut saat Letta melemparkan tanya penuh sarkastik tersebut. Hanan tidak menjawabnya hanya tersenyum lalu pergi menuju kursi lainnya.

"Eta? Eta nu diharapkeun jadi cowok maneh? Mikir ulang geura maneh, Ta." Farris terbahak di hadapan Letta.

Perasaan dongkol menyelimuti hati Letta. Maka dia menyuap bubur itu secara cepat lalu mengunyahnya dengan rasa kesal sekaligus sebal sebab ditertawakan oleh Farris.

Tangan Letta terulur mengambil sepotong roti bakar lalu menyuap paksa ke mulut Farris. Cowok itu mendelik kesal sambil menghabiskan roti tersebut.

"Percobaan pembunuhan ini namanya!"

"Diem lo! Gue tusuk pake garpu sekali lagi lo ketawa!"

***

"Oh, terus udah direservasi belom tempatnya?"

Rania tengah sibuk membuat adonan untuk brownies yang akan dia buat hari ini. Hanya sekadar untuk camilan saja. Dia bosan dengan brownies di toko-toko kue langganannya, jadi dia memilih untuk membuatnya sendiri.

"Sudah. Tinggal datang aja lusa. Kita nginep semalaman. Biar sekalian bakar-bakar di sana."

Rania meletakkan ponsel tersebut di atas meja lalu menyalakan loudspeaker agar suara Aldo terdengar dengan jelas.

"Mau patungan berapa-berapa, Do buat bayar sewa tempatnya?"

"Nggak usah. Sa udah bayar, kalian bagian bawa makanan sama minumannya aja."

"Dih, masa begitu? Sayang duit lo astaga!"

Rania kadang heran, kenapa Aldo sesantai itu jika mengeluarkan uang untuk anak-anak kosan? Beberapa kali Rania menawarkan agar anak-anak kosan lainnya patungan untuk membayar sewa tempat yang akan mereka gunakan untuk berkumpul tapi Aldo berulang kali menolaknya.

"Ah, santai aja itu. Yang kasih sa uang juga santai, kok!"

"Duh, mending patungan deh, Do! Duit lo kan jadinya bisa buat keperluan yang lain."

Terdengar suara Aldo tertawa di seberang sana.

"Nggak apa-apa, Ran. Nggak usah peduli soal uangnya. Ikhlas, kok tenang aja."

"Kalo gini tuh, gue sedih banget, deh. Kayak baru kemarin rasanya pada kenalan. Sekarang udah mau lulus aja."

"Hidup terus berjalan kan, katanya, Ran? It's time for us to find our own way."

"Yah, it's hard to say but that's the reality. Gue harap lo semua tetap baik-baik aja dalam kondisi apa pun."

"Cuma tinggal nunggu waktunya aja, kosan ini bakal berganti penghuni. Sedih tapi begitu, kan kenyataan."

Rania bisa memilih untuk biasa saja saat mendengar perkataan Aldo barusan, tapi matanya malah mengalirkan bulir-bulir kristal bening.

"Kan lo mah, jadi nangis nih, gue!"

Aldo kembali tertawa.

"Nanti sa suruh Jazmi ke situ buat nenangin."

"NGGAK USAH!"

"Ya, udah. Sa tutup dulu teleponnya ya, udah ditungguin kawan, nih."

"Oke, Do."

Panggilan itu tersudahi dan Rania kembali berkutat dengan bahan-bahan kue di hadapannya. Anak-anak kosan sedang berada di luar dengan kegiatan yang berbeda-beda hanya dia sendiri di sini.

Selain karena dia ingin memakan brownies buatannya sendiri juga sembari menunggu anak-anak kosan pulang. Biar nanti ketika mereka pulang, Rania bisa menikmati brownies buatannya itu bersama-sama.

Menit berlalu, Rania terlalu fokus beberapa saat hingga menyadari kalau Jazmi betulan datang menghampirinya. Tidak cuma Jazmi saja sih, melainkan ada Devan yang turut menemani. Keduanya sengaja tidak memberi tahu karena mau membuat Rania terkejut.

"Ngapain lo bedua diem-diem doang di situ? Bantuin sini, mendingan."

