Kosan 210

By diaaprilia_

1.7K 180 3

"Kan kita awalnya juga nggak saling kenal." -Farris. "Iya. Pas kenal ternyata di luar galaksi bimasakti alias... More

01 | Keputusan Yang Tepat
Para Penghuni Kosan
02 | Jajanan Klebengan
03 | Kawan Baru
04 | Ambyar Makpyar
05 | Seblak Kematian
06 | Semanis Langit Senja
07 | Siapa, tuh?
08 | Mantai, Gas Ngeng.
09 | Kok Bisa?
10 | Waduh
11 | Perempuan Berbaju Putih
12 | Sakit
13 | Jalan Kaliurang
14 | Hari-hari Hujan
16 | Hidup Kadang Kidding

15 | The Memories

43 8 0
By diaaprilia_

I've lost my way

I've pushed away the ones I loved

And, I've changed

But to them, I'm still enough

And people always say they'd take a shot at starting over

And maybe so

But for me, it always seems

—Caleb Hearn, Damage.

***

Berapa harga yang harus dibayar oleh sebuah pengkhianatan?

Jika uang dibayar uang, mata dibayar mata, bahkan nyawa dibayar dengan nyawa. Bagaimana dengan rasa sakit?

Apa yang pantas untuk menebus rasa sakit itu?

Menurut Lia, amarah saja tidak cukup untuk membayar semua rasa sakit yang ada. Ada harga yang harus dibayar dengan impas.

Cewek itu tersenyum getir, seolah dunianya terhenti. Banyak pertanyaan tanpa jawaban memenuhi pikirannya.

Salahkan dia terlahir?

Apakah sebuah petaka karena hadirnya dia di dunia ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu hanya menggaung di pikirannya. Cewek itu menganggap jika keberadaannya hanya ada untuk membawa sebuah luka.

Lia tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Lia tidak pernah meminta agar semua orang menyukainya, dan juga Lia tidak pernah meminta siapa pun untuk tetap bersamanya.

Ayah pergi meninggalkan Ibunya. Mantannya pergi meninggalkannya dan menyisakan sebuah kekecewaan yang terlampau menyakitkan juga membekas. Yang lukanya tidak bisa hilang sepenuhnya.

Siang itu adalah siang yang paling tidak dia harapkan kedatangannya. Siang yang seharusnya bisa dipakai untuk beristirahat dengan nyaman berakhir dengan tangisan pengampunan.

Sebuah siang pertama dalam hidup Lia yang dia benci.

Ayahnya melayangkan gugatan perceraian kepada Ibunya sebab Ayah memilih untuk hidup dengan perempuan lain.

Umur Lia saat itu masih belasan tahun. Tapi dia cukup mengerti apa yang ada di depan matanya.

Dia ingat dengan jelas bagaimana Ibu tetap bergeming di saat Ayah menangis karena memutuskan untuk berpisah. Itu lucu sekaligus bodoh bagi Lia. Bukankah yang seharusnya menangis adalah Ibunya? Kenapa justru Ayah yang menangis padahal dia yang memutuskan untuk pergi.

"Saya minta maaf untuk semuanya. Saya tahu ini menyakitkan buat kamu juga buat Lia,  Alfa, dan Alma. Saya benar-benar minta maaf atas gagalnya pernikahan ini. Kalau kebohongan terus menerus ditutupi, saya mengerti akan sehancur apa kamu ke depannya, Nia." Ayah merunduk tanpa mampu melihat bagaimana tatapan Ibu dilayangkan kepadanya.

Tanpa balasan apa pun, tangan Ibu tergerak mengambil pena yang berada di sebelah kertas putih itu. Dengan diamnya, Ibu menanda tangani surat perceraian itu sebagai tanda bahwa Ibu menyetujui perceraian tersebut.

Lia yang saat itu hanya dapat melihat tanpa berkomentar apa-apa. Dunianya berantakan. Rumah yang selalu penuh kehangatan itu perlahan dingin.

Ibu semakin sibuk bekerja, sementara Lia harus menggantikan peran Ibu di rumah. Dua adiknya masih kecil kala itu, Lia yang mengurus keduanya. Pada pagi-pagi sekali Ibu sudah lebih dulu pergi berangkat kerja lalu pulang saat hari telah larut. Tahun-tahun itu mampu mereka lewati meski kekosongan menggerogoti tiap hangat yang membuncah di rumah yang dulunya menjadi tempat ternyaman untuk Lia dan kedua adiknya.

