SILAM

By tanindamey

90 21 1

Anaya menyadari semakin hari jumlah pasien Rumah Sakit Jiwa Surai Asa semakin berkurang. Banyak pasien yang m... More

SILAM
Prolog
Chapter 2 - Tumbang Satu
Chapter 3 - Menjadi Dekat
Chapter 4 - Terusik
Chapter 5 - Sebuah Pesan
Chapter 6 - Tak Terduga

Chapter 1 - Sebuah Janji

9 3 0
By tanindamey

Entah berapa kali Anaya menghela napas berat. Di sampingnya masih begitu banyak berkas yang menumpuk. Berjejalan notifikasi yang mengingatkan deadline pengiriman berkas. Detik demi detik jarum jam yang juga ikut mengingatkannya, bahwa seharusnya dia sudah ada di rumah dan istirahat. Namun, Anaya memilih di sini bergelut dengan laptop. Bermalam di tempat kerja sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sambil menatap layar laptop, tangannya meraih segelas air yang ternyata sudah kosong. Anaya menghela untuk kesekian kalinya. Dia rasa, dia membutuhkan sesuatu lebih dari air putih. Kopi hangat tidak terlalu buruk sepertinya.

Anaya merasa dirinya sebagai penjaga Rumah Sakit Jiwa sekarang. Sepanjang lorong benar-benar hanya dirinya seorang. Bahkan, Anaya hanya mendengar suara sepatunya saja. Ketika dia masuk dapur umum, dia hampir berteriak ketika melihat Gian.

"Saya mengagetkanmu, Dokter Anaya?" tanya Gian.

Anaya mendekatinya sambil memegang dadanya yang berdegup kencang." Saya hampir membangunkan seluruh pasien di lantai ini, Dok."

Gian hanya tertawa.

"Dokter lembur juga?"

"Iya, banyak sekali yang harus saya selesaikan." Gian meraih cup kopi, lalu mengulurkan pada Anaya. "Ambilah, Ana."

Anaya tertegun beberapa saat.

"Mau, tidak?"

"Ah, iya. Terima kasih, Dok." Anaya merasakan hangat ketika memegang cup kopinya.

"Saya sudah lama memegang RJS ini, hanya terhitung beberapa orang yang berani merelakan jam istirahatnya. Mengapa kamu mau menjadi salah satunya, Dokter Anaya?" Gian mengambil satu kapsul kopi lagi untuk dimasukkan ke dalam mesin.

Anaya ikut memperhatikan apa yang dilakukan Gian. "Saya hanya ingin melakukan yang terbaik untuk RSJ ini, Dok." Sekarang Anaya mengamati kopi kapsul tadi berubah menjadi cairan yang mengalir dari mesin.

Tanpa sadar, Gian sudah memutar tubuhnya untuk menghadap Anaya tepat. "Setulus itu?"

Anaya mengeratkan cup kopi yang dia genggam.

Gian melakah lebih dekat. "Sudah hampir satu tahun, jawabanmu masih sama. Benar setulus itu? Apa jaminannya kalau kamu tidak berkhianat suatu saat nanti?"

Anaya ikut melangkah mundur karena Gian benar-benar menghilangkan jarak di antara mereka. Dan kini, dia mendongak, menatap matanya. Anaya tersenyum. "Bahkan setelah apa yang saya lakukan di sini hampir satu tahun, belum cukup untuk meyakinkan Dokter Gian? Saya hanya bertanggung jawab dari apa yang saya pilih, Dok. Di sini, saya mempunyai harapan untuk hidup dan membantu orang lain untuk tetap hidup juga."

"Dokter selalu menanyakan hal yang sama berulang kali. Apa ada yang pernah berkhianat dengan dokter?"

Gian tertawa. Tawanya yang mengerikan. "Kamu sudah berani menembak pertanyaan, Ana."

Anaya ikut tertawa. "Sebenarnya aku sedikit tidak menyukai panggilan itu. Tapi, karena itu Dokter, tidak masalah." Anaya mengangkat bahuku asal.

"Saya menyukainya."

"Benarkah?" Anaya kembali menatapnya. "Apa itu pengakuan yang tulus?"

"Kamu mirip dengan seseorang, Dokter Anaya."

Mata mereka terpaku, seperti saling menyelami. Mencari-cari apa yang terasa abu-abu. Mata yang tajam milik Gian terlihat menyimpan begitu banyak hal misterius. Mata sendu dan terkadang berubah tajam milik Anaya pun juga sama. Penuh dengan tanda tanya.

Tatapan mereka terhenti ketika seseorang memasuki dapur. Anaya menggeser tubuhnya, begitu juga Gian.

"Dokter, itu kopinya sudah jadi."

Gian hanya bergumam.

Setelah Gian melangkah pergi, Anaya bisa bernapas lega. Dia memandang cup kopi yang digenggamnya.

