He Fell First and She Never F...

By vousmezera

478K 31.1K 4.2K

"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, to... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
44 (a) - Edisi LDR Sementara
44 (b) - Edisi LDR Sementara
45
46
47
48
49
50
51-Flashback (Spesial) Edisi Lebaran
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
attention please‼️please read until the end‼️
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120 (END)
HALLO! KUMPUL SINI CEPAT!!
Extra Part (1)

14

4.3K 225 7
By vousmezera

"Nyebelin! Kalau gitu ngapain janji?!" Celoteh Vanessa dengan sebal.

"Aw." Rintihnya, baru saja diingatkan Mayted untuk tidak banyak gerak, justru ia kena beneran.

Seharian di kamar sungguh membosankan baginya, tadinya Vanessa meminta Lino untuk mengajaknya keluar atau jalan-jalan di halaman rumah Bapak. Tapi, di Hanbalang justru hujan deras sekali, sudah lah ia kedinginan, kali ini semakin kedinginan karena di Hambalang yang sedang hujan.

Vanessa duduk termenung di samping jendela besar di rumahnya, matanya terpaku pada hujan deras yang mengguyur Hambalang. Rintik-rintik hujan yang jatuh deras ke tanah, disertai suara gemuruh petir di kejauhan, menciptakan suasana sendu yang entah bagaimana mencerminkan perasaannya yang sedang melamun. Tiang infus di sebelahnya berdiri kokoh, selang-selangnya terhubung ke lengan Vanessa, menandakan bahwa tubuhnya masih dalam pemulihan dari sakit.

Sudah double Vanessa menggunakan jaket tebal dan kaos kaki. Kadang, berjalan-jalan di dalam rumah dengan menyeret tiang infusnya, sedangkan Lino dan Nando panik bukan main, walaupun hanya di dalam rumah, mereka takut Vanessa akan kenapa-kenapa dan akan dihajar habis-habisan oleh Mayor Teddy.

Tapi Vanessa tidak peduli, ia begitu sesak jika hanya diam dan tiduran di kamarnya. Sudah mencoba untuk kembali belajar untuk sidangnya nanti, tapi Vanessa tidak mood. Akhirnya, ia turun ke bawah dan duduk di ruang tengah, menyalakan TV dan menonton serial drama Korea kesukaannya di Netflix. Tentu Lino dan Nando duduk tidak jauh dari dirinya berada.

"Beneran mau nonton drakor?" Tanya Vanessa curiga kepada kedua ajudan Bapak. Tidak terlihat mereka menyukai drama Korea.

"Beneran mbak, kamu nggak percaya, ya? Saya kemarin habis tamatin My Demon." Ucap Lino excited.

"Serius?" Vanessa tidak menyangka. Lino mengangguk sebagai jawabannya sambil memakan cemilan.

"Saya main ml aja ya, mbak. Yang penting saya jagain kamu." Ucap Nando yang sudah mengubah posisi ponselnya.

"Beneran, Mas No?" Tanya Vanessa kepada Lino memastikan, Nando sudah sibuk dengan dunianya.

"Iya mbak, sekarang saya rencana mau nonton Queen of Tears. Lagi on going sih." Ucap Lino sembari memasukkan cemilan ke mulutnya.

"Ih aku juga mau nonton itu! Yaudah nonton bareng aja ya, Mas!" Ucap Vanessa dengan sumringah.

Lino mengangguk semangat dan memberikan jempol kepada Vanessa. Gadis itu langsung menyetel dan mencari drama Korea tersebut di Netflix. Setelah berhasil, mereka berdua mulai fokus menonton sedangkan Nando sibuk sendiri dengan dunianya.

Lino menyarankan Vanessa untuk sekalian makan malam, agar setelah itu bisa langsung minum obat, takutnya gadis itu lupa. Vanessa mengangguk menyetujuinya, Lino bernapas lega karena takut jika Vanessa menolak. Mereka berdua terlihat menikmati drama Korea tersebut dan Vanessa menonton sekalian makan malam agar bisa langsung minum obat.

***

Disisi lain, kegiatan Bapak bersama Presiden berakhir juga. Di tempat itu juga, rombongan Bapak dan Presiden berpisah. Namun, Bapak tidak langsung balik, ia mengisi perutnya dulu di restoran nasi padang yang katanya enak disini.