Jazmi maupun Devan saling menengok satu sama lain, betul-betul punya mata kucing Rania ini.

"Yaelah, kok lo kagak kaget, sih?" Devan berpura-pura kecewa karena melihat Rania yang biasa saja.

Rania yang membelakangi mereka pun akhirnya berbalik badan, menatap Jazmi dan Devan bergantian. "Langkah lo kedengeran, bedul. Ya, kali gue kaget?"

"Tumben banget bikin kue? Nggo opo, toh?"

Devan duduk di kursi sambil melihat-lihat bahan-bahan kue yang sudah terbuka bungkusnya. Memperhatikannya satu per satu. Sementara Jazmi berdiri di sebelah Rania, menatap cewek itu lekat terkesima.

"Buat elo pada aje. Gue gabut mau ngapain, berhubung kepengin makan brownies ya, udah gue bikin, deh."

"Kenapa nggak beli aja, sih?" Devan bertanya tapi matanya masih fokus membaca komposisi yang tertera pada bagian belakang bungkus terigu.

Jazmi ikutan mengangguk. "Betul, tuh! Beli wae ngopo, sih, Ran?"

"Kagak, kagak. Enak juga bikin sendiri."

"Tapi, ini nggak bakal gagal, kan?" Devan cuma bertanya memastikan, dia trauma dengan seblak buatan Rania.

Rania terkekeh mendengarnya. "Sejauh ini, sih gue belom ada niatan mau ngeracun lo pada. Jadi, santai aja. Ini brownies gue pastiin layak buat dimakan."

Devan manggut-manggut, sebenarnya dia juga sudah tidak sabar mau mencicipi brownies buatan Rania. Apalagi kalau dimakannya sambil dihidangkan segelas teh hangat favoritnya. Perpaduan yang sangat sempurna tentunya.

"Tak bantuin sini." Jazmi berinisiatif mau membantu Rania—sekalian caper sedikit, biar kelihatan ada tindakan di mata cewek itu tentunya—tangannya langsung terulur mengambil apron yang tergeletak tidak jauh dari tempat Devan duduk.

"Boleh," Rania mengangguk pelan. "Lo bagian taburin topping, ya. Kebetulan gue emang bikin 3 loyang dan niatnya mau pake topping yang beda."

Sigap, Jazmi mengangguk patuh. Segera dia menuju sink dan mencuci tangannya. Melihat Jazmi yang tampak nurut oleh perkataan Rania membuat Devan terkekeh.

"Nurut banget kalo lagi sama pawang." ledeknya singkat yang Jazmi balas hanya dengan menyengir lebar.

Mau tidak mau karena tidak enak cuma duduk sambil menonton, Devan tergerak untuk membantu. Setelah bertanya kepada Rania apa yang harus dia lakukan, akhirnya Devan mengerjakan bagiannya.

"Ini kalo dimakan langsung bisa, kan?" Devan tidak tahan untuk bertanya karena kacang mede itu terlihat menggiurkan, apalagi setelah barusan dia menuangkannya ke dalam sebuah mangkuk kaca berukuran sedang.

"Makan aja kalo mau nyobain. Tapi, jangan lo habisin." Rania menjawab sambil mulai menuangkan adonan brownies tersebut ke dalam loyang.

Jazmi hanya diam mengamati Rania dan Devan secara bergantian tapi tangannya diam-diam mengambil chocochips dan memakannya.

"Gue tau ya, lo dari setadi nyomotin tuh, chocochips. Ampe habis awas lo, Mi! Gue cekek beneran!"

"Galak banget. Sithik tok, loh ya ampuuuunn!"

Setelah beberapa jam berlalu, brownies yang dibuat Rania matang. Aroma dari brownies yang baru saja matang itu menguar memenuhi dapur kosan.

"Wangi banget, anjir! Nggak sabar gue mau nyicip." Devan berseru semangat apalagi tadi saat dia menaburi topping kacang mede di atas adonan browniesnya.

"Sabar, masih panas, nih!" Dengan hati-hati, Rania mengeluarkan loyang tersebut dari dalam oven.

"Woah, apik, cok! Nek gini, wes. Open po wae, Ran."

"Bener, ntar gue bantu promosiin, dah. Pasti laku, sih!"

