into forever

Galing kay cosmicandteddy

1.9K 275 45

ACT 2 - BE YOUR FOREVER ❝Maukah kau mematahkan kutukan cinta terlarang ini bersamaku?❞ Helena tak pernah beru... Higit pa

Panggung: Penari & Pangeran
Benang Takdir
1. Rekrutmen
2. Patahan Masa Lalu & Kacamatamu
3. Singgungan
4. Pada Pandangan Pertama
5. Kacamata
7. Parfum
8. Kenapa Kita Berteman
9. Konversasi
10. Chanel 31 Le Rouge
11. Ujian
12. Pangeran & Kutukannya
13. Partner
14. Rahasiamu Belum Berakhir

6. Terikat Kenangan Buruk

94 13 3
Galing kay cosmicandteddy

Setiap satu bulan, Azka selalu mempunyai agenda makan malam bersama kakeknya sebanyak dua sampai tiga kali. Setiap makan malam akan membawakan satu tamu baru di hadapannya, tamu-tamu yang tak pernah Azka kenali itu adalah teman atau kolega kerja kakek sendiri.

Semua tamu tersebut pasti akan menawarkan kerja sama dengan kakek. Azka tak masalah dengan semua ajakan kerja sama itu, namun terkadang mereka akan menyelipkan perkenalan itu dengan membawa orang baru yang tak terduga. Dan Azka harus dipaksa berada di dalam sana karena ialah alat yang akan kakek gunakan. Kasarnya mereka merencanakan sebuah perjodohan.

Seperti yang terjadi di malam ini, kakek mengajaknya makan malam di salah satu restoran di gedung pencakar langit ibu kota. Sekarang Azka tengah berhadapan dengan satu keluarga yang terdiri dari seorang suami istri paruh baya, bersama seorang anak perempuan mereka yang usianya sekitar dua puluh tahunan.

"Jadi Azka baru naik jabatan jadi direktur ya?" Perempuan paruh baya bernama Veronica itu melemparkan satu pertanyaan ke arah Azka.

"Iya, Tante," jawab Azka sambil tersenyum tipis. Ia kembali memotong pelan daging steaknya itu, tak ingin sekali pun membuat kontak mata degan semua orang di sini.

"Cecil, kamu masih kerja di Singapura?" Giliran kakek yang bersuara. Beliau menatap perempuan yang memakai gaun berwarna biru tua itu.

"Iya, Om." Senyumannya sedikit canggung. Bertepatan itu juga pandangannya tak sengaja menabrak pada Azka yang diam-diam mencuri perhatian ke arahnya.

Cecillia Manggala, putri tunggal dari pasangan Alan Manggala dan Veronica Sudrajat. Keluarga ini memiliki satu perusahaan makanan ringan. Cecillia sendiri adalah lulusan S1 Sekolah Bisnis di University of New South Wales, Sydney dan seminggu lalu baru saja menginjak usia dua puluh lima tahun.

Azka mengaduk pelan gelas anggurnya sebelum ia meminum wine di dalamnya. Pikirannya tiba-tiba teringat dengan penjelasan Kevin, salah satu asisten kakek yang menceritakan lebih dulu tentang pertemuannya dengan keluarga ini.

Cecillia terlalu muda untuk dirinya.

"Selamat ulang tahun, Cecillia. Saya punya hadiah untuk kamu, walau sedikit telat."

Kakek meminta Kevin yang berdiri tak jauh darinya untuk menyerahkan sebuah hadiah kepada perempuan itu. Sebuah kotak yang ukurannya lumayan besar dan berwarna putih itu segera diserahkan ke arahnya. Beliau pun menyuruh Cecillia untuk segera membukanya dan saat itu juga terlihat sepasang sepatu hak berwarna putih dengan permata berkilau di tengahnya.

Cecillia mendadak terpukau begitu menerima hadiah yang sangat mewah ini. Sebuah sepatu yang didesain khusus untuknya dari desainer sepatu di Italia. Kakek memesannya khusus untuk anak perempuan teman bisnisnya ini. Ia pun tak henti-hentinya berterima kasih saat menerima hadiah ini.

Azka hanya terduduk diam melihat kebahagiaan keluarga tersebut. Tak sekali pun ia berminat untuk mengucapkan selamat ulang tahun yang sudah terlambat itu. Kini ia memikirkan bagaimana jika posisi perempuan itu tergantikan dengan sosok perempuan lain yang sudah sangat lama ia kagumi.