Rizky dan Rajif melihat gelagat gelisah dari wajah Mayor Teddy. Mereka saling sikut penasaran karena terlihat jika ekspresi wajah Mayted yang sudah terlihat lelah itu, semakin lelah karena laki-laki itu seperti sedang berpikir.

"Bang, kenapa? Ada masalah?" Tanya Rizky akhirnya membuka suara.

Mayor Teddy menghela napas lelah. "Titipan Mbak Vanessa tadi, saya bingung mau cari dimana kalau disini. Kalau beli di Jakarta, yang ada udah pada habis."

"Kenapa nggak minta tolong ke Lino atau Nando aja tadi, Bang? Kan bisa beli di deket rumah, ada kok setahu saya." Lanjut Rizky.

"Saya udah bilang tadi ke Mbak Vanessa, tapi bocil itu tidak mau! Harus saya yang beli." Ucap Mayor Teddy frustasi.

Rizky dan Rajif tertawa. "Kalau nggak ada dan nggak bisa, nggak papa, Bang. Nggak usah dipaksa juga. Abang dikerjain si bocil biar makin tersiksa."

"Saya tahu." Balas Mayted tertawa kecil.

"Eh tapi ya, Bang, tadi selama perjalanan tuh saya ada lihat kayak pasar kuliner gitu deh, mau kesana aja nggak, Bang? Saya temenin." Ucap Rajif dengan mendadak.

"Jauh dari sini? Saya nggak bisa ninggalin Bapak juga. Lagian, emangnya pasti ada?" Tanya Mayted lagi.

"Harusnya ada, Bang. Coba aja dulu, daripada nanti takutnya si bocil tantrum, nanti makin lama sembuhnya." Lanjut Rajif.

"Ada saya, Bang, tenang aja. Lagian, Bapak lama kalau makan." Kata Rizky menenangkannya, menepuk punggung Mayted.

Setelah mempertimbangkan semuanya, Mayted menyetujuinya. Izin keluar sebentar kepada Bapak bersama Rajif untuk memenuhi keinginan cucunya, Bapak memberi izin sambil tertawa. Se-effort itu ajudannya ini jika sudah berhubungan dengan cucunya itu.

Mayor Teddy dan Rajif meminjam mobil patwal sebentar. Karena Rajif yang tahu tempatnya, ia yang menyetir. Katanya sih 3 km dari restoran tempat Bapak makan. Tidak begitu jauh, jadi Mayor Teddy sedikit lega.

Sesampainya mereka di pasar kuliner, Mayted dan Rajif mulai mencari orang atau tempat jualan yang menjual martabak telor dan kue pancong. Supaya menghemat waktu dan mengejar jadwal Bapak, mereka memutuskan untuk berpencar. Rajif mencari kue pancong dan Mayor Teddy mencari martabak telor.

Beberapa menit Mayted memutari pasar kuliner ini, akhirnya ia menemukannya dan berada di pojok pasar kuliner ini. Ternyata, yang beli juga cukup ramai, sepertinya enak. Mayted memesan empat, entah untuk siapa pun tiganya nanti, yang penting untuk tuan putri itu harus diutamakan.

Rajif juga berhasil mendapatkan kue pancong, laki-laki itu bingung, Vanessa maunya yang sepenuhnya mateng atau setengah mateng? Daripada bingung dan pusing sendiri, Mayted menyarankan Rajif kalau satunya setengah mateng dan satunya lagi mateng. Biar adil dan tidak terlalu diamuk Vanessa jika salah, karena kebetulan, Vanessa juga memintanya 2 kue pancong.

Beberapa menit mengantri, akhirnya selesai juga pesanan itu. Mayor Teddy memberikan uang selembar berwarna merah tanpa meminta kembalian. Ia segera kembali menuju mobil karena Rajif sudah menunggunya di mobil.

"Aman, Bang?" Tanya Rajif yang sudah menghidupkan mesin mobil.

"Aman, lo gimana?" Tanya Mayted sembari menutup pintu dan memasang seatbelt.

