Bukan Sang Pewaris

By luisanazaffya

54K 6.5K 307

Leon tak perlu mengerahkan kekuatannya untuk menarik tubuh Aleta ke pangkuannya. Selain karena tubuh gadis it... More

1. Bukan Sang Pewaris
2. Calon Tunangan
3. Pertunangan Tak Terduga
4. Gadis Cacat
5. Cinta Yang Tersembunyi
6. Malam Pertama
8 Cinta Anna
11. Kekuarga Ezardy
12. Saudara Sepupu?
15. Dansa Bersama
16. Paman dan Keponakan
17. Masa Lalu Kisah Cinta Segitiga
18. Kecemburuan Yang Berapi-Api
Ebook Bukan Sang Pewaris
21 Ketegangan Di Meja Makan
22. Pelampiasan Emosi
23. Ancaman Bastian
24. Keputus Asaan Bastian
25. Antara Leon Dan Bastian
26. Kebimbangan Aleta
27. Ke Mana Pun Akan Pergi
28. Kehidupan Baru Dimulai
29
30. Di Ujung Tanduk
31. Kembali
32. Anak Leon
33.
34. Tak Berkutik
35. Makan Malam Kejutan
36. Surat Kesepakatan Perceraian
37. Merelakan
38 Berlian Mamora
39. Amarah Leon
40. Perubahan Leon
41. Menghapus Kenangan Masa Lalu
43. Pernikahan Bastian
44. Baby Lucien
47. Adik Kakak
48. Kecemburuan Leon
49. Tidak Baik-Baik Saja
50. Sebagai Putra Tertua Jacob Thobias

42. Menunggu Sedikit Lebih Lama

886 172 10
By luisanazaffya

Part 42 Menunggu Sedikit Lebih Lama

Berbanding terbalik dengan wajah Aleta yang seketika memucat. Kepalanya bergerak naik, menatap mobil yang berhenti tepat di depan mereka. Ya, itu mobil Bastian.

“Tetap di tempatmu,” ucap Leon sebelum melompat turun dan mengunci pintu mobil. 

Aleta berusaha membuka pintu mobil dengan sia melihat Bastian yang juga turun dari mobil. Pandangan Bastian sejenak menatap ke tempatnya sebelum kembali pada Leon dengan penuh amarah.

Keduanya pria itu saling berhadap-hadapan. Bastian yang penuh ketegangan, berbanding terbalik dengan Leon yang bersikap sangat tenang.

Satu-satunya yang Aleta cemaskan hanyalah satu, Leon akan mengatakan tentang hubungan kedua pria itu pada Bastian.

*** 

“Ck, lagi-lagi kau merusak kesenanganku, Bastian,” gerutu Leon dengan nada kesal yang dibuat-buat. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku.

“Lepaskan Aleta, Leon. Kau sudah mendapatkan semua keinginanmu, kan? Apalagi yang kau mau darinya?” Suara Bastian dipenuhi emosi yang memburu.

“Jadi kau sudah tahu?” Leon mendecakkan lidahnya. “Bukan kau yang menyerahkan sendiri posisi itu padaku? Atau … kau tahu kau sudah kalah, itulah sebabnya kau melarikan diri dengan dalih menyerahkan posisimu padaku?”

Bastian menggeram, maju satu langkah dan tangannya hendak mendorong dada Leon. Tapi lagi-lagi dengan mudah Leon menangkisnya.

“Ada kau atau tidak, semua itu tak mempengaruhi pencapaianku, Bastian. Aku mendapatkan semua ini atas kerja kerasku sendiri. Kau masih butuh bukti apalagi? Untuk memperjelas ketidakbecusanmu menjaga posisimu?”

Wajah Bastian merah padam. Kemarahan membakar dadanya.

“Aleta atau kursi tertinggi Thobias, keduanya tak ada yang bisa kau pertahankan. Dan sekarang kau merengek seperti anak kecil hanya karena aku mengambilnya? Bersikap seolah aku yang merebutnya darimu?”

“Kau memang merebutnya.”

“Karena ketidak becusanmu sendiri.”