Rania berdecak malas. "Gue belom minat buat jualan."

"Padahal kalo lo mau coba jualan bakal laku keras, Ran." Devan menyeletuk asal, padahal dalam hatinya sudah tidak sabar mau mencicip brownies yang mengepulkan uap panas itu.

"Masih ada yang lebih enak rasa browniesnya dibanding bikinan gue, Van."

"Promosinya bukan cuma jualan rasa doang."

Rania menampilkan wajah bingung tidak mengerti. "Maksudnya?"

Devan tersenyum jumawa. "Bakal laku kalo beli satu porsi gratis dicium Jazmi!"

"ASU, AKU MENENG AE LOH, COK?"

***

Sepulang dari pergi bersama Farris tadi, Letta jadi murung dan memilih mengunci diri di kamarnya. Rania sudah menawarinya brownies yang terlihat menggiurkan, tapi mood Letta sedang tidak baik, apalagi tadi dia melihat Hanan pergi dengan perempuan lain.

Farris tidak henti-hentinya tertawa meledek. Bahkan, hingga motor terparkir di depan kosan mereka. Bukannya membuat perasaan Letta membaik, temannya itu malah asyik menertawakan.

Kalau sudah begini, Letta jadi bingung sendiri. Hanan bertingkah baik sepanjang mereka berkenalan. Perhatian-perhatian yang diberikan cowok itu selama ini membuat Letta nyaman.

Seharusnya kalau cowok itu hanya menganggap Letta sebatas teman, kenapa bersikap selayaknya seseorang yang sedang melakukan pendekatan?

Teman tidak mengirim pesan setiap hari. Teman tidak bertukar cerita lewat panggilan-panggilan pada malam hari sebelum tidur. Teman tidak akan bertingkah sampai sejauh itu.

Berani sumpah, Letta akan membenci cowok itu kalau ternyata Hanan hanya menganggapnya sebatas teman biasa.

"Letta? Tidur, ya?"

Mendengar namanya dipanggil membuat Letta segera menghapus air matanya yang sedari tadi sudah menetes. Dia sempat menangis meski tidak sampai sesenggukan.

"Nggak, Kak. Masuk aja, nggak dikunci pintunya, kok." Letta sedikit berteriak supaya suaranya terdengar.

Pintu terbuka dan menampilkan Lia yang lengkap menggunakan jaket serta masker yang menutup wajahnya karena sama seperti Letta, Lia baru saja tiba di kosan selepas pergi keluar bersama Naufal tadi.

"Boleh masuk?" Lia bertanya hati-hati.

Letta mengangguk lesu. "Boleh, Kak."

Setelah mendapatkan persetujuan, Lia melangkah masuk lalu duduk di tepi kasur Letta.

Lia menghela napas setelah melepas maskernya. "Tadi katanya abis makan buryam? Enak nggak? Baru buka ya, tempatnya?"

Berhubung energinya sudah habis untuk menangis dan menahan rasa kesal, Letta hanya bisa mengangguk pelan.

"Jadi penasaran rasanya, deh gue. Kapan-kapan ke sana lagi mau nggak?"

"Kak,"

"Iya?"

Letta menghela napasnya dengan berat. "Ke sana lagi tapi jangan yang di Pogung."

"Hah?" Lia menaikkan sebelah alisnya. "Lho, kenapa?"

Meski air matanya tadi sudah berhenti, mendengar tanya yang diberikan oleh Lia membuat Letta kembali menangis, kali ini tangisnya lebih keras.

Sontak, Lia dibuat kebingungan. "Aduh, sorry. Eh... gimana ini, aduh... Ta, kok nangis?"

"Gue nggak mau makan di situ lagi..."

"...."

"Gue benci sama Hanan. Benci banget, Kak!"

"Jadi lo nangis karena Hanan? Bukan gara-gara si Farris?"

Letta menggeleng. "Hanan. Tapi Farris nyebelin. Dia ngetawain abis-abisan."

Lia cuma bisa tepuk jidat mendengarnya. Lalu dia sedikit bergeser kemudian menepuk-nepuk bahu Letta pelan.

"Mau cerita?"

Letta mengangguk di tengah isakan tangisnya. "Cowok kenapa banyak yang jahat, sih, Kak?"

