TANAH BAGHDAD

By frasaberliana

879K 79.4K 53.8K

Menikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu... More

Attention
Profil Penulis
Wajib dibaca!
Prolog
TB1 - Khaizuran
TB2 - Khitbah
TB3 - Pernikahan
TB4 - Malam Pertama?
TB5 - Mujahadah
TB6 - Baghdad
TB7 - Dua Garis
TB8 - Prioritas
TB9 - Terhalang
TB10 - Luka
TB11 - Ingkar
TB12 - Dingin
TB13 - Satu Hati
TB14 - Bayangan Kelam
TB15 - Setetes Embun
TB16A - Tasbih dan Rosario
TB16B - Tasbih dan Rosario
TB18 - Perjanjian
TB19 - Right Path
TB20 - Sleepover
TB21 - Tergoda
TB22 - Ujian Untuknya
TB23 - Hilang
Part 24?
TB24 - Pergi

TB17 - Pengakuan

26.3K 2.8K 2.9K
By frasaberliana

Ayo, gabung di saluran instagram readers Tanah Baghdad yang ada di akun IG frasaberliana. Di sana kita bisa ngobrol bareng soal behind the scene Keisya dan Fikra + spoiler kelanjutan ceritanya.

Tiket menuju part 18: 1.6K vote dan 2.5K komentar

"Jangan membuat keputusan ketika sedang marah, jangan membuat janji sewaktu sedang gembira. Nasihat ini diucapkan oleh salah satu pemuda kebanggaan Rasulullah saw., dialah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra."

-Wattpad Tanah Baghdad by frasaberliana-

***

Pintu rumah Ustaz Salman terbuka, seorang wanita di tahap awal lanjut usia dengan daster panjang batiknya serta kerudung merah jambu berjalan tergesa-gesa menghampiri suaminya yang tertatih-tatih dipapah oleh seorang pemuda. 

"Innalillahi wa innailaihi raaji'un. Astagfirullah hal 'adzim, Abah!" pekiknya menyadari tangan Ustaz Salman terbebat dan berjalan sedikit pincang.

Pria dengan jenggot yang mulai beruban tetap mengulas senyum, meski perih terasa di bibirnya yang tadi berdarah. "Assalamu'alaikum, Mi."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Isna dengan raut khawatir bukan main. Isna mencium tangan suaminya dan bersama-sama dengan pemuda yang mengantar Salman pulang memapah hingga sofa ruang keluarga.

"Terima kasih, Nak, sudah mengantar Ustaz," ucap Isna. Sebelum pemuda itu benar-benar beranjak, Isna mengambil setoples kue yang masih tersegel dari lemari dekat ruang makan. "Bawa untuk bapak dan ibumu di rumah. Sekali lagi terima kasih. Fii amanillah."

"Nggih, jazakillah khayr, Ustazah. Semoga Ustaz lekas pulih."

Pintu rumah sudah terkunci. Isna kembali pada suaminya yang bersandar di sofa. Terlihat dada suaminya naik-turun menghela napas begitu berat.

"Abah, mau dibuatkan minum apa?" tanyanya sambil mengusap-usap lembut lengan suami yang terluka di bagian tulang.

"Abah sudah makan?"

Salman menggeleng pelan. Sepertinya usia tidak bisa berkilah. Tubuh rentanya begitu kesakitan akibat terjatuh saat mengisi pengajian.

Isna menyendok nasi ke piring ditambah lauk dan sayur yang dia masak penuh cinta. Melihat jam dinding saja sudah membuat rasa khawatirnya bertambah-tambah. Sudah pukul setengah 1 malam dan suaminya belum makan.

"Makan dulu, Bah. Umi suapi."

"Abah difitnah, Mi," ungkap Ustaz Salman dengan mata terpejam menahan letih yang mendera.

"Abah makan dulu saja, minum obat, lalu istirahat. Kita bicarakan semuanya saat Abah sudah pulih."