Rajif tertawa. "Nggak aman, Bang. Gue ribut sama anak-anak disana, karena kue pancong itu jajanan anak kecil, jadi banyak banget anak kecil yang beli tadi. Terus gue disuruh ngalah dulu dan duluin anak kecil. Akhirnya, gue duluan karena nyogok penjualnya hahaha."

Mayted jadi ikut tertawa mendengar cerita konyol Rajif. "Astaga hahaha, jadinya beli berapa?" Tanya Mayted.

"Sesuai pesanan aja, Bang. Gue nggak begitu suka juga. Abang gimana?" Tanya Rajif lagi.

"Gue beli empat, terserah siapa yang mau ambil tiganya nanti. Soalnya ramai banget, kayaknya enak." Sahut Mayted.

Rajif mengangguk paham, ia segera melajukan mobil kembali ke restoran tadi karena mereka harus mengejar flight untuk kembali ke Jakarta. Untungnya, tidak butuh waktu lama untuk kembali ke restoran tadi. Sesampainya mereka disana, untungnya Bapak juga sudah selesai, jadi mereka langsung bergegas menuju airport untuk kembali ke Jakarta.

"Aman pesanannya, Ted?" Tanya Bapak di dalam mobil, rombongan Bapak sudah kembali mengawal menuju Airport.

"Aman, Pak." Ucap Mayted yang duduk di samping supir.

Selama satu jam perjalanan, rombongan Bapak tiba di airport, mereka segera masuk ke jet pribadi Bapak. Tanpa menunggu lama dan membuang waktu, pesawat tersebut lepas landas dan meninggalkan kota tersebut.

Mayor Teddy duduk di dekat jendela setelah urusannya dengan Bapak selesai. Ia mengambil ponselnya dan mengecek apakah ada pesan dari orang lain ataupun Vanessa. Mengingat gadis itu pasti menagih janjinya.

Tapi, ketika ia cek, pesannya yang terakhir tadi hanya dibaca oleh Vanessa. Sepertinya, gadis itu memang tidak memegang ponselnya.

Mayor Teddy juga tahu jika Vanessa lebih banyak di luar kamarnya. Tadi, Lino atau pun Nando memberi kabar di grup ajudan sekaligus memberikan foto untuk bukti nyata. Gadis itu sedang menonton drama Korea bersama Lino. Dan kabar terbarunya lagi, Vanessa sedang gibah dengan sepupunya, Ati. Entah apa yang mereka gibahkan, tapi kalau kata Lino, sepertinya terdengar seru. Mayted berpikir, sepertinya bocil itu sudah cukup mendingan.

Sesampainya di Jakarta, mereka langsung masuk pintu tol dan menuju Hambalang. Menempuh waktu satu jam lebih, rombongan Bapak tiba di Hambalang. Semuanya turun dan bergegas masuk, termasuk Bapak yang masih khawatir dengan keadaan cucunya. Walaupun tadi Mayted sudah menyampaikan kabar terbarunya, Bapak harus melihat secara langsung secepatnya.

Di dalam rumah terlihat hening, Lino dan Nando memberi tahu jika Vanessa dan Ati tertidur di sofa depan TV. Semuanya baik-baik saja termasuk Vanessa, walaupun suhu tubuh gadis itu masih belum turun, cucunya sudah bisa beraktivitas seperti biasa hari ini, walaupun kata Nando, Vanessa sempat muntah karena masuk angin. 

Bapak, Mayor Teddy, Rajif, Rizky, dan staff lainnya berdiri di dekat pintu, memandang Vanessa dan Ati yang tertidur di sofa dengan perasaan campur aduk. Vanessa tampak kelelahan, wajahnya terlihat tenang namun masih pucat, dengan selimut tipis menyelimuti tubuhnya yang terbaring lemah. Di sampingnya, Ati, yang selalu setia menemani Vanessa, juga tertidur, kepalanya bersandar ke lengan sofa, napasnya terdengar pelan dan teratur.

