Robin: Vendetta | Tim Drake

By vmndetta

237 13 299

Bagi penjahat, menyelamatkan vigilante bukan hal yang bagus. Bagi vigilante, tertarik dengan penjahat juga bu... More

1 Has Been Captured
3 No Fingerprints
4 No Other Trace
5 Men's Suicides
6 Chasing Danger
7 Two Versus One
8 Plan Goes Wrong
9 Another Incidents
10 Head Under Water

2 Killed Them All

51 1 17
By vmndetta

"Anggap saja aku penyelamatmu."

Pernyataan itu bagai seember air dingin yang ditumpahkan tepat ke wajah Tim. Penyelamat? Itu adalah hal terakhir yang dia duga akan meluncur dari bibir miliknya yang berwarna merah tipis. Selama ini, seluruh sikap gadis itu membuatnya berpikir kalau dia kemungkinan besar adalah seorang musuh, tapi sekarang?

Tim mengerjapkan mata, "Penyelamat?" tanyanya.

"Ya," Vendetta menganggukkan kepala, "aku akan mengeluarkanmu dari sini, bocah." katanya, dia menyeringai samar.

Hanya karena satu kata, Tim berhasil dibuat mendengus, entah mengapa itu membuatnya gengsi.

"Aku tidak butuh bantuanmu, dan aku bukan bocah." katanya, meregut.

"Kau tidak butuh bantuanku? Tapi kau terjebak di sini dan babak belur, loh." Vendetta menjawab dengan santai sambil menyandarkan punggung ke kursi.

Gadis itu ada benarnya, tapi Tim masih belum mau menerima bantuan darinya begitu saja, dia terlalu menyebalkan untuknya.

"Aku bisa mengatasinya sendiri." ucap Tim.

"Oh, ya? Kau yakin?" gadis itu menaikkan sebelah alis, kemudian dia melipat tangannya di depan dada. "Karena kalau dari yang kulihat, kau tidak memiliki apapun untuk membebaskan diri. Kedua kaki dan tanganmu terikat, dan aku sangat yakin mereka juga menghancurkan alat-alat berhargamu." ucapnya dengan nada mengejek.

Kata-kata tersebut menghancurkan segala upaya yang telah Tim lakukan untuk tetap tenang. Dia merasa seperti dipukul oleh kenyataan yang selama ini dia coba abaikan, membuatnya seolah terhempas kuat ke tanah. Dia sama sekali tidak mau memperlihatkan pada siapapun kalau dirinya sedang berada dalam posisi lemah dan tidak berdaya, tapi gadis itu sudah lebih dari menyadarinya, dan dia berhasil mengendalikan situasi.

"Sialan ..." gumamnya pada diri sendiri.

"Jangan bersikap sok keras, bocah." ucap Vendetta, masih sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Dia terlihat sangat arogan sekarang.

Kata 'bocah' yang kembali meluncur dari bibirnya hanya membuat pikiran Tim semakin kusut. Dia selalu kesal jika ada orang yang memanggilnya seperti itu, terutama bagi orang yang lebih tua darinya, seperti gadis tersebut---dia tidak terlihat tua, tapi dia tahu kalau gadis itu berusia beberapa tahun di atasnya, dan dia pasti sengaja melakukannya untuk membuatnya kesal.

"Berhenti memanggilku bocah!" seru Tim.

"Kenapa? Itu cocok untukmu. Terdengar menggemaskan." gadis itu tertawa renyah.

Kalimat tersebut berhasil membuat wajah Tim memerah. Dia merasa dirinya akan meledak sebentar lagi, entah karena marah atau karena tersipu menahan rasa malu, dia tidak tahu dan dia tidak mau tahu. Gadis itu terus bermain-main dengan perasaannya sejak pertama mereka berbicara dan itu semakin membuatnya gelisah.

"Tidak! Itu sama sekali tidak menggemaskan karena aku bukan bocah!" Tim berteriak.

Namun, bagi seseorang seperti Vendetta, Tim hanyalah seorang laki-laki biasa di matanya, dan menurutnya, mereka tidak sepadan. Dia bahkan sama sekali tidak merasa takut ataupun gentar akan gertakan serta ancaman yang terdengar jelas dalam suara laki-laki tersebut.

"Lalu, bagaimana aku harus memanggilmu?" tanyanya.

Tim mengerucutkan bibir, "Robin." balasnya singkat.