Ustaz Salman melihat kepada istrinya dengan tatapan serius. "Ada jamaah di pengajian yang bilang Abah ustaz cabul. Mereka menuduh Abah selama ini menikahi Keisya secara diam-diam untuk menjadikannya halal berada di rumah kita. Bahkan ditambahi dengan gosip Abah pernah menikahi anak di bawah umur."

"Astagfirullah hal 'adzim!" Sebelum makanan suaminya terlepas dari genggaman, Isna meletakkan piring di meja. "Astagfirullah hal 'adzim!" ucap Isna berulang-ulang tidak menyangka fitnah semacam itu bisa menimpa keluarganya.

"Abah juga tidak tahu kenapa tiba-tiba ada jamaah yang berkata seperti itu saat sesi tanya jawab. Akhirnya, pengajiannya ricuh dan Abah jatuh."

"Aku berani bersaksi bahwa aku yang menyusui anak kita untuk menjadikannya mahram di rumah ini. Bahkan adikmu juga termasuk ibu susu bagi Keisya karena saat itu air susuku sempat tidak lancar." Isna merasakan sakit begitu kuat di dada.

"Apa perlu kita buat pernyataan di media sosial, Bah? Apa yang harus kita lakukan?" Isna yang gusar mulai terlihat kebingungan. "Aku bisa minta anak-anak santri yang mengelola akun media sosial kita untuk meluruskan fitnahnya."

"Umi—"

"Kita bisa meminta mereka membuat video atau apa supaya semua orang tahu tuduhan itu salah!"

"Umi, Umi, dengar Abah dulu."

"Aku nggak terima ada orang yang berkata seperti itu tentang kamu, Mas."

Ustaz Salman mengangkat tangan kirinya yang tidak turut dibebat. Tangan dengan luka gores di beberapa bagian menyeka air mata istrinya. "Umi, kita nggak perlu gegabah menyikapinya. Abah tidak mau masalah ini sampai ke telinga anak-anak kita, terutama Keisya."

"Ya Allah, apa yang membuat mereka berkata seperti itu? Darimana juga mereka tahu bahwa Keisya tidak lahir dari rahimku?"

"Mi, kita simpan masalah ini berdua saja. Abah lebih takut orang-orang mencari tahu latar belakang anak kita. Abah masih sanggup menahan sakit, tapi Abah belum tentu sanggup melihat reaksi Keisya jika mengetahui asal-usulnya."

Isna mengecup telapak tangan suami yang menempel di pipinya. Air mata itu mengalir bersamaan dengan zikir yang dia ucapkan agar sakit di tubuh Salman segera Allah angkat.

"Jangankan Abah. Rasulullah saw. saja tidak selamat dari fitnah," ujar Salman menenangkan istrinya.

***

Laki-laki di belakang kemudi menyenandungkan lagu romantis tentang penantian cinta dengan lirik berbahasa Arab. "Asyik juga ternyata lagu-lagu arab yang lagi viral ini."

Dia terpaksa kembali ke toko kopi setelah mengantar istri dari sahabatnya karena ponsel yang tertinggal. Sambil melihat layar di samping kemudi untuk mengukur perkiraan tempatnya parkir, Ghifari melihat perempuan dengan blazer sedang bercakap-cakap sengit di depan toko kopinya.

Jantungnya mendadak berdetak lebih cepat melihat laki-laki dengan tampilan brandal ingin merampas ponsel putih di tangan si perempuan. Dimatikannya mesin mobil lalu bergegas keluar.

"Lo kira gue takut?" Satu tendangan tercipta mengenai tepat sasaran pada perut si preman.

"Wih," ucap Ghifari spontan. Perempuan dengan tubuh kecil berbalut rok panjang, blazer, serta kerudung itu mengunci pergerakan si preman dan mengambil kembali ponselnya tanpa harus menunggu bantuan.

Empat detik kemudian, kekagumannya akan kemampuan bela diri si perempuan, Ghifari tersentak. "Na, awas!"