"Hanan jahat ke lo?"

"Iya!" Letta menganggukan kepalanya. "Tadi gue ketemu dia di tempat bubur, tapi dia... malah sama cewek lain... kan, gimana gue nggak sedih... ya, d-dia jahat... pokoknya!"

Melihat Letta yang sesenggukan seperti ini membuat Lia ikut sedih. Pasalnya, siapa sih, yang memilih untuk disakiti? Nggak akan ada manusia yang mau menyerahkan diri buat disakiti sesama manusia, kecuali emang kejiwaannya yang nggak lagi waras.

"Hanan udah ngejelasin?"

Letta kembali menggeleng lemah. "Nggak ada. Seolah hal itu nggak perlu dijelasin lagi sama dianya."

"Ya, ampun..."

"Maksud gue tuh, ya..." Letta menjedanya sambil meraih tisu yang tergeletak di atas meja sebelah kasurnya. "Iya, gue emang nggak berhak cemburu karena belom jadi ceweknya. Tapi, sikap dia selama ini, tuh bikin gue jadi salah paham."

Lia masih fokus mendengarkan, sesekali tangannya mengelus pelan lengan milik Letta.

"Kalo dari awal cuma mau jadi temen, ya, udah nggak usah bersikap kelewatan kayak gitu, dong! Temen apanya kalo tiap Minggunya ngajak keluar berdua? Temen apanya kalo tiap malem ngajak telponan? Jahat kan, Kak kayak gitu? Jahat, kan?"

Lia mengangguk setuju, dia masih fokus mendengarkan Letta bercerita.

"Kalo dibilang, guenya yang kelewat baper, ya coba aja dipikir. Ngapain sampe sejauh itu? Temen, tuh, kayak Mas Jazmi, Bang Aldo. Chat juga seadanya dan nggak tiap hari. Terus, kalo ngajak keluar juga pas emang ada kebutuhan. Dateng tuh, pas dimintain tolong kayak Farris. Bukannya nawarin tiba-tiba. Kelewatan sih, sumpah."

"Sejauh ini, dia nggak ada kasih closure apa-apa ke lo?"

"Nggak ada, Kak. Makanya dibikin bingung banget sumpah."

"Tapi Ta, dibikin bingung sama sikapnya aja itu udah closure?"

Letta jadi diam setelah mendengar ucapan Lia. Selama 4 bulan keduanya dekat, Hanan bersikap manis dan baik tanpa menunjukkan arah-arah kejelasan.

"Ta, sorry, bikin lo jadi kepikiran. Gue juga sebenernya akan terkesan sok tau karena gue sama Naufal pun, yah... lo tau sendiri, lah, gimana. Tapi, kalo sampe detik ini dia nggak ngasih lo kejelasan apa-apa padahal udah banyak hal yang kalian laluin, ada baiknya emang lo tanyain ke dia. Bakal lega kalo udah diomongin berdua, kan?"

"Kalo jadi asing gimana, Kak? Gue nggak mau dan nggak siap. Sekalinya deket sama cowok malah kayak gini." Letta makin lesu.

Lia tersenyum tipis, dia memahami rasa takut yang Letta rasakan. "Semua ada masanya, kan? Kita nggak bisa maksa orang buat terus sama kita. Kita juga nggak bisa maksa, keadaan harus berjalan sama apa yang kita mau. Jadi nggak apa-apa semisal jadi asing lagi, sebelumnya juga kalian sama-sama orang asing, kan? Tapi karena takdir, makanya kalian bisa kenal."

"Gue... gue nggak tau harus apa, Kak."

"Keluarin dulu aja semua rasa kesel lo, nggak baik juga kalo dipendam terus menerus. Nanti, setelah lo udah ngerasa lebih tenang, lo bisa ajak dia ngobrolin ini. Apa pun akhirnya, kita harus nerima, ya. Sekalipun itu menyakitkan buat didengar. Jangan jatuh cinta sama orang yang nggak bisa kasih lo kejelasan, Ta. Lo cuma bakal dibuat bingung terus-terusan, emang nggak capek?"