Dilihat dari ekspresi wajahnya yang berubah tidak puas, sudah jelas kalau gadis itu tidak akan menerima jawaban yang dia berikan begitu saja. Itu pasti bukan jawaban yang dia inginkan.

"Itu bukan nama aslimu. Aku ingin tahu nama aslimu." ucap Vendetta tajam.

Tim hanya bisa memutar bola mata.

"Tim. Panggil aku Tim." jawabnya.

Gerakan yang sembrono, tapi lebih baik dia dipanggil dengan secuil nama aslinya, Timothy Drake, daripada dipanggil dengan sebutan 'bocah', itu terlalu memalukan. Lagipula, dia pernah jauh lebih bodoh sebelumnya, yaitu ketika dia sempat menggunakan nama samaran 'Drake' yang mana merupakan nama keluarganya. Selain itu, wajahnya sudah terekspos, gadis itu dapat melihatnya dengan jelas, dan dia yakin gadis itu tidak akan segera melupakannya. Jadi, hal apalagi yang bisa membuat keadaan menjadi jauh lebih buruk?

Vendetta tersenyum. "Senang bertemu denganmu, Tim." katanya.

Senyum itu sama sekali tidak membantu Tim untuk merasa baik-baik saja, justru itu membuatnya semakin bertanya-tanya. Apakah dia memang benar-benar bersikap baik padanya atau ada sesuatu yang jauh lebih jahat yang bersembunyi di balik senyum serta tawanya? Dia tidak tahu, dia tidak menemukan apapun. Sejak tadi, pertanyaan yang dia lontarkan dan pertanyaan yang berputar dalam benaknya hanyalah pertanyaan tanpa jawaban.

Tim memutuskan untuk tidak membalas.

Mereka hening selama beberapa saat. Keduanya bungkam, ini menjadi sangat canggung bagi Tim. Gadis itu terus memandangnya dengan tajam dan lurus, kedua mata emasnya tampak tidak berkedip. Tim perlahan merasa kalau dirinya seolah-olah sedang ditelanjangi atau dipermalukan tanpa langsung. Dia tidak terlalu suka bagaimana cara gadis itu menatapnya, sorot mata itu membuatnya sadar diri kalau dia sedang dalam keadaan lemah.

"Apa kau bisa berjalan?" tanya Vendetta.

Tim tidak mengerti kenapa gadis itu lebih peduli dengan kondisi tubuhnya daripada intonasi permusuhan yang meluncur dari bibirnya sejak beberapa menit lalu.

"Ya." jawab Tim, "Kenapa?" dia terdengar sedikit ketus.

Gadis itu tersenyum, "Bagus, itu artinya aku tidak perlu susah payah menggendongmu." katanya.

"Aku bisa berjalan, aku tidak butuh bantuanmu untuk menggendongku kemana-mana." ucap Tim tegas, dia nyaris mendengus. "Kau mengulur terlalu banyak waktu. Sekarang aku jadi ragu apa kau benar-benar ingin membantuku atau tidak." ucapnya.

Mendengar hal tersebut, Vendetta terkekeh. "Aku benar-benar ingin membantumu, jangan khawatir." katanya.

Tentu saja Tim khawatir. Dia tidak bodoh, dia jenius, dan dia tahu kalau semakin lama dirinya berada di sini, semakin besar pula kemungkinan kalau gadis itu adalah seorang musuh yang hanya ingin bermain-main dengan perasaannya demi kesenangan semata. Dia tidak boleh membiarkan hal tersebut terus berlanjut, bisa-bisa dia mulai kehilangan akal. membuat otaknya berantakan, dan mengacaukan segalanya.

"Kalau begitu berhenti main-main dan lepaskan aku." ucap Tim tajam.

Vendetta lagi-lagi tertawa dan Tim lagi-lagi terheran akan apa yang menurutnya lucu. Gadis itu sering kali tertawa, membuatnya mulai berpikir kalau tawa itu suatu saat bisa menghantuinya. Dia tidak tahu apakah itu adalah hal buruk atau bukan, dan itu membuatnya merasa gelisah.

Beberapa detik kemudian, tawa itu perlahan terhenti. Tim memperhatikan gerak-gerik gadis itu dari balik poninya, dia menelaah wajah tersebut dalam diam. Entah kenapa, ekspresinya yang semula tampak main-main kini mulai serius.

"Apa kau mempercayaiku?" tanyanya tiba-tiba.

Tim berkedip. Haruskah dia melontarkan pertanyaan seperti itu?

Percaya?

