Althea for Altair

بواسطة Meisenja

916 329 590

Seorang pria blasteran Inggris - Indonesia, bernama Altair Alexander Leonidas, tak pernah pulang ke Indonesia... المزيد

Prolog - Piece of Memory
Bab I || Leonidas & Elenio
Bab II || The Wound
Bab IV || Pressure of Being With You
Bab V || When I Admire You
Bab VI || Talk to You
Bab VII || Meet the Past
Bab VIII || Give Me a Chance

Bab III || Meeting You

99 41 95
بواسطة Meisenja

Halo, Readers!
Semoga kalian menikmati alur ceritanya 🥰
Jangan lupa VOTE dan komen nya, ya. Supaya aku makin semangat untuk lanjutin kisah 'Althea for Altair' ini 🥰
Terima kasih😇


******


"Sam, bagaimana menurutmu?" tanya Altair.

Altair serta ketiga sahabatnya, yaitu Samuel Zavier, Stevan Leonidas, dan Galen Leonidas, sedang berada disebuah Gedung kosong tak jauh dari Universitas "The Royal Collage of Music"- tepatnya di South Kensington London.

Gedung berlantai 3 ini belum sepenuhnya selesai dibangun. Tentunya, ini adalah mahakarya seorang Arsitektur bernama Altair Leonidas, beserta Samuel yang membantu dalam perhitungan rincian anggaran biaya atau biasa disingkat dengan RAB. Jangan lupakan kedua sahabatnya yang membantu dalam hal menyumbangkan dana untuk membangun Gedung dengan style desain bangunan brutalism yang terlihat elegan dan kokoh.

"Wow, otakmu benar-benar gila, Al. Desainmu benar-benar membuatku pusing memikirkan bagaimana cara kamu membuat desain bangunan gila seperti itu," ucap Stevan.

"Itu sebabnya aku sangat setres menghitung RAB. Kamu benar-benar mengurangi jam tidurku hanya untuk berkordinasi denganmu perihal material bangunan yang akan dipakai dan menyesuaikan dengan dana yang kita miliki. Terlebih, kamu benar-benar sulit untuk diajak kompromi. Benar-benar membuatku frustasi," keluh Samuel, mengingat bagaimana ia sudah hampir setengah mati untuk mengurus RAB bangunan sekaligus strukturnya.

Akan tetapi, bukan Samuel jika tidak dapat mengimbangi kemampuan desain Altair. Ia dengan otak encernya yang bisa diandalkan, membuat Altair tidak dapat mempercayai siapapun selain dirinya. Altair sangat tahu kemampuan otak sahabatnya yang satu ini.

"Dan itu sebabnya juga aku selalu memperingatimu dalam mendesain Apartemen yang saat ini kamu tempati, agar tidak melebihi budget," ungkap Galen.

Altair menatap Galen dengan raut wajah dingin. Ia tak suka ada orang yang memprotes mahakaryanya.

"Hei, kenyataannya memang begitu, bukan?" imbuh Galen tak terima.

"Perlu kuberitahu, jika bukan kamu yang memintanya, aku tidak akan mau membangun apartemen dengan desain seperti itu," ujar Altair penuh penekanan.

"Ayolah, Altair. Bukankah dalam mendesain bangunan, kita juga harus mengimbangi kebutuhan klien? Jangan terlalu terpaku pada prinsipmu, Kawan. Apalagi disini bukan hanya kamu, tapi juga ada aku, Sam, dan Stev," timpal Galen.

"Ya sudah. Ayo, masuk," tanggap Altair. Ia tak mau berdebat lebih lanjut. Stevan dan Samuel sudah lebih dulu memasuki bangunan untuk menjelajahi setiap ruang.

Samuel, Galen dan Stevan sudah saling mengenal dekat beberapa tahun ini. Mereka adalah teman satu kampus Altair di Jerman, saat menempuh pendidikan S1 Arsitek. Sebenarnya, Galen dan Stevan adalah sepupu Altair. Stevan anak dari adik kedua Matthias, sementara Galen adalah anak dari adik ketiga atau bisa dibilang adik bungsu Matthias. Mereka seperti sahabat dan saling mengandalkan.