Hingga Lia mengira, sakit untuknya hanya sampai situ saja. Tapi agaknya, Tuhan begitu sayang sampai memberikan ujian lain untuknya.

Jarang sekali Lia menceritakan soal mantan pacarnya itu. Seorang laki-laki yang Lia kira bisa menggantikan peran Ayah dalam hidupnya, namun berakhir sama.

Hubungan yang sudah dibangun selama hampir tiga tahun harus pupus, sebab cowok itu menghamili perempuan yang menjadi selingkuhannya. Lagi dan lagi. Luka yang sama dengan orang yang berbeda pada sebuah siang hari. Siang yang menyuguhkan rasa yang sama sakitnya.

"Gue minta maaf. Bener-bener minta maaf. Gue harus bertanggung jawab karena gue yang melakukannya." Cowok yang menggunakan hoodie hitam itu menatap Lia penuh rasa bersalah.

Lia hanya dapat menghela napas berat. Air matanya tidak keluar tapi hatinya remuk.

"Lo harus nikahin perempuan itu sebagai bentuk tanggung jawab lo sebagai laki-laki."

"Gue minta maaf, Tha. Tanpa lo doain karma untuk gue, gue yakin karma emang lagi berjalan ke arah gue."

Yah, Lia hanya bisa mengangguk pelan lalu tersenyum pahit. "Emang udah harusnya begitu. Kalo begitu kita selesai, kan? Semoga selalu bahagia sama pilihan lo ya, Dit."

Hari kemudian berlalu, Lia kembali melanjutkan hidupnya meski pada akhirnya dia harus menjalani terapi mental sebab rencana bunuh dirinya yang gagal kala itu.

Salah seorang sahabatnya, Gita, jadi yang pertama kali menemuinya di kamar. Butir-butir obat itu berserakan di atas ranjang milik Lia.

Lia tidak pernah menampilkan sedihnya di hadapan banyak orang. Lia hanya dikenal sebagai pribadi yang ceria serta peduli kepada teman-temannya. Maka, keluarga bahkan beberapa teman terdekatnya tidak percaya jika Lia akan melakukan hal sejauh itu.

Keputusannya untuk menetap selama beberapa waktu di Jogja adalah murni pilihannya sendiri. Dia butuh suasana baru. Suasana yang tenang dan berbeda. Dengan terpaksa dia kembali mengulang masa menjadi seorang mahasiswa baru. Ibunya tidak berkomentar lebih jauh, dan mendukung apa pun pilihan Lia.

Putaran kenangan itu terhenti tatkala suara gelas yang digeser membuyarkan ingatan Lia. Matanya menatap bergantian ke arah gelas berisi matcha latte dan juga tangan yang mengulurkannya.

"Agak lama, tadi es batunya habis kata mas baristanya." Naufal menjelaskan sambil duduk di hadapan Lia.

Sambil tersenyum, Lia menyesap minuman favoritnya. "Nggak apa-apa. Gue nggak akan dateng ke counter terus marahin baristanya juga."

"Ngelamunin apa, sih?"

Lia menggeleng. "Bengong doang. Soalnya buat gue bengong itu enak."

Salah satu alis Naufal terangkat. "Sejak kapan bengong itu enak, sih? Aneh banget Lia."

Gelak tawa Lia terdengar membuat Naufal semakin dibuat heran.

"Enak, kok. Cobain deh, kapan-kapan makanya."

"Kalo ada sesuatu yang ngeganjel pikiran lo, cerita ke gue aja. Gue siap dengerin."

"Iya, lo siap tapi kalo guenya nggak siap gimana?"

"Yah, gue tunggu sampe lo siap. Karena mendem semuanya sendirian itu nggak baik."

Lia manggut-manggut. "Bunda belum kelar urusannya?"

Naufal mengangguk pelan. "Masih, kayaknya si Ayah asik ngobrol makanya lama. Gue udah bisa nebak kalo Bunda udah bete abis pasti. Dari tadi ngechat ngeluh mulu."

"Berarti abis ini kita ketemu mereka?"

"Iya, Bunda gue nggak galak, kok. Bisa tanya ke anak-anak cewek. Mereka udah pernah ketemu sama Bunda."

"Bunda nggak senyebelin lo, kan?"

"Emang gue nyebelin?" Naufal merengut membuat Lia lagi-lagi tertawa.