Bagaimana jika Anora yang berada di sana, menerima hadiah sepatu tersebut?

"Cecillia, kamu suka balet, nggak?" Pertanyaan baru dari kakek kembali muncul.

"Hmmm... suka sih, tapi enggak terlalu mendalami," jawab Cecillia.

"Saya punya akademi balet dan panggung pertunjukannya. Kalau kamu belajar di sana, kamu bisa hubungi saya," jelas kakek.

"Oh ya? Aku pernah nonton swan lake di Rusia, nanti bakal ada pertunjukannya enggak di sana?" tanya Cecillia.

"Tentu ada, kalau kamu mau."

Mendengar jawaban kakek tersebut, Azka ingin mendengus saat itu juga. Kenapa pria tua ini selalu lebih mudah menuruti semua permintaan anak temannya di saat cucunya sendiri lebih banyak menderita dan kesulitan karenanya? Katakan lah Azka tak tahu bersyukur, tapi semua kekayaan yang dinikmatinya sampai saat ini, tak pernah membuatnya benar-benar bahagia.

Ia terpaksa kehilangan sebagian dari hidupnya, dari masa muda yang dirampas karena harus mempersiapkan masa depan bisnis kakek.

"Azka bisa antar jemput kamu ke akademi sana—"

"Maaf, Azka minggu ini lagi sibuk, Kek. Azka punya rapat sama peru—"

"Jadwal kamu bisa diatur lagi. Kamu bisa temanin Cecillia di akademi."

Percakapan singkat itu juga tak kalah membuat Azka kesal. Kakek tak memberikan sedikit pun jedah untuknya menolak. Azka hanya bisa terdiam sambil menelan ludahnya, ia kalah dan harus menuruti pria tua ini.

"Ide bagus. Kalian berdua bisa saling temenan loh." Kini Veronica mulai ikut bersuara.

"Saya tertarik buat latihan balet. Dulu pas masih kecil saya pernah perform pas masih tinggal di Singapur," ucap Cecillia dan kakek menyambutnya dengan senang.

Di saat Cecillia tersenyum karena obrolannya dengan kakek saling masuk, di saat itu juga pandangannya tak sengaja tertuju pada Azka dengan raut wajahnya yang tampak datar dan cenderung menolak itu. Tak sampai dua detik, pria itu kembali sibuk memotong daging steaknya yang sudah tak menggugah lagi itu.

___________


Di malam hari yang sama, di sisi lain yang jauh dari ibu kota, tepatnya di salah satu rumah sederhana, tampak terlihat beberapa orang tengah menunggu di depan halaman. Orang-orang tersebut sedang menunggu pesanan mi ayam mereka yang dijual oleh pemilik rumah ini.

Menuju pukul sembilan malam, biasanya pemilik akan menutup warung dagangannya. Sekarang tersisa tiga orang pembeli lagi. Setelah semua pesanan selesai, barulah pemiliknya yang merupakan seorang pria paruh baya itu lantas menutup warung dagangannya.

Rumah itu dihuni oleh satu keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri dan dua anak mereka, satu laki-laki dan satu perempuan. Saat ini di dapur rumah mereka masih terdapat aktivitas dimana sang istri bersama anak perempuan sulungnya tengah membuat pangsit untuk jualan mereka besok.

Di sanalah Helena berada sekarang, terduduk di salah satu kursi meja makan bundar itu, bersama sang Mama yang tengah membungkus isian pangsit untuk jualan mereka besok. Hari ini ia pulang kembali ke rumahnya yang berada di Bogor setelah sekian lama sibuk dengan pekerjaannnya di Jakarta.

Helena kerap pulang ke rumah di saat ia mengalami waktu-waktu melelahkan dari pekerjaannya. Minggu ini ia dibuat lelah karena kegagalannya di pertunjukan beberapa hari lalu, kemarin ia harus membayar hukumannya dengan melakukan gerakan pirouettè yang banyak. Helena gagal melakukannya di panggung, belum lagi ia sempat jatuh saat pertunjukan berlangsung.

Saat sang Mama tengah sibuk dengan kegiatannya itu, beliau diam-diam melirik ke anak perempuannya. Terlihat wajah muram Helena selama memasukan isian pangsit itu.