Sekitar enam bulan yang lalu, Galen mempercayakan bisnis pembangunan Gedung Apartemennya di London pada Altair. Dan Altair tidak meminta bayaran berupa dana saat itu. Ia hanya meminta dibayar dengan 1 unit apartemen paling mewah yang ia buat sendiri di Gedung tersebut. Unit apartemen, yang saat ini menjadi tempat tinggalnya di London.

"Wow ... just wow," puji Galen setelah melihat setiap sudut bangunan yang Altair desain.

"Awas, nanti air liurmu terjatuh," ejek Steven sambil menadahkan dagu Galen dengan tangannya.

Galen melirik sinis seraya menyingkirkan tangan Steven. "Apa, sih? Tidak jelas."

"Hei, fokus," tegur Altair. Ia menggelengkan kepala, kedua sepupunya tak pernah berubah dalam hal bertengkar tak jelas.

Galen dan Stevan terdiam mendapat tatapan dingin dari si manusia dengan tingkat keseriusan tinggi itu. Mereka berkeliling, memeriksa dengan teliti setiap sudut ruangan untuk nanti didiskusikan bila ada yang kurang.

Penggunaan beton sebagai material utama bangunan, ditambah dengan semen kasar untuk membuat tekstur disetiap dindingnya- semakin memperkuat kesan kokoh, berat, simpel, apa adanya, namun tetap elegan yang benar-benar merupakan ciri khas dari bangunan brutalism.

Desain yang mengkombinasikan material tebal dengan material transparan seperti kaca yang dapat menjadi penyeimbang beton dan mempermudah sirkulasi cahaya alami yang masuk ke dalam bangunan.

Altair juga menggunakan material rosten beton yang bercelah sebagai sirkulasi udara tanpa menghilangkan ciri khas kokoh dari beton. Langit-langit bangunan pun ia buat tinggi. Dan ditengah bangunan, terdapat taman kecil untuk membantu sirkulasi udara agar tidak engap. Altair benar-benar sangat totalitas dalam mendesain bangunan yang akan dijadikan kantornya.

Warna tone gelap pada bangunan adalah ciri khas lain pada bangunan brutalism, yang lagi-lagi memberi kesan kokoh tak terbantahkan. Warna dan material utama pada bangunan tidak membuat sirkulasi cahaya juga udara menjadi minim.

Disinilah yang menjadi tantangan seorang Arsitek bagi Altair. Idenya akan diuji dengan berbagai kendala dalam proses pembangunan. Ciri khas bangunan brutalism memang sulit untuk ditaklukan.

Satu jam berlalu. Mereka duduk di taman yang berada ditengah gedung tersebut. Hari sudah menunjukan pukul 1 siang, perut Stevan terdengar mengamuk meminta makan, membuat sahabat-sahabatnya seketika tertawa, kecuali Altair yang hanya tersenyum tipis.

"Di antara kita, kamu yang paling gemar makan dan cepat lapar, Stev. Hahaha," ejek Galen menertawakan sepupu yang lebih dianggap sahabat itu, sementara Stevan hanya cemberut menampilkan wajah kesal.

"Diamlah, atau aku sumpal mulutmu dengan kaos kakiku yang bau," gerutu Stevan.

"Hahaha ... hanya kamu yang menjadi bahan lelucon kami tanpa kami minta." Galen benar-benar tak tanggung dalam memberi pengakuan yang menjatuhkan Stevan.

Samuel hanya ikut tertawa menyaksikan, dan Altair hanya menggelengkan kepala-masih dengan senyum tipis. Ia sedang memandangi sepatunya sendiri. Ponsel Altair bergetar sedari tadi dan ia malas mengangkat tanpa tahu siapa yang menghubunginya berkali-kali itu.

"Kamu ... berhentilah mengoceh dan cepatlah kita cari makan." Stevan geram dan bangkit dari tempat duduk menuju pintu keluar, disusul dengan yang lainnya di belakang.

Setelah sampai di tempat mobil yang mereka parkirkan, Samuel menatap Altair dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ada apa?" tanya Altair, merasa tidak nyaman dengan tatapan Samuel.

"Aku berpikir seperti ada yang kamu lupakan," jawab Samuel. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu, sedangkan Altair tidak meresponnya. Pria itu hanya mengerutkan dahi, ikut berpikir.