Ghifari mendorong tangan preman yang menodongkan pisau tepat di belakang Zalina. "Lo kenapa gangguin customer toko kopi gue?" Satu tonjokan Ghifari berikan pada laki-laki bau rokok dan alkohol.

"Gue udah bayar uang keamanan di sini!"

Zalina melihat Ghifari tidak bisa mengontrol emosi. Preman yang mulai terkapar masih dihujani pukulan tanpa henti. "Ghifari, udah!" 

"Ampun, Mas, saya nggak tahu. Ampun, Mas."

"Harusnya lo bantu gue buat jaga keamanan di sini! Udah dikasih hati minta jantung!"

Zalina terpaksa menarik kemeja Ghifari agar laki-laki itu menghentikan aksinya. "Udah, Ghif, udah."

"I-iya, Mas. Maaf."

"Pergi lo sekarang!" Ghifari terengah-engah dan membiarkan preman itu kabur terbirit-birit. Dia menyeka keringat di dahi dengan lengan kemeja lalu berbalik badan.

"Lo nggak apa-apa?"

Zalina sempat terdiam sejenak. Dia belum bisa berpikir jernih. Satu tendangan memang dia layangkan pada si preman berkat bakat taekwondo yang dimilikinya. Akan tetapi, dia juga manusia biasa yang memiliki rasa takut dan cemas.

"Gue kira lo udah pulang."

Kalau saja Zalina memiliki tenaga tambahan sedikit, sebenarnya dia ingin berkata pada Ghifari, "Iya, tadi gue kira Abang udah jemput. Nggak tahunya, berjam-jam gue tunggu di halte depan, Abang nggak datang-datang."

Ghifari membuka kunci pintu Lembayung coffee shop. "Masuk dulu aja."

Zalina duduk di kursi terdekat dan memastikan pintu toko kopi tidak tertutup. Dia menarik napas dan membuangnya perlahan-lahan sebab kakinya masih gemetar.

"Nih, minum dulu." Ghifari menyodorkan air putih pada Zalina.

"Thanks." Dia ingin mengambil gelas dan meneguk air di dalamnya, tetapi ketakutan karena pria brandal sempat menyentuh pipinya. Perbuatan yang Zalina ketahui termasuk salah satu bentuk pelecehan seksual meninggalkan ketakutan di hatinya.

Ghifari duduk di kursi yang berseberangan dengan Zalina. Dia juga melepas lelah atas tenaga yang terbuang dengan menyesap kopi. Sedikit-sedikit dia melirik. Perempuan yang berprofesi sebagai lawyer memalingkan wajah. Ghifari tahu perempuan itu sedang menyeka air mata yang turun.

"Lo, kan, sering ke sini. Save nomor gue. Biar kalau ada apa-apa di sekitar sini bisa call ke sini." Ghifari berdiri dari duduk.

"Nggak perlu. Gue masih bisa jaga diri."

Ghifari mengambil ponsel putih di meja. Dia ketik nomornya sendiri di sana lalu memberikan ponsel itu pada pemiliknya. Mereka tidak banyak berbincang setelahnya. Ghifari hanya melihat Zalina bermain ponsel sebelum mobil jeep hitam berhenti di depan toko kopinya.

"Abang!" seru Zalina berlari keluar.

Tampak laki-laki berseragam kepolisian turun dari mobil.

"Abang kenapa lama banget jemputnya?"

"Maaf, ya. Tadi Abang mendadak ada urusan waktu mau jemput kamu."

Ghifari menyipitkan mata untuk memperjelas apa dan siapa yang dilihatnya, walau hanya sekilas. Laki-laki yang terlihat jauh lebih dewasa membukakan pintu mobil untuk perempuan dengan tas ransel cokelat muda. Telapak tangan laki-laki itu melindungi puncak kepala Zalina yang akan naik ke mobil.  Tanpa berlama-lama, mobil jeep hitam pergi meninggalkan toko kopi.