"Permisi." Seseorang kembali mengejutkan Anaya.

"Ah, iya, maaf, Dok." Anaya menundukkan badannya, lalu meninggalkan dapur. Namun, kaki Anaya terhenti ketika di ambang pintu dapur. Dia kembali masuk.

"Dokter Saka, saya ingin ke kamar pasien kamar 707 setelah ini."

"Iya."

Anaya menunggu sejenak, tetapi tidak ada kalimat yang terucap setelahnya. Jadi, dia hanya mengangguk kecil sambil merapatkan bibirnya. Lalu, meninggalkan dapur.

***

Sebelum Anaya meninggalkan rumah sakit ini, dia menuju ke kamar pasien 707. Memandang dari luar pintu. Tangannya berhenti di depan pintu. Tidak ada gagang pintu di rumah sakit jiwa. Semua pintu di seiap ruangan menggunakan pintu sorong. Anaya menghela napas, lalu tersenyum sebelum menggeser pintu. Ia memasuki ruangan itu, plafon yang tinggi, nuansa putih tenang  mulai menyapa. Tempat tidur pasien itu sangat rapi.

"Selamat malam!" sapa Anaya. Pasien itu masih belum memberikan respon. Tatapannya kosong, menatap ke arah luar jendela. Anaya ikut memperhatikan jendela itu. Tidak ada tirai karena rumah sakit jiwa menghindari tirai dan benda tajam yang lain. Desain jendela yang sama dengan pintu, yaitu jendela geser yang kini tengah terbuka.

"Seharusnya kamu menutup--" Tangan Anaya terhenti ketika ingin menutup jendela itu. Satu tangan melingkar di pergelangannya. Anaya menoleh. Mata itu semakin redup.

"Kamu memang sengaja membukanya?" tanya Anaya sambil menurunkan tangannya.

Tidak kunjung merespon, Anaya menyimpulkan, "baiklah, biarkan saja terbuka."

"Bagaimana perasaanmu, Stevlanka?" Anaya mulai membuka obrolan. Mereka berdua kini tengah berdiri di depan jendela sambil menatap ke arah luar.

"Mengapa gelap begitu menyakitkan?" suara lirih Stevlanka terdengar.

Anaya mengerjapkan mata, beralih menatap Stevlanka.

"Aku ingin meninggalkannya, tetapi dia selalu mendekat."

"Pria itu?" tanya Anaya.

"Kegelapan."

"Tidak ada yang benar-benar menyakitkan di dunia ini, Vla. Semua orang memiliki sakitnya masing-masing."

"Benar. Tapi, rasa sakitku melebihi batas semestinya."

Anaya tersenyum. "Dari kalimatmu barusan, saya tahu kalau kamu belum benar-benar menerima dirimu."

"Semuanya tidak akan pernah berakhir, sebelum kamu menerima dirimu sendiri. Mulailah dari dirimu. Kalau kamu pun masih memberontak tidak terima, bagaimana bisa kamu memiliki ketenangan sesuai yang kamu harapkan?" Anaya menatap Stevlanka. "Saya percaya kamu bisa, memang membutuhkan waktu."

"Dokter Saka menyuruhmu untuk menuliskan semua isi hati kamu satu tahun ke belakang, bukan? Bagaimana hasilnya?"

"Saya menandai banyak kecemasan."

"Tidak apa-apa. Tuliskan semua perasaan kamu di buku yang Dokter Saka beri."

Anaya melihat Stevlanka menunduk. Tidak lama, air matanya mengalir.  Anaya melihatnya, lalu ia berkata, "menangislah ketika ingin menangis, tertawalah ketika ingin tertawa, marahlah ketika ingin marah."

"Sudah hampir satu bulan, dan saya masih seperti ini, Dok," suaranya tercekat. Stevlanka memundurkan langkahnya. Ia melihat tangannya yang mulai bergetar. Air matanya semakin deras menetes.

"Kendalikan, Vla." Anaya mengarahkan. "Kuasai diri kamu."

"Dokter ingin saya menerima diri saya?" tanya Stevlanka. "Maksud dokter menerima yang seperti ini?"

Anaya mendekat. "Hei, dengar ...," langkahnya tertahan karena melihat Stevlanka memukulkan tangannya pada pinggiran tempat tidurnya. "Stevlanka, berhenti!"

Anaya berusaha menghentikan tindakan Stevlanka. Semakin ditahan tenaganya semakin kuat. Bahkan perempuan itu sampai berteriak histeris meminta dilepaskan. Anaya tidak pernah mengira teriakannya begitu mengiris hati. Anaya rela tangannya menjadi cakaran kuku Stevlanka. Anaya tidak menyerah, satu tangannya masih menghentikan tangan Stevlanka. Sementara tangannya yang lain membenarkan rambut Stevlanka yang menghalau wajahnya. Rambutnya tampak basah karena keringat dan air matanya.