"Apa maksudmu? Apa ada yang kita lupakan pada bangunannya? Apa kita lupa memeriksa beberapa ruangan?" tanya Galen, ia menjadi ikut penasaran.

"Bisakah kita memikirkannya di jalan? Aku sungguh tidak tahan lagi menahan lapar," ucap Stevan, mulai dipuncak kekesalannya.

Samuel dan Altair masih saling memandang, bergulat dengan pikirannya masing-masing.

Apa yang aku lupakan?

Ponsel Altair bergetar lagi dan membuatnya geram. Ia akhirnya memilih mengambil ponsel dari kantong celana untuk melihat siapa yang mengganggunya. Di layar ponsel, terdapat panggilan masuk dari nomor tak dikenal ke nomor pribadinya melalui media sosial WhatsApp.

Altair terdiam sesaat, yang tahu nomor pribadinya hanya keluarga dan sahabat-sahabatnya. Ia segera menekan layar hijau yang menandakan 'panggilan diangkat'. "Siapa?"

"At? Itu kamu, 'kan?" Suara merdu seorang gadis di telpon balik bertanya.

Altair mengerutkan dahi, ia seperti mengenal suara itu meskipun jarang didengar. Sejauh ingatannya pulih, hanya ada satu nama yang selalu memanggilnya 'At'. Ia sontak membelalak terkejut.

Sungguh, Altair sangatlah brengsek karena melupakan janji untuk menjemput Althea di Bandara hari ini. Ya, hari ini. Altair spontan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah 2 siang.

Sialan, sudah 1 jam sejak dia sampai di Bandara!

"At? Kamu bisa mendengar suaraku?" panggil Althea lagi. Suaranya begitu lembut. Padahal, bisa saja ia marah-marah karena kebodohan Altair. Gadis itu malah terdengar seperti mengkhawatirkan pria bodoh ini.

Seketika, Altair tersadar dari acara merutuki dirinya sendiri. "Aku akan kesana, tunggu."

Tanpa aba-aba, Altair langsung memakai headset bluetooth agar tetap tersambung dengan Althea. Ia menghambur masuk ke dalam mobil-menghiraukan beberapa pertanyaan sahabatnya.

"Tunggu aku di kafe biasa, aku akan menyusul," pinta Altair pada ketiga sahabatnya sebelum menancapkan gas menuju Bandara.

***

Saat ini, Althea sudah berada didalam mobil Volvo XC60 black edition milik Altair. Pria itu benar-benar brutal ketika menyetir mobilnya menuju Bandara. Seharusnya membutuhkan waktu 20 menit, tapi Altair hanya butuh waktu tidak sampai 15 menit untuk sampai.

"Aku lupa kamu datang," jelas Altair pada Althea tanpa mengalihkan fokusnya menyetir mobil.

"Tidak apa-apa, At. Lagi pula, aku jadi punya waktu untuk berkeliling melihat suasana di sekitar Bandara. Sayang sekali kalau aku mengabaikannya," sahut Althea yang sebenarnya sudah bisa menebak sikap Altair akan seperti apa. Meski berkali-kali diingatkan Kiara, pria itu pasti tak pernah benar-benar mendengarkan hal yang menurutnya 'tidak penting'.

"Kamu sudah tahu di mana Universitasmu?" tanya Altair, masih dengan pandangannya yang lurus ke depan memperhatikan jalan.

"Sudah. Aku sudah mencari tahu semua tentang The Royal Collage of Music."

"Kalau begitu, aku tidak perlu mengantarmu untuk melihatnya, bukan?" Altair mengalihkan padangannya menatap Althea selama 5 detik.

Althea spontan menunduk saat tatapan iris safir Altair bertemu dengannya. Meskipun mata itu menatapnya datar, tetap saja ia belum terbiasa. "Ya. Kamu tidak perlu repot-repot untuk melakukan itu, Altair."

"Apa kamu bilang pada Bunda kalau aku terlambat menjemputmu?" Kini, Altair bertanya dengan nada yang terdengar lebih menekan.

"Tidak, At. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak mengangkat telpon Tante selama kamu belum menjemputku tadi," jawab Althea sedikit gugup. Dirinya baru kali ini merasa terintimidasi hanya dengan suara dingin milik Altair. Pria itu sungguh mendominasi.