“Berengsek kau, Leon!” Bastian menghambur ke arah Leon. Kali ini pukulannya yang didorong oleh amarah berhasil mendarat di hidung Leon.

Tubuh Leon terhuyung dua langkah ke belakang, segera mendapatkan keseimbangannya dengan cepat sebelum kemudian membalas pukulan tersebut, hingga Bastian jatuh tersungkur ke lantai dengan punggung lebih dulu.

Kaki Leon sudah terangkat, hendak meneruskan baku hantam tersebut, ketika suara gedoran dari dalam mobil menghentikannya. Kepalanya berputar ke arah mobilnya. Bahkan dari jarak sejauh ini, ia bisa melihat wajah sang istri diselimuti air mata.

Mendesah pelan, Leon menatap Bastian yang berusaha bangun dari lantai. “Jika kau ingin mendapatkan keduanya kembali, setidaknya kau harus bisa menerima semuanya dengan lapang dada, Bastian,” ucapnya kemudian berjalan mendekati mobil dan membukakan pintu untuk Aleta.

“Hapus air matamu.” Leon mengulurkan sapu tangannya pada Aleta. Setelah memastikan tak ada jejak basah di wajah sang istri, barulah ia menarik tubuh Aleta turun dari mobil. 

Dengan kedua lengan yang melingkari pinggang Aleta, Leon berjalan membawa gadis itu melewati Bastian yang berkutik di tempat pria berdiri. Wajah Aleta tertunduk dalam, tak sanggup menahan desakan air matanya jika harus menyaksikan kepedihan di mata pria itu.

“Jadi sampai kapan aku harus terganggu dengan kerepotan masa lalumu?” dengus Leon saat keduanya berada di dalam lift. 

Aleta tak menjawab. Dan beruntung Leon tak bertanya-tanya lagi. Saat sampai di apartemen, pria itu kembali meluapkan gairah pada tubuhnya. Aleta tak menolak, daripada jika Leon menyudutkannya dengan pertanyaan tentang Bastian.

*** 

Kandungan Aleta sudah semakin membesar, menginjak usia delapan bulan. Keadaan sepanjang minggu tersebut berlalu dengan penuh ketenangan. Aleta sesekali mengangkat panggilang sang mama yang tak berhenti mencemaskan keadaannya yang sedang hamil besar. Pun berkali-kali ia mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Leon melarangnya keluar ke mana pun tanpa pria itu. Jika Aleta mengatakan memiliki keperluan di luar, maka pria itu akan langsung membatalkan pertemuan untuk menemaninya. Yang membuatnya tak ingin keluar ke mana pun.

Semua barang-barang kebutuhan bayi pun sudah dipersiapkan oleh Leon. Ya, setelah tahu mama pria itu yang membelanjakan semua keperluan calon anak mereka. Leon membuang semua yang dibeli oleh Yoanna ke tempat sampah. Begitu pun semua pakaian, tas, dan sepatu yang dibelikan untuk Aleta.

Sepanjang satu bulan ini pun, Aleta hanya berdiam diri di apartemen. Sesekali keluar untuk makan malam dengan Leon, atau menemani pria itu di jamuan makan malam. Selebihnya, Aleta hanya menyibukkan diri dengan fokus pada kehamilannya yang semakin mendekati hari persalinan.

“Tes darah dan pemeriksaan USG, semuanya baik untuk persiapan hari persalinan. Posisi bayi juga bagus untuk persalinan normal.”

Aleta mengangguk puas dengan penjelasan sang dokter. Karena sudah akan menginjak usia sembilan bulan, ia harus lebih sering kontrol. Dua minggu sekali.

Leon pun tak melepaskan pandangan dari Aleta sepanjang pria itu di apartemen. Memastikan semua kebutuhan Aleta terpenuhi dan membebaskan gadis itu dari semua kewajiban untuk melayaninya. Termasuk di ranjang, meski sesekali masih menginginkan Aleta jika benar-benar sudah tak tertahankan.

“Dari mamamu.” Leon mengulurkan ponsel Aleta yang berkedip-kedip begitu keduanya keluar dari ruang dokter. 

Aleta mengambil benda pipih tersebut. Ya, sejak keluar dari mobil, Leon bahkan tak mengijinkannya membawa tasnya sendiri.

