Cupcakes | Jisung

23byeolbamm tarafından

920 157 84

Park Ji-young, tidak pernah aku bayangkan nama itu akan berpengaruh besar pada garis hidupku. Dia yang kukagu... Daha Fazla

| Cast and Disclaimer |
OO | Cupcakes
O1 | Cupcakes
O2 | Cupcakes
O3 | Cupcakes
O4 | Cupcakes
O5 | Cupcakes
O6 | Cupcakes
O7 | Cupcakes
O8 | Cupcakes
O9 | Cupcakes
1O | Cupcakes
11 | Cupcakes
12 | Cupcakes
13 | Cupcakes
14 | Cupcakes
15 | Cupcakes
16 | Cupcakes
17 | Cupcakes
18 | Cupcakes
19 | Cupcakes
2O | Cupcakes
21 | Cupcakes
22 | Cupcakes
24 | Cupcakes
25 | Cupcakes
26 | Cupcakes
27 | Cupcakes
28 | Cupcakes
29 | Cupcakes
3O | Cupcakes
31 | Cupcakes
32 | Cupcakes
33 | Cupcakes
34 | Cupcakes
35 | Cupcakes

23 | Cupcakes

22 4 0
23byeolbamm tarafından

| happy reading |
| don't forget to give your best support |

###










Aku tidak tahu ini termasuk karmaku atau bukan, tapi aku harus berterima kasih pada Kak Sandi yang tidak membeberkan kehamilanku. Padahal malam itu aku sudah takut setengah mati jika atasanku itu akan membongkar semuanya, tapi ternyata dia masih berbaik hati padaku. Dia hanya mengatakan asam lambungku naik dengan sedikit diagnosis dokter yang aku sendiri ragu apakah itu terjadi padaku atau hanya karangannya. Berakhir aku kena wejangan panjang Papa yang intinya aku harus memperbaiki pola makanku.

Ya memang aku jadi sering melewatkan makan siang karena pekerjaan yang menumpuk, dan beberapa kali tak ikut makan malam karena terlanjur lelah dan memilih langsung tidur.

Dari sana pula, Papa memintaku izin cuti di sisa minggu ini agar aku fokus beristirahat. Tak tanggung-tanggung, Papa bahkan meminta izin langsung pada Kak Sandi. Aku sempat protes, tapi Kak Sandi berpihak pada Papa. Bukan apa, sisa minggu ini masih 4 hari lagi. 2 hari kerja, 2 hari weekend.

Alhasil, aku kembali menjadi orang tak berguna di rumah karena seharian mengurung diri, persis seperti pengangguran sejati. Itu kulakukan selama 2 hari penuh, di hari Sabtu aku berniat keluar karena harus membeli sesuatu. Dari semalam aku sudah memikirkan ini, dan aku memutuskan walau anak ini sangat di luar keinginanku, aku harus tetap merawatnya dengan baik.

Di sinilah aku, berdiri dengan kaku di depan jajaran berbagai merk susu ibu hamil. Semalam aku juga sudah mencari rekomendasi merk yang bagus, dan sudah mendapat satu yang jadi incaran. Tapi melihat banyak merk yang tak ada di daftar itu, aku kembali dilanda bingung. Yang mana, ya?

Sialnya, aku tidak memiliki teman yang sudah menikah bahkan memiliki anak. Tiga temanku di kampus sampai saat ini masih setia mengejar karirnya. Satu-satunya andalanku adalah mesin pencari berskala internasional alias google.

"Perlu bantuan?"

Seseorang menjajariku di sebelah kiri, aku yang tengah melamun sedikit terlonjak karena kehadirannya yang tiba-tiba.

"Maaf, ngagetin ya?"

Aku hanya diam sembari menelisik tubuhnya dari atas sampai bawah. "Aku tidak berniat jahat, aku murni ingin membantumu. Kamu kelihatan bingung soalnya."

"Kamu tau soal ini?" Aku menunjuk rak susu dengan dagu.