Pertanyaannya membuat Tim merenung sejenak. Apa dia mempercayainya? Mungkin tidak. Dia tidak yakin. Dia masih belum bisa mengungkap apa niat sebenarnya gadis itu, tapi dia juga tidak bisa melawan instingnya yang berbisik kalau gadis itu memang peduli dengan kondisinya. Bisa saja ini berarti sesuatu, entah dia bodoh atau semua akan berubah menjadi lebih baik.

"Tidak, belum." jawab Tim jujur, "Aku masih tidak tahu niat aslimu." katanya.

"Sudah kuduga."

Untuk yang pertama kalinya, gadis itu menghela napas. Tim mengerjapkan mata seolah itu adalah hal mustahil yang baru saja terjadi di hadapannya. Dia tidak menduga kalau gadis itu bisa menampilkan emosi lain selain sikap acuh tak acuh dan masa bodoh miliknya. Dia justru berpikir sebaliknya, dia mengira kalau gadis itu akan mulai kasar, marah-marah, atau menghajarnya sehabis mendengar jawaban jujur darinya.

"Setidaknya, apa kau bisa berjanji kalau kau tidak akan kabur dariku?" Vendetta kembali bertanya.

Ada sesuatu yang aneh dengan permintaannya, tapi itu tidak menghentikan Tim untuk menatapnya tepat di mata.

"Untuk sekarang aku tidak berencana untuk kabur darimu karena kau bilang kau akan menolongku." dia membalas, suaranya terdengar serius. "Tapi, kalau kau ingkar janji, kau tahu apa yang akan kulakukan kalau ada kesempatan sedikit saja." ancamnya.

Gadis itu bergumam 'hm' pelan, dia melirik ke arah Tim sekali lagi.

"Kalau begitu, tetap diam dan bersiaplah." katanya.

Tim membalas sorot matanya beberapa detik lebih lama, lalu dia memutuskan untuk memberinya sedikit kepercayaan dan tetap diam sesuai apa yang dia inginkan.

Vendetta perlahan bangkit dari duduk dan berjalan ke arah belakang Tim. Detik selanjutnya, laki-laki itu dibuat terkejut. Matanya hampir membulat sempurna begitu dia melihat sebuah belati berwarna hitam pekat yang tiba-tiba muncul dalam genggaman tangan gadis tersebut.

Tim tercengang. Ternyata selama ini gadis itu membawa senjata? Dimana dia menyembunyikannya? Bagaimana dia menyembunyikannya? Gadis itu mengenakan pakaian yang terlalu simpel dan pendek untuk membawa serta menyembunyikan sesuatu seperti belati atau senjata lain bersamanya, dia bahkan tidak membawa wadah atau tas kecil apapun di sekitar tubuhnya. Laki-laki tersebut jadi gagal paham.

Tim memperhatikan setiap gerakan gadis itu dari balik bahunya. Ketika dia mulai memotong tali yang mengikat tangannya dengan hati-hati, gerakannya tampak begitu lihai seolah-olah dia sangat ahli menggunakan senjata. Setelah selesai dengan tangannya, gadis itu mengambil beberapa langkah ke depan dan mulai memotong tali yang mengikat kakinya. Belati yang dia pakai memiliki ujung yang sangat tajam, tidak butuh waktu lebih dari semenit untuk memotong semua tali tersebut.

"Selesai." katanya.

Beban yang ada di pundak Tim seketika terangkat. Badannya mungkin masih terasa kaku karena telah terikat dalam waktu lama, tapi akhirnya dia bisa menggerakkan anggota tubuhnya dengan bebas dan leluasa. Ini adalah saat yang dia tunggu-tunggu. Dia merentangkan tangan dan kakinya, melakukan peregangan selama beberapa saat untuk meredakan nyeri pada ototnya. Kemudian dia berdiri dari kursi, merasakan kebebasan yang selama ini dia dambakan.

Diam-diam Tim memperhatikan Vendetta itu dari ujung matanya. Meskipun ancaman yang gadis itu miliki tidak sebesar sebelumnya karena dia sudah terbebas dari jeratan dan dapat melakukan segala jenis perlawanan serta pertahanan diri, dia masih harus mewaspadainya.

Kedua mata berwarna emas itu menoleh, balas menatapnya. Gadis itu tidak mengatakan apapun padanya  selama beberapa saat, seolah sengaja memberinya waktu untuk mengambil napas. Sampai akhirnya, dia tiba-tiba mengulurkan tangan.

"Ayo." katanya.