"El, kamu capek?" tanya sang Mama.

Fokus Helena sontak beralih ke arah Mamanya, "Capek dikit kok, Ma."

"Kamu masih di sanggar balet itu?" Mama memberikan pertanyaan baru lagi.

Helena hanya mengangguk membalasnya. Tangannya masih bekerja cepat membuat pangsit-pangsit itu.

"Kerjaan kamu kayak mana?"

"Lancar. Aku cuman ngajarin anak kecil kok. Enggak terlalu keras kegiatannya."

Mama merasa lega mendengarkan jawaban anaknya itu. Beliau banyak mengobrol mengenai beberapa kejadian yang berlalu. Helena hanya mendengarkan semua itu tanpa membalasnya sedikit pun. Malam ini terasa sangat melelahkan, fokusnya bahkan sudah tak bisa dibagi lagi antara mengurus pangsit-pangsit ini atau mendengarkan ocehan Mama.

"Kamu tahu nggak, temen SD kamu, si Eka itu—"

"Mama ngapain!?"

Tiba-tiba saja Mama hendak menuangkan sesendok gula ke dalam daging isian pangsit itu. Helena sontak terkejut dan ia mencegat segera tangan Mama sebelum melakukannya.

"Tadi, kan, belum dikasih gula." Beliau terlihat kebingungan.

"Udah, Ma. Mama sendiri yang ngasihnya. Kalau belum dikasih, kita ngulang lagi ngisi pangsitnya sebanyak ini," jelas Helena.

Mama hanya mengangguk pelan, entah beliau mengingat atau tidak, tapi Helena sendiri yang melihatnya saat memasukkan bumbu-bumbu ke dalam isian daging ini.

"Yang Eka tadi kenapa?" tanya Helena mengenai pertanyaan Mama yang terhenti tadi.

"Mama diundang jadi panitia pernikahannya," jelas Mama.

Rupanya hanya berita tak penting. Helena menghembuskan napasnya dengan asal, ia sudah tak peduli lagi dengan kabar teman lamanya ataupun kabar pernikahan tersebut. Helena dan temannya itu sudah jarang berkontakan, bahkan terakhir terjadi lima tahun lalu.

Karena pasti topik ini akan menyinggung dirinya.

"Kamu masih dengan Naufal—"

"Ma, kita udah putus dari tiga tahun lalu."

"Hah? Kok bisa!?"

"Udah lama, Ma."

Kini Helena berharap sang Mama tak menanyakan lagi pertanyaan apapun. Bahkan sekarang Mama sudah menyinggung masalah mantannya.

Beberapa saat keduanya terdiam, Mama tiba-tiba kembali bersuara.

"Kamu nikmatin aja waktu buat saat ini. Mama nggak maksa kamu mau buru-buru. Kamu masih dua puluh lima tahun, hidup kamu masih panjang."

"Helena udah dua puluh tujuh tahun, Ma," balas Helena.

"Kamu kok cepet banget nuanya?" Mama menoleh terkejut ke arahnya.

Rasanya Helena ingin menepuk dahinya sekarang juga. Ia hanya menggeleng saja.

"Kamu lagi deket sama siapa?" tanya Mama dan topik seperti ini juga sangat Helena hindari.

"Nggak ada. Helena sibuk kerja aja," balasnya.

"Kamu kalau deket sama cowok, kasih tahu Mama ya. Biar Mama tahu mana cowok yang bener sama enggak."

"Iya, Maaa..."

Helena hanya tersenyum tipis mendengar semua ucapan Mama itu. Ia tahu beliau mengkhawatirkan tentangnya juga, tapi satu-satunya yang Helena khawatirkan adalah diri Mama sendiri. Dari percakapan mereka sebelumnya, ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi padanya.

Puncaknya saat Mama menyerahkan semua kegiatan mengisi pangsitnya itu kepadanya. Kebetulan isian daging itu sudah tersisa sedikit. Saat Mama beranjak dari kursinya, saat itu juga Mama mengeluhkan rasa sakit di kepalanya yang mendadak menyerang. Buru-buru Helena menyuruhnya untuk duduk lagi, namun Mama menolak dan bergegas pergi ke kamarnya.