Laki-laki itu mengangguk. "Tentu. Aku sudah menikah dan memiliki seorang anak. Aku yang membelikan seluruh keperluan istriku selama hamil." Lalu dia menunjuk sesuatu, saat aku mengikutinya, dia menunjuk seorang wanita yang tengah mengantri di meja kasir, bersama seorang anak laki-laki di gendongannya.

"Itu istri dan anakku."

Kenapa... hanya dengan melihatnya mendadak aku merasa iri? Betapa beruntungnya wanita itu karena memiliki pria yang bersedia mendampinginya di masa-masa kehamilan. Sungguh, hanya berdiri di dekat laki-laki ini aku bisa merasakan bahwa dia begitu tulus mencintai keluarganya.

Sedangkan aku? Aku harus berjuang sendirian. Aku terpaksa menyembunyikannya. Dan aku juga belum menikah. Dunia sangat tidak adil padaku.

"Kamu ada alergi sesuatu?"

Lagi-lagi aku memusatkan atensi pada laki-laki yang belum ku ketahui namanya. Lantas menggeleng untuk membalas pertanyaannya.

"Ada rasa yang ingin kamu cicipi?"

"Emang... susu ibu hamil punya banyak rasa?"

Dia tersenyum kecil, maklum, mungkin? "Ini pertama kali buatmu, ya?"

"Mhm."

"Terus ke mana suamimu? Dia nggak nganter?"

Aku harus jawab apa?

"Itu, em... dia lagi sibuk. Jadi nggak bisa nganter beli."

"Oh, jadi kamu pengen rasa apa?"

"Aku nggak tau..."

"Susah juga, soalnya kalau salah beli kan mubazir." Dia menggaruk kepalanya, maafkan aku karena sudah membuatmu ikut bingung, Mas. "Gini aja deh, gimana kalau kamu coba merk yang biasa istriku beli? Dia suka banget soalnya, mungkin juga kamu bakal suka."

Lantas dia mengambil satu karton yang kebetulan menjadi incaranku di awal. "Ini. Beli satu aja dulu, kalau cocok baru beli stok yang banyak."

"Makasih, Mas...?"

"Arfan."

"Makasih Mas Arfan. Maaf kalau aku ngerepotin."

"My pleasure. Kalau gitu aku pergi dulu."

Bahkan dia tidak berniat mengetahui namaku. Oh, dia setia sekali. Semoga Han Seungri seperti itu kelak.

***

Dari kejadian terakhir, kami jadi dekat. Tidak, bukan aku dan Arfan si lelaki yang membantuku, melainkan aku dan Kak Sandi. Aku sadar interaksi antara kami semakin banyak di kantor, tapi aku serius aku hanya berkonsultasi masalah kehamilan padanya, selain urusan kantor pastinya. Dia pernah mengatakan dia yang menemani Gita selama masa kehamilan, jadi kurasa dia mungkin tahu banyak yang bisa jadi ilmu baru buatku.

Namun, aku tidak tahu bahwa kedekatan kami itu mengundang berbagai rumor aneh yang tersebar di penjuru kantor. Awalnya aku merasa biasa saja, toh mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi semakin ke sini, rasanya semakin rumit saja. Rumornya semakin besar dan bercabang kemana-mana. Bahkan Bu Cantika selaku HRD kantor sampai menanyakan status hubunganku dengan manager divisi R&D itu.

Dan semakin hari, keanehan semakin banyak terjadi padaku. Nafsu makan meningkat, mood yang seperti rollercoaster, dan pemilih dalam makanan. Perubahan ini jelas karena hormon kehamilan. Mau tak mau aku harus menerima sikap anehku yang untungnya, tidak terlalu merepotkan. Bahkan memasuki minggu keenam, muntahku tidak lagi setiap hari.