“Ya, Ma.”

“…”

“Aleta baru saja kontrol. Dengan Leon.”

“…”

“Semuanya baik-baik saja. Hanya menunggu hari persalinan. Sekitar dua atau tiga minggu lagi. Bisa maju atau mundur.”

“…”

“Malam ini?”

Aleta menoleh ke arah Leon. Yang tatapannya sudah menyipit curiga padanya. Aleta pun menurunkan ponselnya dari telinga setelah menekan tombol hening. “Hanya makan malam. Di rumah.”

Leon pun mengangguk singkat. Tepat ketika ponselnya ikut berdering. Pria itu melirik nama Julia di layar ponselnya sebelum berjalan menjauh dan mengangkat panggilan tersebut.

Aleta menatap punggung pria itu. Sempat mendengar pertanyaan Leon pada si penelpon. “Ada apa?”

 Aleta mengabaikan, kembali bicara dengan sang mama akan berkunjung nanti malam. Senyum menghiasi wajahnya dengan suara riang sang mama, sembari berjalan menuju tempat lift dan akan menunggu Leon di bawah saja. Leon pun tampaknya butuh ruang untuk bicara dengan seseorang entah siapa.

Tapi … nama Julia sepertinya tak begitu asing di ingatannya.

Aleta mengabaikan pikirannya tentang Leon. Apa pun urusan pria itu sama sekali bukan urusannya. Mamanya mengakhiri panggilan sebelum lift sampai di lobi rumah sakit. Aleta memutuskan menunggu di area ruang tunggu. Setidaknya posisinya akan langsung terlihat begitu Leon menyusulnya turun.

Dan ia baru saja mendaratkan pantatnya di kursi panjang ketika seseorang yang keluar dari dalam lift bukan seseorang yang ditunggunya. Bastian. Yang segera menyadari keberadaannya. 

Aleta tetap di tempatnya, bisa merasakan langkah Bastian yang menghampirinya.

“Hari ini jadwal kontrolmu.” Bastian tidak bertanya. Sudah tentu ia tahu jadwal kontrol Aleta ke rumah sakit. Setelah selama enam bulan menemani kehamilan Aleta.

Aleta menelan ludahnya. Memberikan satu anggukan singkat sebagai jawaban. “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Kontrol rutin setelah operasiku. Setiap dua minggu sekali,” jelas Bastian. Memegang dada. Suara pria itu terdengar lembut, meski kedua matanya memancarkan patah hati yang masih melekat di sana. Ketenangan tertata apik di wajahnya. “Aku sengaja mengundur jadwalku dua hari. Mungkin bisa berpapasan denganmu jika beruntung.”

Aleta tak tahu berkomentar apa pun. Bastian tak lagi terlihat emosional dan lebih mampu mengendalikan diri dibandingkan pertemuan terakhir mereka.

“Lama tak bertemu. Bagaimana kabarmu?”

“Baik.”

“Anakmu?”

“Baik.”

Aleta menjilat bibir bagian bawahnya. Hening sejenak.

“Keluargaku melanjutkan perjodohanku dengan Berlian.”

Aleta membeku. Wajahnya yang sedikit tertunduk menghindari menatap Bastian, seketika terangkat.

“Leon menantangku untuk merebutmu dan perusahaan. Kupikir ini satu-satunya jalan yang kumiliki.” Bastian berhenti, menatap lebih dalam kedua mata Aleta. “Aku akan melakukan semua cara yang kubisa. Jadi, bisakah kau menungguku? Sedikit lebih lama.”

Continue Reading

You'll Also Like

157K 10K 22
Akankah kisah tragis terulang kembali? °°° 'Hikayat cinta Sang Iblis', lanjutan dari cerita 'Di bawah naungan Sang Iblis' Cover by Pinterest and Me
306K 29.9K 44
"Ma, aku ngga mau ya punya assisten baru" "Plis lah Maa" "Aku tu CEO punya aissten dengan pakaian sexy itu biasa" "Lianda Sanjaya!!!" "Ikutin kata ma...
1.4M 110K 35
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
490K 38.4K 17
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...