Di meja makan yang sunyi itu, Helena hanya bisa terdiam melihat depan pintu kamar Mama yang sudah tertutup itu. Ia lebih mengkhawatirkan keadaan Mama saat ini. Gejala demensianya kembali terlihat.

____________

Hari Jum'at adalah hari dimana pekerjaan Azka lebih sedikit dibandingkan hari biasanya. Ia biasanya hanya menerima satu jadwal rapat dan sisanya akan lebih banyak bekerja dari rumah saja.

Tamu rapatnya berasal dari Jogjakarta, Azka baru saja menemui mereka pukul dua siang tadi.

Hari ini tak berakhir sampai situ saja, Azka harus menemui lagi seseorang yang pernah dijanjikan kakeknya di acara makan malam minggu lalu. Mengantarkan Cecillia Manggala menuju akademi balet, dimana perempuan ini ditawarkan berlatih balet di sana oleh kakeknya.

Azka baru saja selesai mengantarkannya ke akademi balet itu, kini ia berpaling menuju kafenya yang sudah lama tak dikunjungi.

Temaram. Itulah bisnis kopi yang Azka miliki. Tempat yang kerap ia kunjungi di sela-sela waktu padatnya. Di beberapa waktu Azka akan ikut menjadi barista di sini selagi menjual kopi sajian mereka. Bisnis kafenya sendiri sudah berjalan selama dua tahun dan sampai hari ini mereka masih terus beroperasi.

"Tumben ke sini, Bro?"

Saat pintu kacanya terbuka, Azka disambut dengan sosok Nathan yang tengah sibuk di depan mesin kopi itu. Pria ini tersenyum membalas temannya tersebut. Ia menunggu beberapa saat di meja pemesanan setelah pelanggan di depannya sudah berlalu.

Kafe sedang tak ramai, Nathan tampak tak sibuk juga setelah menyajikan kopi pada pelanggan di sini.

"Habis pulang kerja lo?" tanya Nathan.

Azka menggeleng, "Gue habis nganterin cewek," ucapnya sambil menatap Nathan.

Nathan hanya mendengus, "Cewek lo banyak, ini yang mana lagi? Yang mau dijodohin sama kakek lo?"

Senyum Azka mengembang, lalu menciptakan kekehan kecil. Temannya ini selalu tahu jawabannya, bahkan sudah terlalu bosan juga untuk menanggapinya.

Sebelum lanjut mengobrol, Azka meminta Nathan lebih dulu membuatkan secangkir americano untuknya. Ia pun duduk tak jauh dari tempat pemesanan itu.

"Lo nolak lagi?" tebak Nathan setelah menyajikan americano itu untuk Azka.

Azka tak menjawab, ia lebih memilih untuk menghirup lebih dulu minuman tersebut.

"Lo kenapa lagi sih? Tinggal nerima aja apa susahnya. Umur lo udah enggak muda lagi, Bro. Udah kepala tiga!" oceh Nathan.

"Lo juga sama," balas Azka.

"Gue dengan lo udah kepala tiga, tapi hidup gue masih gini-gini aja. Boro-boro mau ngehidupin anak orang, hidup sendiri aja kayak mau mati," gerutu Nathan.

Bola mata Azka berputar, ia mendengus malas. Terseralah apa kata temannya yang satu ini, tapi sejujurnya narasinya itu sudah terlalu memuakkan untuk didengarkan olehnya.

Begitupun dengan Azka, yang selalu banyak menceritakan keluh kesah perjodohan tak jelasnya ini dengan Nathan.

"Gak ada satu pun cewek yang lo incer apa?" tanya Nathan.

"Ada. Temen SMA gue," balas Azka.

"Jangan yang itu. Dari pilihan kakek lo, nggak ada apa yang lo minat?"

"Nggak."

Apakah cintanya sudah habis untuk orang lama? Sampai sekarang sebelas tahun berlalu, Anora masih menenangkan hatinya. Gadis sederhana yang cenderung pemalu itu telah kembali di hadapannya sekarang.

Azka pikir mudah untuk mendapatkannya, sampai ada satu orang lagi yang menengahi jalannya dan juga yang mengacaukan mereka, jika bukan Raka pelakunya.

"Anora nggak akan bisa menangin hati kakek lo."

Nathan berlalu dari hadapannya, kembali ke mesin kopi di dekatnya. Azka yang mendengarkan lantas melirik ke arahnya.