"Nyebelin sedikit."

"Ah, masa? Sadiahnyo hati ambo, nih dibilang nyebelin."

Untuk urusan membuat Lia tertawa, memang Naufal jagonya. Celetukan-celetukan randomnya itu mampu membuat Lia terbahak.

Rasanya bersyukur sekali bisa bertemu Naufal di Jogja.

"Fal, gue deg-degan mau ketemu Ayah sama Bunda lo, deh." Sedari tadi Lia merasa nervous karena Naufal mengatakan akan mengenalkannya kepada kedua orang tua cowok itu.

"Santai aja. Lagian nggak akan ditanya macem-macem kok tenang. Cuma ngobrol-ngobrol santai."

"Tapi tetep aja takut tau!"

"Siniin tangannya, deh."

Lia menatap tangan Naufal di depannya. "Mau diapain?"

"Mau digenggam pelan, biar deg-degannya berkurang."

Lia berdecak tapi menurut saat Naufal mengatakan hal itu. Naufal menggenggam tangan milik Lia sambil mengelus-elus pelan. Bukannya hilang, justru Lia semakin deg-degan sekarang.

"Ini mah emang lo yang modus aja, sih."

Tawa keduanya pecah dan Lia sama sekali tidak menarik tangannya itu.

Ada rasa nyaman saat tangannya disentuh oleh Naufal. Tangan besar itu terasa hangat ketika digenggam membuat Lia enggan melepaskannya begitu saja.

"Boleh request, kok. Mau digenggam sampe kapan. Gue mah selalu siap." Naufal tersenyum tengil.

"Kalo seumur hidup boleh?" Bukan Athalia namanya jika tidak memancing kawan bicaranya. 

Naufal mengangguk dengan serius. "Tanpa lo minta juga emang bakal gue lakuin, Li."

Binar mata yang meyakinkan itu Lia tangkap dengan jelas. Naufal pada siang hari ini terlihat begitu bahagia. Senyumnya tak lepas dan selalu cowok itu tampilkan tiap kali keduanya berbicara.

Entah, Lia tidak tahu. Mungkin karena Bunda dan Ayahnya yang akan berkunjung membuat Naufal semangat sehingga pancaran bahagia sangat terasa ketika bersebelahan dengan cowok itu.

Harapan Lia sederhana untuk cowok keturunan Aceh Minang itu. Lia ingin Naufal turut hadir di sisinya untuk melangkah ke depan. Lia ingin Naufal yang bersisian dengannya, bukan laki-laki lain.

Sederhana memang, namun butuh perjuangan yang tidak mudah. Tapi, doa yang Lia lambungkan ke langit tidak pernah berhenti.

Bagaimana nanti akhirnya biar jadi rahasia semesta saja. Karena bagi Lia saat ini, bersama Naufal sudah lebih dari cukup.

***

Naufal sempat gugup tatkala dia berniat mengenalkan Lia kepada Ayah dan Bundanya. Tapi, yang paling Naufal khawatirkan adalah Bunda. Terakhir kali Naufal mengenalkan perempuan di masa lalunya ke hadapan Bunda berakhir tidak baik. Buda sangat tidak menyetujui perempuan itu. Alasan utama sudah jelas, Bunda tidak mau yang berbeda agama.

Masa-masa terlewati dan Naufal tidak pernah mengenalkan perempuan mana pun ke hadapan Bunda. Pengecualian untuk teman-teman perempuan di kosannya.

Namun untuk hari ini, dengan yakin Naufal akan mengenalkan Lia pada Bunda juga Ayahnya.

Satu hal yang Naufal syukuri, Bunda dan Ayah tidak memaksa Naufal harus memiliki pasangan dari suku yang sama. Ayah tidak masalah jika Naufal tidak mendapatkan gadis Aceh begitu juga Bunda. Perempuan yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya itu pun tidak pernah memaksakan Naufal harus memiliki pasangan berdarah Minang.

Ayah dan Bunda tidak sekolot itu. Naufal diberi kebebasan dalam mencari pasangannya. Pesan Ayah dan Bunda hanya satu; menyembah satu Tuhan yang sama.

Lantas, bagaimana dengan urusan ibadah dan hal-hal lainnya?

Kedua orang tuanya menyerahkan itu semua kepada Naufal karena dia adalah laki-laki. Itu tanggung jawabnya untuk membimbing pasangannya nanti.