"Stevlanka, saya akan bersama kamu. Tenangkan dirimu."

"Aku hanya perlu ditinggalkan dan sendiri!" teriak Stevlanka.

Semua terjadi dengan begitu cepat, Anaya terdorong dan Stevlanka meraih benda tajam. Anaya membulatkan matanya, ternyata Stevlanka masih menyimpan benda seperti itu. Entah bagaimana mungkin perawat masih saja terlewat menyingkirkan benda-benda tajam.

"Pergi!" Stevlanka menodongkan benda tajam itu. Dengan tangan yang gemetar, Anaya melihat bagaimana Stevlanka menyayatkan benda tajam ke telapak tangannya. Anaya tidak bisa menahan diri lagi, ia mendekati Stevlanka. Merebut benda tajam itu, hingga akhirnya benda tajam itu terlempar jauh. Stevlanka masih memberontak, bahkan lebih histeris. Setelah itu, Saka masuk ke dalam ruangan itu. Laki-laki itu dengan sigap menarik tangan Anaya, lalu mengambil alih. Ia memberikan obat penenang untuk Stevlanka.

Anaya masih termenung.

Stevlanka berhasil tidur karena efek obatnya. Dengan tatapannya yang kosong, Anaya berjalan keluar. Ia bersandar pada dinding di samping pintu. Ia menyunggar rambutnya sambil menghela napas berat.

"Saya sudah pernah bilang, pasien 707 sedikit berbeda. Dia terlihat begitu lemah, tetapi dia juga bisa berubah paling berbahaya." Suara itu membuat Anaya menoleh. "Kenapa kamu begitu tertarik dengan dia?"

Anaya hanya diam, tidak menjawab. Perempuan itu sempat menatap mata Saka, dan laki-laki itu tengah mengarahkan pandangannya pada tangan Anaya. Tanpa mengucapkan apa pun, Saka pergi begitu saja. Anaya baru saja menyadari jika tangannya tergores. Keheningan semakin menyadarkan Anaya, bahwa sudah hampir larut malam. Anaya memilih untuk pergi dari sana. Ia merasa energinya benar-benar terkuras. Yang ada di pikirannya, hanya ingin membersihkan diri dan istirahat.

***

Anaya sudah sering melihat banyak pasien yang memberontak, berteriak, menangis, meraung-raung. Banyak rasa sakit yang tidak bisa mereka tangani sendiri membuat mereka pada akhirnya meledakan emosi. Tidak bisa menempatkan diri. Tidak tahu harus berbuat apa. Namun, melihat pasien kamar 707 tadi benar-benar membuat Anaya tidak tega. Atau mungkin karena umurnya yang masih muda. Masa kelam memang mengerikan. Anaya semakin ingin membuat Stevlanka sembuh dan bisa tersenyum tanpa beban yang menghantui.

Anaya menghela napas kasar setelah membuka pintu apartemennya. Matanya menuju ke seluruh ruangan, yang ada hanyalah kegelapan. Ia melihat kembali di luar apartemen, kebetulan pintu apartemen di depannya terbuka.

"Permisi, listriknya ada gangguan, ya?" tanya Anaya.

"Tidak, apartemen saya tidak ada kendala," jawab seorang perempuan sambil mengeluarkan banyak kardus besar.

"Oh, sudah tidak tinggal di sini lagi?" Anaya hanya basa-basi saja sebnarnya karena itu sudah jelas jika perempuan itu akan meninggalkan apartemennya.

"Iya, nih. Saya ikut ke rumah suami saya. Dan ya, terima kasih dokter sudah banyak membantu saya selama di sini." Ia tersenyum.

"Terima kasih kembali. Selamat juga atas pernikahannya."

Itu menjadi obrolan terakhir sebelum Anaya kembali masuk ke dalam apartemen. Tubuhnya menunduk melepaskan sepatunya. Dalam keadaan gelap, ia masih bisa berjalan dengan baik. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa. Ia tidak berusaha untuk menyalakan listriknya yang padam. Yang ia lakukan hanyalah duduk menunggu hingga kegelapan ini berakhir.

Anaya memilih untuk memejamkan matanya dan duduk bersandar. Keheningan berpendar dalam ruang. Senyap dengan bersorak. Ketika seseorang memberontak dalam sunyi dan gelap, maka Anaya akan memilih bertahan. Ia suka dunianya yang sepi, hening, tanpa riuh. Hanya dengan ini Anaya merasa terjaga.