Tim tidak menerima uluran tangannya. Dia berpura-pura tidak melihat---meskipun dia tahu kalau usahanya kemungkinan gagal---dan mulai melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan yang selama ini telah menjadi penjaranya.

Melihat Tim yang sengaja mengabaikan uluran tangannya seperti itu, Vendetta hanya mengangkat kedua bahu secara acuh tak acuh lalu menyusulnya dan mempercepat langkah untuk memimpin jalan keluar.

Tempat yang menyekap Tim merupakan sebuah gedung bertingkat yang cukup mewah, penampilannya bahkan menyerupai hotel. Ketika dia berjalan melewati lorong yang panjang, dia melihat banyak sekali pintu yang berjajar. Masing-masing dari pintu tersebut pastinya memiliki kegunaan yang berbeda. Ruang pribadi, ruang rapat, ruang arsip, atau lain sebagainya. Tapi, hal yang paling menarik perhatiannya adalah barang-barang mahal yang terpajang di berbagai tempat.

Seperti tempat kumpul para mafia, pikir Tim.

Gedung yang laki-laki itu pijak memang tampak mewah dan berkelas tinggi. Namun, anehnya, semakin dia berjalan, yang dia rasakan hanyalah kekosongan. Dia tidak merasakan kehadiran siapapun, dia juga tidak melihat orang lain dalam jarak pandangnya. Jangankan bertemu, dia bahkan sama sekali tidak mendengar satupun suara tanda kehidupan. Seolah-olah tempat mewah ini telah ditinggalkan oleh para penghuninya.

"Kemana semua orang?"

Ketika mereka berdua berhasil keluar dari gedung, Tim memutuskan untuk bertanya. Dia mengharapkan sesuatu yang berbeda, tapi saat dia memutar kepalanya ke arah mobil-mobil yang sedang terparkir dengan sempurna, semuanya masih tampak hening dan kosong.

"Itu tidak penting," balas Vendetta, "yang penting kau sudah bebas dari sana." katanya, jelas-jelas dia mengelak.

"Tentu saja itu penting!" ucap Tim, dia nyaris berseru, rasa penasarannya menggebu-gebu. "Kau tidak pernah menjawab saat aku bertanya kenapa kau ada di sini, jadi paling tidak, yang bisa kau lakukan sekarang adalah menjawab pertanyaanku yang satu ini. Ini tidak begitu sulit!"

Mendengar ledakan emosi darinya, gadis itu otomatis menolehkan kepala. Dia memicingkan mata dan menatap laki-laki itu dengan dahi yang mengernyit samar. Tim tidak mengerti apa arti dari tatapan tersebut, tapi dia tidak akan menyerah sampai dia mendapat penjelasan.

"Jawab saja pertanyaannya! Kenapa tidak ada orang di sini? Kemana mereka semua pergi?" dia kembali bertanya.

Vendetta mengalihkan pandangan. Kedua netranya yang berwarna emas memperhatikan gedung kosong yang ada di hadapannya tanpa selera.

"Mereka tidak pergi." jawabnya datar.

"Apa?" Tim mengerjapkan mata, dia benar-benar kebingungan sekarang. "Lalu di mana orang-orang? Kenapa aku tidak melihat siapapun?"

Tim lagi-lagi tidak habis pikir. Gadis itu berkata kalau semua orang tidak pergi dari sini, tapi dia jelas-jelas tidak bertemu siapapun sejak mereka keluar dari ruangan yang selama ini telah menyekapnya. Ini sangat tidak masuk akal baginya.

"Omong kosong!" dia berseru. "Kalau mereka tidak pergi, dimana mereka!?"

Setitik keputusasaan yang terdengar dalam suara Tim membuat gadis itu kembali menoleh ke arahnya. Tapi kali ini, dia menatapnya lurus tepat di mata.

"Kau ingin aku menjawabmu?" tanyanya dingin.

Tim mengepalkan tangan, "Tentu saja!" ucapnya tegas.

Tim tidak akan membiarkannya lepas kali ini. Dia ingin mendapatkan sebuah jawaban setelah semua pertanyaannya diabaikan dan perasaannya dipermainkan berkali-kali. Dia tidak lagi peduli dengan alasan kenapa gadis itu datang ke sini---lagipula dia sudah dibebaskan, yang dia pedulikan sekarang adalah kenapa tidak ada seorangpun yang dapat terlihat di tempat yang selama ini telah menahannya.

Namun, tanpa Tim duga, Vendetta justru tersenyum.

"Mereka semua mati." katanya.