Altair kembali memandang lurus ke depan setelah mendengar nada bicara Althea. Ia mencoba mengendalikan dirinya agar tidak terlalu keras pada gadis di sampingnya itu.

Setelah beberapa menit berlalu, ponsel Altair bergetar. Ia memasang headset bluetooth nya ke telinga begitu tahu siapa yang menghubungi.

"Aku sudah bersamanya, Bun," jelas Altair langsung pada inti pembicaraan. Ia tahu untuk apa Kiara menghubunginya. Terlebih, Althea menjelaskan bahwa ia tak menjawab panggilan Kiara selama Altair belum menjemputnya.

"....."

"Altair tidak tahu Bunda, mungkin dering ponselnya dimatikan."

"....."

"Baiklah, aku mengerti. Aku sedang menyetir, nanti aku hubungi lagi." Altair menutup telpon dan melepas headset bluetooth nya.

Althea berusaha mencari topik agar tidak terlalu canggung, ia tidak nyaman dengan suasana seperti ini. "Altair, Tante bilang, ada piano dan gitar di Apartemenmu, ya?"

"Ya."

"Apa kamu juga suka bermain piano dan gitar?"

"Tidak juga."

"Lalu kenapa ada piano dan gitar?"

"Entahlah."

"Kamu itu minim komunikasi sekali." Althea mengerucutkan bibirnya, nada bicaranya terdengar seperti anak kecil dan terkesan manja.

Altair melirik mendengar nada suara Althea yang berubah. Ia melihat ekspresi Althea yang juga mendadak berubah. Altair melengos, gadis ini selalu aneh baginya.

Beberapa waktu lalu Althea begitu lembut menyapanya dengan senyum. Baru saja ia terlihat ketakutan, dan sekarang? Althea menjadi seperti anak kecil yang sedang merajuk meminta dibelikan permen.

"Altair," panggil Althea.

Hening.

"Altair Leonidas," panggil Althea lagi. Ia tidak ingin diabaikan oleh pria itu.

"Aku tidak pernah tahu kalau kamu gadis berisik yang memaksakan topik pembicaran, Al," sindir Altair memberi penekanan pada kata 'gadis berisik'.

"Aku 'kan hanya ingin mengobrol denganmu."

"Aku bukan orang yang tepat untuk kamu ajak bicara."

"Kamu yang tidak tepat atau aku?" timpal Althea, memberanikan diri memandang Altair.

"..."

Hening. Tak ada jawaban lagi.

Althea menghela nafas panjang sambil mengalihkan pandangannya. "Baiklah, aku diam."

Althea memandang keluar jendela, menahan segala emosi yang menekan hatinya. Ia tak ingin Altair membenci dirinya jika terlalu mendekati pria itu. Pendekatannya butuh proses dan tak akan mudah. Althea sudah mempersiapkan dirinya untuk semua yang akan terjadi, nanti.

Tidak apa-apa, ini baru awal dari perjalananku untuk Altair.


*****


"Waktu yang sombong telah lama memisahkan kita. Tapi perasaanku padamu justru semakin dalam. Hei, bagaimana kabarmu? Apakah kamu baik-baik saja? Aku di sini, mengejarmu hingga rasanya sesak di dada. Cinta yang kupunya begitu besar. Dan aku akan membuktikannya padamu. Ini adalah perjalananku untuk menjadi pantas. Ini adalah kisahku untukmu, Altair."

- Althea -

.

.

.

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

2.2K 1.6K 13
tidak kenal bukan berarti tidak akan mengenalnya selamanya , Saat ia berpikir pasti tidak mungkin tapi bisa saja takdir berkata lain. profil sesunggu...
1.5K 383 30
Cerita diikutkan pensi volume 3 di teorikatapublishing selama 25 hari!! . . . RAVEN kisah romansa di kampus antara kating dan maba. RA ialah Rafael s...
412 60 26
Laut itu biru, semakin biru warnanya maka semakin pula kedalamannya. Jika biru langit diartikan sebagai kebahagiaan, artinya biru dari air mata melam...
6.2K 1.2K 47
Ini tentang Vania, dia seorang gadis yang tidak pernah mendapatkan kebahagiaan semenjak ayah kandungnya meninggal dunia. "Diantara banyaknya luka, ke...