"Lo nggak akan mau mengulang kisah untuk kedua kalinya, kan?"

"Kisah apa?"

"Orang tua lo."

Azka terkekeh remeh, "Lo tahu apa tentang ortu gue?"

Emosi pria ini sedikit menaik mendengarkan ucapan temannya itu. Nathan sudah melewati garis batasnya dengan mengungkit kembali masalah sensitif Azka, perihal orang tuanya.

Tapi Nathan tak gentar, "Lo adalah bagian dari Wigandra, lo tahu resikonya kayak mana. Berhenti jadi childish kayak gini."

Ketika Azka sedang berusaha meredam emosinya, di saat itu juga Nathan diam-diam tersenyum tipis. Nathan pun berbalik dan kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Keluarga besar Wigandra memang terlahir dengan nasib yang malang. Bahkan pangerannya lebih senang menyimpan dendam dengan orang tua kandungnya.

___________

Insiden di panggung sudah berlalu sejak dua minggu lalu, tapi Helena masih harus membayar hukumannya lagi. Hari ini ia kembali ke akademi dan harus menyempurnakan lagi gerakan pirouettènya di hadapan sang pelatih.

Helena tengah terduduk seorang diri di pojok ruang latihan saat ini. Ia bersama yang lain baru saja selesai berlatih gerakan baru, belum diketahui apakah nantinya mereka akan melakukan pertunjukan lagi atau tidak. Di saat orang-orang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, fokus Helena tertuju pada seorang pria yang tengah menari bersama pasangannya. Itu Calvin dan Elina.

Keduanya kerap dipasangkan bersama, bahkan sering terdengar rumor jika mereka terlibat di satu perasaan yang sama juga. Orang-orang tidak tahu jika Helena sempat menyimpan rasa pada Calvin. Pria yang memiliki kemampuan menari yang sangat baik dan sering ditunjuk menjadi pangeran di setiap pertunjukan.

Helena berharap suatu hari nanti ia akan menjadi pendamping dari pangeran Calvin itu. Dan itu terjadi di saat ia menjadi Cinderella di pertunjukan mereka beberapa minggu lalu. Namun sayangnya, Helena jugalah yang mengacaukan pertunjukan tersebut. Saat mereka selesai tampil, Helena tak berhenti meminta maaf kepada semua orang atas kesalahan yang ia lakukan.

Tak ada satupun yang benar-benar peduli kecuali Danti. Ia memang kerap mengalami cedera dan Helena sadar akan hal tersebut. Berada di akademi ini kerap membuatnya dipandang sebelah mata. Helena kerap dikucilkan dari posisi pemeran penting di pertunjukan, membuat ia jarang terlihat sekalipun sudah berusaha.

Antara ia harus bertahan demi kelulusannya di akademi ini atau lebih baik menyerah karena ini terlalu sulit untuknya.

"Helena."

Satu suara memanggilnya dari pintu masuk ruangan. Semua orang lantas menoleh padanya begitu pelatih mereka, Bu Ira berdiri di sana. Helena harus menyetor kembali bayaran hukumannya.

Helena akan berlatih di ruangan yang terpisah dengan lainnya. Begitu masuk ke dalamnya, ia langsung disambut dengan seorang perempuan yang tampaknya tengah berlatih balet bersama salah satu temannya. Ada Elina yang sedang mengajar di situ.

"Bu Ira, ini ada titipan dari Pak Dierja. Ini Cecillia Manggala, dia tertarik buat latihan balet di sini." Pak Ivan menjelaskan lebih dulu keberadaan perempuan baru itu.

Bu Ira tak banyak komen, beliau segera mengalihkan Helena ke sudut ruangan lain dan memintanya untuk segera menari setelah instruksinya dimulai.

Gerakan pertama Helena berlangsung mulus, sampai tiga puluh menit lebih ia terus menari dan kakinya mendadak merasa bergetar saat itu juga. Helena sudah mencapai titik lelahnya, terus menerus berputar dan melompat.

"Helena, kamu boleh istirahat dulu. Pointè kamu ganti juga," instruksi Bu Ira.