Awalnya Ghifari ingin meregangkan tangan mengusir pegal, tapi keinginannya tak terpenuhi. Ada perih yang mulai terasa nyata di lengan. Ternyata kain kemeja di  bagian lengan kanannya sobek dan ada goresan luka yang mengeluarkan darah pada kulit di dalamnya. Apa lagi penyebabnya kalau bukan pisau yang dibawa oleh preman saat menyelamatkan Zalina.

***

Berkali-kali Keisya memijat kening saat meracik menu sarapan. Bahunya terasa berat, tengkuknya juga tidak terelaksasi sama sekali melalui tidur semalam. "Ya Allah ..." keluh Keisya.

Dia menghela napas dan mengalihkan perhatiannya dari roti di teflon. Seharusnya memang zikir yang diucapkan saat hati diserang gelisah. Akan tetapi, perasaan cemburu sebagai perempuan normal sedang menyergap batinnya.

Reka adegan Alenta yang datang ke rumahnya, Fikra menggendong Alenta, dan suaminya yang melupakan janji akan pulang bersamanya terus terbayang.

Kenapa kali ini Keisya tidak mampu mengontrol perasaan? Rasanya seperti menginginkan sesuatu tanpa mengetahui apa yang sebenarnya dia inginkan. Seperti ada tali yang mengikat tubuh bagian atas.

Keisya terhuyung dan berpegangan pada sudut counter table. Dia sengaja menutup matanya sebentar. Berharap saat dia buka lagi penglihatannya, suasana hatinya lebih baik dari sebelumnya.

Nyatanya, setelah dia membuka mata semua masih sama. Justru kegelisahannya makin parah. Tangannya tak sengaja menyenggol botol selai kacang dan roti yang dia panggang sudah menyebarkan bau sangit. Roti tawar gandum untuk sarapan suaminya sukses berubah warna menjadi hitam.

"Kei!" Fikra datang dengan setengah berlari mematikan kompor.

Keisya menarik napas sangat dalam dan mengembuskan sedikit kasar. Dia mengambil roti gandum yang baru. "Rotinya nggak usah dipanggang, ya, Fik. Takutnya nggak keburu kamu mau ke kantor," ucap Keisya tanpa melihat kepada suaminya yang membantu membereskan sedikit kekacauan di dapur mereka.

"Mau gue bantu?"

"Nggak usah."

Fikra kembali duduk di kursi makan. Ada yang aneh di meja makan rumahnya. Keisya tidak membuat susu hangat untuknya. Tidak ada sosis goreng kesukaannya, daging asap, atau makanan berat selain roti gandum yang diolesi selai kacang.

Baru kali ini Fikra melihat istrinya sarapan dengannya tanpa riasan di wajah. Keisya tampak sedikit pucat. Perempuan itu sibuk sendiri dengan mengambil segelas air putih yang airnya juga tumpah di sana-sini.  

"Kei, ada yang mau gue omongin."

Keisya kembali duduk dan berusaha memusatkan perhatiannya pada Fikra.

"Ada yang mau gue omongin tentang Alenta."

Benar, bahwa Keisya ingin tahu apa yang terjadi pada Alenta kemarin, tapi pagi ini rasanya dia tidak mau sarapan romantisnya dengan suami masih diganggu oleh nama perempuan lain.

"Alenta kemarin pendarahan. Dokter bilang kandungannya lemah dan harus istirahat total. Jadi, gue mau bawa Alenta tinggal untuk sementara waktu di rumah ini."

Kaget membuat mata Keisya berkedip. Dia palingkan wajahnya ke kanan dan menghela napas berulang kali. Tenggorokannya terasa dicekik. Oksigen di sekitarnya duduk seperti musnah. Kekurangan asupan udara membuat otaknya tak mampu berpikir terlalu berat.