Namun, kali ini baby sepertinya tidak ingin bersekutu lagi denganku. Aku yang sebelumnya mampu beraktivitas normal selama bekerja, hari ini lumayan menguras tenaga. Terhitung sudah dua kali aku bolak-balik ke kamar mandi sampai jam istirahat ini, mau marah pun aku tidak bisa.

"Cupcakes, hari ini tolong bekerja sama dulu, ya? Mama masih kerja. Boleh enggak manjanya besok aja? Besok kamu bisa manja-manja sepuasnya, soalnya Mama libur."

Sejauh aku mengetahui kehadirannya, aku tak pernah kepikiran akan mengatakan hal itu pada sesuatu yang bahkan masih seukuran tomat ceri. Hah... keadaan ini merubahku hampir 180 derajat.

Tapi, sesuatu yang kusematkan panggilan cupcakes itu sepertinya enggan mendengarkanku. Oke, kalau dia keras kepala, maka aku juga bisa. Aku akan tahan apapun yang mengganggu pekerjaanku hari ini.

Kecuali, bau makanan yang tajam.

Iya, kecuali itu. Aku benar-benar tidak tahan. Namun naasnya, saat ini aku harus menghadapinya. Jam makan siang ini, satu divisi sudah berencana makan siang bersama. Awalnya aku tak keberatan, tapi melihat ikan goreng yang tersaji di atas meja membuatku tiba-tiba mual. Ingin menahannya tapi aku tidak kuasa. Baru beberapa menit duduk di sana, aku sudah izin ke toilet dan memuntahkan sisa makanku tadi pagi.

Sekarang bagaimana? Aku memaksa bergabung atau diam saja di kantor?

Pilihan A jadi pilihan yang kupilih, sebab tidak ada pilihan lain. Jika aku memilih diam, bukan hanya mereka akan kecewa padaku, tapi itu berpengaruh pada kesehatanku jika lagi-lagi aku melewatkan makan siang. Lagipula saat kemari tadi, aku jelas-jelas melewati Kak Sandi, yang artinya makan siang ini dikhususkan untuk merayakan keberhasilan riset kami kemarin.

Namun sebelum aku memasuki kantin, orang yang baru saja kusebut itu menghalangi jalanku. Aku menatapnya dengan diam, namun dalam hati bertanya kenapa dia meninggalkan tempat duduknya.

"Mual lagi? Kenapa?"

Aku mengangguk lemah. "Dini makan sama ikan, gak kuat."

"Kamu belum makan?"

"Belum."

"Udah pesen tapi?"

"Udah, udah di meja."

"Yang mana? Biar aku bawain ke ruangan aku. Kamu makan di sana aja kalau ngerasa gak nyaman."

Aku setuju karena itu solusi terbaik, tapi aku tak tahu jika satu kejadian itu menambah rumor kencanku dengan Kak Sandi. Orang-orang melihatku dengan aneh, membuatku tak nyaman. Yang baru kuketahui alasannya dari Inez sore ini.

Bahwa mereka menganggap aku betulan berkencan dengan managerku.

"Gosipnya udah sampe divisi sebelah, Tar. Yang gue denger, lo berusaha merebut Pak Sandi dari istrinya." Inez berkata dengan santainya. Sementara aku sangat ingin memarahi siapa yang berani membuat rumor sialan itu.

"Siapa yang bikin rumor aneh itu?" tanyaku kesal, aku sampai mengaduk minuman dalam gelasku dengan kasar.

"Mana gue tau. Tapi mending lo dengerin saran gue deh. Ini juga demi pekerjaan lo ke depannya." Dia menepuk bahuku dua kali. "Jauhin dulu Pak Sandi, sampai rumor lo hilang pelan-pelan."

"Terus gue gimana kalau mau diskusi tentang pekerjaan sama dia? Pake orang lain?"

"Soal kerjaan ya lo temuin sendiri lah, secara lo jadi tangan kanannya Bu Dhea. Maksud gue tuh, kurang-kurangin interaksi lo sama beliau di luar urusan kantor, kayak pulang bareng, ngobrol di luar jam kerja gitu lah. Lo paham pasti."