Hingga akhirnya Helena dapat bernapas lega juga. Ia pun segera keluar dari ruangan ini, langkahnya berlalu menuju ruangan belakang, tempat dimana properti dan kostum pertunjukan berada di sana. Di dalam sana terdapat satu rak yang berisi banyak sepatu pointè yang digunakan para penari. Helena mengambil salah satu sepatu sesuai dengan ukuran kakinya.

Sebelum mengenakannya, ia mematahkan lebih dulu sol sepatu itu agar lebih nyaman untuk digunakan.

"Kenapa sepatunya harus dipatahin?"

Suara asing yang terdengar di dekatnya segera menghentikan kegiatan Helena. Ia menoleh cepat dan terkejut mendapati ada sosok lain di ruangan sepi ini. Helena reflek mundur. Lima meter di hadapannya sudah berdiri sosok Azka di dekat pintu toilet itu.

Helena segera berdiri dan tersenyum tipis menyapanya. Sebelum ia salah tingkah karena efek terkejutnya, buru-buru ia berbalik dan menghampiri rak sepatu itu lagi.

Kenapa ada Pak Azka di sini!?

Bagaimana pria ini bisa masuk ke sini? Helena tahu jika Azka adalah cucu pemilik akademi ini, tapi untuk apa ia berada di sini? Apa dia hendak berlatih balet juga? Tapi sepertinya tidak.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya," ucap Azka sekali lagi.

"Biar nyaman, Pak," balas Helena.

"Apa semua sepatu balet dibuat kayak gitu?" tanya Azka lagi.

"Iya. Ini nggak dikustom buat kita. Jadi harus dipatahin biar nyaman dipakainya," jelas Helena.

Sepatu yang ia patahkan sebelumnya terasa masih sesak di kakinya. Helena melepaskannya dan mencari sepatu yang ukurannya sedikit besar dari ini.

Sedangkan Azka yang sibuk memperhatikannya sejak tadi, tak sengaja mengalihkan pandangannya ke arah kaki Helena yang tampak merah dan banyak terlilit plester luka itu. Sepertinya efek sepatu itu cukup mempengaruhi pemiliknya.

Mereka sempat terlibat hening sesaat, Helena tampak sibuk mencoba meraih sepatu yang terletak di rak paling atas itu. Agar ia tak tampak bodoh dengan terus-terusan berjinjit di depan atasannya ini, Helena berpikir untuk mencari kursi di dekatnya. Tapi yang terjadi, ia justru tak kunjung menemuinya.

Satu-satunya harapan saat ini adalah Azka sendiri. Mau tak mau ia harus berbalik menghadapnya juga.

"Pak, boleh minta tolong ambilin sepatu di atas sana, nggak?" pinta Helena.

Azka menurutinya, ia mengambil sepatu di rak atas itu. Sebelum menyerahkannya, Azka menanyakan satu hal lagi padanya.

"Kenapa kamu masih pakai kacamata jelek itu?"

"Kacamata jelek?"

"Kacamata jelek kamu yang warna hitam itu."

"Saya cuman punya kacamata itu, Pak."

Azka terdiam. Bukannya kacamata barunya itu udah dikirimkan buat dia kemarin?

"Kenapa kamu nggak beli kacamata baru?" Azka berusaha mengungkit kacamata baru yang ia kirim minggu lalu melalui asistennya.

"Kacamata saya mahal, Pak. Apalagi sejak minus saya udah naik, satu kacamata aja harganya bisa nembus lima ratus ribu, bahkan satu juta." Helena menelan ludahnya, berusaha menjelaskan prahara kacamatanya yang sangat memusingkan itu.

Di saat Helena berusaha mengambil sepatunya itu, Azka menahannya lagi dengan menyembunyikan di belakang badannya. Pria ini maju selangkah mendekatinya.

"Pakai kacamata kamu yang baru itu."

Dari jarak yang tersisa beberapa senti itu, Azka dapat melihat bola mata Helena yang kembali memerah. Helena masih memakai lensa kontaknya selama latihan.

Akhirnya Azka pun menyerahkan juga sepatu barunya itu.

DEG!

Ada gemuruh aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya. Helena terpaku menatap wajah Azka yang dekat dengannya. Ia pun segera mundur dan berpura-pura sibuk dengan mematahkan sol sepatu barunya itu.

"Bapak kenapa ke sini?" Helena setengah melirik pada Azka yang berada di belakangnya.

"Ada orang yang harus saya jemput," balas Azka.