Tim membeku, matanya melebar.

"Mereka semua mati?" ulangnya, suaranya sedikit gemetar.

"Lebih tepatnya, mereka semua terbunuh." gadis itu menambahkan. Dia mengangkat kedua bahu, kemudian kembali mengalihkan pandangan seolah-olah perkataannya bukan apa-apa. "Tidak masalah, lagipula mereka semua adalah penjahat yang menyiksamu." katanya.

Tim meneguk liur.

Membayangkan genangan darah serta mayat orang-orang yang saling bertumpuk membuat bulu kuduk Tim merinding. Mereka mungkin orang jahat yang telah menculik dan membuatnya babak belur, tapi apa mereka pantas untuk dibunuh? Memikirkan tentang kematian masal seluruh penghuni gedung mewah tersebut berhasil membuatnya merasa mual.

Saat ini, hanya ada satu kesimpulan yang ada di otaknya.

"Apa kau yang membunuh mereka semua?" tanya Tim.

Mereka berdua saling bertatapan, tidak ada seorangpun yang berkedip. Keadaan hening selama beberapa saat. Gadis itu tidak menjawab dengan kata-kata, tapi dia tiba-tiba tertawa hambar.

Tim bisa gila.

"Aku bertanya padamu! Apa kau yang membunuh mereka semua!?" serunya.

Vendetta tahu kalau Tim nyaris mencapai batasnya, dia hampir kehilangan sikap tenang serta kepala dingin yang selama ini terus dia pertahankan sekuat tenaga. Jujur saja, gadis itu terkesan karena laki-laki itu ternyata dapat mengendalikan dirinya lebih lama dan lebih baik dari yang dia perkirakan. Dia berada di jajaran teratas dalam daftar 'orang sabar' yang pernah ditemuinya.

Dia pun tersenyum, "Ya, aku yang membunuh mereka." katanya.

Sinting.

"Apa kau gila!?" teriak Tim.

Gadis itu sama sekali tidak bergeming mendengar teriakannya. Sebaliknya, dia justru termenung sambil menumpu dagu dengan tangan, tampak sedang memikirkan sesuatu.

"Hmmm ... mungkin aku tidak membunuh semuanya. Mungkin ada beberapa diantara mereka yang hanya hilang kesadaran." gumamnya.

"Berapa?" Tim menggertakkan gigi, alisnya menyatu. "Berapa yang masih hidup? Dan berapa banyak yang sebenarnya kau bunuh!?" tanyanya.

Vendetta mengernyitkan dahi, dia heran. Orang-orang selalu menanyakan hal yang sama padanya, orang-orang selalu penasaran akan berapa banyak orang yang telah dia bunuh. Pertanyaan yang tidak penting. Pertanyaan yang tidak masuk akal. Dia tidak memiliki jawabannya karena dia memang tidak pernah menghitung. Untuk apa dia menghitungnya?

"Dengar,"

Gadis itu berbalik ke arah Tim, membuat mereka berdua saling berhadapan. Dia perlahan mencondongkan tubuh untuk menghapus jarak, memastikan kalau lawan bicaranya tidak akan bisa melihat ke arah lain selain wajahnya.

"Tidak mudah bagiku untuk memasuki tempat ini dan berbaik hati untuk menyelamatkanmu, jadi sebaiknya kau tidak banyak tanya." katanya tajam.

Gadis itu mengulurkan tangan, dia menarik kencang bagian atas ujung jubah milik Tim, membuat jarak yang terbentang di antara bibir mereka hanya tersisa beberapa senti saja.

"Lain kali, kau harus siap akan apa yang terjadi di sekitarmu." desisnya.

Bagaimana cara gadis itu bertingkah, bagaimana cara gadis itu bergerak, bagaimana cara gadis itu berbicara. Sikapnya yang terlampau santai seolah-olah tidak berperasaan, perlakuannya yang berubah-ubah seakan bisa meledak suatu saat, suaranya yang terdengar tenang dan mengancam di saat yang bersamaan, serta jarinya yang tampak lentik tapi ternyata lihai menggunakan senjata berupa belati yang tajam. Semuanya terasa begitu berbahaya.

Tim tidak bisa berkata-kata. Dia tidak sanggup berbicara.

Sialan, Tim merasa dia tidak pernah sebodoh ini sebelumnya.

* * *

Continue Reading

You'll Also Like

285K 22.1K 102
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
82.6K 9.5K 40
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
214K 32.7K 59
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
804K 84K 57
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...