"Ok, makasih ya, Nes. Gue pergi dulu."

"Eh mau ke mana?"

Tanpa menoleh, aku menjawab sekenanya. "Mau ke ruangan Pak Sandi."

***

Aku tidak berbohong, aku sudah bertekad akan membicarakan ini dengan Kak Sandi. Aku akan mengikuti saran Inez, sedang dia bisa memberi penjelasan bahwa kami tidak memiliki hubungan khusus apa-apa. Rumor ini sudah sangat besar, kami harus menghentikannya.

Namun sewaktu berdiri di depan ruangannya, kulihat pintunya sedikit terbuka. Aku hendak membukanya, tapi tanganku yang sudah memegang knop pintu berhenti ketika mendengar bentakan dari dalam.

"Kamu makin malam pulang dari kantor itu ke mana dulu? Jalan sama mantanmu, kan?"

Suara wanita, siapa?

"Jalan apa, sih? Aku lembur. Aku sama dia deket ya karena kami rekan kerja."

"Rekan kerja kamu banyak, yang lebih senior dari dia juga ada. Tapi kenapa yang sering ke mana-mana bareng kamu cuma dia doang?"

"Dia ditunjuk jadi wakilnya Dhea, jelas aku sering sama dia. Lagipula yang kami bahas semuanya tentang perkembangan produk."

"Kamu jangan kira aku gak tahu kamu ngapain aja di luar ya, San. Aku tau kamu sering nganterin dia pulang."

Oh, dia sepertinya Gita, istri Kak Sandi sekaligus teman lamaku.

"Kamu buntutin aku? Seenggak percaya itu kamu sama aku?"

"Gimana mau percaya orang yang lagi dekat sama kamu itu mantan kamu sendiri! Kamu tau gak sih setakut apa aku sekarang?"

"Oke, aku minta maaf soal itu. Tapi aku murni cuma nganterin dia aja. Kita nggak ada hubungan serius lagi."

"Nggak ada hubungan serius tapi kalian terang-terangan makan berdua di sini bahkan berani ciuman! Itu yang kamu bilang gak ada hubungan serius?"

"Ciuman apa sih? Jangan ngawur!"

Aku refleks memejamkan mata mendengar bentakan Kak Sandi. Ingin menyela tapi Gita yang salah. Lagipula bagaimana bisa dia berasumsi kami berciuman?

"Seseorang kirim aku foto kamu lagi ciuman sama dia di sini!"

"Sinting kamu, Gita."

"Aku ada buktinya!"

"Terserah kamu aja deh, aku udah capek ngadepin sifat childish kamu."

"Aku nggak akan kayak gini kalau kamu gak main-main, San."

"Pulang."

"Nggak—"

"Pulang atau kamu berhenti kerja mulai sekarang."

Tidak ada balasan lagi, saat aku sedikit mendekatkan diri pada pintu, ruangan itu disekap hening. Dan aku mengambil kesempatan itu untuk masuk. Betapa terkejutnya aku melihat kondisi di dalam. Aku bisa merasakan ketegangan antara pasangan suami istri itu. Mereka menoleh bersamaan dan aku cukup tercekat melihat wajah Gita banjir air mata. Wanita itu bersiap pergi saat melihat kehadiranku, mengambil tasnya secepat kilat lalu berjalan mendekatiku. Dia hendak berlalu saja, tapi aku cekatan menahan tubuhnya.

"Maaf. Udah lama gak ketemu—"

"Biarin aja dia pergi, Tari."

"Sebentar." Walau sedikit menolak, pada akhirnya aku berhasil membawanya kembali ke hadapan Kak Sandi. "Biarin dia jadi saksi. Dengar, aku sama suamimu nggak ada hubungan apa-apa. Dia nggak lebih dari atasan buatku, Git. Aku minta maaf kalau kedekatan kami lagi malah jadi beban buat kamu—"

"Nggak, Tari. Dia terlalu berlebihan."