Mereka yang melihat momen itu merasakan kehangatan dan keheningan yang mendalam, seolah-olah ruang di sekitar mereka dipenuhi dengan perasaan lega dan syukur. Tatapan Mayor Teddy tidak bisa lepas dari Vanessa, perasaan hangat memenuhi hatinya melihat gadis itu beristirahat dengan damai. Bapak dengan raut wajah yang menunjukkan kelelahan dan kelegaan, merasa sedikit tenang melihat cucunya yang ternyata kondisinya baik-baik saja. Rajif dan Rizky saling bertukar pandang, seakan berbicara tanpa kata-kata tentang betapa sulitnya hari-hari terakhir ini, tetapi juga merasa bersyukur bahwa akhirnya ada momen tenang setelah begitu banyak kegelisahan.

Ati digendong oleh Jimmy dengan hati-hati untuk dibawa ke kamarnya, karena kata Bapak kasihan kalau dibiarkan tidur di sofa, apalagi di luar. Sedangkan Mayor Teddy menggendong Vanessa dengan bantuan Rajif yang harus memegang tiang infusnya. Bapak juga mengikuti mereka dan memastikan Vanessa ditaruh dengan baik.

"Sudah makan, kan?" Tanya Bapak ke Lino.

"Sudah, Pak, aman. Sudah minum obat juga, tadi saya cek juga suhu tubuhnya, masih seperti tadi pagi. Tapi nggak ada yang harus dikhawatirkan hari ini, Pak." Jawab Lino, Bapak mendengarkannya dan mengelus puncak kepala Vanessa setelah Mayor Teddy meletakkannya di atas kasur dan menyelimuti gadis itu.

"Pengaruh obat kayaknya ya, cepat sekali tertidur." Gumam Bapak.

"Mbak Ati besok libur, ya?" Tanya Bapak kepada Mayted.

"Iya Pak, besok yang ada kegiatan hanya Mas Habib dan Mas Bintang. Yang cewek-cewek pada libur." Jelas Mayted.

"Mbak Ati juga sudah tidur ya. Tadinya saya mau minta tolong ke cucuku itu untuk tidur dengan Vanessa saja, sambil jagain. Saya takut kalau Vanessa malam-malam kebangun dan butuh sesuatu." Ucap Bapak sambil memikirkan solusi lain.

"Biar saya yang jagain, Pak. Nanti saya tidur di sofa depan kamar Mbak Vanessa. Pintunya saya biarin terbuka, biar nanti kalau Mbak Vanessa kebangun, saya bisa tahu dan kedengaran." Tiba-tiba Mayted mengusulkan itu.

"Kamu nggak papa tidak pulang, Ted?" Tanya Bapak memastikan.

"Nggak papa, Pak." Ucap Mayted dengan ekspresi yakin.

"Ya sudah kalau begitu, tolong jagain ya, Ted. Saya minta maaf kalau urusannya dengan Vanessa, saya menyusahkan kamu terus." Bapak merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak keberatan." Ucap Mayted.

"Ya sudah, semuanya istirahat ya, kamu bersih-bersih dulu nanti baru kesini lagi." Ucap Bapak kepadanya dan meninggalkan kamar Vanessa, menuju kamarnya untuk istirahat, apalagi waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi.

"Bang, kalau nanti mau gantian kasih tahu aja ya." Ucap Rizky mendekat kepada Mayor Teddy.

"Iya, Bang, kasih tahu kita, kita di bawah kok, nggak tidur juga, masih ada kerjaan." Ucap Rajif dan disetujui oleh Agung dan juga Lino.

"Iya, nanti saya kasih tau, saya juga nggak langsung tidur, masih ada kerjaan juga." Ucap Mayted, mereka semua bubar untuk membersihkan diri, termasuk Mayted.

Kalo dibilang capek, rasanya sudah tidak ada kata kata untuk menggambarkan kalo dirinya sangat butuh istirahat. Tapi, lagi dan lagi tanggung jawab tidak memberikan toleransi untuknya, jam segini masih berkutat di depan leptop, membuat beberapa file, mengecek email penting yang masuk, dan menyusun jadwal Bapak yang semakin padat. Setelahnya baru ia mandi dan mengganti bajunya, hanya memakai kaos putih dengan celana training abu-abu miliknya yang didapatkan ketika Mayor Teddy sekolah Militer di Amerika.

Ia langsung kembali ke depan kamar Vanessa, mengintip sedikit apakah gadis itu terbangun atau tidak. Setelah memastikan aman, ia kembali membuka leptopnya untuk melanjutkan kerjaannya yang sempat terhenti karena harus membersihkan diri.