"Sebenarnya mau kamu bawa ke mana rumah tangga ini, Fik?" Dengan tangannya yang mulai gemetar, mata teduh Keisya mulai memerah.

Laki-laki di hadapan tak melihatnya apalagi menenangkan hati istrinya yang kali ini sangat rapuh di segala sisi.

"Gue nggak mungkin biarin Alenta dan anak di dalam kandungannya terlantar."

"Terus kamu biarin aku yang terlantar?"

"Maksud lo gimana, sih, Kei?" Balasan Keisya di luar dugaan Fikra. Perempuan itu tanpa ragu menyangkal dengan kalimat yang menyakiti hati Fikra.

"Dengan kamu bawa Alenta tinggal di rumah ini, apa nggak sama aja dengan kamu terlantarin aku, Fik?"

Fikra menjatuhkan garpu rotinya ke piring. "Gue bawa Alenta ke sini bukan bermaksud ngusir lo. Alenta cuma nginap di sini sampai dia pulih dan bisa pulang ke London!"

Keisya pergi meninggalkan ruang makan.

"Keisya! Gue belum selesai ngomong!" Fikra menghadang Keisya dan menggenggam pergelangan tangan istrinya sedikit kuat.

Keisya yang sudah menangis meronta-ronta berusaha melepas pegangan tangan suaminya. 

"Dulu waktu gue di London, ayahnya Alenta udah ngizinin gue tinggal di rumah mereka secara cuma-cuma. Gue cuma mau balas budi!"

Keisya belum mampu menerima alasan Fikra. Dia tertunduk dan menumpahkan kesedihan. Kenapa harus serumit ini rumah tangganya dengan putra Kyai Sobari.

"Kalau kamu mau tolong dia, mau balas budi, kenapa nggak kamu kasih uang aja supaya dia cari tempat tinggal sendiri?" tanya Keisya dengan nada sedikit meninggi.

"Lo dengar omongan gue tadi nggak? Dia habis pendarahan. Kandungannya lemah. Gue mau jagain Alenta dan bayinya!"

"Kenapa harus kamu yang jagain dia? Kamu suaminya? Kamu ayah dari bayi di rahimnya? Kenapa harus sedekat itu kalau kalian cuma sahabat?" Amarah yang tertahan sejak semalam akhirnya pecah. Keisya memaki Fikra untuk pertama kalinya. Terlepaslah penjagaan sikapnya sebagai penghafal Al-Qur'an.

"Apa aku semurah itu sampai nggak ada harga dirinya di rumah suamiku sendiri?" tanya Keisya dengan air mata yang jatuh di pipi dan suara bergetar.

Ungkapan itu ternyata memberi efek bungkam. Fikra lepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Keisya. Tepat saat itu juga Keisya masuk kamar. Dia menangis pilu sambil terduduk di ranjang.

Walau menghadap ke arah jendela, Keisya tahu Fikra menyusulnya. Jika semalam Keisya tidak berhasil mengistirahatkan tubuhnya dalam tidur, suaminya malah tidak tidur semalam suntuk. Fikra menimbang-nimbang bagaimana caranya agar dia bisa menjaga Alenta tanpa harus menyakiti Keisya.

Dia tahu apa yang akan dia lakukan tidak ideal bagi keduanya, tetapi mungkin akan jauh lebih baik di akhirnya. Fikra memutuskan untuk membeberkan kasus yang menimpa Alenta.

"Alenta diperkosa teman kuliahnya. Gue nggak bisa tinggalin dia sendirian dalam kondisi kayak sekarang. Gue mau lo ngertiin semuanya." Fikra hanya mengucapkan satu kalimat lalu pergi berangkat kerja.

Dia tinggalkan Keisya yang masih mencerna seluruh kenyataan hidup dalam pernikahan mereka. Tak dia acuhkan Keisya dengan seluruh isi kepala yang membuat istrinya kesakitan dalam kesendirian. Haruskah syukur yang dia rasakan sekarang karena dugaannya tentang Fikra pernah berzina dan memiliki anak dengan Alenta salah.