Berbekal pengetahuan agama sedari kecil yang mana kedua orang tuanya tumbuh di lingkungan agamis, membuat Naufal cukup paham soal ajaran-ajaran agama dalam hidupnya.

Kesalahannya di masa lalu, terlalu mengikuti egonya mengejar apa yang berbeda.

Bunda sempat marah beberapa waktu sementara Ayah hanya diam dan tidak berkomentar apa-apa. Tapi itu cukup menyakitkan untuk Naufal.

Maka di masa sekarang, Naufal memberanikan diri untuk mengenalkan Lia kepada kedua orang tuanya.

"Ini siapa, Bang?" Bunda bertanya saat mereka semua telah duduk.

Naufal dan kedua orang tuanya sepakat untuk bertemu di salah satu restoran Padang favorit yang berada di Jakal Bawah.

Tersenyum kikuk, lalu Lia menyalimi tangan Bunda dan Ayah secara bergantian.

"Saya Athalia, Tante dan Om." Lia mengangguk pelan setelahnya baru dia duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Naufal.

Naufal memberikan senyum jumawanya. "Calon mantunya Bunda lah, siapa lagi?"

Ayah yang mendengar celotehan putra semata wayangnya itu tertawa. "Kuliahmu selesaikan dulu baru bicara soal mantu."

Lia melirik ke arah Naufal yang merengut kesal entah kenapa terasa lucu di matanya.

"Ye, Ayah nih, kaku banget, dah! Justru ini penyemangat Abang biar skripsinya kelar."

"Apo lah alesanmu, Bang." Bunda beralih menatap Lia. "Dipanggilnya apa, Nak?"

"Lia aja boleh, Tante."

Bunda mengangguk-angguk. "Cantik. Asli Jogja?"

Lia tersipu malu sambil tersenyum tipis. 

"Keturunannya Jawa, Tante. Tapi kalau orang tua ada di Bekasi."

"Ah, dekat itu. Nanti kalo libur main-main ke rumah, ya. Biar si Abang yang jemput ke Bekasi. Jangan kamu yang ke rumah kami sendirian, masa perempuan yang nyamperin laki-laki. Ya, kan, Bang?"

Naufal mengangguk penuh semangat. Dia menyadari kalau Bunda mulai menyukai Lia, padahal ini kali pertama keduanya bertemu.

"Gampang itu mah, Bunda! Mau di mana juga bakal Abang jemput Lianya."

"Kalian kok bisa kenal?" Gantian si Ayah yang bertanya.

Ditanya seperti itu membuat keduanya kompak tertawa. Karena teringat pertemuan pertama mereka yang luar biasa absurd.

"Ditanya Ayah kok malah pada ketawa?" Bunda geleng-geleng melihat kelakuan keduanya.

"Ya, soalnya Abang ketemu Lia itu bener-bener nggak bisa diduga, Bunda." Naufal jadi yang pertama menjawab.

"Nggak terduga gimana?" Sepertinya, Ayah semakin penasaran.

"Waktu itu, Abang pergi belanja bulanan ke Mirota yang dekat kampus. Abang nggak ada uang recehan, terus Lia yang antre di belakang Abang, minjemin Abang uang. Habis itu kenalan lah kami," ucapan Naufal terjeda saat pelayan restoran datang sambil membawa seluruh pesanan mereka.

"Nah, ternyata Lia lagi cari kos-kosan. Dan ternyata sebelumnya kami pernah papasan di Mekdi Sudirman itu, Bund. Abang sama Bu Nanik ke sana. Terus ternyata, Lia ketemu sama Bu Nanik, ngobrol-ngobrol soal kosan. Lia nggak tau kalo ternyata Bu Nanik itu Ibu kosannya Abang!"

Sejauh Lia mengenal Naufal, tidak pernah dia melihat Naufal berceloteh panjang lebar seperti ini. Bahkan, Naufal menyebut dirinya 'abang' alih-alih menggunakan kata 'aku' atau pun namanya langsung.

Ini benar-benar membuat Lia terkejut. Seorang Naufal Jazlan bisa sangat bawel di hadapan kedua orang tuanya. Ada sedikit rasa iri yang menyelimuti perasaan Lia. Tapi tidak membuat Lia menjadi tidak suka, dia senang melihat hangatnya keluarga ini.

Ayah dan Bunda langsung tertawa mendengar penjelasan Naufal. Lia sendiri hanya bisa tersenyum, karena dia tidak perlu menjelaskan lagi bagaimana awal mereka bertemu.