Rizky, Rajif, Agung, dan Lino juga masih terjaga. Termasuk Deril yang masih membantu Agung untuk memisahkan beberapa berkas penting. Mereka semuanya sepertinya juga tidak akan tidur, padahal pagi nanti harus kembali mengawal dan menemani Bapak ke kantor untuk menyambut Perdana Menteri Australia.

Selang beberapa waktu, Mayor Teddy menutup leptopnya, melirik ke jam tangannya dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4 pagi. Ia memijat pelipisnya. Anak-anak Bapak di bawah akhirnya juga tertidur. Ada yang tertidur di meja, di sofa, bahkan di karpet. Mayted memijat matanya pelan. Beranjak dari sofa untuk mengecek ke kamar Vanessa memastikan apakah gadis itu baik-baik saja atau tidak.

Mayor Teddy dengan hati-hati mendekati Vanessa yang tertidur, memastikan dirinya bergerak perlahan agar tidak mengganggunya. Dengan penuh perhatian, ia memastikan bahwa posisi tidur Vanessa nyaman dan selimutnya cukup hangat untuk melindunginya dari dinginnya udara malam. Mayor Teddy menunduk, memperhatikan napas Vanessa yang tenang dan teratur, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa gadis itu baik-baik saja dalam tidurnya.

Perlahan, Mayor Teddy meletakkan tangannya di dahi Vanessa untuk mengecek suhu tubuhnya. Sentuhan lembut itu disertai perhatian dan kekhawatiran, mencoba memastikan bahwa demam Vanessa tidak kembali. Namun, saat kulit mereka bersentuhan, Mayor Teddy merasakan sedikit gerakan dari Vanessa. Matanya yang tertutup perlahan bergerak, menunjukkan bahwa gadis itu sedikit terbangun. Vanessa membuka matanya dengan kelopak yang masih berat, pandangannya bertemu dengan Mayor Teddy yang tampak terkejut sekaligus lega.

Mayor Teddy tersenyum tipis, menatap Vanessa dengan kelembutan dan ketenangan, sambil berkata dengan suara pelan. "Maaf, saya tidak bermaksud membangunkan kamu, mbak. Saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."

Vanessa mengangguk pelan, matanya kembali perlahan terpejam, sementara Mayor Teddy tetap berjaga di sisinya, tak beranjak sedikit pun, memastikan bahwa gadis itu merasa aman dan nyaman dalam tidurnya.

Tapi, setelah ia memastikan Vanessa aman terkendali. Gadis itu malah kembali terbangun dan merintih kesakitan.

"Mbak, kamu kenapa? Butuh sesuatu?" Tanya Mayted pelan, sedikit panik. Gadis itu bangun dan terlihat menggigil.

"Pak Teddy.. Dingin. Turunin suhu AC kamarku tolong." Ucapnya dengan nada serak bangun tidur.

"Sudah saya turunkan yang paling rendah, mbak." Ujar Mayor Teddy pelan, ia mengelus kening Vanessa.

"Dingin banget Pak, aku nggak kuat." Vanessa mulai menangis. Padahal gadis itu sudah tidur memakai sweater, kakinya yang dibungkus kaos kaki, selimut yang tebal tapi ia masih tetap kedinginan.

Mayor Teddy duduk di ranjang Vanessa, menghapus air matanya dan mengatakan baik-baik saja.

"Kamu mau minum?" Tanya Mayted.

Vanessa mengangguk, Mayted mengambil air minum yang hangat dan memberikannya kepada Vanessa. Tapi, gadis itu masih saja menggigil. Mayted beranjak dari duduknya dan mengambil termometer, mencoba mengukur suhu Vanessa dari telinganya.

"39.2, kenapa malah naik?" Mayted kebingungan.

"Pak Teddy, dingin." Vanessa berkata dengan sangat lemah.