Letta diam lalu kembali menangis. Sejujurnya, Lia jadi merasa bersalah. Dia jarang melihat Letta menangis apalagi sampai terlihat semenyedihkan ini. Aletta bukan tipikal cewek yang akan gampang menangis. Melihatnya sekarang benar-benar membuat Lia tidak berhenti merutuk dalam hati. Dia merasa kalau ucapannya agak kelewat batas.

"Ta, sorry nggak maksud mau bikin lo jadi sedih."

Letta hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Nggak, Kak. Bener kok apa kata lo. Naksir sama orang yang kelewat baik ke semua orang tuh, emang salah. Salah gue juga, sih kenapa jadi salah ngertiin sikap baiknya dia."

"Nggak apa-apa, Ta. Ambil pelajarannya aja dari apa yang lo alami belakangan ini. Soal Farris yang tadi ngetawain lo, biarin aja. Kan, emang anaknya demen ngeledekkin orang."

"Farris wajar ngetawain gue sih, Kak. Dari awal emang Farris juga udah ngingetin kok dikit-dikit, guenya yang kelewat baper."

Lia tertawa pelan, lalu berdiri dari duduknya. "Rania bikin brownies, tuh. Ayo nyicipin, ntar keburu abis. Katanya, si Jazmi dah ngiler pengen makan semuanya."

Yah, Letta sendiri mencoba berbesar hati. Berlarut-larut dalam tangisan apalagi menangis hanya karena cowok, hanya akan menghambat segala proses yang sudah dia lakukan.

Urusan Hanan bisa nanti, tapi brownies buatan Rania tidak bisa dilewati. Maka, setelah bercerita panjang lebar, Letta mau beranjak keluar dari kamarnya.

Letta tidak bisa memaksa soal perasaan yang dia miliki. Bukan kewajiban orang lain apalagi Hanan untuk balik menyukainya. Perlahan, Letta mencoba untuk mengerti dan menyiapkan mentalnya saat nanti dia membicarakan hal ini dengan Hanan.

Sedikit banyak, Letta jadi paham. Benar yang Lia katakan, 'jangan jatuh cinta sama orang yang nggak bisa kasih lo kejelasan, Ta. Lo cuma bakal dibuat bingung terus menerus, emang nggak capek?'.

Jangan jatuh cinta sama orang yang nggak bisa kasih lo kejelasan, Ta. Lo cuma bakal dibuat bingung terus menerus, emang nggak capek?

*

Letta galauuuuu, mau cemburu tapi sadar dirii bukan siapa-siapaaa.

Farris yang ngetawain Letta.

Tersangka yang bikin Letta nangis uring-uringan.


***

A/n :

Kelamaan uploadnyaa wkwkwk maapin sayaaaa.

Gimana puasanya???? Amaannn???

Pernah di posisi Letta? Kalo aku pernah WKWKWKWKK MENGSEDIH, JUJURRR.

Namanya juga hidup yakan, shaayy. Plot twistnya banyak bangettttt.

Udah gitu ajaa, dwecchhh. Semangat puasanya, bentar lagi lebarannnn.

Terima kasih sudah mau menyempatkan baca, yaaa. Wuff uuuuu.

Bekasi, 31 Maret 2024.

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

146K 1.6K 88
And all of a sudden, you realize that nothing lasts forever
65.7K 2.6K 37
ᴅɪᴠᴇʀɢᴇɴᴛ; ᴛᴇɴᴅɪɴɢ ᴛᴏ ʙᴇ ᴅɪꜰꜰᴇʀᴇɴᴛ ᴏʀ ᴅᴇᴠᴇʟᴏᴘ ɪɴ ᴅɪꜰꜰᴇʀᴇɴᴛ ᴅɪʀᴇᴄᴛɪᴏɴꜱ.
306K 7.6K 111
In which Delphi Reynolds, daughter of Ryan Reynolds, decides to start acting again. ACHEIVEMENTS: #2- Walker (1000+ stories) #1- Scobell (53 stories)...
604K 52.8K 35
𝙏𝙪𝙣𝙚 𝙠𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙡𝙖 , 𝙈𝙖𝙧 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙢𝙞𝙩 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙃𝙤 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞...... ♡ 𝙏𝙀𝙍𝙄 𝘿𝙀𝙀𝙒𝘼𝙉𝙄 ♡ Shashwat Rajva...