"Memang sebelumnya Nak Lia tinggal di mana?" Ayah bertanya lebih lanjut.

"Di rumah Tante, Om. Adik dari Ibu saya kebetulan tinggal di Jogja."

Bunda manggut-manggut, lalu menyodorkan piring yang sudah berisi nasi itu kepada Lia yang membuat cewek itu kembali terkejut. 

"Ah, begitu. Selama kenal sama Naufal, dia ada bikin kamu kesal nggak, Nak?"

Lia mengambil piring tersebut sambil mengangguk pelan. "Makasih, Tante," jedanya. "Nggak, Tante, alhamdulillahnya Naufal banyak ngebantu saya selama di sini. Malah saya yang nggak enak karena banyak ngerepotin dia."

"Kalo begitu, berarti Lia harus main kapan-kapan ya, ke rumah."

Lia tidak tahu sudah berapa kali dia tersenyum selama beberapa jam terakhir ini. "Insyaa Allah, Tante. Nanti saya main ke rumah, deh."

"Ya, sudah kalo gitu ayo dimakan. Nanti jadi dingin makanannya."

Pertemuan pertama yang membuat Naufal senang begitu juga dengan Lia. Kegugupannya tadi sudah menguap tergantikan oleh rasa senang karena Bunda maupun Ayah Naufal menyambutnya dengan penuh kehangatan.

Lia sudah lupa kapan terakhir kali dia menghabiskan waktu untuk makan bersama dengan keluarga di meja makan. Meja makan di rumahnya hanya berfungsi untuk menaruh lauk—jika ada karena mereka jarang berkumpul—yang biasanya hanya ada kekosongan di meja makan tersebut.

Namun, siang hari ini kehangatan yang diberikan oleh keluarga Naufal membuat perasaan kosong Lia kembali terisi.

Naufal dengan sengaja menaruh potongan rendang ke piring milik Lia. "Makan yang banyak biar kenyang."

"Ini masih ada rendang di piring gue, Fal."

"Ya, nggak apa-apa. Gue bisa ambil lagi nanti."

"Kebiasaan, kan dia mah."

"Daripada kelaperan nyampe kosan gara-gara gengsi."

Bunda dan Ayah hanya tertawa melihat tingkah keduanya.


***

Kata sebagian orang, ikhlas adalah cara paling baik untuk melepaskan sesuatu yang membuat sakit. Bisa jadi iya, namun bisa juga tidak.

Rania setuju meski tidak sepenuhnya. Melepaskan apa yang membuat sakit memang harus dilakukan daripada terus menerus berkubang dalam rasa sakit itu sendiri.

Pada suatu masa, Rania pernah mengikhlaskan apa yang menjadi keinginannya ketika tahu namanya tidak lolos pada seleksi masuk bersama untuk salah satu kampus impian cewek itu.

Sedih? Tentu saja Rania sedih. Makara biru muda yang tertera pada bagian kiri almamater berwarna kuning itu pernah menjadi bagian terbesar dari mimpinya selama remaja.

Makara biru muda yang sudah dia idamkan sejak masih duduk bangku sekolah menengah pertama.

Kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar, membuat Rania ingin menjadi sosok yang bisa mendengarkan segala keluh kesah orang-orang untuk menemukan jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi.

Cewek kelahiran Bogor itu senang mendengarkan cerita dari orang-orang terdekatnya. Apa pun bentuk cerita yang dihadirkan, Rania tidak pernah menyelanya. Dia senang mendengar macam-macam cerita. Entah itu cerita yang berisi kebahagiaan penuh hingga cerita yang berisi keputus asaan.

Dalam hidup tentunya tidak selalu berisikan kebahagiaan. Karena baginya, bahagia tidak akan pernah ada jika manusia tidak pernah melewati apa itu kesedihan.

Berlarut-larut dalam kekecewaan tidak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi. Rania kembali mengulang, akan tetapi hasil yang dia dapatkan sama.

Rania mencoba ikhlas dan memilih Jogjakarta sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikannya. Jurusan yang Rania pilih tetap sama, hanya saja, harapannya menjadi bagian dari makara biru muda itu sudah Rania pendam, dikubur bersama dengan kekecewaan lainnya.

"Lo bisa balik, nggak? Wisuda gue soalnya tanggal segitu."