Pria ini memperhatikannya mengenakan sepatu tersebut. Helena berjinjit, berjalan, bahkan melakukan putaran kecil untuk merasakan kenyamanan di kakinya.

Setelah urusan di sini selesai, Helena pun segera pamit dari hadapan Azka. Ia tak lupa berterima kasih atas bantuannya tadi.

Saat Helena melangkah pergi meninggalkannya, saat itu juga Azka mengikutinya.

"Berapa lama kamu udah latihan di sini?" Azka mengajukan satu pertanyaan baru.

"Udah jalan dua tahun, Pak," balas Helena. Langkahnya sedikit cepat berniat untuk meinggalkan Azka saat ini juga.

"Berapa umur kamu?"

Eh?

Helena sedikit terkejut dengan pertanyaan Azka itu.

"Kayaknya kita masih seumuran."

"Bapak lebih tua dari saya."

"Jadi itu alasan kamu manggil saya bapak?"

Helena akhirnya tiba juga di depan ruang latihannya, sebelum masuk, ia menghadap ke arah Azka lebih dulu, "Saya dua puluh tujuh," sahutnya.

"Kamu ngira umur saya berapa?" tanya Azka lagi.

Kok jadi main tebak-tebakan gini!?

"Hmm... saya nggak mau salah tebak. Saya nggak tahu umur bapak berapa, mungkin empat puluh tahun?"

Langsung saja Azka tertawa mendengarkannya, "Kamu lucu juga."

Helena yang mendengarkannya, lantas dibuat sedikit merinding. Ia pun mengalah dan meminta maaf karena jawabannya yang salah dan cukup lancang itu. Helena pun segera masuk meninggalkan Azka.

Kenyataannya, Azka lebih tua tiga tahun dari perempuan itu.

Dari luar ruangan ini, Azka dapat melihat sosok Cecillia yang tengah diajar menari dari kaca pintu masuk itu. Melangkah ke arah yang berbeda, ada Helena yang tengah menari juga di sisi lain ruangan. Gerakan perempuan itu cukup menyita perhatiannya, dari putaran, lompatan, hingga kelentikan tubuhnya yang mengakhiri tarian dengan sempurna.

Azka menikmati pertunjukan tariannya itu. Begitu juga dengan Helena yang akhirnya dapat menyelesaikan gerakannya dengan sempurna di hadapan Bu Ira.

"Bagus. Besok kamu ulangin lagi gerakannya sama Elina." Ucapan Bu Ira segera mengejutkan Helena.

Dan bersamaan itu juga, pandangan Helena tertuju melihat ke arah pintu, dimana di luar sana ada Azka yang tengah melihatnya sejak tadi.

Pikirannya bercampur aduk saat melihat pria itu tiba-tiba meninggalkan depan pintu itu.

Pak Azka tahu apa soal kacamata baru itu?

Sedangkan Azka, ia yang awalnya tampak menikmati tariannya itu, lantas meninggalkan ruangan ini segera. Balet adalah permainan paling menyedihkan. Ia tak menyukai semua tentang tarian ini. Dari sang kakek yang memaksanya sampai almarhum ibu kandungnya yang jahat itu.

Bagi Azka, balet sama saja dengan kenangan buruk.

____________

BERSAMBUNG

NOTE:

Halo! Apa kabar kalian? Aku kembali lagi^^

Gimana cerita mereka sejauh ini? Aku boleh minta kritik dan saran kalian? Untuk bantu aku ngembangin tulisan aku lagi di sini. Ayo drop!

Have a nice day all!

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

11.3K 667 36
🏅"Spotlight Romance of February 2024" Reading List by WattpadRomanceID Ketika satu pasang jantung pecah menjadi kepingan mati rasa, hanya paradigma...
513 68 10
"Katanya udah move on, kok masih gamon?" Padahal sudah putus 3 tahun lalu, tetapi ada saja yang membuat Kayesha jadi teringat akan mantan kekasihnya...
78.6K 8.6K 39
[COMPLETED]-What if you meet the right person, but at the wrong time? Daftar Pendek The Wattys 2021
950 84 15
A Prequel Sejak kecil, Anyelir Arimbi Dasono hidup dalam belas kasih Abisena Sastrowilogo - Partriarch keluarga konglomerat Sastrowilogo yang merupak...