Kuabaikan kalimatnya dan tetap melanjutkan kalimatku. "Tapi kalau kamu memang keberatan, aku akan resign."

"Apa?" Kak Sandi sampai bangkit dari duduknya. "Kamu bercanda, kan?"

"Nggak. Aku beneran. Aku ke sini emang pengen ngobrolin itu sama kamu. Suratnya menyusul besok."

"Tari—"

"Kondisiku udah gak memungkinkan, Kak. Tolong hargai keputusanku."

***

Padahal rencanaku bukan itu, tapi setelah dipikir-pikir, itu yang paling baik.

Namun tentu saja, aku keluar dari sana bukan untuk menjadi pengangguran. Besoknya aku berusaha mencari pekerjaan baru. Aku harus bekerja untuk menghidupi bayiku yang baru delapan minggu. Setelah beberapa hari memasukkan banyak lamaran ke beberapa perusahaan, akhirnya hari ini aku mendapat panggilan.

Yang jadi masalah adalah, aku bangun kesiangan. Semua karena semalam aku tidak bisa tidur, entah kenapa aku ingin sekali tidur sambil dipeluk. Namun aku tak mendapatkannya hingga aku baru terlelap di jam 2 pagi.

Aku bangun jam setengah tujuh, sementara interview jam 7. Setengah jam itu aku kalang kabut mempersiapkan diri. Dan memutuskan membungkus susu ibu hamilku ke dalam botol sebagai bekal. Aku tak memiliki waktu lagi.

Bagian bodohnya, aku lupa menyimpan kotak kartonnya ke dalam lemari, kubiarkan saja dia teronggok di atas meja riasku.

Dan kebodohan itu rupanya menjadi bencana untukku.

Seharian itu aku di luar, setelah interview aku memutuskan mengelilingi mal lebih dulu, membeli kebutuhan cupcakes yang hampir habis. Aku tiba di rumah saat jam menunjuk ke angka 4, menurutku itu masih siang, tetapi begitu masuk dan menemukan aura yang tegang di ruang tamu, dahiku mengernyit heran.

"Kenapa?" Mama dan Agam duduk bersampingan di atas sofa. Sialnya karena dua orang itu adalah orang-orang yang tidak bisa kubaca air mukanya, aku tidak bisa menebak apa yang telah terjadi selama aku di luar.

"Mama, ini ada—"

Prakk

Aku berjengit ketika Mama melemparku dengan benda tipis. Benar-benar tepat ke wajahku sampai aku praktis memejamkan mata. Saat mataku terbuka, saat itu juga aku tercekat ketika menemukan testpack yang kukenali berada tak jauh dari kakiku.

Testpack-ku...

Belum cukup sampai di sana, beberapa saat kemudian Mama melemparkan sesuatu lain. Kali ini kotak susu hamilku hingga isinya berceceran di lantai.

"I-ini..."

"Itu punyamu?"

Aku tidak menjawab, memilih berjongkok dan mengamankan barang-barangku. Namun sebelum aku menyelesaikannya, Mama menarik satu lenganku dan memaksaku berdiri. Alhasil kotak susu yang sempat kupegang kembali jatuh dan isinya semakin banyak berceceran.

"Tari, jawab Mama itu punya kamu? Kenapa itu bisa ada di kamar kamu?!"

"Ma, tenang dulu, jangan bentak—"

"Gimana bisa tenang sih, Gam?" Aku melihatnya, ini pertama kalinya kulihat Mama begitu frustrasi. "Tari, Mama mohon jawab jujur, kamu hamil?"












###

| 23byeolbamm |

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

3.2M 32.9K 30
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
187K 19.6K 59
"tapi aku tak tau apa-apa tentang ini semua tuan" "kau pikir aku peduli ? tidak" Ini bukan mau nya hidup dalam kungkungan lelaki berwajah malaikat ta...
1.8M 88.7K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
3M 212K 37
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...