Rania berdecak dalam sambungan teleponnya bersama saudara kembarnya itu. "Iye, gue usahain balik. Kalo gue nggak balik jangan nangis."

"Kalo lo nggak dateng ya, udah. Tapi masa lo nggak mau dateng ke acara penting gue, Ran? Lo sodara gue satu-satunya."

"Iyalah orang kita kembar, bego banget sih, sumpah."

Randy tertawa puas di sana. "Oke, deh. Gue anggep itu janji yang kudu elo tepatin. Gue mau nanya, Ran."

"Sejak kapan bocah kagak tau diri kayak lo pake izin dulu sebelum nanya?"

"Kok lo akhir-akhir ini sewot mulu, sih? Gini-gini gue masih Abang lo, ye."

"Mau nanya apa nggak? Waktu gue nggak banyak."

"Wah, emang lo bener-bener jadi sodara, ye. Kagak gue isiin lagi gopay lo besok-besok."

"Emang anjing lo, Randy. Ngancemnya jelek, sumpah!"

"Oke-oke. Jazmi tuh cowok lo? Kapan jadiannya? Dia tetangga kosan lo, kan? Yang waktu itu hampir ribut sama gue?"

Rania mengembuskan napas lelah. "Iye, tetangga kosan gue. Hampir pala lo? Udah lo tonjok dia ya, paginya."

Kejadian itu tidak akan pernah Rania lupakan saat Rania masih berada di tahun keduanya menjadi seorang mahasiswi.

Setiap beberapa bulan sekali, Randy ditugaskan oleh orang tua mereka untuk mengunjungi Rania. Berhubung hanya Rania yang memilih kuliah jauh dari rumah, maka orang tuanya membuat jadwal selama beberapa bulan sekali untuk mengunjunginya.

Randy datang sendiri. Cowok itu memilih menggunakan kereta daripada pesawat untuk pergi ke Jogja. Demi mengejar konten agar fyp tentunya.

Hal yang tidak pernah Rania harapkan itu berawal saat Randy yang baru saja sampai tengah duduk di kursi teras kosan anak-anak cowok. Naufal dan Devan turut menemaninya. Syukurnya, bertiganya bisa akrab dengan cepat.

Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Rania belum pulang. Alasan yang diberikan pun tidak masuk akal bagi Randy.

Bertanya pada Naufal dan Devan tidak mendapatkan jawabannya. Hingga beberapa menit berlalu, sebuah mobil hitam berhenti di depan kosan mereka.

Rania turun sambil memapah Jazmi yang sudah hampir hilang kesadarannya akibat alkohol. Baunya tentu menyengat membuat Naufal beberapa kali mengusap-usap hidungnya saat Rania sudah sampai di depan teras rumah.

"Lo pergi ke tempat dugem?" Randy tidak bisa menutupi amarahnya kala itu.

"Sopo, sih, Ran? Berisik banget." Jazmi meracau sambil bergelayutan di leher Rania.

Devan dan Naufal dengan sigap mengambil alih Jazmi, Rania tentu tidak sanggup jika berlama-lama memapah tubuh Jazmi.

"Jawab gue, Ran. Lo ikutan mabok?"

Rania yang sudah lelah saat itu hanya bisa berdecak sebal. "Lo pikir aja, kalo gue ikut mabok mana bisa gue bawa tuh, anak?"

"Ya, makanya jawab gue."

"Jemput dia doang. Lo ngapain sih, baru sampe malah marah-marahin gue segala?"

"Ya, gue Abang lo? Lo tanggung jawab gue, Rania!"

Syukurnya Devan dan Naufal sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan si kembar yang tengah bersiteru akibat kesalahpahaman.

Secara pelan-pelan Rania menjelaskan semuanya kepada Randy agar kembarannya itu tidak bertanya lebih lanjut.

Rania kira setelah mendengar penjelasannya itu, Randy mengerti. Sepertinya, memang sedari awal Randy sudah tidak suka saat pertama kali dia bertemu dengan Jazmi. Ada radar yang tak terlihat tertangkap oleh Randy dan cowok itu menyimpulkan bahwa Jazmi adalah tipe cowok brengsek yang bisa menyakiti kembarannya sewaktu-waktu. Apalagi Rania sempat bercerita sedikit soal Jazmi tentang asal cowok itu sampai jurusan perkuliahannya.

Randy yang juga kuliah di jurusan teknik pun mengakui kalau tidak sedikit anak teknik ini berkelakuan brengsek meski tidak semuanya.