Namun jika syukur, mengapa tetap menyakitkan? Apakah Fikra akan benar-benar nekat membawa Alenta tinggal satu atap dengan mereka?

Bahkan apa yang dilakukan Fikra barusan bukan meminta izinnya. Bukan memberikan ruang untuknya turut menyumbang keputusan dalam rumah tangga mereka. Fikra hanya mendeklarasikan bahwa Alenta adalah korban perkosaan dan Fikra akan membawa Alenta tinggal di rumah mereka. Fikra memerintahkan Keisya untuk memahami keadaan tanpa jeda.

Dua jam menumpahkan tangis, Keisya membuka lemari. Tidak tahu apa yang sebenarnya terlintas di kepala. Keisya mengambil dokumen-dokumen pribadinya. Di dalamnya ada buku nikah, kartu keluarga, dan akta kelahiran yang sama sekali tidak ingin dia lihat karena terdapat lampiran akta pengangkatan anak.

Selembar kertas yang membuatnya sampai sekarang menjaga jarak dari Umi dan Abah. Disekanya sisa tangis di wajah. Keisya mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang.

"Assalamu'alaikum, Kei?"

"Zalina, kalau mau bikin paspor aku harus ke mana?"

"Kantor imigrasi. Kamu mau buat paspor?"

Keisya belum sempat memberikan jawaban. Ada seseorang yang mengetuk-ketuk pelan pintu rumahnya.

"Zalina, nanti aku telepon lagi, ya. Ada tamu."

Keisya mengambil mukena dan cadarnya. Pintu utama terbuka. Dia dapati Bude Maryam dengan satu rantang besi di tangan kanan menyambut wajah sembapnya dengan senyum tulus yang begitu hangat.

"Assalamu'alaikum. Bude ganggu Keisya, ndak?"

Keisya mencium tangan Bude Maryam. "Wa'alaikumussalam."

"Fikra sudah berangkat kerja?"

"Su-sudah, Bude."

"Bude masak opor ayam dan sambal krecek. Eh, jadi ingat Keisya. Makan siang sama Bude, yuk, Nak."

Keisya mengangguk dan mengajak Bude Maryam masuk ke rumahnya.

***

Lanjut?

Spam next di sini.

Apa yang ada dipikiran Keisya sampe dia mau buat paspor menurut kalian?

Apakah Fikra akan benar-benar bawa Alenta tinggal di rumah mereka?

Aku harap nggak ada yang protes dengan selipan adegan tokoh lain. Supaya lebih berwarna aja dan kalian nggak spaneng sama Fikra dan Keisya. nanti part 18 full mereka lagi, kok.

Gambaran visual karakter Ghifari dan Zalina. Siapa tahu ada yang tertarik sama mereka :) #cekombak

©Berliana Kimberly | Part 17 published 16 Maret 2024 | Genre: Romance-Spiritual | Karya ini dilindungi oleh Undang-Undang No.28/2014 tentang Hak Cipta dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Continue Reading

You'll Also Like

8.6K 238 8
-oOo-NEW VERSI-oOo- Kami akan membuat kalian seperti merasakan pesantren sungguhan. Merasakan bahwa akhlak dan adab itu penting. Merasakan bahwa hidu...
12.8K 73 1
🔥 COMING SOON 🔥 [DILARANG PLAGIAT! DILINDUNGI OLEH MALAIKAT YANG ADA DI KEDUA SISIMU!] Rose's Knight Mission #2
19.6K 1.7K 12
Jika dengan membaca cerita ini melalaikan ibadahmu, maka sebaiknya tinggalkan! _________________________________________ "Saya akan menikahi Hanin."...
1.6K 120 24
" Sok ganteng banget" sinis Vira " Emang gue ganteng kali " ucap Daril yg datang dari belakang Vira " Etdah.... Ganteng jambul mu" jawab Vira sambil...