Saat itu juga, Mayted hanya bisa membawa gadis itu ke pelukannya. Mencoba menghangatkannya walaupun ia sendiri sudah kegerahan karena suhu kamar Vanessa yang sangat panas. Ditambah suhu tubuh gadis ini yang masih panas. Tapi, Mayted menahannya, ia sangat takut jika Vanessa kenapa-kenapa. Laki-laki itu mengelus punggungnya pelan, mengatakan semuanya akan baik-baik saja dan berharap setelah ini Vanessa bisa tertidur lagi.

"Pak Teddy belum tidur, ya?" Ucap Vanessa pelan.

"Belum mbak, saya jagain kamu sambil lanjutin kerjaan tadi." Ucap Mayted pelan.

"Pesanan aku ada?"

"Ada, tapi kamu sudah tidur semalam. Jadi, saya taruh di dapur. Nanti pagi setelah sarapan dan minum obat baru boleh di makan ya." Ucap Mayted sambil terus mengusap punggung gadis itu.

"Maafin aku ya, Pak? Aku nyusahin Pak Teddy terus. Bikin Pak Teddy nggak tidur, maaf ya, Pak." Vanessa menangis lagi, padahal tadi sudah berhenti.

"Sudah mbak, nggak papa. Tidur lagi ya? Biar nanti pagi bisa turun suhu tubuhnya." Vanessa semakin mengeratkan pelukannya.

"Pak, makasih udah jagain aku. Pak Teddy jangan kemana-mana ya? Tadi aku dengar cerita dari Mas Lino, katanya Pak Teddy dipindah tugaskan ke batalyon sebentar lagi." Suara Vanessa semakin pelan, bahkan hampir tidak terdengar. Jika situasinya tidak berpelukan, Mayted pasti tidak akan mendengarnya dengan baik.

"Pak.. Jangan tinggalin aku ya? Nanti nggak ada yang ngurusin atau marahin aku lagi. Nggak ada yang perhatiin aku lagi. Nggak ada yang jagain aku sakit kayak gini." Vanessa mulai menutup matanya kembali dengan suara yang semakin pelan.

Mayted terdiam cukup lama, ia tidak bisa menjawab apa pun dari pertanyaan Vanessa. Setelah tidak ada pembicaraan lagi, ia sedikit memastikan jika Vanessa kembali tertidur. Ternyata benar, Mayor Teddy melepaskan pelukannya sepelan mungkin dan memposisikan Vanessa untuk kembali berbaring dengan benar. Kembali menyelimuti gadis itu agar tidak kedinginan lagi.

Mayted mengambil kursi kecil di depan meja rias Vanessa. Duduk di sebelah ranjangnya sambil memperhatikan wajah gadis itu yang baru saja menangis dan kembali terlelap. Ia mengenggam salah satu tangan Vanessa, menatap dengan lekat wajah manis itu cukup lama.

Kabar mengenai perpindahan tugas itu memang benar, tapi ia tidak menyangka Vanessa akan mengetahuinya lebih cepat. Jangankan Vanessa, dirinya saja sungguh tidak siap harus berpisah dengannya nanti.

"Mungkin, Vanessa tidak mau saya tinggal karena sudah bergantung dengan saya, Vanessa tidak mau saya tinggal karena hanya saya yang mengerti dia, hanya saya yang bisa mengurusnya, hanya saya yang bisa menjaganya. Permasalahannya tidak ada diperasaannya, karena saya tahu, Vanessa tidak mungkin jatuh cinta kepada saya. Tapi kalau saya, saya takut. Saya takut kalo saya udah balik ke batalyon, perasaan saya akan hilang, perasaan saya akan memudar dan saya melupakannya. Yang lebih saya takutkan lagi, saya tidak siap kalau nantinya, pelabuhan terakhir saya bukan dengannya."

Continue Reading

You'll Also Like

61.6K 81 15
***FREE STORY***This #GifPorn anthology is inspired by dance, mainly ballet, lose yourself in a fantasy of words... Animated images that bring these...
11.6K 75 3
A stepbrother romance. Due to the mature subject matter, this book isn't recommended for anyone under 18. Ali hasn't seen Sam in three years bu...
21.6K 873 19
You, the reader is a literature student in a brilliant English university. Your life has been a dream since: good marks, supportive friends, a cozy r...
52.5K 1.5K 37
will lexa ever change? This book will sorta based off "midnight sun" but I'll change some things also it's a lexa/you **completed**