Sesaat kemudian, satu per satu lampu apartemen Anaya kembali menyala membuatnya membuka mata. Tepat setelah itu, Anaya mengalihkan pandangannya dari sudut ruang tamunya. Sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat. Sosok perempuan yang menggunakan baju kebaya compang-camping. Sanggulnya yang sudah tidak tertata dengan rapi, beberapa rambunya sudah terlepas dan teramat kusut. Kaki dan tangan yang sudah tidak sempurna. Dan yang paling menyeamkan wajahnya yang sudah hancur. Anaya tidak melihatnya untuk kedua kali, bau anyir yang mulai menguar membuat ia beranjak.

Anaya mematut dirinya di depan kaca riasnya. Tangannya terangkat ke atas untuk membuat cepolan rambut. Ia mulai membersihkan make up-nya. Seperti tidak pernah terjadi apa pun karena apa yang ia lihat tadi sudah menjadi hal yang biasa. Anaya bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh manusia biasa. Anaya mendapatkan penglihatannya yang sedikit berbeda itu sejak ia masih kecil. Mesikipun begitu, Anaya bukanlah orang indigo yang bisa mengetahui atau membaca pikiran orang lain. Kemampuan Anaya hanya sebatas melihat hingga berkomunikasi. Namun, Anaya hanya bisa melihat jika sosok tersebut yang menginginkan Anaya untuk melihat.

Saat ini, ia bisa melihat sosok di belakangnya. Kondisi wajah dan tubuhnya tidak seburuk seperti yang ada di ruang tamu. Anaya mengenali sosok itu. Anaya mengehntikan tangannya, menaruh kapas yang ia gunakan untuk wajahnya.

"Kamu yang membawa temanmu?" Anaya bertanya dengan nada kesal.

"Iya. Dia baru saja kecelakaan ketika mau bertunangan dengan kekasihnya."

"Kamu bisa berhenti bersikap semau kamu, Ana?" Anaya berbalik menatap sosok yang ia panggil Ana itu. "Aku sudah peringatkan kamu untuk tidak membawa teman-teman kamu, kan?"

"Aku hanya menolong."

"Iya, tapi tidak dengan membawanya ke sini." Anaya menghela napas. "Oh, aku tahu, kamu sengaja membuatku takut? Mau mengancamku?"

"Merasa begitu?"

"Ana, bersabarlah. Aku juga sedang berusaha."

"Berusaha seperti apa, Anaya?" Ana berteriak. "Sudah berbulan-bulan dan kamu masih tidak menemukan apa pun. Kamu bilang akan membantuku, tapi sampai sekarang kamu tidak segera memberikan informasi apa pun. Aku menunggumu, aku ingin tahu penyebab kematianku."

"Aku sedang berusaha."

"Kamu selalu saja mengatakan hal yang sama." Ana tersenyum, tetapi tidak seperti biasnya. Senyum yang lebih mengerikan.

"Aku sudah pernah bilang, biarkan aku membantu kamu dengan caraku sendiri. Kamu hanya perlu sabar." Nada bicara Anaya juga meninggi. "Tapi kamu selalu menggangguku, bukan? Seperti tadi. Kamu selalu keluar masuk di tubuhku sesuka kamu."

"Kamu menyukainya, benar?"

Anaya terdiam.

"Kamu menyukai dokter sialan itu, Anaya?"

Anaya masih terdiam, ia membuang muka.

"Aku harap kamu nggak lupa tujuan kamu masuk di rumah sakit jiwa itu untuk apa. Ingat janji kamu buat aku."

Baru saja Anaya akan bersuara, Ana sudah tidak terlihat. Ia hanya bisa menghela napasnya. Anaya tidak pernah melupakan janjinya pada Ana. Ia hanya membutuhkan waktu saja. Kini Anaya merenungi dirinya sendiri. Apakah benar yang dikatakan oleh Ana?

*** 

Terima kasih sudah membaca.

Tanindamey
Senin,  25 maret 2024

Continue Reading

You'll Also Like

24.5K 2.1K 30
ဇာတ်လမ်း အကျဥ်းကတော့ ဝတ္ထုခေါင်းစဥ်အတိုင်းပါပဲ... လင်းမာန်ခက wormhole ကို ဖြတ်လာပြီး လွန်ခဲ့တဲ့ အနှစ် ၂၀ ကို ရောက်လာတယ် ။ သူ့အဖေက သူ ၂နှစ်သားထဲက ဆုံး...
11.4M 297K 23
Alexander Vintalli is one of the most ruthless mafias of America. His name is feared all over America. The way people fear him and the way he has his...
132K 28.4K 96
Title - Dangerous Personality Author - Mu Gua Huang MC- Xie Lin x Chi Qing Chapter 161 + 2 extras ထူးဆန်းသည့် ပြန်ပေးဆွဲမှုတစ်ခုအပြီးတွင် ချီချင်းတစ်...
OBSESSED By thisbejaja

Mystery / Thriller

97K 4.1K 26
obsessed