Pada pagi harinya, Randy terlibat cekcok dengan Jazmi yang baru saja bangun dari tidurnya. Pengar masih terasa di tubuh cowok itu tapi sudah dihadapkan oleh Randy yang emosi. Karena terbawanya emosi, Randy menonjok rahang Jazmi yang dibalas cowok itu dengan menendang balik Randy.

Syukurnya, Devan yang sudah biasa bangun pagi itu dapat melerai keduanya dengan bantuan Aldo. Tidak ada yang saling mengatakan maaf hingga Randy kembali pulang ke Bogor.

"Ya, gimana. Dari banyaknya orang malah lo yang ditelepon suruh nyamperin dia ke bar."

"Emang kenapa? Toh, gue nggak ikutan mabok ini."

Dua-duanya tidak akan ada yang mau mengalah jika membahas Jazmi. Randy yang kekeuh menyatakan ketidaksukaannya terhadap cowok itu pun dengan Rania yang selalu membela Jazmi di hadapan kembarannya itu.

"Lo udah makan belum? Kata Ibu, akhir-akhir ini lo telat makan. Kalo belom makan mau gue goputin."

"Dih, sejauh mana Ibu cerita-cerita ke lo? Ember juga ternyata si Ibu."

"Ya, elah lo kira gue tetangga lo sampe nggak boleh tahu kelakuan lo kali, ya."

"Nggak usah, Ran. Temen gue udah teriak nyuruh makan. Nanti gue kabarin lagi deh, gue bisa balik apa nggak."

"Ya, udah. Tapi usahain dateng, gue nggak mau poto studio nggak lengkap. Meski sebenernya nggak apa-apa biar kelihatan gue ini anak semata wayang. Tapi, karena gue sayang lo banget, gue harap lo balik."

Rania berlagak mual melalui sambungan telepon tersebut. "Geli juga gue denger kata sayang dari mulut sampah lo itu."

"Salah mulu perasaan. Udah dulu, deh. Temen gue nelpon, nih mau ngajak futsal."

"Siapa?" Rania mendadak enasaran.

"Si Hanif, siapa lagi emang?"

"Oh, ya udah, bye!"

Sebelum Randy mematikan sambungan telepon tersebut, Rania sudah lebih dulu memencet ikon berwarna merah tersebut.

Dia meletakkan ponselnya di atas meja belajar dan bergegas menuju dapur karena Gretha sudah meneriakinya sebanyak dua kali untuk makan malam bersama.

***

Naufal & Lia, emang boleh se-mirror selfie berduaaa ituuuuuu??

Si kembar, Randy & Rania. Meskipun lebih sering ribut daripada akurnya.

Bonusss, dua bocah kembar dari Bogor.





*

A/n :

Wahh, tumben kan udah dateng upload aja part 15-nya, WKWKWKWKWK.

Ya gimanaa yaaa, lagi ngalir bgttt mood nulisnyaaaa.

Yakkk, kita siap menyambut hari wisuda Aldo yang sebentar lagi akan dilaksanakan.

Siapa yang kira-kira bakal nangisssss???

Apa Lia? Atau malah Letta?

Bisa jadi si Farris, sih. Gitu-gitu, dia udah cees abis sama si Aldo.

Yaudalayaaa, stay tune untuk chap yang akan datanggg.

See uuuuuu. ❤️❤️

Bekasi, 09 Maret 2024.

Continue Reading

You'll Also Like

4.6K 789 80
Kelas sepuluh, baru masuk SMA. Jaman dimana kita masih suka ngeluh karena pelajaran yang jauh berbeda dari SMP. Tapi mana tau kalo ternyata kelas s...
16.8M 649K 64
Bitmiş nefesi, biraz kırılgan sesi, Mavilikleri buz tutmuş, Elleri nasırlı, Gözleri gözlerime kenetli; "İyi ki girdin hayatıma." Diyor. Ellerim eller...
15.8M 1.7M 33
[SUDAH TERBIT] "Sahara, hidup itu perihal menyambut dan kehilangan. Kamu tahu lagu Sampai Jumpa-nya Endank Soekamti, kan? ya kira-kira begitu lah. Ta...
308K 7.7K 112
In which Delphi Reynolds, daughter of Ryan Reynolds, decides to start acting again. ACHEIVEMENTS: #2- Walker (1000+ stories) #1- Scobell (53 stories)...